Monday, April 27, 2009

pemikiran gus dur tentang islam

Latar Belakang Keluarga


Abdurrahman "Addakhil", demikian nama lengkapnya. Secara leksikal, "Addakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas".

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan "darah biru". Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais 'Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.

Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.

Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.

Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik.
Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.

Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.

Pengalaman Pendidikan

Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy'ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur'an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur'an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.

Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.

Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma'sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris. Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul 'The Story of Civilazation'. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin 'What is To Be Done' . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur.

Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.

Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.

Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas.

Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.

Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya.

Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.

Perjalanan Karier

Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri. Sehingga tidak heran jika tulisan-tulisannya jarang menggunakan foot note.

Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap 'menyimpang'-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.

Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-'aqdi yang diketuai K.H. As'ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid.

Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisai kaum 'elit Islam' tersebut dengan organisasi sektarian.

Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai moderrnis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.

Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali Ma'shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.

Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.

Penghargaan


1. Tokoh 1990, Majalah Editor, tahun 1990

2. Ramon Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon Magsaysay Award
Foundation, Philipina, tahun 1991

3. Islamic Missionary Award from the Government of Egypt, tahun 1991


4. Penghargaan Bina Ekatama, PKBI, tahun 1994

5. Man Of The Year 1998, Majalah berita independent (REM), tahun 1998

6. Penghargaan Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari
Columbia University, September 2000

7. World Peace Prize Award dari World Peace Prize Awarding Council (WPPAC),
Agustus 2003.

8. Honorary Degree in Public Administration and Policy Issues from the University
of Twente, tahun 2000

9. Doctor Honoris Causa dalam bidang Philosophy In Law dari Universitas
Thammasat Thaprachan Bangkok, Thailand, Mei 2000

10. Doctor Honoris Causa dari Universitas Paris I (Panthéon-Sorbonne) pada bidang
ilmu hukum dan politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu humaniora,
tahun 2000

11. Doctor Honoris Causa dari Asian Institute of Technology, Thailand, tahun 2000

12. Ambassador for Peace, salah satu badan PBB, tahun 2001

13. Doctor Honoris Causa dari Universitas Sokka, Jepang, tahun 2002

14. Doctor Honoris Causa dari Sun Moon University, Seoul Korea Selatan, Februari
2003

15. Doctor Honoris Causa bidang poitik dan hukum dari Konkuk University, Seoul
Korea Selatan, Maret 2003.



GusDur dan Islam
Amal dan Penerapannya

Amal dalam pengertian bahasa Arab adalah tindakan atau perbuatan. Dalam bahasa Indonesia, kata amal memiliki arti perbuatan kasih sayang yang dalam bahasa lainya disebut charity atau charitas. Dimensi amal sebagai tindakan, sangat terkait dengan maksud dari tindakan itu sendiri. Karena itu amal dalam arti perbuatan sangat tergantung kepada tujuan yang dibawakanya. Inilah yang dimaksudkan dengan ucapan nabi: “Bahwa perbuatan-perbuatan (manusia) sangat tergantung kepada niat melakukanya “ (Innama al-a’mal bi al-niyyat)”. Memang ini adalah sikap tidak rasional, karena dapat saja sebuah amal/perbuatan dibuat tidak membawa hasil apa-apa alias tidak sesuai dengan niat dan mencapai tujuan yang diinginkan.

Tetapi itulah ajaran agama karena dalam pengertian Islam, “Tuhan memuliakan orang yang dimauinya dan merendahkan orang yang diinginkannya ”(Yu’izza man yas’a wa yudzinu man ya’sa). Jadi balasan atas seluruh kegiatan kita berada di tangan Allah, apakah ini tidak berarti orang lalu menjadi malas melakukan sebuah tindakan, baik untuk dirinya sendiri dan apalagi untuk kepentingan orang lain. Bukankah secara rasional manusia tidak dapat menentukan sendiri akibat-akibat perbuatannya? Inilah yang justru merupakan tantangan bagi manusia: Ia tidak menguasai jalur kehidupan yang diinginkannya atas dasar inilah ia menuntut dari Allah untuk menghargai amal perbuatanya dengan tidak melanggar hak-hak Allah atas kehidupan itu sendiri.

Masalah klasik antara wewenang Allah dan tuntutan manusia itu oleh paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah dibiarkan tidak dipecahkan guna memberikan tempat bagi hal-hal yang tidak rasional bagi kehidupan secara umum. Dengan demikian manusia selalu diingatkan bahwa ia bukan Tuhan dan tidak dapat menentukan segala sesuatu ini juga sesuai dengan ungkapan: “Kita menginginkan sesuatu dengan Allah juga menginginkannya, tapi Allah memberlakukan apa yang diinginkan itu” (Nanhnu yurid wa Allahu yurid wa allahu fa’aallun lima yurid)

*****

Karena manusia bukanlah Tuhan, maka dalam pandangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah keterbatasan itu juga direfleksikan dalam ajaran manusia versus Tuhan, dengan kata lain aliran tersebut menolak faham “anthroposentrisme” (pandangan bahwa manusia memegang kekuasaan tertinggi atas dirinya). Hal inilah yang membedakan Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari faham yang kemudian dijadikan titik sentral dalam pandangan “Barat Modern” itu.

Menurut penulis yang sebenarnya merupakan titik pusat sekularisme, bukannya ajaran pemisahan agama dari negara (separation of the state from religion). Karena itu pemisahan agama dari negara bukanlah karena adanya sekularisme -yang menolak agama- melainkan karena akan tidak adanya pembedaan antara kekuasaan Tuhan dari kekuasaan manusia.

Maka setelah kita ketahui hakikat dari kekuasaan Tuhan yang dipisahkan dari kekuasaan manusia itu, barulah kita dapat memahami ajaran agama, seperti yang di firmankan Tuhan dalam ayat suci berikut ini : “Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama tidaklah diterima amal perbuatannya, dan di akhirat ia akan termasuk orang yang merugi “(Man yabtaqhi qhaira Al-Islami dinan falan yuqbala minhu wahuwa fi al-dinan falan yuqbala minhu wahuwa fi-alakhirati min al-khasirin). Tidak diterimanya amal perbuatan seseorang, dalam pandangan Islam adalah hak Tuhan untuk menetapkannya demikian, tidak berarti amal perbuatan itu tidak ada maknanya.

Jadi penerimaan manusia dan penerimaan Tuhan jelas ada bedanya. Sesuatu akan ada artinya bagi manusia jika perbuatan seseorang dapat diterima oleh sesama manusia. Tetapi penerimaan itu mempunyai arti manusiawi bukannya ukhrawi. Bahkan perbuatan seorang muslim sekalipun belum tentu dapat diterima oleh Allah. Karenanya penerimaan Allah itu hanya penting bagi kita dalam artian keyakinan saja bukan menyangkut hubungan antara sesama manusia.

Prinsip tersebut uga diyakini oleh agama lain, contohnya Konsili Vatikan II yang menyatakan: “Kami, para Uskup yang berkumpul di Vatikan, menghargai hak setiap orang untuk mencapai Kebenaran Abadi melalui cara masing-masing, walaupun kami berkeyakinan bahwa Kebenaran Abadi itu hanya ada di lingkungan Gereja-gereja Katolik Roma”. Sekarang menjadi jelas bahwa keyakinan merupakan “kebenaran” partikular yang tidak dapat dibagi rata atau diseragamkan bagi semua orang?

*****

Karena itulah kebenaran partikular tersebut selalu didampingi oleh kebenaran mutlak yang selalu ada dalam tiap agama. Kebenaran mutlak itu sering kali disebut sebagai kebenaran universal yang berlaku bagi semua orang dan dengan sendirinya bagi semua agama. Bahwa moralitas yang “tinggi” seperti contohnya tindakan menjauhi perzinaan selalu terdapat dalam tiap agama. Karenanya sebagai bagian integral dari keyakinan, tiap-tiap agama melarangnya. Hal itu menunjukkan adanya kebenaran mutlak yang ada dalam tiap agama. Bahwa tidak semua orang beragama dapat menghindari hal itu, adalah soal lain yang tidak merubah “keaslian” ajaran agama yang bersangkutan melainkan menjadi “ dosa pribadi ” yang harus ditobati dan memerlukan pengampunan Tuhan.

Jelaslah dengan demikian, tiap agama memiliki dua dimensi kebenaran, yaitu yang terkait dengan kemampuan seorang pemeluknya untuk melaksanakan ajaran yang dianggap sebagai kebenaran pertikular, disamping ada sisi lain dari kebenaran yang diyakini, yaitu kebenaran universal. Ketidakmampuan memahami hal ini, -dengan menggangap kebenaran universal hanya terdapat dalam agama sendiri- akan menimbulkan sikap tidak menghormati “kebenaran” yang dibawakan oleh keyakinan di luar “agama sendiri” itu. Dari sikap tidak memahami kebenaran universal itu lahirlah sikap merendahkan keyakinan orang lain. Kemudian akan diikuti oleh sikap membenarkan penggunaan segala cara, untuk “membenarkan” agama sendiri dan menggangap “salah” semua ajaran lain. Sikap seperti inilah yang melahirkan terorisme atas nama agama.
Dengan mengetahui hal itu, jelas bahwa tindakan menghadapi terorisme atas nama agama tidak cukup dilakukan dengan tindakan-tindakan hukum saja. Harus juga dilakukan pendekatan kultural yang bersifat mendidik dan mencegah langkah-langkah seperti itu. Bukankah sang teroris melakukan langkah-langkah seperti itu karena tidak mengetahui yang dilakukannya justru mengingkari hakikat kebenaran yang diyakininya sebagai sesuatu yang mulia dan nantinya membawakan ridlo Allah. Namun dalam kenyataan kebalikannyalah yang terjadi. Karenanya marilah kita mendidik kembali orang-orang seperti itu. Mudah dikatakan tetapi sulit dilaksanakan, bukan?

Dapatkah NU Berperan Politik Nasional?

Bagi banyak orang timbul kegamangan akan kemampuan NU, baik melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) maupun lain-lainnya, untuk memimpin sebuah pemerintahan nasional? Bukankah ini sama dengan ‘punguk merindukan bulan’? Mereka menilai para Kyai di pedesaan justru tidak memiliki pengalaman nasional untuk memerintah dengan baik. Sebaliknya, para Kyai di perkotaan justru mempertontonkan akhlak/moralitas yang rendah; mereka tahan menderita, tetapi tidak tahan kaya. Lalu bagaimana jika para Kyai itu baik yang di desa maupun yang di kota ternyata salah pilih orang, sehingga yang memimpin negeri kita hanyalah para pencari muka dan pengikut paham; “asal bapak senang saja”. Memang harus diakui, pandangan dan pertanyaan ini adalah sesuatu yang valid (absah) dalam kehidupan serba rumit ini. Apalagi di kala kita akan menerapkan demokrasi yang sesungguhnya setelah pemilu nanti.

Apalagi jika pada pertanyaan itu ditambahkan sebuah hal lain; rakyat kita, yang umumnya masih berada pada taraf pendidikan yang belum tinggi, belum dapat memasuki era industrialisasi yang kita perlukan untuk maju. Kalau mereka mencapai hal itu dalam waktu lima tahun lagi, masihkah mereka setia pada para Kyai mereka sekarang? Kalau tidak, siapakah yang akan mereka ikuti dalam “jangka panjang”? Hal ini juga ditanyakan oleh para pemuka agama-agama lain pada waktu akan dimulai industrialisasi di sebuah negara. Paling tidak, para “peninjau/pengamat” mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang terasa sangat menyudutkan para agamawan itu. Belajar dari pengalaman sejarahlah kita harus menjawab dengan baik pertanyaan-pertanyaan di atas. Kegagalan melakukannya, hanya akan membawa irrelevansi agama kita, yaitu Islam .

*****
Hal pertama yang dapat kita kemukakan, adalah tentang fungsi Islam sebagai agama bagi kehidupan kita di masa ini. Haruskah Islam memasuki semua lorong kehidupan, dan memberikan “cap”-nya kepada kita semua; benarkah masyarakat kita masih “Islami”, kalau kita kurangi jumlah lorong-lorong yang dimasukinya? Artinya, haruskah Islam memasuki semua bidang kehidupan, tanpa pandang bulu? Ini adalah sebuah pertanyaan pelik, yang jawabannya tentu terasa pahit bagi kita. Hadratu al-Sheikh Mohammad Hasjim Asj’ari, Ra’is Akbar NU, memimpin bahtsul masa’il (pembahasan masalah), di mana diputuskan “musik strijk” (orkes/band musik kita sekarang) hukum agamanya diharamkan. Keputusan itu tidak pernah diubah, namun dalam praktek diabaikan. Dalam hal ini, kita semua pernah mengabaikan satu atau dua keputusan agama yang dirumuskan oleh para ulama dengan serius, melalui perdebatan terbuka yang hangat.

Walaupun demikian, haruslah diakui dalam hal-hal utama kita tetap berpegang pada kaidah-kaidah Hukum Islam (fiqh) dari madzhab kita. Contoh terakhir adalah kasus penyedap masakan Ajinomoto, yang secara lantang diharamkan oleh Din Syamsuddin dari MUI. Para Kyai NU di Jawa Timur memutuskan, pembuatan Ajinomoto itu tidak bertentangan dengan ajaran agama, walaupun jika tabung minyak babi pecah dan membuat kristal-kristal penyedap bumbu masakan itu terkontaminasi minyak babi. Ini diputuskan setelah para ulama NU itu mendapat janji pihak pabrik penyedap masakan itu, bahwa bejana air yang digunakan untuk membuat kristal akan disamakan hukumnya dengan air yang mengalir (al-ma al-jari) jika dibuatkan kran pembuang, yang seukuran dengan air yang masuk ke dalam bejana itu. Jadi air masuk (in-take) sama besarnya dengan air keluar (out-take). Dengan demikian, in-take dan out-take pembuatan penyedap masakan itu masih aplikatif hukumnya. Ini kenyataan yang menunjukkan bahwa hukum fiqh berlaku lebih dari “hukum” yang dikeluarkan Din Syamsuddin.

Dengan demikian, menjadi nyatalah bagi kita, bahwa ada sesuatu yang membuat “hukum agama” lebih dihargai dan diterima oleh publik, dari pada “hukum politik”, dari siapapun yang mengeluarkannya. Tentu timbul pertanyaan, mengapakah keadaan menjadi demikian? Tidak kurang-kurang para pemimpin politik yang menggunakan baju Islam, baik melalui MUI maupun NU dan Muhammadiyah, penerimaan mereka atas “hukum fiqh” masih lebih kecil dari pada penerimaan masyarakat. Ini berarti ada sesuatu yang ada dalam hukum fiqh itu, yang tidak dimiliki oleh pendapat politik yang menggunakan nama Islam sekalipun. Ini sering penulis dapati dalam pernyataan demi pernyataan yang dikemukakan oleh berbagai organisasi/gerakan Islam, seperti PUI, Persis, FPI, Laskar Jihad dan akhir-akhir ini gerakan jihad fi sabilillah. Jelaslah dengan demikian, letak kekuatan NU dan Muhammadiyah.

Nah, kenyataan ini membawa kita kepada sebuah keadaan lain, yaitu bahwa keputusan politik apapun di kalangan gerakan-gerakan Islam, masih kalah dengan keputusan “fiqh” dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan gerakan Islam. Karenanya, setiap keputusan yang “dibungkus” dalam “hukum fiqh” masih jauh lebih berharga dari pada yang lain-lain.

Di sinilah terletak kekuatan kita, yang terkadang sangat menentukan. Ketika para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan untuk menerima gagasan persamaan status hukum bagi semua warga negara RI, melalui pencoretan Piagam Jakarta, dan praktis mematikan (minimal untuk sementara) gagasan Negara Islam, kemudian menggantikannya dengan istilah “Negara Pancasila”, maka segera pengesahan konsep “Negara Pancasila itu berdasarkan “hukum fiqh”. Keputusan itu nyatanya masih dipakai terus hingga sekarang, dan hingga masa selanjutnya. Dengan demikian, jelaslah kekuatan “hukum fiqh” ternyata masih belum tertandingi oleh gagasan / pendapat lain yang diajukan kepada masyarakat.

Jelaslah, apa yang ditentukan oleh “Hukum fiqh” itu, dalam “bahasa awam” seringkali disebut sebagai akhlak/moralitas, ternyata juga memiliki kekuatannya sendiri. Krisis multi-dimensiyang melanda negeri kita selama tuju tahun terakhir ini, oleh “masyarakat bawah” dianggap sebagai “hukuman” Tuhan –minimal cobaan-Nya, atas langkanya akhlak moralitas yang dipakai sebagai dasar tindakan-tindakan yang diambil/dilaksanakan selama beberapa dasa warsa terakhir ini. Setuju atau tidak atas pendapat seperti itu, dalam kenyataan akhlaq dan moralitas berperan dalam “keputusan” pemilihan umum yang akan datang. Terutama pemilu legislatif, karena ternyata saat ini para “wakil rakyat” yang mengisi jabatan-jabatan legislatif, bahkan memberikan contoh tidak baik kepada masyarakat dalam soal akhlak atau moralitas itu. Banyak warga masyarakat merasa bahwa kepercayaan atau amanat yang mereka berikan kepada para legislator itu, ternyata disia-siakan saja. Bukannya turut mengatasi krisis yang ada, mereka bahkan bersama pihak ekskutif bermotif komersial untuk kepentingan sendiri/ golongan dalam mengambil keputusan.

*****

Di sini kita lihat hubungan antara agama dan politik. Hubungan itu tidak bersifat agama, karena hal itu sama saja artinya dengan membuat sebuah “negara agama”. Negara mengambil keputusan-keputusan berdasarkan pertimbangan kenegaraan, ada yang bersifat hukum, tetapi kebanyakan bersifat politis. Nah, peranan agama dalam hal ini adalah untuk menjaga agar keputusan-keputusan yang diambil, jangan melanggar kaidah-kaidah akhlak/moral. Karena itu kita tetap memerlukan para agamawan dan mereka yang berbudi luhur, termasuk yang menjadi warga lembaga-lembaga keagamaan dan para pengamat berbagai gerakan keagamaan. Suara mereka harus diperhatikan, karena merekalah yang menjadi “penjaga hati-nurani” sebuah bangsa. Kalau mereka dibuat tidak berkutik karena materialisme dimenangkan atas pendapat mereka, dalam jangka panjang kita juga yang rugi.

Demikian juga organisasi gerakan keagamaan, para agamawan dan pembawa pesan budi luhur sebuah bangsa, harus juga diserahi tugas untuk menjaga agar orientasi kita sebagai bangsa tidak semata-mata bersifat kebendaan/materialistik. Harus ada spiritualitas kerohaniahan yang menentukan orientasi dan masa depan bangsa. Selalu diciptakan keseimbangan antara capaian materialistik dan kerohaniahan, yang membuat bangsa itu maju secara empirik dan teknologi, tetapi tidak meninggalkan kaidah-kaidah moral dari agama apapun. Dalam hal ini, observasi kita mengenai sikap materialistik yang dominant, yang disandarkan pada pertimbangan-pertimbangan geopolitik belaka dalam percaturan internasional, akhirnya, menimpa seluruh dunia saat ini, termasuk negara-negara yang dianggap “berindustri maju”. Kenyataan inilah yang mendorong penulis mengajak kita semua untuk menjaga keseimbangan antara agama dan politik dalam pengertian di atas. Mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan, bukan?

Islam dan Keadilan Sosial

Salah satu ketentuan dasar yang dibawakan Islam adalah keadilan, baik yang bersifat perorangan maupun dalam kehidupan politik. Keadilan adalah tuntutan mutlak dalam Islam, baik rumusan “hendaklah kalian bertindak adil” (an ta’dilu) maupun keharusan “menegakkan keadilan” (kunu qawwamina bi al-qisthi), berkali-kali dikemukakan dalam kitab suci al Quran.

Dengan meminjam dua buah kata sangat populer dalam peristilahan kaum muslimin di atas, UUD 45 mengemukakan tujuan bernegara: menegakkan keadilan dan mencapai kemakmuran. Masyarakat adil dan makmur merupakan tujuan bernegara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalau negara lain mengemukakan kemakmuran dan kemerdekaan (prosperity and liberty) sebagai tujuan, maka negara kita lebih menekankan prinsip keadilan dari pada prinsip kemerdekaan itu.

Dengan demikian, sangat mengherankan jika kita sekarang lebih mementingkan swastanisasi/privatisasi dalam dunia usaha, daripada mengembangkan rasa keadilan itu sendiri. Seolah-olah kita mengikuti kedua prinsip kemakmuran dan kebebasan itu, dan dengan demikian kita kehilangan rasa keadilan kita. Sikap dengan mudah menentukan kenaikan harga BBM -yang kemudian dicabut kembali-, menunjukkan hal itu dengan jelas, kalau kita tidak berprinsip keadilan.

Tentulah kenaikan harga itu harus menunggu kenaikan pendapatan, bukan sebaliknya. Bukankah dengan demikian, telah terjadi pengambilalihan sebuah paham dari negeri lain ke negeri kita yang memiliki prinsip lain, sesuai dengan ketentuan UUD 45? Adakah kapitalisme klasik yang melindungi kaum lemah, dengan akibat mereka harus dihilangkan begitu saja dalam kehidupan kita sebagai bangsa? Bukankah yang dimaksudkan oleh para pendiri negeri kita, adalah bentuk pemerintahan yang melindungi kaum lemah?
Jelaslah dengan demikian, antara ketentuan dalam UUD 45 dan kebijakan pemerintah, terdapat kesenjangan dan perbedaan yang sangat menyolok. Dapat dikatakan, kebijakan pemerintah di bidang ekonomi tidaklah didasarkan pada konstitusi.
Dengan demikian dapat disimpulkan, ketentuan UUD ditinggalkan karena keserakahan beberapa orang saja yang menginginkan keuntungan maksimal bagi diri dan golongan mereka saja. Ini adalah sikap dan kebijakan pemerintah yang harus dikoreksi oleh masyarakat dengan tegas. Keengganan kita untuk melakukan koreksi itu, hanya akan mengakibatkan kebijakan dan sikap pemerintah yang lebih jauh lagi menyimpang dari ketentuan UUD 45.

Hendaknya pun pemerintah bersikap lapang dada dan menerima kritikan atas penyimpangan dari UUD 45 itu, sebagai sebuah masukan yang konstruktif. Kita memiliki UUD 45 yang harus diperhatikan dan tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Kalau ingin menyimpang dari ketentuan konstitusi itu, maka konstitusi harus dirubah melalui pemilu yang akan datang. Seperti halnya pengamatan Jenderal (Purn.) Try Soetrisno, bahwa rangkaian amandemen yang diputuskan sekarang telah menjadikan sistem politik kita benar-benar liberal, yang berdasarkan pemungutan suara terbanyak saja. Tentu ini harus dikoreksi dengan amandemen UUD lagi, karena hak minoritas harus dilindungi.

*****

Dalam memahami perubahan-perubahan sosial yang terjadi, kita juga harus melihat bagaimana sejarah Islam menerima hal itu sebagai sebuah proses dan melakukan identifikasi atas jalannya proses tersebut. Dalam hal ini, penulis mengemukakan sebuah proses yang kita identifikasikan sebagai proses penafsiran kembali (re-interpretasi) atas ajaran-ajaran agama yang tadinya dianggap sebagai sebuah keadaan yang “normal”. Tanpa proses penafsiran ulang itu tentunya Islam akan sangat sempit memahami ayat-ayat al-Qur’an. Seperti misalnya “Hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Ku-sempurnakan (pemberian) nikmat-Ku dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai agama” (al-Yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu alaikum ni’mati wa rodhitu lakum al-Islama diinan). Ayat tersebut menunjukkan Allah menurunkan prinsip-prinsip yang tetap (seperti daging bangkai itu haram), sedangkan hukum-hukum agama (canon laws) terus-menerus mengalami perubahan dalam perinciannya.

Sangat terkenal dalam hal ini hukum agama (fiqh) mengenai Keluar Berencana (KB), yang bersifat rincian dan mengalami perubahan-perubahan. Dahulu, pembatasan kelahiran sama sekali ditolak, padahal waktu itu ia adalah satu-satunya cara untuk membatasi peningkatan jumlah penduduk. Dasarnya adalah campur-tangan manusia dalam hak reproduksi manusia di tangan Tuhan sebagai sang pencipta. Namun, kemudian manusia merumuskan upaya baru untuk merencanakan kelahiran (tantzim al-nasl atau family planning) sebagai ikhtiar menentukan jumlah penduduk sebuah negara pada suatu waktu. Dengan demikian, dipakailah cara-cara, metoda, alat-alat dan obat yang dapat dibenarkan oleh agama, seperti pil KB, kondom dan sebagainya. Penggunaan metoda dan alat-alat tersebut sekarang ini, dilakukan karena ada penafsiran kembali ayat suci dalam upaya mengurangi jumlah kenaikan penduduk dari pembatasan kelahiran (birth control) ke perencanaan keluarga (family planning).

Contoh sederhana di atas, menunjukkan kepada kita, dengan jelas, betapa pentingnya proses penafsiran ulang tersebut. Tanpa kehadirannya, Islam akan menjadi agama yang mengalami “kemacetan” dan menyalahi ketentuan agama itu sendiri yang tertuang dalam ucapan “Islam sesuai untuk segenap tempat dan masa“ (al-Islam yasluhu li kulli makanin wa zamanin). Dengan demikian jelaslah, agama yang dibawakan Nabi Muhammad SAW itu pantas dinyatakan sebagai sesuatu yang sempurna, karena hanya pada hal-hal prinsip saja Islam bersifat tetap, sedangkan dalam hal-hal rincian dapat dilakukan penafsiran ulang kalau telah memenuhi persyaratan-persyaratan untuk itu.

*****

Dalam hal ini, kita lalu teringat pada konsep keadilan yang pada prinsipnya berarti pemberdayaan kaum miskin/lemah untuk memperbaiki nasib mereka sendiri dalam sejarah manusia yang terus mengalami perubahan sosial. Secara umum, Islam memperhatian susunan masyarakat yang adil dengan membela nasib mereka yang miskin/lemah, seperti terlihat pada ayat suci berikut; “Apa yang dilimpahkan (dalam bentuk pungutan fa’ i) oleh Allah atas kaum (penduduk sekitar Madinah), maka harus digunakan bagi Allah, utusan-Nya, sanak keluarga terdekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, para peminta-minta/pengemis dan pejalan kaki di jalan Allah. Agar supaya harta yang terkumpul itu tidak hanya berputar/beredar di kalangan orang-orang kaya saja di lingkungan kalian”. (Ma Afaa-a Allahu ‘ala rasulihi min ahl al-qurra fa li-Allahi wa li al-rasul wa li dzil al-qurba wa al-yata wa al-masakin wa ibn al sabil, kaila yakuuna dulatan bain al-aghniya minkum).

Konsep mengenai susunan masyarakat seperti dikemukakan oleh ayat suci di atas, menunjukkan dengan jelas watak struktural dari bangunan masyarakat yang dikehendaki Islam, baik yang dicapai melalui perjuangan struktural (seperti dikehendaki Sosialisme dan Komunisme) maupun tidak, haruslah senantiasa diingat oleh para pemimpin gerakan Islam saat ini. Jika hal ini diabaikan, maka sang pemimpin gerakan Islam hanya akan menjadi mangsa pandangan yang memanfaatkan manusia untuk kepentingan manusia lain (exploitation de l’home par l’home). Jelas, sikap seperti itu berlawanan dengan keseluruhan ajaran Islam sebagai agama terakhir bagi manusia. Karenanya, mereka yang memperebutkan jabatan atau menjalankan KKN dalam mengemban jabatan itu, mau tidak mau harus berhadapan dengan pengertian keadilan dalam Islam, baik bersifat struktural atau non-struktural?

Dengan demikian jelaslah, bahwa telah telah terjadi pergeseran pemahaman dan pengertian dalam Islam mengenai kata “keadilan” itu sendiri. Dalam proses memahami dan mencoba mengerti garis terjauh dari kata ‘adilu’ atau ‘al-qist’ itu sendiri, lalu ada sementra pemikir muslim yang menganggap, sebaiknya digunakan kata “keadilan sosial” (social justice) dalam wacana kaum muslimin mengenai perubahan sosial yang terjadi. Kelompok ini, yang menginginkan pendekatan struktural dalam memahami perubahan sosial itu. Namun pada umumnya masih berfungsi wacana dari sebagian besar adalah para pemikir saja, bukannya pejuang/aktifis masyarakat. Tetapi, lambat-laun akan muncul para aktifis yang menggunakan acuan struktural itu, dan dengan demikian merubah keseluruhan watak perjuangan kaum muslimin. Implikasinya akan muncul istilah “muslim revolusioner” dan lawannya yaitu “muslim reaksioner”. Memang mudah merumuskan perjuangan kaum muslimin itu, namun sulit memimpinnya, bukan?


Islam, Budaya dan Teknologi

Pada suatu pagi, penulis duduk di kursi depan kendaraan yang dinaikinya. Suara dari kaset terdengar memenuhi kabin kendaraan, mengalunkan bermacam shalawat yang didendangkan anak-anak dengan dipimpin seorang dewasa. Berbagai shalawat didendangkan, termasuk shalawat/pujian semasa menunggu datangyan Imam di Masjid/musholla. Dibawakan versi lengkap dari pujian “Illahi Lastu” yang biasanya hanya diperdengarkan dua baris/bait bahasa Arab saja. Kira-kira dua jam berkendara dari tempat tinggal penulis di jalan Paso ke Hotel Marriott guna melakukan do’a bersama dengan sejumlah kyai dan para agamawan lain. Dalam mendengarkan kaset shalawat dan pujian, penulis lagi-lagi dihadapkan kepada sebuah gambaran tentang masyarakat kita dewasa ini, yaitu antara dendang tradisional, namun menggunakan alat-alat sound system yang sangat canggih.

Yang penulis maksudkan penggunaan teknologi canggih berarti tekonologi modern oleh pagelaran tradisional. Ini adalah kenyataan di depan mata yang tidak dapat diingkari walaupun jarang dipikirkan. Ternyata tidak seperti yang para peneliti dan pemerhati sering kemukakan mengenai adanya pertentangan teknologi modern dengan budaya tradisional. Dalam kenyataan walaupun teknologi modern dalam banyak hal memaksakan sikap dengan meninggalkan hal-hal tradisional, dalam beberapa aspek kehidupan justru yang tradisional itu diperkuat oleh yang modern. Jadi dalam hal ini terdapat hubungan simetris, tidak seperti apa yang dikemukakan oleh Daniel Leaner dari Universitas Harvard dalam bukunya yang berjudul “The Passing of the Tradisional Society” (memudarnya masyarakat tradisional).

Bukankah yang terjadi di beberapa tempat justru sebaliknya? Justru proses bertemunya teknologi modern dan budaya tradisional menghasilkan “penyimpangan” berupa penggunaan teknologi modern itu sendiri guna kepentingan memperkuat tradisionalisme. Kaset yang penulis dengarkan dalam kendaraan tersebut adalah bukti kongkrit yang tidak dapat dibantah oleh siapun. Ini adalah sebuah wajah dari sekian banyak bentuk penguatan tradisi, seperti dicontohkan oleh pengeras suara di Masjid-Masjid dan Musholla kita, yang masih mengumandangkan Tarhim, ayat-ayat suci dan Adzan minimal lima kali sehari. Memang rumah-rumah disekitarnya lalu turun harganya, tetapi itu tidak menghalangi terjadinya penggunaan teknologi modern untuk penguatan tradisionalisme, disamping memang tradisionalisme dalam berbagai bidang mengalami modifikasi oleh teknologi modern.

*****

Hal ini sebenarnya terjadi juga dalam “masyarakat modern” yang berteknologi maju. Di Eropa Barat, misalnya beberapa negara mengalami kebangkitan kembali pihak Kristen Demokrat dalam politik. Apakah artinya ini? Jawabannya adalah bahwa nilai-nilai keKristenan yang sangat tradisional yang mengacu kepada moralitas bangsa, akhirnya menjadi pembeda dengan partai-partai Demokrat lain di berbagai negara. “Kebangkitan kembali” kaum Nasrani ini tentu saja diakibatkan oleh porak-porandanya tatanan yang dibangun baik oleh “keangkaramurkaan” ambisi politik pribadi seperti dibawakan oleh Adolf Hitler di Jerman dan Mussolini di Italia serta Josef Stalin di Uni Soviet, serta sekularisme yang menjauhkan agama di beberapa negara. Di Amerika Serikat sendiri kehidupan politik sedikit banyak terpengaruh oleh semakin menguatnya kesadaran beragama, minimal dalam bentuk munculnya kelompok Baptisme Selatan (Southern Baptist Convention). Dan ini juga terlihat dalam terpilihnya beberapa orang Presiden Amerika Serikat dan sepertiga jumlah anggota Kongres (Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat), yang merupakan anggota Gereja Mormon.

Bertambahnya “peranan agama” atau kebangkitan moralitas konvensional dalam kehidupan politik negara Paman Sam itu, tentunya berhadapan dengan sikap yang meremehkan kesadaran beragama. Sikap menolak keabsahan aborsi/pengguguran kandungan (rights to live), adalah pencerminan moralitas konvensional ini. Ini tentu saja berkebalikan dengan kecenderungan lain, seperi keabsahan perkawinan antara kaum homo sex -lesbi dan gay- yang terjadi di beberapa negara lain. Dalam kasus seperti itu, lembaga-lembaga keagamaan seperti Gereja menampilkan pengunaan “alat-alat modern” untuk menampilkan sesuatu dari hal yang tradisional.

Jelas dari uraian di atas baik dalam masyarakat “Timur” maupun “Barat” telah terjadi sebuah proses dahsyat berupa pertarungan budaya, minimal dalam kehidupan moralitas, yang melibatkan penggunaan alat-alat komunikasi dan organisasi modern dan canggih, untuk menangkis ketakutan-ketakutan tradisional yang menilai jika hal itu dibiarkan saja tanpa pelawanan maka moralitas kehidupan bangsa akan merosot.

*****

Jadi tidak mengherankan jika teknologi modern itu digunakan dalam “pertempuran budaya” di sementara masyarakat. Tidak mengherankan juga jika tradisionalisme semacam itu juga muncul dalam “kesadaran beragama” yang menampilkan upaya untuk “kembali ke masa silam”, dan terjadi dalam masyarakat kita dewasa ini Sebetulnya hal itu telah terjadi ketika ada imbauan dari orang-orang seperti Moch. Yamin ataupun Sanusi Pane untuk “ kembali kepada kejayaan bangsa di masa lampau.” Mereka bukannya “orang kolot” yang mengingkari teknologi modern, melainkan mereka justru menggunakannya untuk memperkuat tradisionalisme yang mereka miliki. Hakekat inilah yang harus ditangkap dari sikap mereka itu.

Inilah yang penulis tangkap dari keadaan lahiriah ketika mendengarkan melalui sound system lagu-lagu tradisional yang berupa shalawatan dan sebagainya. Dia dapat saja mengharukan seperti dalam sajak penyambutan Nabi Muhammad SAW di Madinah dengan “bulan naik di atas (Kepala) kita” (Thala’a Al-Badru’Alayina), dan dapat saja berupa tembang anak-anak Sunan Ampel, “Ilir-Ilir Tandure wis Sumiler” yang sangat terkenal di kalangan orang-orang berbahasa Jawa. Jadi penggunaan teknologi modern yang digunakan untuk menegaskan pemikiran-pemikiran tradisional bukanlah barang baru sama sekali, melainkan sudah lama berjalan. Gampang diucapkan tetapi sulit dilaksanakan, bukan?

Kemampuan dan Ketahanan


Beberapa waktu yang lalu, penulis menginap di sebuah hotel di Jakarta ketika bersarapan, kemudian dilayani oleh seorang staf hotel dari room service. Penulis memberikan perhatian sangat besar dengan pelayanan yang diberikan sang staf . Ketika ditanya penulis, ia menyatakan berasal dari Jakarta di kampung belakang Hotel Indonesia. Ayahnya adalah seorang Mu’alim (Kyai) yang bertugas mengajarkan agama (dikenal dengan sebutan mengaji) dari Masjid ke Masjid. Ayah sang staf tadi, meninggal dunia belasan tahun yang lalu pada usia yang cukup tua, sedangkan ia sendiri mencari nafkah dengan menjadi pegawai hotel tempat penulis menginap, sejak berdirinya hotel itu. Sang staf mengatakan demi hidupnya sekeluarga ia harus bertahan melayani orang makan dan minum, terkadang makan atau minum yang dilarang agama. Ia merasakan hati luka oleh kenyataan itu dan ingin segera berhenti bekerja karenanya, namun ia tidak tahu harus mengerjakan apa.

Karenanya, ia bekerja keras mengumpulkan uang untuk nantinya berhenti bekerja dan “ belajar agama” sehingga nantinya dapat menggantikan tugas-tugas almarhum ayahnya. Sangat sedih penulis mendengar uraiannya itu, yang menunjukkan betapa sebuah keyakinan agama mengalami “keterpaksaan” seperti itu. Bahwa ia merasakan rasa luka di hati karena melaksanakan atau melihat hal-hal yang tidak berkenan baginya, sangatlah menyentuh perasaan. Apalagi kalau diingat -walau ia tidak bercerita- tentang pasangan-pasangan lelaki dan perempuan yang tidur bersama di kamar-kamar hotel tersebut, padahal mereka bukan suami istri. Menutup mata terhadap hal itu tidak mungkin, sedangkan menolak tidak bisa. Jika ia merasa sebagai orang paling malang dalam hidup ini, tentu saja tidak dapat disalahkan.

Penulis kemukakan kepadanya, bahwa ia pernah berceramah di masjid Kota Baharu, Kuala Lumpur, Malaysia. Di antara ribuan hadirin setelah usai berceramah ia bertemu secara pribadi dengan 400 orang Indonesia. Mereka menyatakan bekerja di Genting High sekitar 30 menit dari Kuala Lumpur. Mereka adalah tukang batu yang bekerja di tempat itu untuk membangun gedung-gedung baru yang tidak lain adalah rumah perjudian bagi orang-orang non-Muslim. Dan ironisnya, mereka semua adalah penghafal Al-Qur’an yang “terpaksa” bekerja untuk menghidupi diri mereka dan keluarga, yang berada di tanah air. Ini lagi-lagi adalah cerita luka yang penulis dengar sendiri dari orang-orang yang bersangkutan. Ternyata, di balik cerita besar tentang sukses pembangunan terjadi drama yang juga tidak kecil, namun amat dirasakan oleh orang-orang kecil.

*****

Terhadap mereka, baik sang staf hotel di Jakarta itu maupun tenaga kerja di Kuala Lumpur, penulis sampaikan bahwa mereka hendaknya melihat permasalahannya dari kaca mata yang lain. Bahwa mereka tetap menjaga moralitas di hadapan “kenyataan” yang demikian pahit, adalah sebuah cerita sukses sendiri. Dari ketegaran hati dan ketahanan serta kemampuan seseorang mengatasi tantangan di hadapan mata, dari sudut inilah harus dipahami firman Allah: “ Tuhan tidak membebani sebuah pribadi kecuali dengan hal-hal yang mampu di tanggungnya “(La yukallifu Allah hu Nafsan Illawus’ ha’a). Karenanya ada benarnya ungkapan, bahwa para sufi yang terbaik adalah mereka yang berdagang di pasar dan bukannya orang yang selalu berdoa di masjid.

Apakah implikasi dari sikap penulis itu? Jelas penulis tidak setuju dengan pendapat, mereka harus berhenti bekerja di “tempat maksiat” seperti yang digambarkan di atas. Dengan hati terluka mereka melihat hal-hal yang mereka tidak setujui terjadi di depan mata. Tetapi yang lebih mengherankan adalah, mereka tetap berpegang teguh pada keyakinan dan moralitas yang mereka miliki. Mereka adalah “ pupuk subur” yang dapat dijadikan panutan untuk meredam ekses-ekses pembangunan. Dengan pengalaman dan ketrampilan yang mereka peroleh dari “kerja paksa” seperti itu, mereka akan dapat mengembangkan kemampuan yang nantinya diperlukan guna melaksanakan manajemen yang bersih dan pekerjaan yang dibenarkan oleh keyakinan agama mereka.

Mungkin sikap penulis ini dianggap aneh oleh mereka yang ingin menjawab dengan “jalan pintas” bagi masalah-masalah yang mereka hadapi. Ini wajar saja, sebagai sikap beragam dan tanggapan yang berbeda terhadap ancaman yang datang dari luar. Kalau semua bersikap sama dan mangajukan jawaban yang tidak mengalami variasi sangat besar, tentulah “kepiawaian” agama Islam tidak tampak. Sikap yang seragam adalah ciri khas sebuah masyarakat otoriter seperti yang terlihat pada Orde Baru. Keseragaman pandangan (uniformitas) adalah sikap yang tidak dibenarkan oleh agama Islam. Allah berfirman ” Dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa untuk saling mengenal “ (Wa ja’alnakum syu’ban wa iqba-illa li Taarafu) ayat tersebut jelas menunjuk kepada pluralitas pandangan dan bukannya penyeragaman (uniformitas) tadi.


Pandangan penulis yang disampaikan kepada sang staf hotel -yang notobene anak Kyai- dan para tukang batu di Kuala Lumpur itu adalah sesuatu yang normal saja. Namun justru dianggap ”tidak normal” oleh sementara kalangan dalam Islam yang bersikap kaku dalam hal ini. Memang mungkin “kemurnian” ajaran dapat dipertahankan, tetapi kemampuan bersaing menjadi hilang. Padahal Kedua hal itu sangat di perlukan dalam kehidupan. Tanpa adanya “ketegaran” moral seperti yang dimiliki “orang-orang terluka” itu, kita akan hanyut ke dalam materialisme yang akan menghancurkan hidup kita. Tetapi tanpa ada upaya menumbuhkan kekuatan bersaing, kaum muslimin tidak akan mampu mendirikan masyarakat yang kuat bagi diri mereka sendiri. Kalau itu terjadi, bagaimana Islam dapat bersaing?

Kunjungan dan Harapan

Sore itu saya dan istri mengunjungi Prof BJ Habibie. Walaupun sangat terlambat tiba di rumahnya di bilangan Kuningan, ternyata ia masih menunggu. Segera setelah kami datang, langsung dibawa masuk ke ruang tamu. Di ruang tamu telah ada anak saya dan para asisten Habibie yaitu Ahmad Watik Pratiknya dan seorang lagi yang saya lupa namanya. Habibie bercerita kepada kami, tentang pertemuan kami di Jeddah dan kami berdua tawaf mengelilingi Kabah bersama-sama. Ketika itu, saya masih menjadi presiden dan ia bercerita pula bahwa saya mengatakan kepadanya, sudah purnawirawan ingin berkantor seruangan dengan Habibie, paling tidak ruangan kantor kami harus bersebelahan. Dan ia katakan, bahwa ini akan terjadi jika saya membantunya membangun gedung Iftikhar sebuah organisasi Islam internasional, yang memusatkan kegiatan pada pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan modern.

Saya mengiyakan ceritanya itu, karena mengenang pertemuan di Mekkah dan seterusnya. Hanya saja, saya tidak menyangka ia masih ingat akan pembentukan organisasi itu. Sudah tentu saya mendukung gagasan tersebut, dan menyetujui pula sebidang tanah di sebuah jalan penting di Jakarta. Ketika Prof Habibie menunjuk tempat dan jalanan yang dimaksud, saya hanya menyatakan itu masih dimiliki oleh sebuah departemen. Ia mengatakan hendaknya saya membantu memperoleh tanah tersebut, yang akan dijaminkan bagi pinjaman untuk membuat gedung itu dalam waktu tidak lama lagi setinggi sekitar tigapuluh lantai. Saya menyanggupi untuk membantunya dalam hal ini, karena memahami pentingnya arti Iftikhar bagi masa depan Islam. Iftikhar memang harus menjadi kebanggaan para aktivitas gerakan-gerakan Islam, karena ia mengkhususkan diri pada perkembangan ilmu pengetahuan modern, teknologi dan pengembangan sumber daya manusia.

Dalam bahasa Arab, Iftikhar berarti kebanggaan (pride). Kalau memang dapat diwujudkan impian itu, tentu sesuatu yang dapat dibanggakan. Dan seorang putra Indonesia bernama BJ Habibie adalah pendirinya, bersama-sama dengan Anwar Ibrahim dari Malaysia (waktu itu masih wakil Perdana Menteri dan Menteri di negeri Jiran itu), Abdullah Gul (sekarang Menteri Luar Negeri Turky) dan sejumlah tokoh muslim dari beberapa negeri berindustri maju. Kemajuan Iftikhar berarti kemajuan kaum muslimin secara umum, karena itu wajib saya mendukung dan membantunya dengan kekuatan yang ada. BJ Habibie sebagai presiden organisasi itu tentunya memiliki kemampuan cukup besar dalam bidang yang diminatinya ini. Terserah pendapat para pengamat akan halnya orang ini, tetapi gagasannya yang satu ini benar-benar merebut hati saya, sehingga muncul hasrat membantunya mewujudkan gagasan unik tersebut.

Tetapi bukan hanya itu saja yang menarik dalam pertemuan kami sore itu. Ia juga bercerita bagaimana ia diundang berceramah mengenai Islam dan terorisme di muka sejumlah Menteri Pertahanan negara-negara Eropa. Pada dasarnya pandangan beliau tentang terorisme hampir sama dengan pandangan saya. Yaitu mereka yang melakukan tindakan-tindakan seperti itu, tidak dapat dianggap mewakili seluruh umat Islam. Mereka berbuat demikian, karena berbagai alasan. Ada yang kecewa kepada susunan pemerintahan yang dianggap tidak Islami. Maksudnya yaitu pemerintahan yang tidak berdasarkan moralitas atau akhlak yang tidak didasarkan pada ajaran-ajaran agama tersebut. Dan biasanya hanya menggunakan acuan kebendaan atau materialitas, anak kandung budaya sekulerisme dari barat. Nah karena kecewa melihat itu, kekuatan kaum muslimin yang tidak memadai dibanding tantangan yang dihadapi, kemarahan mereka akhirnya membuahkan terorisme.

Dalam sebuah pertemuan lain di Washington DC, di hadapan sejumlah pejabat AS, Habibie ditanya mengenai Pancasila. Diceritakannya kepada saya bagaimana ia menjawab pertanyaan itu. Menurut Habibie sebuah pemerintahan yang benar-benar haruslah bersandar kepada etika atau akhlak. Dalam hal ini dapat digunakan moralitas lain atau akhlak Islam. Namun kalau digunakan akhlak Islam, banyak yang takut Indonesia menjadi negara Islam. Karena itu, harus digunakan etika umum yang secara resmi tidak menyebutkan sumber-sumber nya. Nah, ajaran Islam menghendaki bahwa Tauhid atau pandangan monotheistic ditampung dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah sebabnya ia dijadikan sila pertama, yang mendasari seluruh etika yang digunakan dalam bernegara. Dengan telah ditampungnya nilai monotheisme dalam sila pertama itu, dengan sendirinya tidak diperlukan lagi negara Islam.

Tetapi sendi-sendi ajaran Islam, seperti juga halnya ajaran-ajaran lain, baik yang berbentuk agama ataupun berbentuk lain, telah masuk ke dalam Pancasila. Sila-sila lain, adalah rincian dari prinsip etika yang ada dalam sila pertama itu. Karena pendapat demikian, maka para peserta pertemuan di Washington itu lalu berpendapat bahwa apa yang ditempuh oleh kaum muslimin di Indonesia membuat Islam di Indonesia moderat bila dibandingkan dengan manifestasi Islam di Timur Tengah. Saya menyatakan, bahwa sebenarnya ada hal lain yang sebaiknya diterangkan juga kepada pihak-pihak lain, bahwa para teroris yang mengaku membela Islam dengan kekerasan itu, adalah mereka yang salah dalam memahami sejarah Islam yang panjang itu. Karenannya, diperlukan pemahaman yang benar tentang agama monotheistic itu.

Islam dapat dipahami dengan dua buah pendekatan, kultural dan institusional. Secara kultural (budaya), Islam harus dipahami sebagai proses yang tidak pernah terhenti dan biasanya lalu mengalami perubahan-perubahan. Menurut penulis selama orang masih berziarah kubur, berhaul (perayaan kematian seseorang), berhalal-bihalal, bersikap tertentu kepada ulama dan sejumlah sikap dan tindakan lain yang sesuai dengan kultur Islam, maka selama itu pula unsur-unsur pendukung itu tetap ada, terlepas dari bentuk dan nama organisatorisnya. Sebaliknya, jika orang hanya menggunakan Islam sebagai institusi atau lembaga seperti Osama bin Laden, maka akan timbul kekhawatiran jangan-jangan Islam akan ditelan oleh kebudayaan barat. Karena itu Islam harus dipertahankan sebagai institusi yang terancam oleh budaya barat, dan proses itu harus dilawan dengan segala cara, termasuk dengan tindak kekerasan, walaupun tindakan itu juga menggunakan hasil-hasil teknologi barat. Inilah yang membawa mereka kepada terorisme.

Entah apa yang saya kemukakan itu disimpan di hati oleh Habibie, saya tidak tahu. Begitu juga ketika saya menyatakan bahwa memahami Islam ternyata akan lebih baik hasilnya jika digunakan juga kajian kawasan area studies, di samping studi klasik yang hanya menyentuh ajaran-ajaran formal dalam Islam saja. Saya menyatakan, minimal Dunia Islam dapat dibagi menjadi enam buah macam kajian saja. Kajian masyarakat Afrika Hitam yang beragama Islam, masyarakat Afrika Utara dan Arab, masyarakat Turki Persia Afgan, masyarakat Asia Selatan (Bangladesh, Nepal, Pakistan, India, Srilanka), masyarakat Asia Tenggara dan masyarakat negara-negara yang secara teknologis dianggap berindustri maju. Keenam kawasan itulah yang saya namakan lahan bagi kajian wilayah masyarakat Islam.

Sementara Habibie mengemukakan pentingnya membagi dunia Islam dalam satu-satuan (units geografis), seperti Islam di Sub-Benua Amerika Utara, Eropa Barat dan sebagainya. Tentu saja, dalam hal ini ia menggunakan matriks organisatorisnya dari Iftikhar. Ini tidak mengapa, karena hal-hal administrative seperti itu tidak mengubah kenyataan seperti dikemukakan di atas. Apa yang dikemukakan Habibie itu, dalam kenyataan adalah unit-unit yang dapat digunakan dibidang lain-lain. Seperti politik, administrasi maupun perdagangan. Yang terpenting, masing-masing unit dapat memberikan kontribusi yang besar bagi kepentingan bersama kaum muslimin. Dan pentingnya kesadaran bahwa perbedaan adalah sesuatu yang diperintahkan Islam seperti yang ada dalam kitab suci, karena yang dilarang adalah perpecahan. Tetapi kesadaran seperti ini memang mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan, bukan?
Arabisasi, Samakah dengan Islamisasi?

BEBERAPA tahun yang lampau, seorang ulama dari Pakistan datang pada penulis di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta. Pada saat itu, Benazir Butho masih menjabat Perdana Menteri Pakistan. Permintaan orang alim itu adalah agar penulis memerintahkan semua warga NU untuk membacakan surah Al-Fatihah bagi keselamatan bangsa Pakistan.

Mengapa? Karena mereka dipimpin Benazir Butho yang berjenis kelamin perempuan. Bukankah Rasulullah SAW telah bersabda "celakalah sebuah kaum jika dipimpin oleh seorang perempuan". Penulis menjawab bahwa hadits tersebut disabdakan pada abad VIII Masehi di jazirah/Peninsula Arabia. Bukankah ini berarti diperlukan sebuah penafsiran baru yang berlaku untuk masa kini?

Pada waktu dan tempat itu, konsep kepemimpinan (za'amah) bersifat perorangan -di mana seorang kepala suku harus melakukan hal-hal berikut: memimpin peperangan melawan suku lain, membagi air melalui irigasi di daerah padang pasir yang demikian panas, memimpin karavan perdagangan dari kawasan satu ke kawasan lain dan mendamaikan segala macam persoalan antar para keluarga yang berbeda-beda kepentingan dalam sebuah suku, yang berarti juga dia harus berfungsi membuat dan sekaligus melaksanakan hukum.

Sekarang keadaannya sudah lain, dengan menjadi pemimpin, baik ia Presiden maupun Perdana Menteri sebuah negara, konsep kepemimpinan kini telah dilembagakan/di-institusionalisasi-kan. Dalam konteks ini, Perdana Menteri Butho tidak boleh mengambil sikap sendiri, melainkan melalui sidang kabinet yang mayoritas para menterinya adalah kaum lelaki. Kabinet juga tidak boleh menyimpang dari Undang-Undang (UU) yang dibuat oleh parlemen yang beranggotakan laki-laki sebagai mayoritas. Untuk mengawal mereka, diangkatlah para Hakim Agung yang membentuk Mahkamah Agung (MA), yang keseluruhan anggotanya juga laki-laki. Karenanya, kepemimpinan di tangan perempuan tidak lagi menjadi masalah, karena konsep kepemimpinan itu sendiri telah dilembagakan/di-institusionalisasi-kan. "Anda memang benar, demikian kata orang alim Pakistan itu, tetapi tolong bacakan surah Al-Fatihah untuk keselamatan bangsa Pakistan".

*****

Kisah di atas, dapat dijadikan contoh betapa Arabisasi telah berkembang menjadi Islamisasi -dengan segala konsekuensinya. Hal ini pula yang membuat banyak aspek dari kehidupan kaum muslimin yang dinyatakan dalam simbolisme Arab. Atau dalam bahasa tersebut, simbolisasi itu bahkan sudah begitu merasuk ke dalam kehidupan bangsa-bangsa muslim, sehingga secara tidak terasa Arabisasi disamakan dengan Islamisasi. Sebagai contoh, nama-nama beberapa fakultas di lingkungan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) juga di-Arabkan; kata syari'ah untuk hukum Islam, adab untuk sastra Arab, ushuludin untuk studi gerakan-gerakan Islam dan tarbiyah untuk pendidikan agama. Bahkan fakultas keputrian dinamakan kulliyyatul bannat. Seolah -olah tidak terasa ke-Islaman-nya kalau tidak menggunakan kata-kata bahasa Arab tersebut.

Kalau di IAIN saja, yang sekarang juga disebut UIN (Universitas Islam Negeri) sudah demikian keadaannya, apa pula nama-nama berbagai pondok pesantren. Kebiasaan masa lampau untuk menunjuk kepada pondok pesantren dengan menggunakan nama sebuah kawasan/tempat, seperti Pondok Pesantren (PP) Lirboyo Kediri, Tebu Ireng Jombang dan Krapyak di Yogyakarta, seolah-olah kurang Islami, kalau tidak menggunakan nama-nama berbahasa Arab. Maka, dipaksakanlah nama PP Al-Munawwir di Yogya -misalnya, sebagai pengganti PP Krapyak.

Demikian juga, sebutan nama untuk hari dalam seminggu. Kalau dahulu orang awam menggunakan kata "minggu" untuk hari ke tujuh dalam al-manak, sekarang orang tidak puas kalau tidak menggunakan kata Ahad. Padahal kata minggu, sebenarnya berasal dari bahasa Portugis, "jour do-minggo", yang berarti hari Tuhan. Mengapa demikian? Karena pada hari itu orang-orang Portugis -kulit putih pergi ke Gereja. Sedang pada hari itu, kini kaum muslimin banyak mengadakan kegiatan keagamaan, seperti pengajian. Bukankah dengan demikian, justru kaum muslimin menggunakan hari tutup kantor tersebut sebagai pusat kegiatan kolektif dalam ber-Tuhan

*****
Dengan melihat kenyataan di atas, penulis mempunyai persangkaan bahwa kaum muslimin di Indonesia, sekarang justru sedang asyik bagaimana mewujudkan berbagai keagamaan mereka dengan bentuk dan nama yang diambilkan dari Bahasa Arab. Formalisasi ini, tidak lain adalah kompensasi dari rasa kurang percaya diri terhadap kemampuan bertahan dalam menghadapi "kemajuan Barat". Seolah-olah Islam akan kalah dari peradaban Barat yang sekuler, jika tidak digunakan kata-kata berbahasa Arab. Tentu saja rasa kurang percaya diri ini juga dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan kaum muslimin sekarang di seluruh dunia. Mereka yang tidak pernah mempelajari agama dan ajaran Islam dengan mendalam, langsung kembali ke akar Islam, yaitu kitab suci Alquran dan Hadits Nabi SAW. Dengan demikian, penafsiran mereka atas kedua sumber tertulis agama Islam itu menjadi super-ficial dan "sangat keras" sekali. Bukankah ini sumber dari terorisme yang menggunakan nama Islam dan yang kita tolak?

Dari "rujukan langsung" pada kedua sumber pertama Islam itu, dikenal dengan sebutan dalil naqli, jadi sikap sempit yang menolak segala macam penafsiran berdasarkan ilmu-ilmu agama (religious subject). Padahal penafsiran baru itu adalah hasil pengalaman dan pemikiran kaum muslimin dari berbagai kawasan (waktu yang sangat panjang). "Pemurnian Islam" (Islamic Puritanism) seperti itu, berarti tudingan salah alamat ke arah tradisi Islam yang sudah berkembang di berbagai kawasan selama berabad-abad, memang ada ekses buruk dari pengalaman dan perkembangan pemikiran itu, tetapi jawabnya bukanlah berbentuk puritanisme yang berlebihan, melainkan dalam kesadaran membersihkan Islam dari ekses-ekses yang keliru tersebut.

Agama lainpun pernah atau sedang mengalami hal ini, seperti yang dijalani kaum Katholik dewasa ini. Reformasi yang dibawakan oleh berbagai macam kaum Protestan, bagi kaum Katholik dijawab dengan berbagai langkah kontra-reformasi semenjak seabad lebih yang lalu. Pengalaman mereka itu yang kemudian berujung pada teologia pembebasan (liberation theology), merupakan perkembangan menarik yang harus dikaji oleh kaum muslimin. Ini adalah pelaksanaan dari adagium "perbedaan pendapat dari para pemimpin, adalah rahmat bagi umat" (ikhtilaf al-a'immah rahmat al-ummah). Adagium tersebut bermula dari ketentuan kitab suci Alquran: "Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling mengenal" (wa ja'alnaakum syu'uuban wa qabaa'ila li ta'arafuu). Makanya, cara terbaik bagi kedua belah pihak, baik kaum tradisionalis maupun kaum pembaharu dalam Islam, adalah mengakui pluralitas yang dibawakan oleh agama Islam. Indah, bukan?

Bersumber dari Pendangkalan

Pada sebuah diskusi beberapa tahun yang lalu di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, penulis dikritik oleh Dr Yusril Ihza Mahendra, sekarang Menteri Kehakiman dan HAM. Kata Bang Yusril, ia kecewa dengan penulis karena bergaul terlalu erat dengan umat Yahudi dan Nasrani. Bukankah kitab suci Al-Quran menyatakan salah satu tanda-tanda seorang muslim yang baik adalah “bersikap keras terhadap orang kafir dan bersikap lembut terhadap sesama muslim (Asyidda a’la al-kuffar ruhama baynahum).

Menanggapi hal itu, penulis menjawab, sebaiknya bang Yusril mempelajari kembali ajaran Islam, dengan mondok di pesantren. Karena ia tidak tahu, bahwa yang dimaksud Al Quran dalam kata “kafir” atau “kuffar” adalah orang-orang musyrik (polytheis) yang ada di Mekkah, waktu itu. Kalau hal ini saja, bang Yusril tidak tahu, bagaimana ia berani mengemukakan hal itu?

Berdasar kenyataan itu, penulis tidak begitu heran dengan terjadinya kekerasan di Maluku, Poso, Aceh dan Sampit. Penulis mengutuk peledakan bom di Legian, Bali, karena itu berarti pembunuhan atas begitu banyak orang yang tidak bersalah. Tetapi kutukan itu, tidak berarti penulis heran atas terjadinya peledakan bom itu. Karena dalam pandangan penulis, hal itu terjadi akibat para pelakunya tidak mengerti, bahwa Islam tidak membenarkan tindak kekerasan dan diskrimanatif. Satu-satunya pembenaran bagi tindakan kekerasan secara individual adalah, jika kaum muslimin di usir dari rumahnya (Idza ukhrizu min diyarihim). Karena itulah, ketika harus meninggalkan Istana Merdeka, penulis meminta Luhut Panjaitan mencari surat perintah dari Lurah sekalipun.

Sebabnya, karena ada perintah lain dalam Sunny tradisional yang diyakini penulis, untuk taat pada pemerintah. Berdasar ayat kitab suci itu, “taatlah kalian pada Allah, pada utusan-Nya dan pada pemegang kekuasaan pemerintahan” (Athi u’ allaha wa al-rasullah wa uli al-amri minkum). Pak Luhut Panjaitan mencarikan surat perintah itu dari seorang Lurah, dan penulis sebagai warga negara dan rakyat biasa –karena lengser dari jabatan kepresidenan— mengikuti perintah tersebut. Soal bersedianya penulis lengser dari jabatan kepresidenan, karena penulis mengaggap tidak layak jabatan setinggi apapun di negeri ini, dipertahankan dengan pertumpahan darah. Padahal waktu itu, sudah ada pernyataan yang ditandatangani 300.000 orang akan mendukung penulis mempertahankan jabatan kepresidenan, kalau perlu mengorbankan nyawa.

*****
Tindak kekerasan –walaupun atas nama agama— dinyatakan oleh siapapun dan dimana pun sebagai terorisme. Beberapa tahun sebelum menjabat sebagai Presiden, penulis merencanakan berkunjung ke Israel untuk menghadiri pertemuan para pendiri Pusat Perdamaian Shimon Peres di Tel Aviv. Sebelum keberangakatan ke Tel Aviv, penulis menerima rancangan pernyataan bersama, yang oleh Rabi Kepala Sevaflim Eli Bakshiloron. Dalam rancangan pernyataan itu, terdapat pernyataan penuli dan Rabai yang menyatakan “berdasarkan keyakinan agama Islam dan Yahudi, menolak penggunaan kekerasan yang berakibat pada matinya orang-orang yang tidak berdosa”. Pengurus Besar NU mengutus Wakil Rais Aam, KH Sahal Mahfudh untuk memeriksa rancangan pernyataan itu. KH Sahal Mahfudh meminta kata-kata “tidak berdosa” diubah menjadi “tidak bersalah”.

Mengapa demikian? Karena, yang menentukan seseorang itu berdosa atau tidak adalah Allah SWT. Sedangkan salah atau tidaknya seseorang oleh hakim atau pengadilan, berarti oleh sesama manusia. Penulis menerima keputusan itu dan perubahan rancangan pernyataan tersebut, juga diterima oleh Rabi Eli Bakshiloron. Ketika tiba di Tel Aviv, penulis bersama Rabi Eli langsung menuju kantornya di Yerusalem. Di tempat itu , penulis dan Rabi Eli menandatangani pernyataan bersama itu di depan publik dan media massa. Ini menunjukkan bahwa, Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia –bahkan menurut statistik sebagai organisasi Islam terbesar di dunia- menolak terorisme dan pengunaan kekerasan atas nama agama sekalipun. Karena itu, kita mengutuk peledakan bom di Bali dan menganggapnya sebagai “tindak kejahatan/ kriminal” yang harus dihukum.
Keseluruhan penolakan penulis itu, bersumber pada pendapat agama yang tercantum dalam literatur keagamaan (Al qutub al-muqarrahrah), jadi bukannya isapan jempol penulis sendiri. Mengapa demikian? Karena Islam adalah agama hukum, karenanya setipa sengketa seharusnya diselesaikan berdasarkan hukum. Dan karena hukum agama dirumuskan sesuai dengan tujuannya (Al amru bima qa shidiha), maka kita patut menyimak pendapat mantan ketua Mahkamah Agung Mesir, Al Asmawi. Menurutnya, “hukum barat” dapat dijadikan “hukum Islam”, jika memiliki tujuan yang sama. Hukum pidana Islam (zarimah), menurut Al Asmawi, sama dengan hukum pidana barat, karena sama berfungsi dan bertujuan menahan (defences) dan menghukum (punishment).

*****

Namun, mengapa terorisme dan tindak kekerasan yang lain masih juga dijalankan oleh sebagian kaum muslimin? Kalau memang benar kaum muslimin melakukan tindakan-tindakan tersebut , jelas bahwa mereka telah melanggar ajaran-ajaran agama. Pertanyaan di atas dapat dijawab dengan sekian banyak jawaban, antara lain rendahnya mutu sumber daya manusia pada para pelaku tindak kekerasan dan terorisme itu sendiri. Mutu yang rendah di kalangan kaum muslimin, dapat dikembalikan kepada aktifitas imperalisme dan kolonialisme yang begitu lama menguasai kaum muslimin. Ditambah lagi dengan, orientasi pemimpin kaum muslimin yang sekarang menjadi elite politik nasional. Mereka selalu mementingkan kelompoknya sendiri dan membangun masyarakat Islam yang elitis.

Apa pun bentuk dan sebab tindak kekerasan dan terorisme, seluruhnya bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah, termasuk oleh para pelaku kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan Islam. Penyebab lain dijalankannya tindakan-tindakan yang telah dilarang Islam itu -sesuai dengan ajaran kitab suci Al Quran dan ajaran nabi Muhammad SAW- adalah proses pendangkalan agama Islam yang berlangsung sangat hebat. Walau kita lihat, adanya praktek imperialisme dan kolonialisme atau kapitalisme klasik di jaman ini terhadap kaum muslim, tidak berarti proses sejarah itu memperkenankan kaum muslim untuk bertindak kekerasan dan terorisme.

Harus kita pahami, bahwa dalam sejarah Islam yang panjang, kaum muslim tidak menggunakan kekerasan dan terorisme untuk memaksakan kehendak. Lalu, bagaimanakah cara kaum muslimin dapat mengadakan koreksi terhadap langkah-langkah yang salah, atau mencari “responsi yang benar” atas tantangan berat yang dihadapi? Jawabannya, yaitu dengan mengadakan penafsiran baru (re-interpretasi). Melalui mekanisme inilah, kaum muslimin melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat sebelumnya, maupun memberikan responsi yang memadai atas tantangan yang dihadapi. Jelas, dengan demikian Islam adalah “agama kedamaian” bukannya “agama kekerasan”. Proses sejarah Islam di kawasan ini, adalah bukti nyata akan hal itu, walaupun di kawasan-kawasan lain, masih juga terjadi tindak kekerasan –atas nama Islam— yang tidak diharapkan. Mudah dalam prinsip, namun sulit dalam pelaksanaan bukan?

Fatwa sebagai Tindakan Politik?

Sekitar tahun 1950 hingga 60-an NU (Nahdlatul Ulama) dituduh oleh sekelompok kalangan telah mengeluarkan Fatwa (pendapat agama) yang mendukung mantan Presiden Soekarno. Mungkin yang dimaksudkan adalah salah sebuah keputusan Munas (Musyawarah Nasional)Ulama tahun 1957 di Medan, yang menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia adalah “Pejabat Tertinggi Negara Untuk Sementara, Dengan Kekuasaan Efektif” (Waliyul Amri Dlaruri Bissaukah), demikian penulisannya oleh Munas tersebut).

Sebenarnya “gelar” ini memang dimotori oleh NU, alasanya harus ada kejelasan tentang kedudukan dan status Presiden Republik Indonesia dari sudut pandang hukum agama (fiqh). Tanpa kejelasan tersebut maka akan timbul kebalauan, siapakah yang memberikan wewenang kepada Menteri Agama untuk mengangkat Penghulu guna menetapkan jatuhnya hari-hari besar Islam dalam kehidupan kita tiap tahun.Tanpa Penghulu, tidak akan jelas siapa yang harus menentukan mereka yang memperoleh harta warisan dan mereka yang kawin, cerai dan rujuk. Pejabat di bidang itu tidak akan bisa di tunjuk oleh Menteri Agama, kalau status dan kedudukan Presiden RI tidak jelas dari sudut pandangan agama. Dengan demikian, wewenang mengikat dari sudut pandang agama Islam untuk Menteri Agama tidak akan ada. Hal itu tidak boleh terjadi, sedangkan dengan status dan wewenang yang jelas, peranan pejabat-pejabat Departemen Agama masih sering “disaingi” oleh keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh berbagai organisasi Islam, lihat saja PP Muhammadiyah dan PBNU tentang jatuhnya kedua Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha tiap tahun.Dengan membuat keputusan tersebut, kedua organisasi besar itu seolah-olah memerintahkan rakyat mengikuti keputusan mereka, bukan keputusan pemerintah.

Berbeda dengan negeri-negeri di kawasan Timur Tengah, yang menghargai keputusan Mufhti (pembuat fatwa) dan tidak ada yang membantah atau mengabaikannya. Secara politis, memang ini adalah bukti toleransi pemerintah terhadap organisasi-organisasi Islam di negeri ini. Tetapi ini berarti kebalauan yang segera harus diatasi. Selama hal itu tidak dilakukan, maka kebalauan akan terus-menerus terjadi dalam penentuan hal-hal tersebut. Umpamanya, ditetapkan penunjukan seorang Muhfti pun tidak akan dapat memecahkan masalah ini, karena pada kenyataannya keputusan-keputusan itu apakah harus berdasarkan pendirian para pembaharu atau pendirian para pemuka tradisional, yang harus dipakai sebagai “keputusan Islam“?

Dengan perumpaan kasus penentuan hari besar tadi, jelaslah tidak ada satu pihak pun yang “bersalah” dalam hal ini, walaupun gencar sekali pada waktu itu dinyatakan NU sebagai mencampur-adukan masalah-masalah agama dan politik. Keinginan NU untuk memperjelas status dan kedudukan Presiden RI dalam pandangan Islam, dianggap sebagai dukungan terhadap Bung Karno. Hal itu dianggap sebagai “sikap politik”, padahal adalah “pandangan Islam”. Ini adalah salah satu bentuk reaksi terhadap “kegagalan” pembaharuan (reformasi) Islam -terutama diwakili NU- di negeri ini, di hadapan ketundukan masyarakat terhadap “kaum tradisionalis”. Seperti kekuatan “kaum pembaharu” dalam birokrasi pemerintah yang masih cukup besar tetapi mereka tidak dapat “menundukkan kaum tradisionalis”. Selama tidak ada ketegasan dari “kaum pembaharu” Islam, maka keadaan tidak menentu akan tetap ada. Ini bukanlah kesalahan satu pihak saja melainkan kesalahan semua pihak.Secara faktual, dalam tahun-tahun belakangan ini dengan semakin terdidiknya para birokrat Departemen Agama, semakin jelas bagi mereka bahwa tidak ada yang dapat melakukan “monopoli kebenaran” diantara umat Islam. Demikian pula jika menggunakan ukuran obyektif dari pendidikan yang memungkinkan munculnya orang-orang NU dalam deretan birokrat itu. Memang masih terasa adanya kebijakan sepihak dalam bentuk penempatan para birokrat Departemen Agama di tempat-tempat “strategis” dari kalangan pihak yang menguasai pemerintahan, namun hal itu tidak menghalangi tumbuhnya “obyektifitas” oleh lembaga tersebut dalam pengambilan keputusan atas nama agama.

Sebuah fakta lain yang tidak dapat diremehkan adalah adanya kebutuhan untuk mengambil keputusan bersama atas nama Islam diantara berbagai pemerintahan sejumlah negara di ASEAN. Ini mengharuskan pihak Departemen Agama menggunakan “ukuran obyektif” yang mengikat semua pihak. Dalam hal ini kedudukan sumber-sumber tertulis (Dalil Naqliyah) menjadi sangat penting, sehingga ia menjadi sumber satu-satunya dalam pengambilan keputusan. Peranan “argumentasi rasional” (Dalil ‘Aqliyah) dibuat semakin tidak lazim, sehingga dengan sendirinya ruang untuk bertikai menjadi hampir-hampir tidak ada. Proses ini sebenarnya juga membahayakan, karena salah satu kekuatan Islam sebenarnya terletak pada “penafsiran baru” (re-interpertasi) atas sumber-sumber tertulis (Dalil Naqli) tersebut. Penulis belum dapat mengusulkan pemecahan bagi “proses berpikir keagamaan” ini, yang dalam jangka panjang akan mempersempit pandangan Islam sendiri.

Jelas dari uraian di atas, bahwa apa yang disangkakan sebagai “keputusan politik” yang dilakukan NU di masa lampau, sebenarnya adalah “keputusan agama” yang harus dimengerti sebab-sebabnya. Kalau tidak, tentu akan dianggap sebagai keputusan politik yang akan menciptakan kecurigaan besar atas keputusan-keputusan itu sendiri. Tentu saja hal ini harus dikoreksi untuk mencapai “kebenaran relatif” dari keputusan-keputusan NU itu. Mengingat NU adalah organisasi agama Islam terbesar di dunia, tentu saja “obyektifitas” pandangan kita tentang keputusan-keputusan itu sangat diperlukan. Tentu saja, “keperluan” seperti itu tidak hanya dilakukan secara Ilmiah dan historis belaka, tapi juga berdasarkan “tuntutan keadilan” masyarakat.Tiga buah keputusan penting dari NU segera terlintas dalam benak penulis. Pertama, keputusan Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, dalam bentuk jawaban atas pertanyaan; “Wajibkah seorang muslim mempertahankan kawasan Kerajaan Hindia-Belanda -demikian Indonesia waktu itu dikenal- yang diperintah oleh orang-orang Non-Muslim (Belanda)? Dari Bughyat Al-Mustarsydin diambil argumentasi, bahwa kawasan Kerajaan Hindia Belanda yang dahulunya adalah kerajaan Islam, harus dipertahankan oleh kaum Muslimin. Di samping itu, Muktamar tersebut mengemukakan sebuah argumentasi baru -yang merupakan reinterpertasi-, bahwa keharusan mempertahankannya juga karena kaum Muslimin di kawasan tersebut bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam, dengan tidak dicampuri oleh pemerintahan yang ada.

Argumentasi tadi, oleh penulis digunakan dalam dua hal. Pertama, menyanggah pendapat Kapolda Jawa Tengah yang ingin membubarkan Pesantren Al-Mukmin di Ngrungki, Solo. Penulis menentang hal itu, karena selayaknya pemerintah tidak campur tangan dalam menentukan nasib sebuah lembaga agama, biarlah masyarakat yang melakukan hal itu bukannya pemerintah. Kedua, penulis beranggapan bahwa Konghucu adalah sebuah agama karena masyarakat Tionghoa sendirilah (terutama pemeluknya) yang berhak menentukan, apakah Konghucu sebuah agama atau bukan. Bukannya pemerintah, yang seharusnya hanya berfungsi melayani saja dan tidak boleh menentukan faham tersebut sebuah agama atau bukan. Ini jelas berbeda dari pandangan para birokrat pemerintah, terutama dari Orde Baru. Pendapat ini cukup sederhana untuk diterapkan bukan?

Islam dan Gagasan Keluarga Berencana

Dalam tahun 1975, tujuh orang ahli hukum agama/fiqh diundang oleh Departemen Agama (Depag) untuk membahas gagasan masalah Keluarga Berencana (KB). Di antara tujuh orang itu terdapat KH M Bisri Syansuri, Rais ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang tinggal di Jombang. Beliau terkenal sebagai pembela hukum agama/fiqh, di samping melakukan penerapan literal atas sumber-sumber tekstual (al-adillah al-naqliyyah) dalam kehidupan. Pertemuan ke tujuh orang itu berakhir dengan pernyataan bahwa mereka akan menerima gagasan KB tersebut. Tentu saja, dapat dilontarkan tuduhan bahwa mereka pasti mengalah terhadap tekanan politik dari pemerintah waktu itu, namun integritas pribadi ke-tujuh orang itu tidak memungkinkan adanya hal tersebut.

Penulis teringat kepada kisah sang adik, dr. Umar Wahid, yang pernah mengantarkan beliau ke suatu pesta perkawinan anak tokoh seorang Kejawen, Sudjono Humardani. Setelah keduanya mengucapkan selamat kepada kedua mempelai, KH.M Bisri Syansuri lalu duduk di sebuah kursi dan dr. Umar Wahid menuju ke meja makan untuk menikmati hidangan sambil makan dengan berdiri. Belum sempat ia mencicipi makanan, bahunya disentuh beliau, sambil menyatakan; “Rasulullah tidak pernah makan sambil berdiri, karena itu, mari kita pulang”.

Mengapakah terjadi penerimaan dari mereka seperti itu? Karena memang, Menteri Agama Dr. A Mukti Ali tidak menyodorkan gagasan pembatasan kelahiran, yang akan membatasi hak reproduksi manusia yang dipegang oleh Allah Swt. Sebaliknya, ia mengemukakan gagasan KB yang sama sekali tidak mengurangi hak-hak reproduksi semua makhluk di tangan Allah swt. Dengan kata lain, manusia merencanakan jumlah keluarga tetapi tidak menghentikan secara permanen hak Allah Swt atas proses itu. Karena itu, mereka dapat menerima gagasan KB, tapi menolak gagasan pembatasan anak.

Hal ini akan menjadi lebih jelas, jika dilihat dalam kasus operasi medis Cincin-Yung. Dalam hal ini dilakukan operasi kecil dengan mengeluarkan tuba (tube) di luar rahim/kandungan seorang perempuan, yang menjadi tempat lalu/lewat sperma lelaki untuk bertemu dengan indung telur sang Ibu, dalam rahimnya. Tuba itu dilipat dan diberi Cincin-Yung, agar sperma tidak lagi dapat lewat, guna mencegah proses pembuahan indung telur. Jika diinginkan, Cincin-Yung ini dapat saja dilepas dan sperma dapat lewat lagi melalui tuba tersebut, hingga terjadi pembuahan lagi. Ini berarti, hak reproduksi manusia secara permanen tetap berada di tangan Allah saw. Dan ini berarti pula, manusia dapat mengkotak-katik, namun Allah swt jua-lah yang berwenang melakukan reproduksi pada si makhluk yang bernama manusia itu.

Dengan demikian, menjadi nyata bahwa pokok persoalannya terletak pada siapa yang memiliki hak reproduksi; Allah swt-kah atau manusia sendiri? Dalam hal ini, manusia mungkin saja mengatur dan merencanakan jumlah anggota keluarga yang dikehendaki, namun pada akhirnya nanti Allah swt-lah yang tetap menentukan. Umpama saja, manusia merencanakan dua kali kelahiran, karena yang diinginkan hanya dua anak saja. Ini adalah suatu perencanaan, namun –sekali lagi, Allah swt dapat menentukan lain. Bahwa, dengan kedua kelahiran itu, ternyata menjadi jalan bagi kelahiran anak kembar, hingga orang tua tersebut tidak hanya memiliki dua anak saja, melainkan empat orang anak.

Di sini, terdapat perbedaan prinsipil antara sebuah perencanaan dan pembatasan jumlah anak. Dalam hal pembatasan, sekali diambil tindakan, maka hak reproduksi yang ada di tangan Allah Swt dihilangkan dan tidak dimungkinkan pemulihannya kembali. Sedangkan dalam perencanaan jumlah anak, hak itu secara teoritis tetap berada di tangan Allah Swt. Karena, manusia hanya dapat menghentikannya untuk sementara saja –ketika alat-alat seperti kondom, obat-obatan maupun Cincin-Yung dilepaskan. Artinya, penggunaannya tidak mematikan kemungkinan pembuahan lagi jika alat-alat tersebut tidak dipakai.

Dalam hal ini terbukti: gagasan perencanaan keluarga berjalan bersama dengan perkembangan masyarakat. Kebutuhan pendidikan yang semakin rumit dan berbiaya besar, membuat orang tidak lagi menginginkan jumlah anggota keluarga yang besar. Hadits-hadits Nabi saw yang berbunyi: “berkawinlah kalian dan berbanyak-banyak anak agar dapat Ku-banggakan kalian di hadapan bangsa-bangsa lain di hari kiamat kelak” (tanakahu taktsuru fa inni mubaahin biku al-yauma al-qiyamah) dipertanyakan, bahwa yang dimaksudkan itu jumlah fisis (bilangan) ataukah jumlah kwalitatif atas hadits-hadits di atas. Sedangkan yang dimaksudkan dengan jumlah kwalitatif di sini adalah jumlah orang yang berpendidkan tinggi atau menguasai tehnologi dengan mendalam. Kalau jawabnya jumlah kwalitatif, dengan sendirinya yang dipentingkan adalah pendidikan, yang menghendaki justru jumlah anggota keluarga yang tidak terlalu besar.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa, ada pertalian erat antara keadaan terdidik dan perencanaan keluarga, seperti halnya pertalian faktor-faktor modern dengan besarnya jumlah anggota keluarga. Dengan demikian, hubungan timbal balik antara keterdidikan dan jumlah anggota keluarga menjadi sesuatu yang simbiotik. Dalam arti, semakin tinggi keadaan keterdidikan sang anak, semakin sedikit jumlah anggota keluarganya –dan demikianlah pendapat umum yang tidak pernah diungkapkan oleh pers.

Dengan begitu menjadi jelaslah, bahwa perencanaan keluarga haruslah memiliki wawasan nasional dan tidak hanya mengangkat dirinya saja. Ini berarti, bagaimanapun juga pertimbangan-pertimbangan non-hukum agama/fiqh juga turut membentuk pandangan keluarga muslim tentang keluarga berencana tersebut. Sesungguhnya, kedua faktor hukum agama /fiqh dan non-fiqh harus dijaga keseimbangannya antara kedua belah pihak. Karena itu, kajian mendalam atas jalan pikiran dan perasaan kontemporer dari kaum muslimin, juga harus diperhitungkan. Cukup rasional, bukan?

Islam dan Hak Asasi Manusia

Tulisan-tulisan yang menyatakan Islam melindungi Hak Asasi Manusia (HAM), seringkali menyebutkan Islam sebagai agama yang paling demokratis. Pernyataan itu, seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Justru di negeri-negeri muslim-lah terjadi banyak pelanggaran yang berat atas HAM, termasuk di Indonesia.

Kalau kita tidak mau mengakui hal ini, berarti kita melihat Islam sebagai acuan ideal, yang sama sekali tidak tersangkut dengan HAM. Dalam keadaaan demikian, klaim Islam sebagai agama pelindung HAM hanya akan terasa kosong saja, tidak memiliki pelaksanaan dalam praktek kehidupan.

Di sisi lain, kita melihat para penulis seperti Al-Maudoodi, seorang pemimpin muslim yang lahir di India dan kemudian pindah ke Pakistan di abad yang lalu, justru tidak mempedulikan hubungan antara Islam dan HAM. Baginya, bahkan hubungan antara Islam dan Nasionalisme justru tidak ada. Nasionalisme adalah idiologi buatan manusia, sedangkan Islam adalah buatan Allah swt.

Bagaimana mungkin mempersamakan sesuatu buatan Allah swt dengan sesuatu buatan manusia? Lantas, bagaimanakah harus diterangkan hubungan antara perkembangan Islam dalam kehidupan yang dipenuhi oleh tindakan-tindakan manusia? Al-Maudoodi tidak mau menjawab pertanyaan ini, sebuah sikap yang pada akhirnya menghilangkan arti acuan yang digunakannya.

Bukankah Liga Muslim (Muslim League) yang didukungnya adalah buatan Ali Jinnah dan Lia Quat Ali Khan, yang kemudaian melahirkan Pakistan, yang tiga kali berganti nama antara Republik Pakistan dan Republik Islam Pakistan? Bukankah ini berarti campur tangan manusia yang sangat besar dalam pertumbuhan negeri muslim itu? Dan, bagaimanakah harus dibaca tindakan Pervez Musharraf yang pada bulan lalu telah memenangkan kepresidenan negeri itu melalui plebisit, bukannya melalui pemilu? Dan bagaimana dengan tuduhan-tuduhannya, bahwa para pemuka partai politik, termasuk Liga Muslim, sebagai orang-orang yang korup dan hanya mementingkan diri sendiri?

*****

Banyak negeri-negeri muslim yang telah melakukan ratifikasi atas deklarasi universal HAM, yang dikumandangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam tahun 1948. Dalam deklarasi itu, tercantum dengan jelas bahwa berpindah agama adalah Hak Asasi Manusia.

Padahal Fiqh /Hukum Islam sampai hari ini masih berpegang pada ketentuan, bahwa berpindah dari agama Islam ke agama lain adalah tindak kemurtadan (apostasy), yang patut dihukum mati. Kalau ini diberlakukan di negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah dihukum mati.

Dapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan yang tidak akan ada jawabnya, karena hal itu merupakan kenyataan yang demikian besar mengguncang perasaan kita.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa dihadapan kita hanya ada satu dari dua kemungkinan: menolak deklarasi universal HAM itu sebagai sesuatu yang asing bagi Islam, seperti yang dilakukan Al-Maudoodi terhadap Nasionalisme atau justru merubah diktum fiqh/Hukum Islam itu sendiri.

Sikap menolak, hanya akan berakibat seperti sikap burung onta yang menolak kenyataan dan menghindarinya, dengan bersandar kepada lamunan indah tentang keselamatan diri sendiri. Sikap seperti ini, hanya akan berarti menyakiti diri sendiri dalam jangka panjang.

Dengan demikian, mau tak mau kita harus menemukan mekanisme untuk merubah ketentuan fiqh/Hukum Islam, yang secara formal sudah berabad-abad diikuti. Tetapi disinilah terletak kebesaran Islam, yang secara sederhana menetapkan keimanan kita pada Allah dan utusan-Nya sebagai sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Beserta beberapa Hukum Muhkamat lainnya, kita harus memiliki keyakinan akan kebenaran hal itu. Apabila yang demikian itu juga dapat diubah-ubah maka hilanglah ke-islaman kita.

Sebuah contoh menarik dalam hal ini adalah tentang budak sahaya (slaves), yang justru banyak menghiasi Al-Qur’an dan Al-Hadits (tradisi kenabian).

Sekarang, perbudakan dan sejenisnya tidak lagi diakui oleh bangsa muslim manapun, hingga secara tidak terasa ia hilang dari perbendaharaan pemikiran kaum muslimin. Praktek-praktek perbudakan, kalaupun masih ada, tidak diakui lagi oleh negeri muslim manapun dan paling hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok muslimin yang kecil tanpa perlindungan negara. Dalam jangka tidak lama lagi, praktek semacam itu akan hilang dengan sendirinya.

Karena itu kita harus mampu melihat ufuk kejauhan, dalam hal ini mereka yang mengalami konversi ke agama lain. Ini merupakan keharusan, kalau kita ingin Islam dapat menjawab tantangan masa kini dan masa depan.

Firman Kitab Suci Al-qur’an, "tiadalah yang tetap dalam kehidupan kecuali wajah Tuhan" (walam yabqa illa wajha Allah) menunjukkan hal itu dengan jelas. Ketentuan Ushul Fiqh (Islamic Legal Theory) "hukum agama sepenuhnya tergantung kepada sebab-sebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri" (yaduuru al-hukmu ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman) jelas menunjuk kepada kemungkinan perubahan diktum seperti ini.

Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) telah melakukan antisipasi terhadap hal ini. Dalam salah sebuah muktamarnya, NU telah mengambil keputusan "perumusan hukum haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digunakan".

Ambil contoh masalah Keluarga Berencana (KB), yang dahulu dilarang karena pembatasan kelahiran, yang menjadi hak reproduksi di tangan Allah semata. Sekarang, karena pertimbangan biaya pendidikan yang semakin tinggi membolehkan perencanaan keluarga, dengan tetap membiarkan hak reproduksi di tangan Allah. Kalau diinginkan memperoleh anak lagi, tinggal membuang kondom atau menjauhi obat-obat yang dapat mengatur kelahiran.

Jelaslah dengan demikian, bahwa Islam patut menjadi agama di setiap masa dan tempat (yasluhu kulla zamanin wa makan). Indah bukan, untuk mengetahui hal ini semasa kita masih hidup?

Islam: Idiologis Ataukah Kultural?

Pada waktu penulis berkunjung ke Pusat Persatuan Muslim Tiongkok, penulis menyatakan persamaan antara kaum muslimin Tiongkok dan Indonesia. Kedua negeri diatur oleh Undang-Undang Dasar (UUD) yang mengingkari Islam sebagai dasar negara. Dalam struktur seperti itu, Islam tidak berfungsi sebagai hukum negara, melainkan sebagai jalan hidup masyarakat. Dalam hal ini, tentulah masyarakat yang memilih berkeyakinan Islam di Indonesia, dan masyarakat yang menentukan untuk tidak menampakkan afiliasi agamanya seperti di Tiongkok. Persamaan mendasar ini, harus dipakai selaku tali pengikat antara kedua negara itu dalam hubungan formal dan non-formal antara mereka.

Namun, antara kedua negeri itu terdapat perbedaan yang sangat besar, yang sering luput dari perhatian kita. mengingat perbedaan tersebut, maka pentinglah arti sejarah bagi pembentukan pandangan umum sebuah negeri. Hal ini sering diabaikan orang, hingga secara tidak terasa kita terjerumus kepada sikap menyamakan hal yang tidak sama. Karenanya, dalam tulisan ini dicoba untuk menyoroti hal itu, agar kita tidak terus-menerus melakukan kesalahan. Dengan cara inilah kita melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan masa lampau yang diperbuat, dalam menyongsong masa depan.

Salah satu hal yang membedakan kedua negeri adalah sejarah masing-masing yang saling berbeda. Karena sejak semula Tiongkok berpenduduk sangat banyak, pemerintahan dapat berkembang lebih seragam. Keseragaman itu dilambangkan oleh sistem administrasi yang sama dan birokrasi yanag tunggal di semua propinsi, mengikuti apa yang ditetapkan di ibu Kota Nanking maupun Beijing. Kedudukan Han Lim sebagai wadah tunggal pendidikan tenaga administrasi pemerintahan, telah ada semenjak ratusan tahun yang lalu. Sementara APDN (Akademi Pegawai Dalam Negeri) dan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) di negeri kita baru berlangsung puluhan tahun lamanya, itupun dengan hasil yang sudah sangat menggembirakan. Di Jepang (Universitas Tokyo) dan Perancis (Ecole Superieur) yang berusia sedikit lebih tua juga mencatat hal yang sama.

Perbedaan sangat mencolok antara kedua bangsa dapat ditelusuri pada sejarah masing-masing, satu sebagai negara daratan (land-based country) di Tiongkok dan satu lagi sebagai negara maritim, sudah tentu dengan lebih banyak keseragaman di China dan keragaman kerajaan-kerajaan di negeri kita. Kalau daratan Tiongkok terkenal dengan sistem agraris yang berintikan sawah dan padang rumput (lengkap dengan tradisi penggembalaannya), maka perairan negeri kita justru menunjukkan ciri perbedaan sangat besar dalam cara hidup masing-masing daerah. Ada yang bergantung pada hasil hutan yang sangat besar, seperti di Jambi dan Pulau Kalimantan, ada pula yang lebih mengandalkan perdagangan laut antar pulau, seperti terdapat dalam kebudayaan Bugis dan Madura. Hanya di Jawa, Sultan Agung Hanyakra Kusuma dapat menegakkan cara hidup agraris lengkap dengan sistem kepegawaiannya.

Namun, pengenalan anthropologis antara keduanya, dengan yang satu menggunakan konsep agraris dan yang kedua dengan konsep maritim, harus diimbangi dengan analisa sosiologis, yang juga akan menunjukkan perbedaan dan persamaan mereka. Umpamannya saja, kita tunjukkan pada kuatnya akar kekuasaan pihak yang memerintah (the ruling class). Sebenarnya, nama Mandarin untuk bahasa nasional Tiongkok saat ini, diambil dari nama kelompok birokrat pemerintahan yang menguasai negeri itu semenjak lebih dari 2000 tahun lampau. Kelompok birokrat ini, sanggup bertahan bahkan menghadapi tantangan kaum pendekar bersenjata yang menguasai pedalaman Tiongkok selama ratusan tahun terakhir ini. Sekarangpun, masih belum diketahui bagaimana mereka hilang dalam pemerintahan dan sistem politik yang ada, walaupun kekuasaan komite Militer di lingkungan Partai Komunis Tiongkok masih sangat besar. Apakah klas bersenjata itu diserap ke dalam komite militer tersebut dengan bawahan-bawahannya, juga tidak kita ketahui.

Di negeri kita pun kekuasaan kaum priyayi dengan nilai-nilainya sendiri terasa sangat besar di masa lampau. Hanya saja, dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, kaum agamawan muslim (dikenal dengan nama kaum santri) tampak menyelusup ke dalam jantung kekuatan kaum priyayi tersebut. Jalan yang dilalui ada dua model, yaitu jalur kekuasaan politik dan jalur pengembangan profesi. Kalau ini kita lupakan, sama saja artinya dengan membiarkan diri hidup di masa lampau tanpa mengenal hidup masa kini dan masa mendatang.

Jelaslah, tampak betapa besar perbedaan antara Tiongkok dan Indonesia, serta betapa besar pula persamaan antara keduanya. Kalau kita proyeksikan bayangan masa depan, sistem-sistem politik yang dianut kedua negeri itu –di masa kini dan masa depan, akan bertambah nyata persamaan maupun perbedaan antara kedua bangsa tersebut. Bagaimana masing-masing menjawab tantangan yang dihadapi, yang datang dari proses modernisasi yang penuh dengan persaingan, adalah pengenalan akan dua buah proses yang sama-sama menarik untuk dikaji. Di sinilah, terasa betapa pentingnya diskripsi historis yang dikemukakan oleh kedua sistem politik yang digunakan kedua bangsa itu (ethnografi, yang sangat dikuasai oleh administrasi pemerintahan kolonial Hindia-Belanda).

Mengingat hal itulah perlu kita sadari betapa pentingnya catatan-catatan historis yang dikenal oleh kedua belah pihak. Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan sejarah kedua bangsa. Bahwa perbedaan-perbedaan dari orkestra-kamar (chamber orchestra) yang memang tidak sama sejarahnya itu adalah hal yang wajar, merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah. Tetapi, membandingkan antar keduanya, untuk mencari pelajaran yang dapat kita gunakan untuk mengenal cara hidup kita sendiri, adalah sebuah hal yang wajar pula.
Karenanya, segala macam tulisan dan rekaman suara yang memberikan gambaran akan perjalanan sejarah kedua bangsa itu, jelas akan sangat menarik hati para pengamat. Akankah kita menjadi sebuah bangsa yang hanya menopang dominasi masa lampau, terlepas sama sekali dari konteks historis yang sedang berjalan? Ataukah justru kita menjadi bangsa yang tidak dapat menatap masa depan sendiri, semuanya terpulang kepada kita sendiri. Di sinilah perlunya kita mengenal kedua bangsa secara lebih mendalam, baik sebagai bangsa yang sama-sama bukan negara agama, walaupun mempunyai perkembangan sejarah (historical developments) yang berbeda?

Islam: Pokok dan Rincian

Para penganjur “negara Islam” selalu menggunakan dua buah firman Allah SWT dalam kitab suci Al-Qur’an sebagai landasan bagi pemikiran mereka. Di satu pihak, mereka selalu mengemukakan bahwa Kitab Suci tersebut menyatakan; “Masukilah Islam/kedamaian secara keseluruhan” (udkhulu fi al-silmi kaffah), yang jelas-jelas harus ditafsirkan dengan mengambil Islam tidaklah boleh sepotong-potong belaka. Padahal, Islam juga menolak atas sikap mengkhususkan sekelompok manusia dari kelompok-kelompok lain. Ini adalah prinsip yang mulia, namun sedikit sekali yang diperhatikan kaum muslimin. Dalam hal ini, mereka dapat dinyatakan “terkena” firman Tuhan dalam kitab suci tersebut; “Tiap kelompok sangat bangga dengan apa yang dimilikinya” (Kullu hizbin bima ladaihim farihun) dengan mementingkan “milik sendiri” itu, mereka melupakan firman lain: “Dan tiadalah Ku-utus Engkau Ya Muhammad, kecuali sebagai pembawa persaudaraan bagi umat manusia” (Wa ma arsalnaaka illa rahmatan li al-‘alamien).

Firman Tuhan berikut juga sering dijadikan landasan bagi gagasan negara Islam; “Hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian, Ku-tuntaskan bagi kalian pemberian nikmat-Ku dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai agama” (Al yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu alaikum nikmati wa radhitu lakum al-Islama diinan). Firman Tuhan itu diandaikan menunjuk Islam sebagai sebuah sistem hidup yang sempurna, dan itu hanya dapat terwujud dalam sebuah sistem kenegaraan yang “berbau agama”. Diandaikan, tanpa negara Islam tidak dapat diwujudkan dengan sempurna, sebuah andaian yang justru harus kita bicarakan secara tuntas dalam tulisan ini. Kalau hal ini tidak kita lakukan, maka dasar bagi sebuah negara Islam akan goyah selamanya dan gagasan bernegara seperti itu akan kehilangan kredibilitas.

Dengan demikian, permasalahannya menjadi jelas bagi kita semua. Benarkah asumsi dasar, bahwa Islam adalah sebuah sistem hidup yang sempurna, dan harus diwujudkan dalam sebuah bentuk kenegaraan tertentu? Jika jawabannya positif, kita harus mendirikan negara Islam sebagai “perintah agama” yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Pengingkaran terhadap perintah semacam itu, berarti pembangkangan yang harus dihukum dan ditindak. Sedangkan kelalaian untuk melaksanakannya merupakan pengingkaran terhadap kewajiban agama. Ini adalah konskwensi logis yang harus ditanggung oleh kaum muslimin, di manapun mereka berada. Ini termasuk dalam perintah “Dan berjihadlah kalian dengan harta benda kalian dan diri/jiwa kalian” (wa jaahidu di amwalikum wa anfusikum)

*****

Tentu saja, kedua firman “sistemik” di atas, tidak berdiri sendiri, sebagaimana dipahami oleh penganut paham negara Islam tersebut, yang tentunya berhak melakukan hal itu sepenuhya. Terserah pada publik untuk menilai kelengkapan kedua pendekatan tersebut, mengartikan “perintah sistemik” Tuhan itu secara berdiri sendiri atau justru sebaliknya. Namun, jika pendekatan pertama lebih mengutamakan kesendirian kedua “perintah sistemik” itu yang digunakan, timbul pertanyaan; di manakah terletak kesempurnaan Islam? Karenanya, kedua “perintah sistemik” tersebut dalam pandangan penulis artikel ini haruslah dipahami bersama-sama “perintah sistemik” lain. Hanya dengan cara demikianlah dapat dicapai pengertian yang benar-benar rasional dan utuh. Cara yang pertama, jelas hanya “mau menangnya sendiri”, berdasarkan emosi dan sama sekali tidak rasional.

“Perintah-perintah sistemik” lain yang dapat digunakan dalam hal ini berjumlah sangat banyak. Penulis hanya menggunakan dua buah saja dalam tulisan ini. Perintah “Tidak ada paksaan dalam beragama, karena telah jelas mana yang lurus dan mana yang palsu” (Laa ikraha fi ad-dien, qad tabayyana al-rusydu min al-ghayyi). Perintah dalam bentuk pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan lain dalam kitab suci “Bagi kalian agama kalian dan bagi-ku agama-ku (Lakum dinukum wa liyadien). Jelas , kitab suci tersebut tidak menyatakan lembaga tertentu yang harus “menjamin” kelebihan agama itu atas agama lain, melainkan “diserahkan” kepada akal sehat manusia untuk “mencapai kebenaran”.

Dengan demikian, “kesempurnaan sistem” Islam sebagai agama, tidak didasarkan pada kekuatan/wewenang lembaga tertentu, melainkan pada kemampuan akal manusia untuk melakukan perbandingan sendiri-sendiri. Dalam pandangan penulis, kesadaran pluralistik seperti inilah yang harus kita pelihara dan bukannya lembaga tertentu seperti negara yang harus kita sandari. Bukankah ini sesuai dengan pernyataan Tuhan –sebagaimana yang disebutkan di atas, tentang ke-utusan Nabi kita Muhammad SAW, untuk membawakan persaudaraan di antara sesama manusia? Pengertian berangkai yang penulis ajukan ini, tentulah terkait sepenuhnya dengan pernyataan Tuhan: “Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, tiada diterima (amal)-nya dan ia akan termasuk di akhirat “kelak” sebagai orang yang merugi (Man yabtaghi ghaira al-Islama diinan fa lan yuqbala minhu wa hua fi al-akhirati min al-khasirien). Pernyataan ini menunjukkan hak tiap orang untuk merasa benar, walaupun Islam meyakini kebesarannya sendiri.
Apa bedanya dengan pernyataan Konsili Vatikan II (1962-1965) di bawah Paus Yohannes XXIII; “Kami para Uskup yang berkumpul di Vatikan menghormati hak tiap orang untuk mencapai kebenaran abadi, walaupun tetap meyakini hal itu ada dalam Gereja Katholik Roma”? Gereja tersebut merupakan lembaga yang sekarang tidak berfungsi penuh sebagai negara, walaupun secara protokoler memang demikian. Ini adalah proses sejarah dari masa lampau, yang menunjukkan perubahan signifikan dalam peranan yang diambil Vatikan –dari sebuah negara penuh, menjadi sebuah negara-protokoler. Tentu saja, ini adalah sebuah proses sejarah yang sangat menarik, karena dalam hal ini ada Bapak Suci Sri Paus, yang oleh kaum Katholik dianggap tidak “terbantahkan” (infallable) sebagai pemberi tafsir dan fatwa unggul, yang tak dikenal oleh Islam.

*****

Dengan melihat kepada “kenyataan” tersebut, jelaslah bahwa ketiadaan negara tidak berarti kaum muslimin “harus” hidup secara individual (perorangan), melainkan mereka harus membuat komunitas masing-masing, dan merumuskan “kewajiban-kewajiban kolektif agama” yang mereka anut. Dengan kata lain, ber Amar Ma’ruf Nahi Mungkar (memerintahkan kewajiban agama dan mencegah larangannya) dilakukan secara persuasif oleh tiap warga masyarakat beragama Islam, yang merasa memiliki kemampuan. Dengan demikian, terjadi keseimbangan antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban perorangan (individual) dan secara bersama (kolektif). Dalam kehidupan masyarakat Islam “kenyataan” seperti inilah yang harus terus-menerus kita sadari dalam sebuah kehidupan bersama. Dengan cara inilah, kita paham ucapan di zaman Nabi Muhammad SAW “Tiada agama tanpa kolektifitas, Tiada kolektifitas tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan tanpa pemimpin” (La diina illa bi jama’atin wa la jama’ata illa bi imamatin wa la imamata illa bi imamin).

Di sinilah, letak kegunaan membagi perspektif pernyataan dan perintah agama, yang disampaikan kepada kita melalui kitab suci Al-qur’an maupun ucapan Nabi Muhammad SAW, dalam artian perorangan dan bermasyarakat (individual ataupun kolektif). Perkembangan sejarah telah menunjukkan tidak ada sistem tunggal maupun menetap dalam Islam. Umpamanya saja, tidak ada cara untuk menetapkan pergantian pemimpin. Dari Abu Bakar ke Umar bin Khattab ke Ustman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib ke para Raja setelah mereka kemudian para Presiden hingga para Amir di masa kini, semuanya menjadi saksi bagi kelangkaaan adanya suksesi dalam Islam, (harus ada suksesi sebagai tuntutan sejarah, tanpa disebut caranya). Begitu juga, ukuran “masyarakat Islam” tidak pernah sama. Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar memimpin Madinah sebagai komunitas, Umar memimpin imperium Islam dari Parsia di timur hingga Giblartar di barat, negara-bangsa (nation-state) di bawah imperialisme hingga kini dan negara kota (city-state) di kawasan-kawasan teluk saat ini, semuanya memiliki legitimitas yang sama dalam pandangan Islam. Karenanya, tanpa kesamaan dalam kedua hal di atas, yang juga diikuti oleh keragaman yang sangat tinggi dalam kalangan masyarakat-masyarakat Islam, membuat sebuah konsep negara Islam tidak dapat dibangun. Pilihannya, kita harus membangun masyarakat-masyarakat Islam –yang beraneka ragam. Ini berarti, perlunya “kajian kawasan” (area studies) –sebagaimana pernah penulis kemukakan kepada Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (United Nation University) di Tokyo dalam tahun-tahun 1980-an, di bawah Rektor Dr. Sudjatmoko. Mudah mengatakannya, sulit membuat pusat-pusat kajian seperti itu, bukan?
Islam: Pribadi dan Masyarakat

Sejarah perkembangan Islam dimanapun juga, senantiasa memperlihatkan jalinan antara dua hal, yaitu sistem individu (perorangan) dan sisi kemasyarakatan (sosial). Karenanya kedua hal itu harus dimengerti benar, kalau kita menginginkan pengetahuan akan agama tersebut. Dalam arti, benar-benar di dasarkan pada pengertian yang mendalam. Kalau hal ini telah dilaksanakan, maka akan kita lihat beberapa kemungkinan untuk pengembangan lebih jauh. Tentu saja ada yang menyanggah pendirian tersebut, dengan dalih Islam telah sempurna, dan tidak memmerlukan pengembangan. Dalam hal ini pendapat tersebut perlu diuji kebenarannya, agar kita memperoleh gambaran lengkap tentang apa yang seyogyanya dilakukan, dan selayaknya tidak dilakukan. Dengan kata lain, sebenarnya kita saat ini memerlukan skala prioritas yang lebih jelas, dalam menatap masa depan.
Karena kedua faktor dari agama langit ini (individu dan sosial) memiliki kelebihan dan kekurangan, maka kita merasakan perlu adanya keseimbangan antara keduanya. Yang menambah galaunya persoalan, adalah kenyataan bahwa kitab suci Al-Qur’an tidak pernah secara jelas membagi kedua masalah itu dalam kandungannya. Seluruhnya hanya bersandar pada kemampuan kita memahami kitab suci tersebut, mana yang merupakan perintah (Khitah) untuk perorangan, dan mana dan mana yang untuk masyarakat. Seluruhnya bergantung atas penafsiran kita. Umpamanya saja firman Tuhan yang menyatakan: “Dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal” (Wa ja’alnakum syu’uban wa qaba-ila lita’arafu). Jelas di situ, yang dimaksudkan umat manusia secara keseluruhan, dan yang dikehendaki adalah kenyataan yang tidak tertulis: persaudaraan antara sesama manusia.

Dalam kitab suci Al-Qur’an terdapat sebuah ayat yang sangat penting yang berbunyi: : Kalian kawinilah apa yang baik bagi kalian, daripada dua, tiga atau empat orang wanita (tetapi) jika kalian takut tidak dapat (bersikap) adil, maka hanya seorang (istri ) saja “(Fa ankhu matahaba lakum matsna wa tsulatsa wa ruba’a wa in khistuman la tadilu fa wahitha).” Jelas ini merupakan perkenan, bukan perintah. Karena itu, ia bersifat perorangan karena tidak dapat dilakukan generalisasi, itupun harus dirangkaikan dengan kenyataan, siapakah yang menentukan poligami itu adil? Kalau pihak lelaki, beberapa orangpun akan tetap adil, sedangkan bagi perempuan, masalah keadilan itu bersangkut paut denagn rasa keadilan secara normal, tentu lebih banyak kaum perempuan yang merasakan poligami itu tidak adil.
*****

Dengan kemampuan memilih dan membedakan mana yang bersifat individual, dari hal yang bersifat kemasyarakatan (kolektif) jelas peranan menggunakan akal dan pikiran kita menjadi sangat besar. Dalam khasanah pemikiran ini, salah satu adagium “harta warisan “ yang dipakai NU sebagai patokan adalah: “memelihara apa yang baik dari masa lampau, dan menggunakan hanya yang lebih baik yang ada dalam hal yang baru (Al-muhafa Dzatu’ala Al- Jadid Al- Aslah).
Terkadang, sebuah kewajiban agama memiliki dua sisi itu, yaitu sisi individual dan sisi kolektif sekaligus, yang menjadikan kita sering lupa bahwa perintah agama dapat saja memiliki kedua dimensi tersebut. Umpamanya saja, kewajiban berpuasa, yang semula diperintahkan sebagai sesuatu yang bersifat individual, perintah Allah SWT: “Di perintahkan kepada kalian untuk berpuasa, seperti juga diwajibkan atas kaum-kaum sebelum kalian” (kutiba’alaikum al-shiyam kama kutiba’ala ladzina min Qablikum). Perintah yang sepintas lalu bersifat individual ini pada akhirnya berlaku bagi seluruh kaum muslimin, sebagai kewajiban semua orang Islam. Dengan demikian, kita harus mampu mencari yang kolektif dari sumber-sumber tertulis (dalil Al-Naq’li).

Dalam perintah Nabi yang tertulis (dalil Al-Naqli) saja, yang membawakan sebuah kecenderungan baru, terkadang kita sulit untuk membedakan atau menetapkan, mana yang berwatak kolektif dan mana yang individual. Sebagai contoh, dapat dikemukakan di sini ucapan Nabi Muhammad SAW: “mencari ilmu (berlangsung) dari buaian hingga ke liang kubur” (Thalabu Al-Ilmi min Al-mahdi Illa Al-lahdi). Memang hal itu adalah kerja terpuji, tetapi tidak jelas dalam ungkapan ini, apakah kewajiban yang timbul itu berlaku untuk perorangan seorang muslim ataukah bagi sekelompok kolektif kaum muslimin? Jika diartikan sebagai kewajiban kolektif, bagaimanakah halnya dengan mereka yang tidak bersekolah? Benarkah mereka termasuk orang-orang bersalah? Kejelasannya tidak dapat dicapai dengan ungkapan harafiyah, karena itu tidak akan tercapai kesepakatan kaum muslimin tentang “kewajiban” bersekolah, adakah tanpa hal itu orang tidak berhak mendapat pendidikan?
*****

Dalam keadaan tiadanya kesepakatan tentang suatu hal, maka seseorang dapat saja mengikuti sebuah pendapat lain, sama seperti juga halnya orang menggangap tidak adanya sebuah keharusan tentang hal itu. Apakah sesuatu itu merupakan kewajiban universal ataukah kewajiban fakultatif? Dapat dikemukakan sebagai contoh mengenai hal ini, yaitu ucapan Nabi Muhammad SAW “mencintai tanah air adalah sebagian (pertanda) dari keimanan “(Hubbu Al-Wathan min Al-Iman). Tidak jelas adakah “kewajiban” mencintai tanah air menjadi tanda keimanan seseorang? Adakah ini berarti kewajiban memasuki milisi untuk mempertahankan tanah air, atau bukan? Untuk itu, diperlukan penjelasan dari penggunaan akal (dalil Aqli), sehingga sumber tertulis (dalil Naqli) maupun keterangan rasional dapat digunakan bersamaan.

Terkadang, sebuah ucapan yang secara harafiyah tidak menunjukan suatu arti khusus, dapat saja secara rasional diberi arti sendiri oleh kaum muslimin contohnya, adalah ucapan Nabi Muhammad SAW: “Tuntutlah ilmu pengetahuan hingga ke (tanah) Tiongkok ” (Uthlub Al-Ilma walau fi al-shin). Ungkapan tersebut hanya menunjuk kepada perintah menuntut pengetahuan hingga ke tanah Cina, namun para ahli hadist memberikan arti lain lagi. Menurut mereka, ungkapan Nabi Muhammad SAW tersebut jelas-jelas menunjukan, yang dimaksudkan adalah kewajiban mempelajari Ilmu pengetahuan non-agama juga. Bukankah di tanah Tiongkok waktu itu belum ada masyarakat muslim sama sekali? Bukankah ini secara teoritik, pemberian kedudukan yang sama di mata agama. Antara pengetahuan agama (Islamic studies) dan pengetahuan non-agama memiliki kedudukan yang sama. Perumusan sikap yang dirumuskan para ahli agama Islam tersebut adalah sebagai kewajiban menuntut disiplin non-agama, memberikan kedudukan yang sama diantara keduanya.

Di lihat dari berbagai pengertian, seperti diterangkan di atas, jelaslah bahwa ribuan sumber tertulis (dalil Naqli), baik berupa ayat-ayat Kitab Suci Al Qur’an maupun ucapan Nabi Muhammad SAW, akan memiliki peluang-peluang yang sama bagi pendapat-pendapat yang saling berbeda, antara universalitas sebuah pandangan atau partikularitasnya di antara kaum muslimin sendiri. Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa perbedaan pendapat justru sangat dihargai oleh Islam, karena yang tidak diperbolehkan bukanya perbedaan pandangan, melainkan pertentangan perpecahan. Kitab suci kita menyatakan: “Berpeganglah kalian kepada tali Allah secara menyeluruh, dan janganlah terpecah-belah/saling bertentangan “(Wa tashimu bi habli Allah Jami’an wala tafarraqu). Ini menunjukan lebih jelas, bahwa perbedaan pendapat itu penting, tetapi pertentangan dan keterpecahbelahan adalah sebuah malapetaka. Dengan demikian, nampak bahwa perbedaan, yang menjadi inti sikap dan pandangan perorangan harus dibedakan dari pertentangan dan keterpecah-belahan, sebagai upaya kolektif dari sebuah totalitas masyarakat. Mudah untuk mengikuti ayat kitab suci tersebut, bukan?

Islam, Agama Populer atau Elitis?

PADA tahun 1950-an dan 1960-an, di Mesir terjadi perdebatan sengit tentang bahasa dan sastra Arab, antara para eksponen modernisasi dan eksponen tradisionalisasi. Dr Thoha Husein, salah seorang tunanetra yang pernah menjabat menteri pendidikan dan pengajaran serta pelopor modernisasi, menganggap bahasa dan sastra Arab harus mengalami modernisasi, jika diinginkan ia dapat menjadi wahana bagi perubahan-perubahan sosial di zaman modern ini. Ia menganggap bahasa dan sastra Arab yang digunakan secara klise oleh sajak-sajak puja (al-madh) seperti bahasa yang digunakan dalam dziba'iyyah dan al-barzanji sebagai dekadensi bahasa yang justru akan memperkuat tradisionalisme dan menentang pembaruan. Dari pendapat ini dan dari tangan Dr Thoha Husein, lahir para pembaru sastra dan bahasa Arab yang kita kenal kini.

Nama-nama terkenal seperti Syauqi Dhaif dan Suhair Al-Qalamawi muncul sebagai bintang-bintang gemerlap dalam perbincangan mengenai pembaruan bahasa dan sastra Arab. Sejak masa itu, muncul mazhab baru bahasa Arab, yang dirasakan oleh mereka sebagai pendorong dinamika dan perubahan sosial. Bahasa dan sastra Arab dari masa lampau, yang lebih berbau agama dikesampingkan oleh kebangkitan kembali bahasa dan sastra Arab masa pra-Islam ('asr al-jabiliyah).

Dalam pandangan ini, produk-produk dekaden harus dikesampingkan, guna memberi jalan kepada proses modernisasi bahasa dan sastra Arab. Ini merupakan reaksi terhadap faham serba agama yang merajai Timur Tengah sebelum itu, sejalan dengan tumbuhnya nasionalisme Arab (al-qawmiyyah al-arabiyyah) yang kala itu menjadi pikiran dominan di kalangan para pemikir Arab. Dengan demikian, tradisionalisme yang dibawakan agama, dianggap sebagai penghalang munculnya kecenderungan baru itu. Karena sifatnya yang intelektual, pandangan ini tidak langsung diikuti rakyat kebanyakan, hanya menjadi pemikiran elitis kaum cendekiawan di negeri-negeri Arab selama 25 tahun.

DI negeri kita juga berkembang kemunculan kelompok nasionalis, namun tidak dengan sikap memandang rendah tradisionalisme yang dibawakan agama. Namun, ada persamaan antara pandangan elitis antitradisionalisme bahasa dan sastra Arab di kalangan bangsa-bangsa Arab, dan elitisme kaum cendekiawan yang tidak menyentuh pikiran-pikiran rakyat awam di negeri itu. Dengan demikian, agama dengan tradisionalismenya tidak dipersalahkan jika menghambat kemajuan. Mungkin ini disebabkan kekuatan politik organisasi tradisional agama, seperti NU. Tradisionalisme agama yang dibawakan justru menyatu dengan kaum nasionalis, karena keduanya harus berhadapan dengan modernisme non-ideologis yang datang dari Barat, dalam berbagai bentuk. Yang terpenting di antaranya adalah pragmatisme yang dibawakan faham teknokrasi, yang di permukaan berarti penyerahan diri total kepada sistem nilai yang dimiliki orang-orang Barat.

Modernisasi dianggap sebagai pengikisan tradisionalisme agama dan rasa kebangsaan kaum nasionalis. Tidak heran, jika yang muncul di permukaan adalah manifestasi tradisionalisme agama itu sendiri. Digabung dengan semangat nasionalisme yang mengagungkan kejayaan masa lampau, kedua kecenderungan itu menampilkan tradisionalismenya sendiri: anti-Barat, antipenuhnya rasionalisme dan penghormatan berlebihan kepada masa lampau. Bila hal ini diingat benar, dengan sendirinya kita melihat kedangkalan pendekatan tradisional itu, dan mengembalikan pertimbangan-pertimbangan rasio ke tempatnya semula.

Manifestasi budaya dari munculnya kembali tradisionalisme agama itu, seperti terlihat dalam belantika musik kita dewasa ini. Musik Arab tradisional dengan enam belas birama (bahr, pluralnya bubur) seperti ada dalam sajak-sajak Arab tradisional yang hampir seluruhnya didominasi sajak-sajak keagamaan, muncul sebagai "wakil agama" dalam belantika musik kita dewasa ini. Pembaruan bahasa dan sastra nasional, yang dirintis Sutan Takdir Ali Syahbana tidak sampai menyentuh akar tradisionalisme agama itu dan sebagai akibatnya kita melihat sebuah penampilan yang lucu: bahasa dan sastra nasional yang diperbarui dan berwatak kontemporer dan-pada saat yang sama, menampilkan tradisionalisme agama.

DENGAN memperhatikan kenyataan itu, kita sampai pada sebuah pertanyaan fundamental: haruskah kehidupan beragama kita semata-semata berwatak tradisional dan adakah penggunaan rasio dalam menyegarkan kembali tradisionalisme agama itu dianggap sebagai "bahasa"? Pertanyaan ini patut dipikirkan jawabannya secara mendalam, karena percampuran antara semangat kebangsaan kaum nasionalis dan tradisionalisme agama hanya membawa hasil positif di bidang politik belaka, bukan di bidang budaya dan bahasa. Tradisionalisme agama tidak menyukai ideologi-agama dalam kehidupan bernegara, seperti terbukti dari penolakan atas Piagam Jakarta.

Kehidupan beragama kita, yang dengan sendirinya membawakan aspek kebudayaan dalam kebudayaan kita, bagaimanapun juga harus berwatak rasional. Apa yang dikemukakan AA Navis dalam cerpen Robohnya Surau Kami adalah rasionalitas kehidupan beragama yang kita perlukan, bukannya sesuatu yang harus ditakuti. Ini tidak berarti memandang rendah tradisionalisme agama, karena elemen-elemen positif dan rasional dari tradisionalisme itu sendiri harus kita teruskan. Tetapi, unsur-unsur irasional yang akan menghambat pem-fungsi-an tradisionalisme itu sendiri harus diganti dengan nilai-nilai rasional yang akan menjamin kelangsungan tradisionalisme agama itu sendiri. Sama halnya dengan kontrareformasi yang dijalani gereja Katolik Roma, yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup tradisionalisme agamanya. Penggunaan gamelan di satu sisi-misalnya, dan musik hardrock serta rap di sisi lain, sama-sama rasionalnya dalam penyampaian pesan-pesan gerejawi melalui misa dan sebagainya.

Dengan demikian, revitalisasi tradisionalisme agama amat diperlukan, dalam bentuk memasukkan unsur-unsur rasional ke dalamnya, hingga tradisionalisme agama itu sendiri dapat dirasakan sebagai kebutuhan baik di kalangan elitis yang diwakili para cendekiawan, maupun rakyat jelata yang mengembangkan tradisionalisme agama populis. Di sinilah terletak tantangan yang dihadapi Islam di negeri kita, dengan penduduk Muslimnya yang berjumlah lebih dari 170 juta jiwa. Masalahnya kini, bagaimana mengembangkan modernisme agama dan tradisionalisme agama yang serba rasional, dan menghindarkan agar keduanya tidak bertabrakan secara praktis. Dapatkah kaum Muslimin di negeri ini mencapai hal itu?

Islam, Gerakan ataukah Kultur ?

KETIKA menghadapi Hari Waisak 2546 pada 26 Mei 2002 penulis mendapat undangan dari KASI (Konferensi Agung Sangha Indonesia) untuk hadir dalam acara tersebut. Penulis menjawab akan hadir. Dan, rombongan KASI berlalu dengan hati lega.

Setelah berjalan beberapa waktu penulis mendengar bahwa Megawati Soekarnoputri sebagai personifikasi kepala negara dan pemerintah akan datang pada acara yang sama di Candi Borobudur, pada waktu yang besamaan pula. Di saat itulah ada orang yang bertanya pada penulis, akan datangkah ke acara KASI di Balai Sidang Senayan Jakarta?

Ketika penulis menjawab ya, segera disusul dengan pertanyaan berikut, hadirkah Anda dalam acara KASI itu yang berbeda dari pemerintah? Penulis menjawab, akan hadir.

Apakah alasannya? Karena penulis yakin, KASI mewakili para biksu dan agamawan lain dalam agama Buddha di negeri kita. Sedangkan Walubi (Wahana Luhur Buddha Indonesia) adalah organisasi yang dikendalikan bukan oleh agamawan. Dengan kata lain, Walubi adalah organisasi milik orang awam (laymen). Prinsip inilah yang penulis pakai sejak awal dalam bersikap pada sebuah organisasi agama.

Pada Hari Raya Waisak itu, sebelum berangkat ke Balai Sidang, penulis mendengar bahwa Megawati Soekarnoputri ternyata tidak hadir di Candi Borobudur untuk keperluan tersebut. Namun, pemerintah diwakili Menteri Agama. Dengan demikian jelas, pemerintah mengakui Walubi sebagai perwakilan umat Buddha di negeri kita. Sedangkan di Balai Sidang hadir Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuawea, yang justru tidak membidangi masalah tersebut. Dengan ungkapan lain, pemerintah justru mengutamakan Walubi sebagai perwakilan umat Buddha dan bukannya KASI.

Nah, di samping penulis, juga hadir Kardinal Dharmaatmadja, Haksu Tyoe Tyai In dan seseorang yang mewakili Majelis Ulama Indonesia (MUI). Untunglah, Akbar Tandjung datang mewakili DPR dan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie yang bertindak selaku penasihat panitia. Namun, kesan bahwa pemerintah lebih mengutamakan Walubi dan bukannya KASI sebagai perwakilan umat Buddha di Indonesia tidak dapat dihindari lagi.

Sikap tidak jelas dari pemerintah itu pada dasarnya sangat menguntungkan KASI. Dengan ungkapan lain, di hadapan kekuasaan pemerintah yang tidak begitu melindunginya, ternyata KASI justru ditunjang dua pihak yang penting, pihak agamawan Buddha sendiri dan para pemuka agama-agama lain yang menghargainya. Bukankah kedua modal itu akan memungkinkan KASI dapat bergerak lebih maju?

Kaum muslim

Kejadian di atas menjadi lebih menarik lagi bagi kaum muslim di negeri kita. Yaitu, membandingkannya dengan keadaan intern. Kalau dalam agama-agama lain seorang agamawan diangkat organisasi tertinggi dari agama tersebut, yang biasanya didominasi para agamawan, justru dalam Islam hal itu tidak ada. Bukankah justru Rasulullah saw sendiri yang bersabda, "Tidak ada kependetaan dalam Islam" (laa rahbaniyyata fi al-Islam)?

Karenanya, pantaslah kalau dalam Islam tidak ada agamawan yang diangkat oleh sebuah pihak yang dinilai sebagai lembaga tertinggi agama tersebut.
Ini berarti, tidak ada pihak yang memiliki otoritas dalam pengangkatan ulama, terserah pada pengakuan masyarakat kepada seseorang untuk dianggap sebagai ulama. Karena kekosongan seperti itu, lalu organisasi-organisasi Islam meletakkan para wakil mereka dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI). Apakah yang terjadi? Hilangnya keulamaan dalam arti penguasaan ilmu-ilmu agama dalam kepengurusan MUI itu sendiri. Seseorang yang hafal sepuluh ayat Alquran dan sepuluh hadis Nabi saja sudah bisa masuk dalam jajaran pimpinan harian MUI. Karena ia tidak mewakili umat, melainkan sebuah organisasi.

Karena itu, kedudukan MUI tidak tepat jika dianggap mewakili umat, karena mereka mewakili organisasi. Maka itu, aspek penguasaan ilmu-ilmu agama di lingkungan MUI tidak bersifat baku, padahal merekalah pembawa tradisi kultural dalam kehidupan umat. Dalam keadaan demikian, perwakilan yang ada tidak mencerminkan kelompok agamawan, melainkan hanya menampilkan perwakilan gerakan-gerakan agama, seperti Muhammadiyah, NU, dan sebagainya.

Karena langkanya kohesi intern umat, cara termudah mempersatukan seluruh elemen umat adalah mencari musuh bersama: kekuatan Barat yang dianggap merusak kekuatan Islam.

Maka di sinilah terletak kelemahan dan justru kekuatan yang dimiliki umat Islam. Dikatakan kelemahan, karena tidak ada kohesi dan kejelasan siapa yang diterima dan tidak sebagai agamawan. Dan dikatakan kekuatan, karena langkanya sikap dominan dari para agamawan. Maka, pemikiran-pemikiran orang awam tentang agama diperlakukan sama dengan pemikiran para ahli agama itu sendiri.

Contoh konkret yang dapat dikemukakan di sini, yaitu tentang Ki Panji Kusmin di awal-awal tahun 1970-an. Orang awam ini dapat digambarkan (atau justru sebaliknya) sebagai pihak representatif yang mewakili Islam. Bahwa kemudian tokoh muslim yang memiliki kekuatan tersendiri, walaupun tidak didukung oleh kekuatan pemerintahan, menentang pandangannya yang memandang Tuhan tidak perlu dibela siapa pun dalam kebesarannya, jelas-jelas ditentang oleh pandangan formal untuk membela-Nya, sangat nyata menunjukkan dikotomi tersebut.

Tetapi, bagaimanapun juga harus ada standar minimal yang digunakan untuk menilai apakah seseorang dapat dianggap mewakili Islam atau tidak. Tanpa kriterium ini, hanya situasi semrawutlah yang lahir, seperti yang terjadi sekarang ini. Karena tiap orang dapat menyatakan dirinya mewakili Islam.

Di sinilah arti penting dari sabda Nabi Muhammad saw: "Kalau persoalan diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah hari kiamat," (Idza wusida al-amru ila ghairi ahlihi, fantatziri al-sa'ah). Sanggupkah kaum muslimin di negeri kita menetapkan kriterium tersebut?

Penulis adalah Ketua Dewan Syuro DPP PKB, Tulisan ini dikutip dari Media-Indo.co.id, edisi, Sabtu, 1 Juni 2002

Kesabaran Dan Kemurahan Hati

Kitab suci Al-Qur’an mengandung puluhan ayat yang mengajak dan memerintahkan kaum muslimin untuk bersikap sabar. Ayat terkenal sangat banyak jumlahnya, antara lain seperti “ Demi masa. Manusia senantiasa dalam kerugian kecuali mereka yang beriman, beramal shaleh, mengajak kepada kebenaran dan menyerukan kesabaran “ (Wal as’hri inna al-insana la-insana la-fii khusrin illa al-ladzina ammanu wa’a’millu al-Sholihati wa tawa shu bil al-haqqi wa tawashu bi al shabri) jelas dari bunyi ayat, betapa besar tekanan diberikan atas kesabaran bagi kaum muslimin. Karena itu, mereka tidak boleh menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah apapun. Semuanya harus dilakukan dengan negosiasi, seperti firman Allah: (Wa Amruhun syura Bainahum). Kebenaran ini tetap tegak berdiri, walaupun kaum muslimin sering melupakannya.

Satu-satunya peluang bagi mereka untuk menggunakan kekerasan, dalam hal yang bersifat pribadi adalah “pengusiran” dari tempat tinggal mereka “ (Idza ukhriju min diyarihim). Hal ini diimbangi oleh keharusan taat kepada pemerintah. Kaum suni tradisional mempunyai adagium sendiri untuk hal ini. “penguasa lalim (yang memerintah) 60 tahun, masih lebih baik daripada anarki sesaat (Imamun fajirun sittinah khoirun min faudha sa’atin). Dalam hal ini, musyawarah memegang arti penting bagi manusia dalam menyelesaikan sengketa antara mereka. Tetapi, kecenderungan manusia untuk berperan dan menggunakan kekerasan masih ada, dan kelihatannya diturunkan kepada negara-negara adikuasa. Adalah kewajiban kita untuk melestarikan penyelesaian masalah dengan perundingan seperti ajaran dalam istilah satyagraha yang diajarkan oleh moralis India yang sangat besar, Mahatma Gandhi.
Kata Von Clausewitz, seorang teoritisi perang dari Jerman abad yang lalu, perang adalah penerusan perundingan untuk sementara waktu, sedangkan diplomasi adalah cara menyelesaikannya tanpa peperangan. Dengan demikian, antara penggunaan kekerasan dan kemampuan bernegosiasi, terdapat hubungan kualitas yang jelas, saling mendukung dan saling menyempurnakan. Tentu saja hal ini kita lakukan dalam lingkup pemikiran. Sikap memanfaatkan negosiasi, jauh lebih penting dari pada penggunaan kekerasan terutama dalam suasana saling curiga seperti pada saat ini. Rasa saling mencurigai itu timbul karena kita kehilangan sikap bernegosiasi, dan menganggap setiap upaya berunding sebagai kelemahan yang merugikan.

*****

Pedekatan bernegosiasi untuk menyelesaikan masalah, menghendaki pemeliharaan sistim budaya di manapun juga. Kita harus pandai untuk membesarkan budaya, tanpa mengucilkan arti pihak lain. Yang harus dijaga, janganlah kebanggaan kelompok justru merusak kebersamaan kita. Dengan demikian, kita harus membesarkan manifestasi budaya yang kita miliki dan tidak mudah merubahnya menjadi sesuatu yang bersifat politis.

Penulis mengijinkan pengibaran bendera Bintang Kejora di lingkungan bangsa dan tanah Papua, karena tahu kalau hal itu bersifat budaya. Memang benar OPM (Organisasi Papua Merdeka) menjadikannya sebagai bendera politik, tetapi jumlah yang berpandangan demikian sangatlah kecil. Di tanah Papua sendiri, saudara-saudara bangsa Papua menganggapnya sebagai bendera budaya, sama saja kedudukanya dengan bendera propinsi atau bendera club sepak bola.

Karena itu, sangat mengejutkan ketika kalangan pemerintah melarang untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora. Berarti pemerintah berhasil ditakut-takuti oleh OPM, dan menganggapnya sebagai bendera politik. Secara tidak langsung, ini adalah pengakuan bahwa OPM bertambah besar, sebuah hal yang implikasinya tidak disadari oleh pihak pemerintah. Tuntutan OPM akan semakin luas dan harus dihadapi dengan penggunaan kekerasan pula. Penulis masih yakin keadaan sebenarnya tidaklah demikian. Bangsa Papua, sebagaimana suku-suku bangsa lain di tanah air kita, masih percaya pada keutuhan teritorial kita sebagai bangsa, selama kesatuan itu digunakan untuk mematangkan budaya dan adat istiadat kita. Sedangkan pengguna kekerasan adalah bagian dari sikap politis, yang belum tentu menguntungkan pemerintah di pusat, dengan tidak memperhitungkan tingginya keragaman budaya bangsa kita.

Dalam kerangka inilah yang harus kita pahami maksud kitab suci Al-Qur’an: “Kullu hisbin bima laelahi Farihin” setiap kelompok bersikap bangga atas apa yang dimilikinya “kebanggannya yang merendahkan orang lain” (Xenophobia) adalah sesuatu yang justru dikecam dan ditolak oleh Islam. Itu tidak lain adalah sikap eksklusif, yang tidak menghargai orang lain. Sikap eksklusif itu, sebagaimana dibuktikan oleh sejarah, menjadi pangkal bencana bagi masyarakat apapun, di kawasan manapun di dunia ini. Karenanya, kita harus berani melakukan koreksi atas apa yang terjadi di pulau Irian dikalangan bangsa Papua dan memberikan corak khusus yang kita hendaki atas tanah Papua.

*****

Bagaimana kita memelihara keragaman budaya itu? Caranya adalah dengan mengadakan penafsiran-penafsiran baru pada tiap ajaran. Sesuatu yang kita kehendaki tentunya tidak dapat langsung dirasakan. Sejarah Islam penuh dengan upaya penafsira kembali (re-interprestasi). Nahdlatul Ulama merumuskan dalam hal ini kode etik berikut: “memelihara apa yang baik dari masa lampau, menggunakan hal-hal yang baik dari masa lampau, dan menggunakan hal-hal lebih baik dari sesuatu yang baru“ (al-muhafazatu a’lla al-iqodim al-sholih wa al-akhdzu fi al-zadid al-ashlah). Kalau adagium ini kita pakai sebagai pegangan, malah kita tidak akan mengikuti sikap “garis keras” yang oleh penganutnya dianggap sebagai “kebenaran”.

Dengan cara mempertahankan keragaman penafsiran, kita dapat menghargai bentuk-bentuk budaya yang sangat beragam. Dengan demikian, kita tidak bersikap garang, sikap yang oleh umat beragama lain dianggap sebagai ciri “Islam moderat”. Sikap inilah yang pada umumnya dianggap sebagai inti ajaran Islam, yang oleh mereka dinamakan “Islam yang benar”. Sikap moderat ini tidak berarti, lalu menganggap mereka benar dan apa yang ada pada diri kita adalah sesuatu yang salah, melainkan sekedar untuk menunjukan bahwa orang lain juga memiliki kebenaran, dan kita memiliki kekurangan bukanlah yang sempurna dalam kehidupan ini, Dialah Allah semata.

Al-Qur’an sendiri mengatakan: “Dan tidak ada yang tunggal (sempurna), kecuali kehadiran Allah belaka “(Wa-lamyadqa illa wajhah)”. Kita tidak boleh melakukan monopoli dalam bentuk apapun termasuk monopoli atas kebenaran. Kebenaran hanya pada Allah, karena Ia adalah Dzat yang sempurna. Kesempurnaan-Nya adalah sesuatu yang abadi, yang tidak menerima penafsiran yang diulang-ulang. Mungkin berbeda perumusannya dari waktu ke waktu dalam masyarakat yang berbeda, tetapi inti dan hakekatnya tetap abadi tanpa ada perubahan. Jika kita memahami hal ini, kita tidak akan mengenal ekstrimisme dalam bentuk apapun. Hal ini merupakan kesadaran kita, memang belum merata, dimengerti oleh kaum muslimin. Inilah yang mengakibatkan terjadinya konflik menggunakan kekerasan dari kaum muslimin di mana-mana saat ini. Prinsip yang sebenarnya sangat sederhana dan mudah dimngerti, namun pelaksanaannya sulit bukan?

Kisah Sebuah Ayat

Dalam dialog agama Islam di sebuah TV swasta tanggal 27 Nopember 2002, di waktu sahur pagi, ada telepon dari pemirsa kepada kyai/ ustadz yang “jaga gawang.” Pertanyaan yang dilontarkan adalah, seorang pedagang sering “harus” berbohong, dengan menyatakan barang jualannya berkualitas baik, sedangkan dalam kenyatannya jauh kurang dari itu. Dijawab oleh sang kyai/ustadz, sedapat mungkin dijahui perbuatan dusta. Berdusta adalah menceritakan kebohongan, yang juga berarti tindakan menipu, dan hal itu adalah sebuah dosa, karena itu haruslah dijauhi. Apa yang tidak dikatakan pak kyai/ ustadz itu adalah, bahwa ada cara lain dalam menjalankan perdagangan. Jika sang pedagang ingat akan hal itu, maka ia tidak akan melakukan dusta.

Hal itu adalah kepercayaan jangka panjang. Kalau kepercayaan itu hilang, maka orang banyak tidak akan lagi percaya pada pedagang tersebut. Dengan kata lain faktor kepercayaan adalah sesuatu yang menguntungkan, dalam jangka panjang. Jika ini terus diingat, tentu para pengusaha kita tidak akan bertindak sembrono, dan mengatakan sesuatu yang tidak ada, menjadi ada. Ia juga tidak akan mengatakan sesuatu yang buruk, sebagai sesuatu yang baik. Dengan kata lain, ia kan sangat berhati-hati dalam meimilih barang dagangan, maupun menyampaikan atau menjual barang tersebut pada calon pembeli.

Bahwa dalam kasus ini tampak nyata, agama Islam terkait dengan etika atau akhlaq. Tampak jelas bagi kita kalau agama Islam mengatakan Allah mencintai orang-orang yang berkata benar, berarti melanggar ketentuan itu atau berkata dusta adalah sebuah dosa. Jadi, adanya implikasi bisnis dalam etika / akhlaq Islam adalah jelas. Bahwa tidak semua kasus memiliki kejelasan seperti ini, juga menjadi nyata bagi kita. Berarti kesimpulannya, harus ada kehati-hatian para pedagang muslim dalam menawarkan barang dagangan, agar tidak melanggar ketentuan agama Islam.

Apa yang dijelaskan di atas, menyangkut barang dagangan dan cara menawarkannya. Di sini berlaku ketentuan untuk tidak melakukan kebohongan apapun. Dalam jangka panjang hal larangan berdusta itu, harus dipahami sebagai keharusan yang berpegang teguh pada keyakinan dan tidak meninggalkannya. Ini adalah sebuah sikap yang tidak memberikan peluang kepada sebuah tindakan yang salah, dan menolak kesalahan itu sebagai sesuatu yang disederajatkan dengan etika/ akhlaq yang benar dalam berdagang. Kepercayaan akan cara kerja kita itu, akan timbul pula dalam jangka panjang, dan hal itu akan sangat menguntungkan sang pedagang sendiri.

Hubungan yang jelas antara praktek niaga dengan etika/ akhlaq agama itu, jelas harus diperhatikan oleh kaum pedagang, maupun para agamawan. Inilah yang jarang diperhatikan, bahkan ada kecenderungan seolah-olah tidak ada hubungan antara dunia niaga dengan ajaran agama, termasuk Islam. Karena itulah penulis lalu menolak jika sekularisme hanya dikatakan sebagai paham menentang agama. Dalam pandangan penulis sekularisme hanya berarti pemisahan agama dari negara.

Dua pandangan tentang sekularisme ini harus jelas dipahami, karena ketidakjelasan hanyalah akan membuat orang menghasilkan kekerasan (violence) sebagai alat untuk melawan bobroknya etika/ akhlaq yang terjadi di mana-mana saat ini. Dari tindak melakukan kekerasan itulah lahir terorisme, yang saat ini sedang menghantui seluruh dunia. Ini adalah akibat dari proses pendangkalan agama yang terjadi selama ini, berabad–abad lamanya. Terhadap mereka, kita jangan hanya melakukan tindakan hukaman fisik belaka. Kita harus juga mendidik kembali mereka yang menjadi korban , terutama di kalangan generasi muda yang kekurangan pengetahuan agama.
*****

Sebuah bidang lain yang dapat kita tinjau, adalah bidang produksi. Kitab suci Al-Quran menyatakan: “jika ada orang memuji anda (atau hasil produksi anda) maka balaslah dengan ungkapan (hasil produksi) yang lebih baik” (wa inza huyyitum bi tahiyyatun fahayyu bi aksana min ha). Di sini kita melangkah kepada sebuah bidang lain, di luar bidang niaga, yaitu bidang produksi. Di sini pun berlaku pula keharusan memelihara etika/ akhlaq yang baik. Pemeliharaan kualitas (quality control) sangat terkait dalam kenyataannya dengan nilai-nilai agama. Tidak berdusta, dalam hal ini di transformasikan menjadi penjagaan kualitas, sesuatu yang sangat penting dalam mata rantai produksi barang.

Dengan demikian menjadi nyata, bahwa etika/ akhlaq yang diajarkan Islam dapat ditransformasikan ke dalam hal produksi barang. Ini adalah suatu hal yang sering di abaikan, baik oleh para agamawan maupun para produsen. Justru disinilah pentingnya model pembaharuan Islam. Maksudnya adalah pembaharuan cara berpikir kita, paling tidak untuk membuat penafsiran baru dari sudut agama atas banyak aspek. Untuk hal ini tentu saja diperlukan keberanian moral dan kreativitas yang tinggi dari para agamawan.

Jelaslah dari uraian di atas, bahwa ajaran Islam sangat terkait dengan kehidupan, jika kita pandai mencarinya. Di sinilah juga terletak kewajiban (paling tidak sebagian dari) agamawan kita untuk tidak cukup hanya mengajarkan hafalan akan ajaran agama belaka atau menyampaikan hal-hal normatif saja. Kebesaran agama Islam juga didapat dari mencari penafsiran baru atas ajaran-ajaran tersebut, sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Hal itu terletak pada kemampuan para agamawan untuk mencari penafsiran atas agama Islam. Keragua-raguan-para agamawan dalam hal ini, dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi bagaimanapun juga para agamawan yang terpanggil, dan untuk itu harus berani melakukannnya. Sederhana, tapi sulit melakukannya bukan?

Memang Perlu Klarifikasi/ Tabayyun

Beberapa hari menjelang Lebaran Idul Fitri tahun ini, penulis ditanya oleh wartawan bila datangnya waktu berlebaran? Penulis menjawab, jika dilihat almanak ada yang mengatakan bulan sabit/ hilal sudah mencapai ketinggian enam derajat pada akhir bulan Ramadhan/ puasa. Tentu saja, ada almanak yang justru menyebutkan ketinggian bulan sabit/ hilal itu sebagai 1 persen. Kalau yang pertama memang benar, tentu saja pada waktu itu rukyah/ bulan tampak akan terjadi. Dan dengan demikian, lebaran Idul Fitri akan terjadi keesokan harinya, yaitu Kamis tanggal 5 Desember 2002. Sebaliknya, disimpulkan kalau bulan sabit/ hilal tidak tampak, dengan sendirinya lebaran Idul Fitri akan jatuh pada hari berikutnya, Jumat 6 Desember 2002. Penyimpulan seperti ini adalah apa yang dinamakan Mafhum Mukhalafah (kesimpulan berkebalikan) menurut study/ kajian Islam.

Untuk dapat mengambil kesimpulan yang tepat di bidang agama Islam, seseorang harus menguasai segenap peralatan study/ kajian Islam. Karenanya, diperlukan sikap rendah hati untuk klarifikasi (tabayyun) mengenai segala hal, khususnya mengenai agama Islam. Inilah sebabnya, mengapa Nahdlatul Ulama menetapkan itu dalam satu muktamarnya, dibawa tabayyun adalah bagian dari Khittah 1926-nya. Demikian pentingnya arti tabayyun dalam hal-hal yang bersangkutan dengan tindakan kaum muslimin, seperti untuk menetapkan hari raya Idul Fitri 1423 H ini.

Apa yang terjadi di Nigeria baru-baru ini yang mengakibatkan kematian 200 orang, karena kesalahan ungkapan mengenai nabi Muhammad SAW, merupakan pelajaran pahit akan mudahnya emosi kaum muslimin disulut/ dibakar oleh pemberitaan yang salah atau ucapan yang keliru. Sesuatu yang dianggap “biasa” oleh seseorang, dapat dengan mudah disalahpahami oleh kaum muslimin.

Menarik sekali untuk diperhatikan hal ini, karena tampak jelas besarnya peranan pendidikan baik formal maupun informal dalam kehidupan masyarakat. Khususnya kaum muslimin di negeri-negeri berkembang. Karena peluang mengikuti pendidikan yang sangat beragam bagi mereka, dengan sendirinya capaian pendidikan itu sendiri juga berbeda-beda bagi warga masyarakat di kawasan yang berlainan pula. Apalagi kalau pemberitaan yang dilakukan media massa diisi dengan “plintiran” lebih-lebih lagi diperlukan kewaspadaan, dan ini berarti keharusan terus menerus untuk melakukan klarifikasi/ tabayyun tersebut. Kalau hal ini kita lalaikan, maka emosi kaum muslimin dapat tersulut/ terbakar oleh pemberitaan yang salah. Di sinilah nilai kepemimpinan sesorang dapat dinilai secara terbuka oleh siapapun.

Karena Lajnah/ Lembaga Falakiyah PBNU menyatakan kepada media massa hari Senin, 2 Desember 2002, bahwa hari raya Idul Fitri 1423 H jatuh pada hari Jumat, 6 Desember 2002. Dasarnya, adalah derajat bulan sabit/ hilal pada petang hari Rabu, 4 Desember 2002 baru akan mencapai ketinggian 1 derajat. Tentu saja, tampak seolah-olah telah diambil keputusan oleh tokoh itu bahwa hari raya Idul Fitri tahun ini jatuh pada hari Jumat, 6 Desember 2002, tanpa terlebih dulu melihat/ menyaksikan adanya bulan sabit/ hilal pada petang hari Rabu, 4 Desember 2002. Ini tentu saja sangat mengherankan penulis, yang senantiasa berpegang pada penyaksian bulan sabit/ hilal tiap tahun, baik untuk Idul Fitri maupun Idul Adha.

Penulis tidak tahu dengan tepat, apakah pendapat tersebut dikeluarkan karena adanya kesalahan presentasi pendapat penulis yang dipaparkan di atas. Tapi yang jelas, telah terjadi sebuah keadaan membingungkan yang belum pernah terjadi sebelumnya, sejak organisasi tersebut didirikan pada tahun 1926. Yaitu bahwa telah diumumkan “keputusan NU” dalam hal penetapan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, tanpa didahului oleh upaya menyaksikan ru’yah melalui kesaksian para ulama telah melihat atau menyaksikan bulan sabit/ hilal. Inilah untuk pertama kalinya hal itu dilakukan, sehingga ada komentar seorang tokoh NU dari Surakarta, bahwa “sekarang NU sudah sama dengan Muhammadiyah…” penulis tidak tahu haruskah menangis atau tertawa mendengar ucapan itu.

Untunglah, penulis tidak merasa berdosa atas kejadian tersebut, karena ternyata dalam siaran berita di internet, ungkapannya sebagai berikut: ketentuan terakhir harus dilakukan/ ditetapkan oleh NU, setelah upaya menyaksikan bulan sabit (hilal). Dengan kata lain, harus dilakukan upaya ru’yah/ mencari kesaksian dari “tanda Tuhan.” Bagaimana halnya dengan pengumuman sang ketua Lajnah Falakiyah PBNU, di atas? Penulis tidak tahu persis apa yang harus dilakukannya, sedangkan hal itu juga bukan tanggung jawab penulis secara organisatoris. Kalaupun ada rasa turut bertanggung jawab atas terjadinya hal itu, maka rasa tersebut “hanya” bersifat moral/ akhlaq. Ini demi untuk aturan organisasi yang benar, apapun akibatnya bagi kepentingan bersama.
****

Sebuah kenyataan penting dan tidak boleh dilupakan dalam hal ini, yaitu ketentuan hukum Islam (Fiqh) tentang siapa yang berhak menentukan jatuhnya awal bulan Hijriyah, termasuk penetapan Idul Fitri dan Idul Adha. Ini yang sering dilupakan orang dalam keasikan berorganisasi. Allah berfirman dalam kitab suci Al Quran; “tanda masing-masing pihak merasa bangga dengan apa yang ada dalam dirinya (yang diperolehnya)” (Kullun bima ladaihi farihun). Firman Allah itu menunjukkan, bahwa pada suatu masa, tiap kelompok dilingkungan kaum muslimin bangga dengan apa yang ada dalam dirinya (dengan merendahkan apa yang ada pada dalam diri kelompok lain). Sikap bangga dengan diri sendiri serta memandang rendah orang lain ini, justru dianggap bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Kapankah kaum muslimin menyadari hal tersebut di masa ini?

Itulah sebabnya, penulis tidak tahu harus bersikap begaimana memandang tindakan ketua Lajnah Falakiyah PBNU tsb, yang tidak memandang penting arti upaya memperoleh ru’yah/ kesaksian dengan mata telanjang akan adanya bulan sabit/ hilal, sebagai tanda tibanya hari raya Idul Fitri tahun ini. Tetapi penulis yakin langkah beliau haruslah dipersoalkan dan diperdebatkan. Bukankah NU di masa lampau selalu mementingkan “upaya“ melakukan ru’yah/ kesaksian mata telanjang akan bulan sabit/ hilal tersebut. Kalau hal itu diubah, mulai kapan dan oleh forum mana dimabil keputusan? Hal ini penting, karena memang para pemimpin NU di masa lampau, termasuk para pendiri adalah tokoh-tokoh “ahli ru’yah.” Ini diperlukan, untuk mencari “kejelasan.”

Sebenarnya, pihak yang paling tepat dan paling berhak menetapkan permulaan tiap-tiap bulan Hijriyah, termasuk Idul Fitri dan Idul Adha adalah menteri agama Republik Indonesia. Karena ia adalah pengganti/ wakil dari Presiden republik Indonesia yang telah ditetapkan oleh para ulama menjadi “Waliyul Al-Amri Daarut Fi Al Saukha” (pemegang kekekusaan sementara dengan wewenang penuh) dengan ”kesementaraan” yang berlangsung hingga tiba hari kiamat. (Untuk itu diperlukan keterangan dalam bentuk tulisan melalui artikel lain. Dalam hukum Islam (fiqh), seorang penguasa (imam) adalah satu-satunya pihak yang diperkenankan menetapkan permulaan bulan-bulan Hijriyah. Di negeri-negeri muslim yang lain, Imam itu diwakili oleh Mufti (pemberi fatwa) yang ditunjukknya, Sementra itu di lingkungan Republik Indonesia, pihak itu adalah Menteri Agama, karena di negeri kita tidak diangkat seorang Mufti oleh Presiden. Sederhana, namun rumit dalam pelaksanaan?

Negara dan Kepemimpinan dalam Islam

Sebenarnya terdapat hubungan sangat erat antara kepemimpinan dan konsep negara dalam pandangan Islam. Penulis pernah mengemukakan sumber tertulis (dalil naqli) bagi sebuah pandangan Islam. Adagium itu adalah “Tiada agama tanpa kelompok/masyarakat, tiada masyarakat tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan tanpa sang pemimpin”(La dina Illa bi jama’atin wa la jama’ata illa bi imamatin wa la imamata illa bi imamin).

Di sini tampak jelas, arti seorang pemimpin bagi Islam, ia adalah pejabat yang bertanggungjawab tentang penegakan perintah-perintah Islam dan pencegah larangan-larangan-Nya (Amar Ma’ruf Nahi Munkar). Karenanya, pemimpin dilengkapi dengan kekuasaan efektif, yang jelas kekuasaan efektif inilah yang oleh Munas Ulama tahun 1957 di Medan dinyatakan sebagai “wewenang kekuasaan efektif” (Sa’ukah).

Karena itulah, Munas tersebut mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia adalah “penguasa pemerintahan untuk sementara, dengan kekuasaan efektif” (Waliyyu Al-amri ad-dharuri bi al-Sa’ukah). Maksud dari kata “untuk sementara” karena ia adalah pengganti Imam yang dalam hal ini Kepala Pemerintahan. Namun wewenang yang dimilikinya sebagai pengganti Imam tidak berdasarkan sumber tertulis (dalil Naqli), melainkan karena pertimbangan rasional (dalil Aqli), yang tidak mengurangi keabsahan kekuasaan itu sendiri. Kemudian kata “sementara”, artinya sebelum datangnya hari kiamat. Keputusan Munas di atas, dinyatakan berlaku bagi semua Presiden Republik Indonesia; namun oleh mereka yang “dibius” oleh konsep Negara Islam, dinyatakan hanya berlaku untuk Kepresidenan Bung Karno saja.

Dengan demikian, sebuah bukan negara Islam dianggap tidak memiliki ajaran tentang konsep kepemimpinan yang Islami. Karena itu diandaikan, konsep bukan negara Islam seolah-olah tidak memiliki konsep Islam tentang kepemimpinan, dan dengan demikian konsep itu tidak memiliki keabsahan dalam pandangan Islam.

Ternyata setelah berjalan puluhan tahun lamanya, kini kita mengetahui kenyataan sebenarnya, yaitu bahwa kelangkaan konsep Islam tentang negara, tidak berarti agama tersebut tidak memiliki pandangan tentang kepemimpinan. Pandangan ini melihat kepemimpinan menurut Islam berlaku untuk kepemimpinan negara (kepemimpinan formal) maupun kepemimpinan dalam masyarakat (kepemimpinan non-formal). Dalam tulisan ini akan ditinjau orientasi minimalnya, karena hal-hal lain diserahkan kepada kita untuk merumuskannya.

Dalam pandangan Islam: “orientasi seorang pemimpin terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin”. Ini berarti, Islam tidak membeda-bedakan kepemimpinan negara dan kepemimpinan masyarakat, juga mengenai bentuk dan batas waktunya. Serta tidak memikirkan format kenegaraan atau kemasyarakatan yang melatarbelakangi kepemimpinan itu, apakah itu imperium dunia, republik negara bangsa atau negara kota. Maka dari itu, sia-sia juga jika kita kaitkan langsung kepemimpinan di “negara Islam” yang ada dengan proses demokratisasi. Karenanya, kita lihat sekarang ini kepemimpinan dalam “negara Islam” ada yang bersifat otoriter atau demokratis, dengan sistem pemerintahan Raja atau Amir, kepemimpinan ulama maupun kepemimpinan para sesepuh masyarakat (community leaders). Selama kepemimpinan itu mendatangkan kesejahteraan langsung pada masyarakat, selama itu pula kepemimpinan yang ada memiliki legitimasi dalam pandangan umat Islam.

Namun di sinilah kita sering terjebak, yaitu dalam anggapan kesejahteraan di atas hanya menyangkut kenyataan-kenyataan lahiriah dan angka statistik belaka, seperti kepemilikan benda, usia hidup rata-rata dan sebagainya. Sering dilupakan, masalah kesejahteraan juga menyangkut kemerdekaan berbicara dan berpendapat, kedaulatan hukum dan persamaan perlakuan bagi semua warga negara di hadapan undang-undang. Hal-hal itu nantinya akan menyangkut kebebasan berorganisasi, kebebasan rakyat dalam menentukan bentuk negara yang mereka inginkan dan beberapa aspek kehidupan agar tercipta rasa keadilan.
Proses peralihan (transisi) kepemimpinan dunia, negara dan masyarakat seperti kita lihat dewasa ini, masih menimbulkan keresahan. Keresahan ini seperti yang menghinggapi negara dengan mayoritas warganya yang beragama Islam, akibat dari gagalnya upaya-upaya terorisme yang terjadi di mana-mana dengan mengatasnamakan Islam. Sebenarnya, para pakar masyarakat Muslim di seluruh dunia, harus mensosialisasikan pengenalan dan identifikasi sebab-sebab utama munculnya terorisme itu. Dan bukannya diselesaikan dengan penyerangan dan pengeboman seperti yang terjadi di Afghanistan dan mungkin sebentar lagi atas Irak. Pengeboman itu sendiri secara tidak jujur dikemukakan Presiden Amerika Serikat Geogre W Bush Jr sebagai upaya menurunkan diktator Saddam Hussein dari jabatan kepresidenan di Irak. Padahal, pertimbangan-pertimbangan geopolitik internasional yang membuat Amerika mengambil tindakan terhadap Irak, yaitu, karena Saudi Arabia telah “menyimpang” dari politik Luar Negeri Amerika Serikat, padahal ia adalah penghasil minyak bumi (BBM) nomor satu di dunia, maka harus dicarikan kekuatan pengimbang terhadapnya. Pilihan itu jatuh kepada Irak, karena ia adalah penghasil minyak bumi kedua terbesar saat ini.Karena Irak di bawah kepresidenan Saddam tidak akan mungkin mengikuti politik luar negeri AS maka ia harus diganti secepatnya. Kalau Saddam dianggap sebagai ‘kekuatan jahat’ (Evil Force), mengapakah hal itu tidak dikenakan atas para pemimpin Saudi Arabia? Negara yang tiap tahun menghukum mati sekitar dua ribu orang yang dianggap ‘kaum oposan’? Standar moral ganda (double morality) seperti inilah yang digunakan para pemimpin seperti Bush saat ini, yang membuat istilah ‘politik’ berpengertian sangat buruk. Politik yang oleh mendiang Presiden AS John F Kennedy sebagai ‘karya termulya’, karena menyangkut kesejahteraan (lahir dan batin) rakyat.

Kembali pada kepemimpinan Islam, dalam Islam kepemimpinan haruslah berorientasi kepada pencapaian kesejahteraan orang banyak. Sebuah adagium terkenal dari hukum Islam adalah ‘kebijakan dan tindakan seorang pemimpin haruslah terkait langsung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin’ (Tasharruf Al-Imam Manuthun bi Al-mashlahahAl-Mashlahah Al-’Ammah (secara harafiyah, dalam bahasa Indonesia berarti: kepentingan umum).

Karena itu, Islam tidak mempunyai konsep yang pasti (baku) tentang kepemimpinan dan bagaimana sang pemimpin ditetapkan. Kepemimpinan sebuah organisasi Islam, ada yang ditetapkan melalui pemilihan dalam kongres atau muktamar, tetapi masih tampak betapa kuatnya faktor keturunan dalam hal ini, seperti dialami penulis sendiri. Baiknya sistem ini, jika orang dengan garis keturunan yang mewarisi kepemimpinan, harus membentuk kehidupannya sesuai dengan konsep kemaslahatan umat. Buruknya, jika pemimpin berdasarkan garis keturunan terpilih, padahal pemimpin itu justru tidak memahami tugas dan kewajibannya, melainkan hanya asyik dengan kekuasaan dan kemudahan-kemudahan yang diperolehnya, maka akan menjadi lemahlah kepemimpinan tersebut. Apalagi jika kepemimpinan itu di tangan seorang penakut, yaitu pemimpin yang takut kepada tekanan-tekanan dari luar dirinya. Memang kedengarannya mudah mengembangkan kepemimpinan dalam kehidupan, tetapi sebenarnya sulit juga, bukan?

NU dan Negara Islam

Sebuah pertanyaan diajukan kepada penulis: apakah reaksi NU (Nahdlatul Ulama) terhadap gagasan Negara Islam (NI) Indonesia, yang dikembangkan oleh beberapa partai politik yang menggunakan nama Islam tersebut? Pertanyaan ini sangat menarik untuk dikaji terlebih dahulu dan dicarikan jawaban yang tepat atasnya. Inilah untuk pertama kali organisasi yang didirikan tahun 1926 ini ingin diketahui orang bagaimana pandangannya mengenai NI. Ini juga berarti, keingintahuan akan hubungan NU dan keadaan bernegara yang kita jalani sekarang ini dipersoalkan orang. Dengan kata lain, pendapat NU tentang NI sekarang bukan hanya menjadi masalah intern organisasi saja, melainkan sudah menjadi “bagian” dari kesadaran umum bangsa kita. Dengan upaya menjawab pertanyaan tersebut, penulis ingin menjadi bagian dari proses berpikir yang sangat luas seperti itu, sebuah keinginan yang pantas-pantas saja dimiliki seseorang yang sudah sejak lama tergoda oleh gagasan NI.

Dalam sebuah tesis MA –yang dibuatnya beberapa tahun yang lalu, pendeta Einar Martahan Sitompul, yang di kemudian hari menjadi Sekretaris Jenderal Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), menuliskan bahwa Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), harus menjawab sebuah pertanyaan, yang dalam tradisi organisasi tersebut dinamai bahtsul al-masa’il (pembahasan masalah). Salah sebuah masalah yang diajukan kepada muktamar tersebut berbunyi: wajibkah bagi kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan Kerajaan Hindia Belanda, demikian negara kita waktu itu disebut, padahal diperintah orang-orang non-muslim?

Muktamar yang dihadiri oleh ribuan orang ulama itu, menjawab bahwa wajib hukumnya secara agama, karena adanya dua sebab. Sebab pertama, karena kaum muslimin merdeka dan bebas menjalankan ajaran Islam, di samping sebab kedua, karena dahulu di kawasan tersebut telah ada Kerajaan Islam. Jawaban kedua itu, diambilkan dari karya hukum agama di masa lampau, berjudul “Bughyah al-Mustarsyidin”.

Jawabaan di atas memperkuat pandangan Ibn Taimiyyah, beberapa abad yang lalu. Dalam pendapat pemikir ini, Hukum Agama Islam (fiqh) memperkenankan adanya “pimpinan berbilang” (ta’addud al-a’immah), yang berarti pengakuan akan kenyataan bahwa kawasan dunia Islam sangatlah lebar di muka bumi ini, hingga tidak dapat dihindarkan untuk dapat menjadi efektif (syaukah). Konsep ini, yaitu adanya pimpinan umat yang hanya khusus berlaku bagi kawasan yang bersangkutan, telah diperkirakan oleh kitab suci Al-qur’an dengan Firman Allah: “Sesungguhnya Aku telah menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa, agar kamu sekalian saling mengenal” (Inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnakum syu’uban wa qaba’ila li ta’arafu,/i>). Firman Allah inilah yang menjadi dasar memperkenankan adanya perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, walaupun dilarang adanya perpecahan diantara mereka, seperti kata firman Allah juga: “Berpeganglah kalian (erat-erat) kepada tali Allah secara keseluruhan, dan janganlah terbelah-belah/saling bertentangan” (wa’tashimu bi habli Allahi jami’an wa la tafarraqu).

*****

Dengan keputusan Muktamar Banjarmasin tahun 1935 itu, NU dapat menerima kenyataan tentang kedudukan negara dalam pandangan Islam –menurut paham organisasi tersebut-. Yaitu pendapat tentang tidak perlunya NI didirikan, maka dalam hal ini diperlukan sebuah klarifikasi yang jelas tentang perlu tidaknya didirikan sebuah NI. Di sini ada dua pendapat, pertama; sebuah NI harus ada, seperti pendapat kaum elit politik di Saudi Arabia, Iran, Pakistan dan Mauritania. Pendapat kedua, seperti dianut oleh NU dan banyak organisasi Islam lainnya, tidak perlu ada NII. Ini disebabkan oleh heteroginitas sangat tinggi di antara para warga negara, di samping kenyataan ajaran Islam menjadi tanggungjawab masyarakat, dan bukannya negara. Pandangan NU ini bertolak dari kenyataan bahwa Islam tidak memiliki ajaran formal yang baku tentang negara, yang jelas ada adalah mengenai tanggungjawab masyarakat untuk melaksanakan Syari’ah Islam.

Memang, diajukan pada penulis argumentasi dalam bentuk firman Allah; “Hari ini telah Ku-sempurnakan agama kalian, Ku-sempurnakan bagi kalian (pemberian) nikmat-Ku dan Ku-relakan Islam “sebagai” agama (Al-Yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu alaikum nikmati wa radlitu lakum al-Islama Diinan). Jelaslah dengan demikian, Islam tidak harus mendirikan negara agama, melainkan ia berbicara tentang kemanusiaan secara umum, yang sama sekali tidak memiliki sifat memaksa, yang jelas terdapat dalam tiap konsep tentang negara. Demikian pula, Firman Allah; “Masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara keseluruhan” (Udkhulu fi al-Silmi Kaffah). Ini berarti kewajiban bagi kita untuk menegakkan ajaran-ajaran kehidupan yang tidak terhingga, sedangkan yang disempurnakan adalah prinsip-prinsip Islam. Hal itu menunjukkan, Islam sesuai dengan tempat dan waktu manapun juga, asalkan tidak melangar prinsip-prinsip tersebut. Inilah maksud dari ungkapan: Islam tepat untuk segenap waktu dan tempat (Al-Islam yasluhu likulli zamanin wa makanin).

Sebuah argumentasi sering dikemukakan, yaitu ungkapan Kitab Suci; “Orang yang tidak “mengeluarkan” fatwa hukum (sesuai dengan) apa yang diturunkan Tuhan, maka orang itu (termasuk) orang yang kafir –atau dalam variasi lain dinyatakan orang yang dzalim atau munafiq-” (Wa man lam yahkum bima anzala Allahu wa hua kaafirun). Namun bagi penulis, tidak ada alasan untuk melihat keharusan mendirikan NI, karena Hukum Islam tidak bergantung pada adanya negara, melainkan masyarakat pun dapat memberlakukan hukum agama. Misalnya, kita bersholat Jum’at, juga tidak karena undang-undang negara, melainkan karena itu diperintahkan oleh Syari’at Islam. Sebuah masyarakat yang secara moral berpegang dan dengan sendirinya melaksanakan Syari’ah Islam, tidak lagi memerlukan kehadiran sebuah Negara Agama, seperti yang dibuktikan para sahabat di Madinah setelah Nabi Muhammad SAW wafat.

*****

Inilah yang membuat mengapa NU tidak memperjuangkan sebuah NI di Indonesia (menjadi NII, Negara Islam Indonesia). Kemajemukan (heterogenitas) yang tinggi dalam kehidupan bangsa kita, membuat kita hanya dapat bersatu dan kemudian mendirikan negara, yang tidak berdasarkan agama tertentu. Kenyataan inilah yang sering dikacaukan oleh orang yang tidak mau mengerti bahwa mendirikan sebuah NI tidak wajib bagi kaum muslimin, tapi mendirikan masyarakat yang berpegang kepada ajaran-ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib. Artinya, haruskah agama secara formal ditubuhkan dalam bentuk negara, atau cukup dilahirkan dalam bentuk masyarakat saja? Orang “berakal sehat” tentu akan berpendapat sebaiknya kita mendirikan NI, kalau memang hal itu tidak memperoleh tentangan, dan tidak melanggar prinsip persamaan hak bagi semua warga negara untuk mengatur kehidupan mereka.

Telah disebutkan di atas tentang fatwa Ibn Taimiyyah, tentang kebolehan Imam berbilang yang berarti tidak adanya keharusan mendirikan NI. Lalu mengapakah fatwa-fatwa beliau tidak digunakan sebagai rujukan oleh Muktamar NU? Karena, pandangan beliau digunakan oleh wangsa yang berkuasa di Saudi Arabia bersama-sama dengan ajaran-ajaran Madzhab Hambali (disebutkan juga dalam bahasa Inggris Hambalite School), yang secara de facto melarang orang bermadzhab lain. Kenyataan ini tentu saja membuat orang-orang NU bersikap reaktif terhadap madzhab tersebut. Tentu saja hal itu secara resmi tidak dilakukan, karena sikap Saudi Arabia terhadap madzhab-madzhab non-Hambali juga tidak bersifat formal. Dengan kata lain, pertentangan pendapat antara “pandangan kaum Wahabi” yang secara de facto demikian keras terhadap madzhab-madzhab lain itu, menampilkan reaksi tersendiri yang tidak kalah kerasnya. Ini adalah contoh dari sikap keras yang menimbulkan reaksi sikap yang sama pada “pihak seberang”.

Contoh dari sikap "hanya" saling menolak, dan "hanya" saling tak mau mengalah dalam gagasan membentuk NI di negara kita (menjadi NII) sebagai sebuah utopia yang terdengar sangat indah, namun sangat meragukan dalam kenyataan. Ini belum kalau pihak non-muslim ataupun pihak kaum Muslimin nominal (kaum abangan), tidak berkeberatan atas gagasan mewujudkan negara Islam itu. Jadi gagasan yang semula tampak indah itu, pada akhirnya akan dinafikan sendiri oleh bermacam-macam sikap para warga negara, yang hanya sepakat dalam mendirikan negara bukan agama.

Inilah yang harus dipikirkan sebagai kenyataan sejarah. Kalaupun toh dipaksakan –sekali lagi- untuk mewujudkan gagasan NI itu di negara kita, maka yang akan terjadi hanyalah serangkaian pemberontakan bersenjata seperti yang terjadi di negara kita sekitar tahun 50-an. Apakah deretan pemberontakan bersenjata seperti itu yang ingin kita saksikan kembali dalam sejarah modern bangsa kita? Ini prinsip yang jelas, tapi sulit dilaksanakan, bukan?

Ketika berada di Makasar dalam minggu ke tiga bulan Februari 2003, penulis di wawancarai oleh TVRI di studio kawasan tersebut, yang di relai oleh studio-studio TVRI seluruh Indonesia Timur. Penulis memulai wawancara itu dengan menyatakan, menyadari sepenuhnya bahwa masih cukup kuat sekelompok orang yang menginginkan negara Islam (NI). Pengaruh almarhum Kahar Mudzakar yang dinyatakan meninggal dalam paruh kedua tahun-tahun 50-an, ternyata masih besar. Karenanya, penulis menyatakan dalam wawancara tersebut, pembicaraan sebaiknya ditekankan pada pembahasan tentang NI seperti Sulawesi Selatan itu. Penulis menyatakan, bahwa ia menganggap tidak ada kewajiban mendirikan NI, tapi ia juga tidak memusuhi orang-orang yang berpikiran seperti itu.

Dalam dialog interaktif tang terjadi setelah itu, penulis dihujani pertanyaan demi pertanyaan tentang hal itu. Bahkan ada yang menyatakan, penulis adalah diktator karena tidak menyetujui pemikiran adanya NI. Penulis menjawab, bahwa saya menganggap boleh saja menganut paham itu, dan berbicara terbuka di muka umum tentang gagasan tersebut, itu sudah berarti saya bukan diktator.

Salah satu tanda kediktaktoran adalah tidak adanya dialog dan orang menerima saja sebuah gagasan dan tidak boleh membicarakannya secara kritis dan terbuka. Dari dialog interaktif itu dapat diketahui bahwa pengaruh luar pun harus dipikirkan, seperti pengaruh dari berbagai kawasan dunia Islam yang juga di dasarkan pada kadar pengetahuan agama yang rendah.

Rendahnya pengetahuan agama yang dimiliki itu, digabungkan dengan rasa kekhawatiran sangat besar melihat tantangan modernisasi terhadap lembaga/institusi ke-Islam-an, membuat mereka melihat bahaya di mana-mana terhadap Islam. Proses pemahaman keadaan seperti itu, yang terlalu ditekankan pada aspek kelembagaan/institusional Islam belaka, dapat dinamakan sebagai proses pendangkalan agama kalangan kaum muslimin. Pihak-pihak lain yang non-Muslim juga mengalami pendangkalan seperti itu, dan juga memberikan responsi yang salah terhadap tantangan keadaan.

Kalau kita melihat pada budaya/ kultur kaum muslimin dimana-mana, sebenarnya kekhawatiran demikian besar seperti itu tidak seharusnya ada di kalangan mereka. Cara hidup, membaca Al-Qur’an dan Hadist, main rebana, tahlil, berbagai bentuk “seni Islam” dan lain-lainnya, justru mampu menumbuhkan rasa percaya diri yang besar, dalam diri kaum Muslimin.

Salah sebuah pertanyaan dalam dialog interaktif itu adalah kutipan Al-Qur’an “Barang siapa tidak (ber) pendapat hukum dengan apa yang di turunkan Allah, mereka adalah orang yang kafir “ (Wa Man lam Yahkum Bima Anzala Allah Fa-hula Ika Hum al-Kafirun). Lalu bagaimana mungkin kita menjalankan hukum Allah, tanpa NI? Jawabnya, karena ada masyarakat yang menerapkan hal itu, dan, atau mendidik kita agar melaksanakan hukum Allah, maka negara dapat saja ditinggalkan. Untuk memelihara prularitas bangsa, tidak ada kewajiban mendirikan NI atau menentang mereka yang menentang adanya gagasan mendirikan NI. Netralitas seperti inilah yang sebenarnya jadi pandangan Islam dalam soal wajib adanya gagasan mendirikan NI.

Netralitas ini sangat penting untuk di junjung tinggi, karena hanya dengan demikian sebuah negara kesatuan Republik Indonesia dapat didirikan. Dengan gagasan mendirikan NI, maka pihak minoritas -baik minoritas agama maupun minoritas lain-lainnya-, tidak mau berada dalam sebuah negara dan menjadi bagian dari negara tersebut.

Dengan demikian, yang dinamakan Republik Indonesia tidak dapat diwujudkan, karena ketidaksediaan tersebut. Akhirnya, Indonesia akan tidak terwujud sebagai kesatuan, karena ada negara Aceh, negara bagian Timur dan Selatan dari Sumatra Utara, negara Sumatra Barat, Jambi. Bengkulu., Sumatra Selatan, Lampung, Seluruh pulau Jawa, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan sebagian Maluku yang lain-lainnya, berada di luar susunan kenegaraan, karena berdasarkan agama seperti itu.

Karenanya, keputusan para wakil berbagai organisasi Islam dalam panitia persiapan kemerdekaan Indonesia untuk menghilangkan Piagam Jakarta dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah sebuah sikap yang sangat bijaksana dan harus di pertahankan. Keputusan itu diikuti oleh antara lain: Resolusi Jihad, yang dikeluarkan PBNU pada tanggal 22 Oktober 1945, adalah sesuatu yang sangat mendasar: pernyataan bahwa mempertahankan wilayah Republik Indonesia adalah kewajiban agama bagi kaum Muslimin. Dengan rangkaian kegiatan seperti itu, termasuk mendirikan Markas Besar Oelama DJawa –Timoer (MBODT) di Surabaya dalam bulan Nopember 1945, adalah salah satu dari kegiatan bermacam-macam untuk mempertahankan Republik Indonesia, yang notabene bukanlah sebuah NI. Diteruskan dengan perang gerilya melawan tentara kependudukan Belanda di tahun-tahun berikutnya. Dengan peran aktif para ulama dan pesantren-pesantren yang mereka pimpin, selamatlah negara kita dari berbagai rongrongan dalam dan luar negeri, hingga tercapainya penyerahan kedaulatan dalam tahun 1949 - 1950.

*****

perkembangan sejarah setelah itu menunjukakan bahwa agama Islam tidak berkurang peranannya dalam kehidupan bangsa, walaupun beberapa kali usaha merubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berhasil digagalkan, seperti dalam Dewan Konstituante di tahun 1956-1959. Demikian juga beberapa kali pemberontakan bersenjatan terhadap NKRI dapat digagalkan seperti DI-TII dan APRA (Bandung 1950). Ini tidak berarti Islam dibatasi ruang geraknya dalam negara, seperti terbukti dari kiprah yang dilakukan oleh Al-Azhar di Kairo.

Siapapun tidak dapat menyangkal bangsa Indonesia adalah memiliki jumlah terbesar kaum Muslimin. Ini berbeda dari bangsa-bangsa lain, Indonesia justru memiliki jumlah yang sangat besar kaum “Muslimin statistik” atau lebih di kenal dengan sebutan “Muslim abangan”. Walaupun demikian, kaum muslim yang taat beragama dengan nama “kaum santri” masih merupakan minoritas. Karena itu, alangkah tidak bijaksananya sikap ingin memaksakan NI atas diri mereka.

Lalu, bagaimana dengan ayat kitab suci Al-Qur’an yang di sebutkan diatas? Jawabnya, kalau tidak ada NI untuk menegakkan hukum agama maka masyarakatlah yang berkewajiban. Dalam hal ini, berlaku juga sebuah kenyataan sejarah yang telah berjalan 1000 tahun lamanya yaitu penafsiran ulang (re-interpretasi) atas hukum agama yang ada. Dahulu kita berkeberatan terhadap celana dan dasi, karena itu adalah pakaian orang-orang non-Muslim.

Sebuah diktum mengemukakan, “Barang siapa menyerupai sesuatu kaum ia adalah sebagian dari mereka” (Man sabaha bi Qoimin fahuwa min Hum). Tetapi sekarang, tidak ada lagi persoalan tentang hal itu karena esensi Islam tidak terletak pada pakaian yang dikenakan melainkan pada akhlak yang dilaksanakan.

Karena itu, kita lalu mengerti mengapa para wakil berbagai gerakan Islam dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan untuk menghilangkan Piagam Jakarta dari UUD 1945. Mereka inilah yang berpandangan jauh, dapat melihat bersungguhnya kaum Muslim menegakkan ajaran-ajaran agama mereka tanpa bersandar kepada negara. Dengan demikian, mereka menghidupi baik agama maupun negara.

Sikap inilah yang secara gigih dipertahankan Nahdlatul Ulama (NU), sehingga agama Islam terus berkembang dan hidup di negeri kita. Ini adalah sebuah disiplin intern yang patut di kagumi, mudah kedengarannya tetapi sulit dilaksanakan bukan?





NU dan Terorisme Berkedok Islam

Dalam sebuah konferensi internasional, penulis diminta memaparkan pandangannya mengenai terorisme yang terjadi dengan peledakan bom di Bali dan perbuatan-perbuatan lain yang serupa. Penulis jadi teringat pada penggunaan nama Islam dalam kerusuhan-kerusuhan di Ambon dan Poso serta peristiwa terbunuhnya para ulama dalam jumlah besar dalam kasus-kasus “santet di Banyuwangi”. Tentu saja penulis menjadi terperangah oleh banyaknya tindakan-tindakan yang dilakukan atas nama Islam di atas. Tentu saja, kita tidak dapat menerima hal itu, seperti halnya kita tolak tindak kekerasan di Irlandia Utara sebagai “pertentangan agama” antara Protestantisme melawan Katholikisme. Begitu juga perusakan Masjid Babri, India sebagai pertentangan orang-orang beragama Hindu melawan kaum Muslimin di negeri itu, walaupun yang bermusuhan memang jelas orang-orang dari kedua agama itu. Pasalnya, karena mayoritas orang-orang beragama Islam di berbagai negeri tidak terlibat dalam pertikaian dengan tindakan kekerasan di negeri-negeri tersebut.

Dalam jenis-jenis tindakan teroristik itu, para pemuda muslim jelas-jelas terlibat dalam terorisme yang dipersiapkan. Mereka mendapatkan bantuan keuangan dan latihan-latihan guna melakukan tindakan-tindakan tersebut. Belasan bulan persiapan teknis dan finansial dilakukan, sehingga tidak dapat ia disebut sebagai sesuatu yang bersifat spontanitas belaka. Jika tidak terjadi secara spontan, sudah pasti hal itu merupakan tindakan teror yang memerlukan waktu lama untuk direncanakan dan dilaksanakan. Para pelaksana kegiatan teror itu menganggap diri mereka bertindak atas nama Islam.

Sebuah hal yang harus sealalu diperhatikan, yaitu gerakan Islam apapun dan di manapun senantiasa terkait dengan pilihan berikut: gerakan mereka sebagai kultur atau sebagai lembaga/institusi. Yang mementingkan kultur, tidak begitu memperhatikan lembaga yang mereka dukung. Ambil NU sebagai contoh: dengan para anggota/pengikutnya memperhatikan dengan seksama “budaya NU” seperti tahlil, halal bi halal dan adakah seseorang mengikuti rukyah/melihat bulan untuk menetapkan permulaan hari raya Idul fitri. Mereka tidak peduli dengan keadaan lembaga-organisasi yang mereka dukung, dipimpin oleh orang yang tepatkah atau tidak.

Karena itulah, ketika para aktifis muda yang belakangan dikenal sebagai “muslim radikal”, dan kemudian lagi dikenal sebagai para teroris yang memulai konflik di ambon dan Poso, dan sebagian lagi meledakkan bom di Bali, merekapun menghadapi pilihan yang sama, mementingkan budaya atau lembaga-institusi. Sebagian dari mereka memilih lembaga, dengan melupakan “warisan Islam” berupa proses penafsiran kembali (re-interpretasi) yang sudah dipakai kaum muslimin ratusan tahun lamanya guna memasukkan perkembangan zaman ke dalam ajaran agama mereka.

Sebagai akibat, mereka mengembangkan “cara hidup Islam” serba keras dan memusuhi cara-cara hidup lain, dan membuat Islam berbeda dari yang lain. Ini tampak ketika penulis suatu ketika memberikan ceramah kepada para calon dokter di sebuah fakultas kedokteran. Para calon dokter lelaki dipisah tempat duduk mereka dari para calon dokter perempuan, dan pemisahan mereka itu “dijaga” oleh seorang penjaga bertubuh kekar yang lalu-lalang di tengah. Padahal dalam pertemuan NU pun tidak sampai sedemikian keadaannya, karena ditengah-tengah tidak ada “penjaga” yang bertubuh kekar dan bersifat galak terhadap pelanggaran yang mereka lakukan.

*****

Sikap lebih mementingkan lembaga-institusi dari kultur seperti diperlihatkan contoh di atas, menurut pendapat penulis adalah sumber dari terorisme yang berkedok Islam. Jika institusi-lembaga ke-Islaman ditantang oleh sebuah cara hidup, sepeti halnya sekarang cara hidup orang Islam ditantang oleh cara hidup “barat” maka merekapun merasa terancam dan bersikap ketakutan. Perasaan dan sikap itu ditutup oleh sikap garang kepada sang penantang, dan menganggap “budaya sendiri” sebagai lebih dalam segala-galanya dari “sang penantang”. Karena tidak dapat membuktikannya secara pasti dan masuk akal, maka lalu diambil sikap keras, yang kemudian berujung pada terorisme, seperti meledakkan bom (di Bali) dan membajak para turis (seperti dilakukan kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan).

Dengan demikian, mereka lalu menggunakan kekerasan, sesuatu yang tidak diminta atau diperintahkan oleh Islam. Padahal agama mereka menentukan hanya kalau diusir dari rumah-rumah mereka, baru diperkenankan melakukan tindak kekerasan untuk membela diri “Idza ukhriju min dziyarihim”. Mereka melupakan bagaimana Saladin sebagai seorang besar Muslim yang juga seorang Sultan Mamalik, ‘mengalahkan’ Richard Berhati Singa (The Lion Heart) dengan mengirimkan dokter pribadinya untuk menyembuhkan anak raja Inggris itu dalam perang Salib. Dokter tersebut disertai anak Saladin yang dapat saja dibunuh kalau dokter pribadi itu tidak dapat menyembuhkan anak Richard. Dengan demikian Raja Inggris tersebut mengetahui betapa luhur budi Saladin, serta pulang ke negaranya dan menghentikan perang Salib.

Dari hal itu dapat kita mabil teladan, bahwa pola hubungan antara budaya Islam dengan budaya-budaya lain, harusnya dikembangkan dalam pola menghargai mereka. Dengan demikian akan tampak keluhuran Islam yang dipeluk saat ini paling tidak oleh 1/6 jumlah umat manusia. Sejak dahulu penulis menolak penggunaan terorisme untuk “mempertahankan Islam”. Tindakan seperti itu justru merendahkan Islam di mata budaya-budaya lain, termasuk budaya modern di Barat yang telah membawakan keunggulan organisasi, pengetahuan dan tehnologi. Islam hanya dapat “mengejar ketertinggalan’ itu, jika ia menggunakan rasionalitas dan sikap ilmiah yang sebenarnya. Memang, rasionalitas Islam sangat jauh berbedadari rasionalitas lain, karena kuatnya unsur identitas Islam itu di dalamnya yang harus dibuktikan dalam kehidupan bersama tersebut. Rasionalitas (Adillah Aqliyah) tersebut berintikan penggunaan unsur-unsur manusiawi dengan segala pertimbangannya, dan harus ditunjukkan kepada “sumber-sumber tertulis” (adillah Naqliyah) dari Allah, seperti ungkapan-ungkapan resmi Tuhan dalam al-Qur’an dan ucapan Nabi (al-Hadits). Dengan demikian, menjadi jelaslah posisi hukum Islam bagi kehidupan kita, yang terkadang harus ditempuh dengan kegiatan ilmiah guna membahas kecilnya deskripsi ajaran Islam.

Pengenalan akan hal tersebut tidak memerlukan tindak kekerasan apapun, yang hanya membuktikan “kelemahan” Islam saja dan kita harus memiliki sikap jelas mengutuk terorisme, siapapun yang melakukannya. Apalagi kalau hal itu dilakukan oleh mereka yang tidak mengerti perkembangan Islam yang sebenarnya.

Kaum muslimin sejak dahulu terbagi dua, antara yang menjadi warga berbagai gerakan Islam (al-Munadzammah al-Islamiyyah) dan orang-orang Islam kebanyakan (awam/ laite atau lay people). Kalau mayoritas warga berbagai gerakan Islam saja tidak menyetujui penggunaan kekerasan-terorisme, apalagi kaum muslimin awam, dengan demikian mereka tidak memiliki kredibilitas apapun. Inilah hal yang harus diingat oleh mereka yang ingin melakukan tindak kekerasan, apalagi terorisme. Mereka akan lambat-laun berhadapan dengan ‘kaum awam”. Telah terbukti para teroris peledak bom pada akhirnya berhadapan dengan Undang-Undang Anti- Terorisme, yang notabene merupakan produk mayoritas kaum muslimin “awam” di negeri ini.

*****

Dari semula, NU bersikap tidak menyetujui tindak terorisme itu. Dalam Muktamarnya tahun 1935 di Banajrmasin, ada pertanyaan dalam “Bahtsul Masa’il” (Pembahasan Masalah); wajibkah kaum muslimin di kawasan Hindia Belanda mempertahankanya, sedangkan mereka diperintah oleh kaum non-Muslimin (para kolonialis Belanda)? Jawab Muktamar itu; wajib, karena kawasan itu dahulunya dimiliki kerajaan-kerajaan Islam dan kaum muslimin dapat menerapkan ajaran-ajaran agama tersebut dengan bebas. Diktum pertama (mengenai kerajaan-kerajaan Islam di kawasan ini) diambilkan dari sebah teks kuno, Bughyah al-Mustarsyidin, sedangkan diktum kedua hasil pemikiran para ulama Indonesia sendiri, tetapi sebenarnya pernah diungkapkan sarjana Muslim kenamaan Ibn Taimiyyah, yang di negeri ini kemudian dikenal karena menjadi subjek disertasi DR. Nurcholis Madjid. Keputusan muktamar NU sepuluh tahun sebelum proklamasi kemerdekaan, meratakan jalan bagi pencabutan Piagam Jakarta dari pembukaan UUD 1945 oleh para wakil organisasi-organisasi Islam di negeri kita seperti Muhammadiyah dan NU. Karena pimpinan dari gerakan-gerakan Islam tidak mewajibkan, maka negara yang akan didirikan itu tidaklah harus menjadi negara Islam. Dari sisi ini terlihat Islam tidak didekati secara kelembagaan/ institusional, melainkan dari sudut budaya.

Selama “budaya Islam” masih ada di negeri ini maka Islam tidak mengalami kekalahan,dan tidak ada yang harus ‘dipertahankan” dengan tindak kekerasan dan terorisme. Islam memiliki cara hidupnya sendiri, yang tidak perlu dipertahankan dengan kekerasan, karena cukup dikembangkan dalam bentuk budaya. Perkembangan ini telah terjadi di negara kita, seperti adanya MTQ, penerbitan-penerbitan Islam yang berjumlah sangat banyak, dan berbagai manifestasi ke-Islaman lain. Bahkan sekarang, wajah “kesenian Islam” lebih menonjol sehingga layar televisi-pun menampung sekian banyak dari wajah seni Islam yang kita miliki. Karena itu, Islam memiliki dinamika tersendiri, sebagai responsi atas “tekanan-tekanan” modernisasi, terutama dari proses “pem-Barat-an” yang terjadi. Kaum Muslimin di negeri ini dapat menolak atau menerima atas pilihan-pilihan mereka sendiri dari proses tersebut. Hasilnya juga akan berbeda-beda dari satu Muslim ke Muslim lain dan dari satu kelompok ke kelompok lain. Penerimaan beragam atas proses itu akan membuat variasi dari responsi tersebut, yang sesuai dengan firman Allah: “Dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa untuk dapat saling mengenal” (Wa ja’alnakum Syu’uban wa Qabaa’ila li Ta’arafu). Ayat itu jelas memerintahkan adanya ke-bhinekaan dan melarang eksklusifisme dari kalangan kaum muslimin manapun.

Namun sebenarnya , di antara “kalangan teroris” itu terdapat juga mereka yang melakukan tindak kekerasan atas perintah-pesanan dari mereka yang tadinya memegang kekuasaan. Karena mereka masih ingin berkuasa, mereka menggunakan kelompok itu atas nama Islam, untuk menghalangi proses-proses munculnya rakyat ke jenjang kekuasaan. Dengan demikian, kalangan-kalangan itu memiliki tujuan menghadanng proses demokratisasi, dan untuk itu sebuah kelompok Muslimin digunakan untuk membela kepentingan orang-orang tersebut atas nama Islam. Sungguh sayang jika maksud itu berhasil dilakukan. Walaupun berbagai tindakan teror telah dilakukan, rasa-rasanya NU berkewajiban menggagalkan rencana tersebut, dengan bersikap konsisten untuk menolak tindak kekerasan dalam memperjuangkan “kepentingan Islam”. Islam tidak perlu di bela sebagaimana juga halnya Allah. Kedua-duanya dapat mempertahankan diri terhadap gangguan siapapun. Inilah yang dimaksudkan firman Allah; “Hari ini Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Ku-sempurnakan bagi kalian (pemberian) nikmat-Ku, dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai agama” (Al-Yauma Akmaltu Lakum Diinakum wa Atmamtu Alaikum Diinakum wa Atmamtu Alaikum Nikmati wa Radlitu Lakum al-Islama Diinan). Ayat suci ini menunjuk dengan tepat, apa sebab Islam tidak perlu dipertahankan dengan tindakan apapun, kecuali dengan melaksanakan cara hidup Islam itu sendiri. Sangat indah untuk diucapkan, namun sulit dilaksanakan, bukan?
Penafsiran Kembali ‘Kebenaran Relatif’
DALAM dialog dengan para mahasiswa di Samarinda akhir Januari lalu, seorang mahasiswa bertanya; mengapa penulis tak mau menerima sesuatu yang dianggap sebagai pendirian Islam, umpamanya saja mengenai kehadiran ‘negara Islam’? Lagi-lagi, sebuah pertanyaan yang di mana-mana penulis hadapi, terutama dari kalangan anak muda.

Nah, jawaban penulis atas pertanyaan itu, dikemukakan dalam tulisan ini untuk dipikirkan bersama. Kalau ada argumentasi yang kuat, diharapkan disampaikan kepada penulis, bisa jadi mengubah pendirian penulis, atau malah sebaliknya. Ini penting dilakukan, untuk semakin menajamkan argumentasi orang yang pro (menyetujui) atau kontra (menentang) terhadap sebuah gagasan atau pendapat.

Ini adalah hal yang biasa dalam sebuah pertukaran pendapat yang bebas dan terbuka, untuk mencapai kebenaran bagi sebuah persoalan. Kita belum terbiasa dengan hal seperti ini karena sekian lama kita terpasung dalam menyampaikan pendapat. Mengapa? Karena para penguasa otoriter memaksakan pendapat dan memaksakan “kebenaran” miliknya sendiri dengan cara demikian; kalau dibuka pintu perdebatan, salah-salah akan ada argumentasi yang menyangkal ‘kebenaran’ yang dikemukakannya tersebut.

Apalagi, kalau kontra argumentasi itu dikemukakan dalam bentuk pertanyaan. Kalau tidak dapat menjawab, maka sang penguasa itu akan kehilangan pendapat, sesuatu yang tidak diinginkan. Bukankah filosof Yunani kuno Plato pernah menyatakan, sebuah pertanyaan berarti separuh kebenaran. Ketakutan akan kelemahan argumentasi sendiri, menyebabkan seseorang tidak memperkenankan adanya pertukaran argumentasi, yang menjadi dasar sebuah perdebatan terbuka dan saling tukar pendapat. Karenanya sejarah telah mencatat, seorang penguasa otoriter tidak akan bersedia mengadakan dialog dan pertukaran pendapat. Lain halnya dengan agama yang memiliki ‘kebenaran moral’ sendiri, yang tetap ada walaupun ada sanggahan. Kitab suci Alquran menyatakan; “Kalau para hamba-Ku bertanya tentang diri-Ku, maka sesungguhnya Aku dekat (dengan mereka) memenuhi permintaan orang yang berdoa jika (diajukan) kepada-Ku” (idza sa-alaka ‘anni ‘ibadi fa-inni qaribun mujibu da’awata da’i idza da’ani).

Prinsip di atas perlu dikemukakan di sini, karena hanya melalui dialog yang bebas dan terbuka, dapat dicapai kebenaran akhir yang diikuti dan diterima orang yang berpikiran sehat dan wajar. Inilah arti penting dari sikap jujur, untuk mempertahankan kebenaran, berpikir, berpendapat dan menyatakan pendapat. Ini pula yang merupakan ciri berlangsungnya kehidupan demokratis, tidak seperti di beberapa negara tetangga kita. Mereka mengajukan klaim sebagai negara demokratis, namun dengan alasan keamanan intern, diberlakukan kekangan/hambatan-psikologis untuk tidak menyatakan pendapat secara bebas.

Dengan kata lain, yang berlaku di tempat-tempat itu adalah demokrasi prosedural, bukanlah demokrasi sesungguhnya. Kalau ditambahkan embel-embel kata lain pada istilah demokrasi, seperti demokrasi rakyat dan demokrasi Islam, maka pada akhirnya demokrasi itu sendiri akan mati dan tidak muncul ke permukaan.

*****

Kembali pada pertanyaan sang mahasiswa di atas, mengapa ada ‘ajaran Islam’ yang ditolak penulis, dapat dijawab penulis tidak pernah menolak ‘ajaran Islam yang baku’, seperti tauhid dan sebagainya. Namun, penulis hanya menyanggah pendapat yang oleh banyak orang dianggap sebagai ‘ajaran tetap’ dalam agama Islam tersebut. Padahal, ajaran itu telah berubah melalui perubahan zaman, dengan menggunakan cara tertentu. Di antara cara tertentu itu adalah penafsiran ulang (re-interpretasi) oleh kaum muslimin sendiri, atas sesuatu yang tadinya diterima sebagai kebenaran oleh mereka. ‘Kebenaran relatif’ itu lalu berubah dengan adanya penafsiran ulang itu, oleh Islam sendiri sebagai agama terakhir dalam pandangan para pemeluknya.

Contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah penafsiran ulang atas ucapan Rasulullah SAW; “Maka Aku (akan) membanggakan kalian (di hadapan) umat-umat (lain) pada hari kiamat” (Fa-inni mubahin bikum yauma al-qiyamah). Dalam penafsiran lama, kaum muslimin mengartikan kebanggaan beliau itu bertalian dengan jumlah (kuantitas) kaum muslimin, hingga mereka-pun berbanyak-banyak anak. Tafsiran ulang yang baru, yang didukung oleh kenyataan meluasnya program keluarga berencana (KB) di kalangan kaum muslimin, minimal di negeri ini, menunjuk pada arti lain dari apa yang dibanggakan itu: kebanggaan akan mutu (kualitas) kaum muslimin sendiri. Dengan demikian, Islam dapat berkembang sesuai dengan perubahan tempat dan waktu (yasluhu li kulli zamanin wa makanin).

Dengan demikian, apa yang tadinya dianggap sebagai ‘kebenaran’ paling tidak, lalu dianggap oleh sebagian kaum muslimin sendiri pada masa kini sebagai ‘kebenaran relatif’ yang perlu diberi tafsiran baru. Contoh di atas merupakan ‘sebuah kenyataan empirik’ yang tidak dapat dibantah oleh siapapun. Sebuah tafsir ulang lain yang dapat dikemukakan di sini adalah melaksanakan sumpah setia ketika mereka berjanji; “orang-orang yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan prasetia” (Wa al-mufuuna bi ‘ahdihim idza ‘aahadu), sebuah ungkapan firman Allah yang tadinya dianggap janji secara umum saja. Ini berarti, tafsir ulang yang memberikan arti lain atas istilah tersebut, dengan pengertian baru ‘menjunjung tinggi profesionalisme’. Bukankah janji tertinggi dari seseorang, disampaikan ketika ia mengucapkan sumpah/prasetia jabatan? Bukankah dengan demikian, berarti Islam sangat mengutamakan profesionalisme, dengan segala implikasinya?

*****

Jelaslah dari keterangan di atas, dengan tafsir ulang seperti itu, ‘kebenaran relatif’ Islam dapat ditegakkan secara pasti. Dengan demikian, terdapat jalinan sangat halus antara keyakinan dan data empirik yang terdapat dalam diri seorang muslim. Hal ini telah terjadi dengan sendirinya, sebagai proses alami yang wajar, dalam kehidupan masyarakat kaum muslimin. Ini dimungkinkan oleh kenyataan yang terdapat dalam sejarah kaum muslim sendiri, seperti yang kita ketahui dari bacaan selama ini. Di sinilah sangat terasa kegunaan sebuah adagium ‘perbedaan pendapat para pemimpin adalah rahmat bagi umat’ (ikhtilaf al-a’immah rahmatu al-ummah). Kalau kita pegang adagium ini, maka yang dilarang hanyalah perpecahan dan pertentangan saja di antara kita.

Ketentuan Ushul Fiqh (teori Hukum Islam) berbunyi; bahwa hukum agama (qarar al-hukmi) terbagi dalam dua jenis; qath’iyah al tsubut (ketentuan berdasarkan sumber tertulis atau dalil naqli) dan dhanniyah al-tsubuthukum tidak berdasarkan sumber tertulis atau dalil aqli). Dengan demikian, sepanjang dapat diterima oleh akal, maka sebuah hukum agama dapat berlaku berdasarkan pandangan akal dan selama tidak bertentangan dengan sumber-sumber tertulis Alquran dan Alhadits. Pembedaan ini dilakukan dalam teori hukum Islam karena tidak semua hal lalu ada sumber-sumber tertulisnya. Bagi kasus-kasus yang termasuk dalam kategori ini, maka dibuatlah jenis hukum yang tidak berdasarkan pada sumber-sumber tertulis. Termasuk dalam hal ini, fatwa Syekh Qardhawi, bahwa bunga bank yang tidak eksploitatif dan berguna bagi reproduksi barang (termasuk dalam ongkos produksi), tidaklah dapat dianggap riba.

Sekarang, masalahnya tinggal menentukan bila sebuah hukum agama berdasarkan sumber tertulis Alquran dan Alhadits (qath’iyah al-tsubut), sedangkan keadaan membutuhkan penafsiran baru, lalu apakah yang harus diterapkan dalam hal seperti itu? Dalam hal ini, kita lalu menggunakan sebuah kaidah hukum Islam (qaidah al-fiqh), bahwa keadaan tertentu dapat memaksakan sebuah larangan untuk dilaksanakan (al-dharuratu tubihu al mahdhurat). Hal ini, umpamanya saja, terlihat pada kasus negara yang melakukan ratifikasi deklarasi universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) —-(universal declaration of human rights) yang ditetapkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, termasuk dalam HAM itu adalah masalah berpindah agama. Ini tentu bertentangan dengan ketentuan Hukum Islam (HI), orang yang berpindah agama Islam kepada agama lain harus dianggap sebagai apostacy (murtad). Kalau ini dilaksanakan, maka lebih dari 25 juta jiwa penduduk Indonesia -yang berpindah dari agama Islam ke agama lain dalam lingkungan negara Republik Indonesia, dapat dijatuhi hukuman mati menurut Hukum Agama (fiqh). Mudah merumuskannya, tapi sulit melaksanakannya, bukan?

Pendidikan dalam Proses Re-Interpretasi

Proses memantapkan demokrasi dalam kehidupan sebuah bangsa banyak sekali tergantung pada jenis pendidikan yang dimiliki. Pendidikan yang terlalu bersandar pada norma-norma ajaran / dogma, baik itu agama ataupun lainnya, akan mengakibatkan matinya motivasi untuk merubah keadaan. Hal ini mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa sebuah bangsa memahami ajaran-ajaran/ dogma yang ada sebagai sesuatu yang pasti dan tidak akan berubah. Padahal, keseluruhan sejarah Islam menunjukkan bagaimana ajaran-ajaran agama tersebut selalu mengalami re-interpretasi (penafsiran ulang) pada tiap-tiap generasi. Memang ada beberapa ajaran pokok yang tidak akan berubah, seperti Tauhid, tetapi selain itu, selalu ada re-interpretasi dalam ajaran Islam. Bahkan hal-hal yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an dan Al-Hadits juga mengalami re-interpretasi. Contohnya adalah masalah perbudakan, yang dimuat oleh puluhan ayat, sekarang sudah dianggap tidak ada lagi.

Al-‘Asmawi, mantan ketua Mahkamah Agung Mesir, menyatakan bahwa selama sebuah diktum Hukum Pidana publik mengandung arti cegahan dan hukuman (deterrence and punishment), maka ia dapat disamakan dengan diktum Hukum Pidana Islam. Kesimpulannya, apa yang dikemukakannya itu adalah bagian dari proses re-interpretasi dari hukum Islam di atas. Namun yang tidak dapat dipersoalkan adalah prinsip-prinsipnya, sedangkan rincian masalah adalah bagian dari proses re-interpretasi. Ini adalah sudut pandangan yang sesuai dengan perkembangan sejarah Islam selama ini. Justru pengertian inilah yang harus kita perhatikan dengan baik-baik jika ingin diterapkan prinsip “Islam sesuai dengan kebutuhan tiap tempat dan zaman” (al-Islam yasluhu kulla makanin wa zamanin).

Pada waktu Shalah al-Din al-Ayyubi (Saladdin the Saracen) menjadi raja Dinasti Mamalik dalam dunia Islam, menghadapi raja-raja Kristen dari Eropa dalam perang Salib, ia menyelenggarakan Maulid Nabi SAW untuk membangkitkan semangat perlawanan kaum Muslimin. Itulah yang sekarang diikuti oleh dunia Islam di manapun, kecuali di Saudi Arabia. Lagi-lagi itulah proses re-interpretasi dalam pemikiran kaum Muslimin, hingga di negara kita dijadikan hari raya nasional yang juga diperingati kalangan Istana Negara. Hal ini ditampung dalam teori legal Islam (ushul al-fiqh) dengan diktum “Apa yang sebuah kewajiban tidak akan terlaksana dengan sempurna tanpa kehadirannya, Maka hal itu pun menjadi wajib pula” (Ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajibun), sebuah diktum sentral dalam literatur hukum Agama. Inilah bukti-bukti betapa kuatnya keinginan melakukan re-interpretasi dalam sejarah Islam.

*****

Jika sebuah agama dapat menerima proses re-interpretasi, maka proses ini juga harus menjadi bagian dari sistem pendidikan kita. Sebagai sebuah bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maka bangsa kita wajib memasukkan prinsip-prinsip re-interpretasi ini dalam sistem pendidikan yang akan diterapkannya. Tetapi, mengikuti prinsip ini tidaklah mudah. Karena pertama, harus diingat betapa besar pengaruh ajaran /dogma agama dan lainnya, dalam kehidupan bangsa ini di masa lampau. Kedua, karena pendidikan agama itu sendiri selalu cenderung kepada pemantapan ajaran, dengan sendirinya hal-hal yang bersifat re-interpretatif tidak begitu memperoleh perhatian.

Tapi simaklah contoh-contoh berikut ini. Pada tahun 1973 – 1975, KH.M. Bisri Syansuri, selaku Ra’is ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terlibat bersama-sama dengan enam orang ahl-al-fiqh dari berbagai organisasi Islam, berhasil merubah pengertian tentang pengaturan kelahiran. Kalau tadinya hal itu dirumuskan sebagai pembatasan kelahiran (birth control), maka mereka bertujuh melakukan perumusan kembali dengan mengemukakan rumusan baru tentang Keluarga Berencana (KB). Perumusan ulang ini juga menyangkut penggunaan metode, obat-obatan dan alat-alat yang tidak boleh bertentangan dengan ketentuan agama, seperti penggunaan kondom, pil KB dan metode yang tidak menentang hak reproduksi manusia di tangan Tuhan, yang akibatnya melarang sterilisasi permanent dan pengguguran kandungan (abortus).

Demikian pula keputusan Menteri Agama KH. A. Wahid Hasyim, ayahanda penulis, untuk memperkenankan para putri/anak perempuan untuk menjadi pelajar Sekolah Guru Hakim Agama Islam Negeri (SGHAIN) yang belakangan menjadi fakultas Syari’ah jurusan qadha’ di IAIN (sekarang UIN). Karena kedudukan pria dan wanita sama dihadapan konstitusi, yang belakangan menjadi “aturan main” dalam penunjukan/pengangkatan Hakim Agama Islam wanita. Sekali lagi contoh-contoh tadi adalah proses perumusan ulang/ re-interpretasi dalam Hukum Agama Islam, walaupun tidak secara terang-terangan dinyatakan demikian.

Bahwa hal ini terjadi tanpa ada reaksi yang berkepanjangan, menunjukkan bahwa sebenarnya gagasan itu memang diterima oleh masyarakat secara luas. Ini menunjukkan bahwa di negara kita kehidupan beragama yang berjalan dalam masyarakat, telah dipengaruhi oleh proses re-interpretasi atas ajaran-ajaran agama itu sendiri, walaupun hal itu tidak disadari oleh sebagian besar kaum agamawan/ulama Islam. Tidak mengherankan, karena memang secara formal belum pernah diakui dalam Islam adanya proses re-interpretasi tersebut.

Dengan sendirinya, kejadian seperti itu menunjukkan adanya kesenjangan antara teori dan praktek dalam kehidupan kaum muslimin di negeri ini. Secara teoritis, ajaran Islam tidak mengalami re-interpretasi, namun dalam prakteknya hal itu terjadi terus menerus tanpa keberatan dari mayoritas bangsa yang beragama Islam. Karena pendidikanlah yang menjadi penengah antara teori dan praktek tersebut.

*****

Proses re-interpretasi tersebut dalam praktek berjalan terus, walaupun dalam kenyataannya bangsa kita menuju kepada perjalanan sejarah yang berlawanan. Ketundukan kepada “ajaran leluhur” dalam kehidupan bangsa kita sangatlah kuat, hingga seolah-olah semua tantangan akan dapat diatasi, jika bangsa ini “kembali kepada ajaran leluhur”. Kecenderungan sangat kuat ini, di masa ini juga dikumandangkan oleh mereka yang selalu mengacu kepada “ajaran Bung Karno”. Padahal, ada ajaran beliau yang belum jelas bagi kita, kecuali hal-hal berikut; kemandirian bangsa ini dari pengaruh luar, asas kebangsaan di hadapan semua isme yang ada di dunia dan penolakan terbuka terhadap sistem kehidupan dunia yang serba timpang dewasa ini. Dengan kata lain, perpolitikan kita yang terlalu banyak berorientasi kepada kejayaan bangsa di masa silam, ternyata sekarang diperkuat oleh “paham Soekarnoisme” dengan hanya menggunakan tokoh ini sebagai slogan, bukannya sebagai figur sejarah yang dapat mengikuti proses re-interpretasi tersebut.

Kenyataan telah berbicara, bahwa bangsa kita sanggup melakukan re-interpretasi dalam berbagai aspek kehidupan, sedangkan pada saat yang sama tetap mencintai Bung Karno dan menerima ajaran para leluhur. Kenyaataan sejarah inilah yang sebenarnya penting untuk kita pahami, sebagai kemampuan luar biasa dari bangsa kita untuk meramu dari berbagai pandangan dan ajaran yang sebenarnya saling bertentangan. Hal inilah yang sebenarnya dimaksudkan dengan istilah keberagamaan/ kebhineka-an negeri kita. Hal yang tampaknya saling berbeda itu, dalam kenyataan menjadi sebuah platform kehidupan yang menyatukan kita sebagai bangsa. Dalam asal-usul kita yang sangat berbeda; letak geografis, satuan etnis, formalitas agama dan perbedaan bahasa, justru menjadikan kita sebagai bangsa yang besar. Kita menjadi besar dalam keberagaman, sering di-istilahkan sebagai “melting pot” (kuali peleburan).

Karena itu, sangatlah penting bagi kita untuk mewujudkan kenyataan itu dalam sistem pendidikan nasional kita. Pada saat ini, pendidikan kita cenderung untuk menyeragamkan kehidupan anak didik dalam berbagai hal. Dari baju seragam hingga ajaran-ajaran yang juga sangat seragam, pendidikan kita telah membunuh naluri keberagaman kita, sebuah kenyataan yang sangat ganjil yang benar-benar terjadi dalam kehidupan kita. Padahal inilah yang membunuh demokrasi dalam jangka panjang. Jika kita menginginkan demokrasi dalam kehidupan kita sebagai bangsa melalui proses jangka panjang, maka kita harus memulai dengan penataan pendidikan nasional kita. Sebuah proses demokratisasi di negeri ini memerlukan penataan kembali sistem pendidikan nasional kita secara tuntas dan sikap yang lain dari ketentuan di atas, hanya akan membawa reformasi dan demokratisasi semu belaka, seperti yang tampak terjadi saat ini. Sungguh, reformasi menuju demokratisasi yang mudah dikatakan, namun sulit untuk dilaksanakan, bukan?

PKB, Syariah, dan "Negara Sekuler"

Sebuah tuduhan besar diajukan oleh HM Yusuf Hasyim (YH) dalam peresmian partai yang dipimpinnya, Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan dialamatkan ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang kebetulan didirikan penulis dan dipimpin Drs. Mahori Abdul Jalil.
Tuduhan yang diajukannya sangatlah menarik: PKB meninggalkan perjuangan syariah dan mengusahakan adanya negara sekuler. Tuduhan itu sangatlah menarik karena dapat dibalik: Pak YH, yang memimpin partai umat Islam itu, hanya memperjuangkan syariah Islamiah tanpa memperjuangkan hukum nasional, sebagai kepentingan mayoritas bangsa. Ini kalau penulis mau main kau dan ingin menjatuhkan Pak YH. Tetapi, penulis tidak bermaksud demikian, tetapi ingin membuka dialog secara sehat.
Sebagai permulaan, patut dikemukakan bahwa tujuan PKB adalah sebagaiman halnya semua organisasi Islam: berlakunya syariat di bumi Indonesia. Lalu, apakah yang memmbedakannya dari organisasi-organisasi dan partai yang lain? Jawabnya sederhana saja: bagi NU, syariat Islam berlaku sebagai konvensi dan bukan aturan formal.
Kalau Muktamar NU di Banjarmasin pada 1935 mewajibkan dipertahankannya Kerajaan Hindia Belanda, itu adalah keputusan muktamar, bukan hasil keputusan lembaga negara. Katakanlah waktu itu volksraad. Kalau sepuluh tahun kemudian lahir Resolusi Jihad yang mewajibkan umat Islam mempertahankan kemerdekaan, itu juga bukan keputusan resmi lembaga pemerintahan, melainkan oleh pengurus besar (hoofd beestur) NU, yang waktu itu berkududukan di Surabaya.
Kalau Muktamar NU melahirkan persetujuan kepada asas Pancasila dan menjadikannya dasar kehidupan organisasi tersebut, maka itu diputuskan dalam Muktamar NU 1984. Demikian seterusnya. Semua mencerminkan bahwa penetapan hukum itu dilakukan atas swakarsa rakyat tanpa melalui peran negara.
Mengapa demikian? Karena ini adalah keputusan hukum agama (fiqh), dan bukan keputusan resmi pemerintah yang harus dihjadikan undang-undang negara. Hanya kalau sudah menjadi hukum agama, dapat saja dia dijadikan keputusan resmi, dan dapat pula tidak.
Contoh hukum agama yang dapat dijadikan landasan organisasi adalah keputusan berasas Pancasila. Sebaliknya, keputusan Muktamar Banjarmasin 1935 maupun hasil Rapat PB NU pada 1945 mengenai Resolusi Jihad belum pernah dicoba sekali pun untuk dijadikan keputusan resmi. Padahal, kedua keputusan itu sama-sama mengikat warga NU.
Kenyataan inilah yang membuat NU menjadi organisasi yang fleksibel. Umpamanya saja, sikap NU di Dewan Konstituante untuk mempertahankan asas atau dasar Islam tidak pernah dijadikan sikap resmi organisasi. Karena itu, NU tidak terikat langsung dengannya. Jika itu terjadi pada PKU yang bersikukuh kjepada kebenaran pendiriannya, jelas dalam waktu yang tidak lama akan mendapat sambutan negatif dari masyarakat Indonesia yang cenderung bersikap fleksibel. Banyak organisasi Islam yang berhenti di tengah jalan karena bersikukuh atau mempertahankan apa yang mereka anggap sebagai kebenaran ataupun karena membela pendirian orang dengan menafikan kepentingan rakyat kebanyakan.
Jelaslah bahwa warga NU berpegang pada syariah Islamiah, dalam arti, keputusan hukum agama yang mengikat mereka atas dasar pilihan. Inilah yang membuat mengapa ada ulama NU yang mengharamkan bank, tetapi ada juga yang mengijinkan BPR. Ini karena mereka membuat pilihan masing-masing atas hukum agama, bukan melaksanakan keputusan organisasi. Ruang seperti ini diberikan oleh NU pada warganya. Kalau jalan pikiran Pak YH tentang syariah Islamiah diikuti maka dalam waktu sebentar saja partainya akan kurang mendapat simpati masyarakat.
Ini artinya NU memperjuangkan syariah tidak melalui hukum-hukum dan simbol-simbol formal, tetapi sebagai ruh yang menjiwai setiap produk hukum positif yang dibuat oleh negara. Substansi syariah Islamiah ini juga bisa terwujud melalui gerakan demokratisasi atau menegakkan negara-negara bangsa. Pikiran-pikiran NU yang demikian inilah yang akan diperjuangkan melalui PKB dalam kancah politik praktis.
***
Dalam hal berdirinya PKB, yang menurut Pak YH terlalu diberi hati oleh PB NU, dapatlah diberikan penjelasan dengan mudah. Pada permulaannya, penulis malas memikirkan adanya sebuah partai untuk warga NU. Demikian pula, penulis juga malas memikirkan upaya mengumpulkan orang di Parkir Timur Senayan untuk ber-istighotsah. Bukankah warga NU telah berkumpul sejumlah satu juta orang di Lapangan Tambaksari Surabaya?
Beberapa bulan penulis menganggap hal itu tidak perlu. Tetapi, hampir setiap orang tamu yang menjenguk penulis selalu membisikkan pentingnya mengumpulkan warga Nu dalam sebuah partai dan atau menyelenggarakan istighotsah di Jakarta. Setelah belasan ribua orang membisikkan hal yang sama, aphirnya penulis berkesimpulan hal itu harus dilaksanakan.
Sejak saat itu, penulis memanggil KH. Manarul Hidayah dari Jeruk Perut, Jakarta, seorang yang banyak diikuti orang di Jakarta, untuk menyelenggarakan acara istighotsah. Demikian juga, penulis mulai mencari siapa yang pantas menjadi ketua umum partai baru yang akan didirikan oleh warga NU. Hasilnya sangat menggembirakan. Mungkin karena berkah tokoh-tokoh NU yang sudah meninggal dunia dan antusiasme yang cukup tinggi dari warga NU, acara tersebut dapat dilaksanakan dengan sukses dan mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Setidak-tidaknya, hal inilah yang dikatan banyak orang pada penulis.
Acara istighotsah di Parkir timur Senayan berjalan lancar dan dihadiri satu juta orang pengikut NU. Sedangkan berdirinya PKB disetujui oleh KH Ilyas Ruchiyat sebagai rais aam, K.H. Munasirn Ali sebagai musytasar, K.H. A. Muchid Muzadi, K.H. Musthafa Bisri, masing-masing sebagai rais syuriah PB NU, dan penulis sendiri sebagai ketua umum PB NU.
Bahkan, beliau-beliau iktu hadir pada saat deklarasi partai. Walaupun hanya 5.000 orang yang datang ke rumah penulis saat peresmian PKB, partai ini segera menyebar ke mana-mana karena, baik pengurus wilayah NU (tingkat kabupaten) sama-sama beranggapan perlulah PKB didirikan di daerah masing-masing. Bahkan untuk tingkat kecamatan (maelis wakil cabang) maupun ranting (tingkat kelurahan) sekarang mendirikan kepengurusan PKB, sebagai pendukung. Semua ini menunjukkan betapa besarnya antusiasme dan dukungan masyarakat kepada PKB.
***
sebuah pertanyaan mengganggu partai tersebut dalam jangka pangjang: mengapa PKB tidak menjadikan kepentingan agama sebagai pijakan? Mengapa justru nasionalisme dan demokrasi sebagai dasar pijakannya? Di atas tadi dijelaskan bahwa PKB mengutamakan kepentingan nasional. Untuk menyesuaikan kepentingan hukum nasional dengan fiqh, tentu menjadi tujuan utama PKB, jika bernasib baik, menang dalam pemilu.
Tetapi, sebuah undang-undang haruslah dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal ini, dapat saja terjadi kepentingan nasional tidak terletak pada hukum fiqh. Dalam keadaan seperti ini tidak dapat dihindarkan adanya pertentangan antara hukum agama (fiqh) dan rancangan undang-undang.
PKB dalam hal ini tentu akan bertindak mengutamakan substansi hukum Islam melalui hukum nasional dan bukannya mengutamakan simbol-simbol formal keagamaan. Mengapa? Karena Republik Indonesia adalah sebuah negara dengan kepentingan-kepentingan nasional sendiri dan bukan sebuah negara agama.
Agaknya, hal ini yang dilupakan oleh Pak YH dalam serangan-serangannya yang gencar terhadap PKB. Anehnya, warga NU memilih pandangan masing-masing dan tidak terikat pada keputusan organisasi sebagaimana dikesankan oleh kata-kata Pak YH sendiri.
Demikianlah hal-hal yang perlu dijelaskan dari pernyataan-pernyataan yang diajukan Pak YH ketika mendirikan PKU. Secara tidak langsung, pernyataan tersebut merupakan sikap yang mematikan warga NU, yang dengan susah payah didirikan pada 1926 dan dipelihara sejak itu oleh para pemimpinnya.


Ras dan Diskriminasi di Negara Ini

Dalam perjalanan ke gedung TVRI saat subuh awal Februari 2003, penulis mendengar siaran sebuah radio swasta Jakarta yang menyiarkan dialog tentang masalah ras dan diskriminasi. Karena format siarannya dialog interaktif, maka dapat dimengerti jika para pendengar melalui telepon mengemukakan pendapat dan pertanyaan berbeda-beda mengenai kedua hal itu. Ada yang menunjuk kepada keterangan etnografis, yang menyatakan orang-orang di Asia Tenggara, Jepang, Korea, Tiongkok, Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan mempunyai penduduk asli dari ras Mongol (mongoloid). Karena itu narasumber pada dialog itu, menolak perbedaan antara kaum asli dan kaum turunan di Indonesia. Menurutnya kita semua berasal dari satu turunan dan tidak ada bedanya satu dari yang lain. Maka pembagian kelompok asli dan keturunan di negeri kita tidak dapat diterima dari sudut pemikirannya.

Pendengar lain juga memiliki pandangan yang sama, ada yang melihat dari segi sejarah atau historis, bahwa orang yang mempunyai asal-usul sangat berbeda secara bersama-sama mendirikan negara ini, dengan demikian dari masa itulah harus dihitung titik tolak eksistensi kita sebagai bangsa. Menurut pendapat ini, kalau menggunakan ukuran tersebut kita tidak akan dapat membeda-bedakan warga negara Indonesia yang demikian besar jumlahnya. Dengan kata lain, pendapat ini juga menolak pembedaan para warga negara kita menjadi asli dan keturunan, karena hal itu tidak berasal dari kenyataan historis tentang pembentukan bangsa ini. Menurut pendapat ini, perbedaan seperti itu terlalu dipaksakan dan tidak sesuai dengan kenyataan empirik, ini berarti penolakan atas teori perbedaan tersebut.

Seorang pendengar, bahkan menolak bahwa ada diskriminasi golongan di negeri kita. Yang ada adalah diskriminasi perorangan atau diskriminasi oknum yang terjadi pada warga dengan ras yang berbedai. Penulis bertanya-tanya akan hal itu, bagaimana kita menjelaskan adanya semacam kuota yang terjadi di negeri kita, seperti orang keturunan Tionghoa hanya boleh mengisi 15% kursi mahasiswa baru disebuah Perguruan Tinggi Negeri? Juga, bagaimana menerangkan bahwa dalam seluruh jajaran TNI, hanya ada dua orang Perwira Tinggi dari ras “non pribumi”, yaitu Mayjen Purnawirawan TNI Iskandar Kami dan Brigjen Purnawirawan TNI Teddy Yusuf? Juga pertanyaan sebaliknya, soal adanya “ kuota halus” di kalangan masyarakat keturunan Tionghoa sendiri, mengenai sangat langkanya manager dari “orang-orang asli” dalam perusahaan-perusahaan besar milik mereka?

Ada juga pendengar yang menyebutkan, bahwa di masa lampau bendera Merah Putih berkibar diatas sejumlah kapal laut milik Indonesia, yang menandakan kebesaran angkatan laut kita pada masa itu. Dalam kenyataan, sebenarnya angkatan laut kita waktu itu adalah bagian dari angkatan laut Tiongkok. Jika dibandingkan dengan keadaan sekarang, seperti kekuatan angkatan laut Australia dan Kanada, yang menjadi bagian dari sebuah dominion angkatan laut dari angkatan perang Inggris Raya (Great Britain). Jadi sebagai angkatan laut dominion, angkatan laut kita pada era tersebut adalah bagian dari sebuah angkatan laut Tiongkok. Kenyataan sejarah ini harus kita akui, jika kita ingin mendirikan/mengembangkan sebuah entitas yang besar dan jaya.

Sebelum masa ini para warga negara keturunan Tionghoa harus berganti nama menjadi nama “pribumi”, tidak diperkenankan mendirikan sekolah-sekolah, tidak diperkenankan beragama Khonghucu dan tidak diperbolehkan membuat surat kabar atau majalah umum berbahasa Mandarin. Terlebih parah lagi adalah larangan beragama Khonghucu, yang didasarkan pada asumsi bahwa aliran tersebut adalah sebuah filsafat hidup bukannya agama. Sebagai akibat, kita memiliki pengusaha bermata sipit yang bernama Mochammad Harun Musa, padahal jelas sekali, dia bukan seorang Muslim atau pun bukan beragama Kristiani, melainkan ia “beragama” Budha dalam kartu identitasnya.

Dalam hal keyakinan ini, kita berhadapan dengan pihak-pihak pejabat pemerintah yang beranggapan, negara dapat menentukan mana agama dan mana yang bukan. Mereka sebenarnya memiliki motif lain, seperti dahulu sejumlah perwira BAKIN ( Badan Koordinasi Intelejen Negara) yang beranggapan jika warga “keturunan Tionghoa” dilarang beragama Khonghucu, maka para warga negara itu akan masuk ke dalam agama “resmi” yang diizinkan mereka. Inilah bahaya atas penafsiran oleh negara, padahal sebenarnya yang menentukan sesuatu agama atau bukan, adalah pemeluknya sendiri. Karena itu, peranan negara sebaiknya dibatasi pada pemberian bantuan belaka. Karena hal itu pula lah penulis menyanggah niatan Kapolda Jawa Tengah, yang ingin menutup Pondok Pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Solo. Biarkan masyarakat yang menolak peranannya dalam pembentukan sebuah negara Islam di negara ini !

Di sini harus jelas, mana yang menjadi batasan antara peranan negara dan peranan masyarakat dalam menyelenggarakan kehidupan beragama. Negara hanya bersifat membantu, justru masyarakat yang harus berperan menentukan hidup matinya agama tersebut di negeri ini. Di sinilah terletak arti firman Tuhan dalam kitab suci Al-Qur’an: “Tak ada paksaan dalam beragama, (karena) benar-benar telah jelas mana yang benar dan mana yang palsu“(La ikhroha fi aldin qul tabayyana al-rus’ydu min ar-ghayyi)”. Jelas dalam ayat itu, tidak ada peranan negara sama sekali melainkan yang ada hanyalah peranan masyarakat yang menentukan mana yang benar dan mana yang palsu. Jika kesemua agama itu bersikap saling menghormati, maka setiap agama berhak hidup di negeri ini, terlepas dari senang atau tidaknya pejabat pemerintahan.

Sangat jelas dari uraian di atas, bahwa diskriminasi memang ada di masa lampau, tetapi sekarang harus dikikis habis. Ini kalau kita ingin memiliki negara yang kuat dang bangsa yang besar. Perbedaan di antara kita, justru harus dianggap sebagai kekayaan bangsa. Berbeda, dalam pandangan Islam wajar terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi pada tingkat sebuah bangsa besar, seperti manusia Indonesia, Kitab suci Al-Qur’an menyebutkan: “Berpeganglah kalian kepada tali Tuhan dan secara keseluruhan jangan terpecah-pecah dan saling bertentangan“ (Wa’ tashaimu bi habli allah jami’an wa la tafarraqu). Ayat kitab suci tersebut jelas membedakan perbedaan pendapat dengan pertentangan, yang memang nyata-nyata dilarang.

Walau telah lewat, tulisan ini dimaksudkan sebagai hadiah Tahun Baru Imlek yang harus kita hargai, seperti hari-hari besar agama yang lain. Tentu, hadiah berupa peletakkan dasar-dasar perbedaan diantara kita, sambil menolak pertentangan dan keterpecah-belahan diantara komponen-komponen bangsa kita, jauh lebih berharga dari pada hadiah materi. Apalagi, jika penerima hadiah itu berlimpah-limpah secara materi, sedangkan pemberi hadiah itu justru secara relatif lebih tidak berpunya. Memang mudah sekali mengatakan tidak boleh ada diskriminasi, tetapi justru upaya mengikis habis upaya itu memerlukan waktu, yang mungkin memerlukan masa bergenerasi dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Memang selalu ada jarak waktu sangat panjang antara penetapan secara resmi dengan kenyataan empirik dalam kehidupan. Mudah dirumuskan, namun sulit dilaksanakan.

Sikap Benar Dalam Kasus Bali

Pada saat tulisan ini dibuat, terjadi perbedaan pendapat tajam mengenai kasus peledakan bom di Bali. Adakah itu ulah Abu Bakar Ba’asyir atau tidak. Yang terlibat perbedaan ini adalah para pejabat pemerintah melawan “orang luar“ seperti Emha Ainun Nadjib dan Adnan Buyung Nasution, SH. Pemerintah beralasan dengan menangkap Abu Bakar Ba’asyir, pemerintah berusaha mencari bukti hukum adakah orang itu terlibat dengan peledakan bom tersebut atau tidak karena itulah, orang itu diambil dari Rumah Sakit PKU di Solo, dan di pindahkan ke Rumah Sakit Polri di Kramat Jati, Jakarta. Di harapkan dengan demikian, penyelidikan dapat segera dimulai oleh Aparat Kepolisian, dengan harapan persoalannya akan segera diketahui dan orang itu akan dibawa ke pengadilan kalau ada bukti ia bersalah.

Di Australia, hari minggu 20 Oktober 2002 menjadi hari berduka, dengan gereja-gereja dan tempat-tempat beribadah lainnya melakukan kebaktian duka bagi para korban peledakan bom di Bali itu. Semenjak perang dunia ke dua lebih dari 50 tahun yang lalu, jumlah orang Australia yang meninggal dunia akibat tindak kekerasan belum pernah sebesar itu, karena itu dapat di mengerti kemarahan orang-orang Australia yang menuntut segera dibuktikannya para pelaku tindak kekerasan peledakan bom di Bali tersebut. Sudah dapat dimengerti, walaupun harus disesalkan tindakan pengerusakan masjid oleh sementara orang yang marah di Benua Kangguru itu. Juga dapat dimengerti pengiriman para penyelidik Australia dan Amerika Serikat untuk mengetahui para pelaku itu, karena hilangnya kepercayaan, apakah benar pemerintah Indonesia akan menyelidiki secara tuntas kasus tersebut?

Kecenderungan menyalahkan Abu Bakar Ba’asyir dan kawan-kawannya dari “Gerakan Islam Garis Keras”, dilawan oleh sementara kalangan dalam negeri sendiri. Emha Ainun Nadjib menyatakan di Radio Ramaco, jakarta bahwa Abu Bakar Ba’asyir tidak akan melakukan hal itu. Walaupun ia menyesalkan sikap Abu Bakar Ba’asyir yang tidak kooperatif dengan siapapun dalam hal ini. Tetapi, Abu Bakar Ba’asyir telah siap menerima akibat sikap non-kooperatifnya. Menurut Emha Ainun Nadjib, Ba'asyir termasuk menjadi "martir-sahid" bagi agama Islam. Adnan Buyung Nasution SH menyatakan di media massa, adanya anggapan dari luar negeri, bahwa Abu Bakar Ba’asyir menjadi aktor Intelektual kejadian pengeboman tersebut, karena itu ia bersedia menjadi pembela tokoh tersebut benarkah sikap itu? Tidak, kalau ia berpendapat Abu Bakar Ba’asyir tidak bersalah. Proses pengadilanlah yang akan membuktikan hal itu benar atau tidaknya. Bukan karena tokoh seperti dirinya, dan juga bukan karena hakim yang kita belum tahu masuk mafia pengadilan atau tidak.
Karena kita mudah menjadi partisan dalam perbedaan pendapat yang terjadi, lalu kita mudah memihak kepada pendirian yang kita anut. Juga dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir ini, yang jika disarikan berbunyi: "Benarkah ia terlibat dangan kejadian peledakan bom di Bali itu?" "Tidakkah ia menjadi korban baru konspirasi asing/ komplotan untuk memburukkan nama Indonesia dan atau Islam?". Inilah yang harus di periksa dengan teliti, dan sebuah jawaban yang salah akan berakibat buruk bagi Indonesia, maupun pihak-pihak Asing itu. Kejadian ini mengingatkan kita pada sikap Senator Robert E. Taft dari negeri bagian Ohio yang dalam tahun 1948 mengajukan kritik atas pengadilan terhadap diri para pemimpin Nazi di Jerman, dan menghukum mati mereka di tiang gantungan. Menurut Taft, tindakan itu melanggar Undang-undang Dasar Amerika Serikat dan untuk sikapnya membela kebenaran itu, ia kehilangan pencalonan untuk menjadi Presiden Amerika Serikat.

Dalam kasus pengeboman di Bali itu, sikap Emha Ainun Nadjib dan Adnan Buyung Nasution SH itu jelas menimbulkan keberpihakan kepada Abu Bakar Ba’asyir. Tetapi, sikap itu memiliki landasan empirik, dan semangat orang-orang asing yang menggangap ia terlibat dalam kasus ini, tidak memiliki landasan empirik. Tentu saja tidak boleh berbuat demikian karena kita adalah negara besar dan memiliki Undang-undang Dasar (UUD), yang menyebutkan dalam pembukaan UUD, dan mendirikan negara yang adil dan makmur. Kalau kita menyimpang dari hal itu, berarti kita tidak setia kepada UUD itu, yang kita buat sendiri dan seharusnya kita pertahankan habis-habisan.

Tetapi, sikap sama tengah seperti ini, memang tidak populer lebih mudah untuk mengikuti salah satu dari dua buah pendapat tersebut: "Abu Bakar Ba’asyir memang terlibat dengan kasus pengeboman di atas atau sebaliknya ia tidak bersalah sama sekali." Sikap tidak populer ini jarang diambil orang, karena menampilkan baik pendapat pertama maupun pendapat kedua. Dengan kata lain, sikap untuk mempercayai hasil penelitian empirik dalam kasus ini memang tidak populer, tetapi sikap ini harus kita ambil. Kalau kita cinta kepada undang-undang sendiri. Sikap lain, baik pro dan kontra keterlibatan Abu Bakar Ba’asyir dalam kasus peledakan bom di Denpasar itu, berarti kita mengkhianati UUD kita sendiri. Karenanya, mau tidak mau kita harus mengambil sikap tegas, yaitu melakukan kajian empirik yang tuntas tentang hal itu. Sikap lain kita tidak terima karena kita sudah terlalu lama menderita akibat penyimpangan-penyimpangan serius atas UUD kita sendiri.

Emha Ainun Nadjib, dalam wawancara Radio Ramaco, menyatakan bahwa Umar Farouq yang kini ditahan CIA di Amerika Serikat adalah pria kelahiran Ambon dan dengan demikian seorang warga negara asli Indonesia. Dengan demikian, pengakuan bahwa Abu Bakar Ba’asyir adalah bagian dari jaringan Internasional Al-Qaeda, tidak dapat diterima, karena ia mengaku sebagai seorang kelahiran Kuwait. Ini tentu saja bertentangan dengan versi pihak Amerika Serikat yang menyatakan bahwa Umar Farouq adalah pria Kuwait yang beroperasi dan kawin lagi di tanah air kita. Salah seorang anak buahnya adalah Abu Bakar Ba’asyir. Manakah diantara dua versi itu yang dapat di terima? Tentu saja hanya kenyataan empirik mengenai Umar Farouq itu yang dapat di benarkan. Berarti, harus ada orang dari pihak ketiga untuk memberikan kesaksian tentang mana yang benar dari kedua versi diatas.

Karena itu, penulis mengusulkan agar di bentuk sebuah komisi indenpenden yang harus meneliti kenyataan empirik mengenai Umar Farouq itu. Orang Ambon, bagaimanapun juga tentu berbeda dari orang kelahiran Kuwait, sehingga dengan pertemuan langsung, antara satu dua orang anggota komisi indenpenden itu di satu pihak dan Umar Farouk di pihak lain, akan memungkinkan mereka menetapkan adakah pria tersebut memang orang Ambon atau orang Kuwait. Kalau ia ternyata orang kelahiran Ambon berarti pengakuannya akan Abu Bakar Ba’asyir seorang teroris Internasional otomatis gugur, dan ia haruslah dihukum karena menuduh dengan cara fitnah, seorang warga negara Indonesia bernama seorang Abu Bakar Ba’asyir. Kalau yang terjadi justru sebaliknya, pengakuan Umar Farouq mempunyai nilai yang sangat tinggi dan pemeriksaan lebih mendalam atau klaimnya bahwa Ba'asyir tidak berdosa harus diragukan.

Demikianlah, usul jalan tengah dari penulis melalui tulisan ini, yang sangat berbeda dari apa yang dikemukakan Emha Ainun Nadjib, Dr.Adnan Buyung Nasution dan Wakil Presiden Hamzah Haz. Mereka melihat masalahnya dari sudut pro dan kontra sehingga mereka lupa akan perlunya verifikasi empirik, yaitu dengan membentuk sebuah komisi indenpenden. Usul pembentukan komisi tersebut semata-mata didasarkan pada obyektifitas sikap dan pandangan, sehingga memiliki kredibilitas yang cukup tinggi. Obyektifitas ini sangat diperlukan untuk menilai sikap dan pandangan kita dalam menentukan secara hukum formal, mana yang benar antara dua versi yang bertentangan mengenai sebuah kejadian.
Masalahnya sederhana saja, bukan…..?

Tak Cukup dengan Penamaan

Dr Djohan Effendi menulis dalam sebuah harian nasional, bahwa baik Abdullah Sungkar maupun Abu Bakar Ba'asyir dilaporkan sebagai pendiri gerakan Jama'ah Islamiyah, baik di Malaysia maupun Singapura. Organisasi inilah yang oleh intelijen Amerika Serikat (AS) maupun Australia, dianggap sebagai gerakan teroris internasional. Bahkan, oleh pihak intelijen Malaysia dan Singapura, organisasi itu dilaporkan telah merencanakan tindak kekerasan di kedua negara tersebut. Pers internasional menyebutkan, baik Sungkar maupun Ba'asyir, sebagai pemimpin spiritual organisasi tersebut. Benarkah organisasi itu merupakan persambungan gerakan teroris Al-Qaeda seperti yang disangkakan AS, yang berpangkalan di Afghanistan di masa pra-pemboman atas AS? Sejarahlah yang akan menjawab pertanyaan itu, setelah pemeriksaan teliti selama bertahun-tahun.

Tulisan Dr Djohan Effendi itu segera dijawab dalam harian yang sama, oleh Fauzan Al-Anshori, ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia, beberapa hari kemudian. Namun, jawaban itu tidak menyangkal keterangan Dr Djohan Effendi akan kebenaran ungkapan, maupun penyebutan oleh pers internasional bahwa Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir sebagai pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah. Yang dilakukan Fauzan Al-Anshori dalam jawaban tertulis itu, adalah penamaan Dr Djohan Effendi selaku salah seorang penulis, dari apa yang disebut sebagai kaum pemikir muslim neo-modernis. Kelompok terakhir ini di sebut-sebut dalam disertasi Greg Barton dari Deakin University, Australia, sebagai pihak yang meneliti dan menggunakan warisan budaya Islam lama untuk menafsirkan secara kontemporer tempat Islam dalam kebudayaan modern.

Greg Barton menyebutkan, Dr Djohan Effendi, Dr Nucholish Madjid, Almarhum Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, dan diri penulis sendiri, sebagai pemuka pendekatan neo-modernis itu. Orang boleh saja suka atau tidak suka terhadap kelompok pemikir tersebut, bahkan juga dapat menerima atau menolaknya sebagai cara berpikir yang absah dalam Islam. Tetapi faktanya, pemikiran dan kelompok pemikir seperti itu memang ada dalam dunia Islam, jadi tidak dapat ditolak secara empirik. Demikian pula, reaksi atasnya adalah sesuatu yang wajar-wajar saja, seperti yang diperlihatkan oleh tokoh gerakan Majelis Mujahidin yang membuat jawaban tertulis atas pendapat Dr Djohan Effendi itu.

*****

Lagi-lagi terbukti adanya pendapat yang berbeda dalam gerakan Islam mengenai sesuatu yang dianggap penting. Tidakkah ini menunjukkan perbedaan antara mereka di saat-saat yang sangat menentukan seperti di masa kini? Jawabannya, persoalan itu tergantung dari sikap kaum muslimin sendiri. Sebagaimana kita ketahui, kaum muslimin dapat dibagi dua, dalam pendekatan mereka kepada perubahan-peruhaban sosial yang terjadi. Di satu pihak, ada kaum muslimin yang merasakan keharusan bergabung dalam gerakan-gerakan tersebut. Demikian pula, ada pengikut gerakan-gerakan modernis dan tradisional, di samping mereka yang mengikuti strategi budaya dan strategi ideologis. Inilah yang senantiasa harus diingat, kalau kita berbicara tentang Islam Indonesia saat ini.

Seringkali, orang berbicara tentang Islam tanpa memperhatikan kenyataan tersebut, terjadilah klaim yang sangat berani, bahwa orang yang mengemukakan pendapat tersebut berbicara atas nama Islam secara keseluruhan. Padahal, ia sebenarnya hanya berbicara atas nama kelompok atau pemikirannya sendiri yang dalam bahasa Teori Hukum Islam (Ushul Fiqh) disebutkan sebagai langkah menyebutkan hal-hal umum, dan dimaksudkan untuk hal-hal khusus (ithlaqu al am wa yuradu bihi al-khas). Di sini, terjadi perpindahan dari seorang pengamat yang seharusnya bersikap obyektif, menjadi seorang aktivis perjuangan yang harus sering bersikap subyektif.

Selama kaum muslimin belum dapat menghilangkan klaim-klaim tersebut di atas, selalu akan terjadi kerancuan berpikir, apalagi kalau hal itu disampaikan melalui media massa. Pantaslah kalau kaum muslimin pada umumnya dibuat kebingungan, mungkin termasuk oleh penulis sendiri. Ini karena posisi penulis, yang sering dikacaukan (dan juga mengacaukan) antara peranan sebagai pengamat dan peranan sebagai aktivis perjuangan gerakan Islam. Lima belas tahun penulis menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan sekarang pun masih menjadi Mustasyar (penasehat-nya). Warga Nahdlatul Ulama (NU) saja sering kebingungan akan hal itu, apapula orang lain.

*****
Dalam sebuah pendekatan, yaitu ilmiah atau tidak subyektif adalah persyaratan mutlak bagi sebuah pandangan/pendapat yang baik. Karena itu, dalam pendekatan sesulit apapun, emosi tidak boleh digunakan, walaupun kita berada dalam keadaan terjepit/ tersudut. Karena itulah, argumentasi yang baik harus kering dari emosi untuk mencapai obyektivitas yang dimaksudkan. Kalau ini tidak diperhatikan, maka pendapat itu akan ditertawakan orang dan tidak diterima sebagai sesuatu yang rasional oleh publik, sebuah pendapat / pandangan yang dianggap sebagai sesuatu yang memalukan. Salah-salah, pandangan atau pendapat subyektif dan penuh emosi seperti itu akan ditertawakan oleh masyarakat, dianggap sebagai lelucon yang tidak lucu.

Demikian pula, sanggahan saudara Fauzan atas keterangan Dr Djohan Effendi itu, yaitu pernyataan yang berisi tuduhan bahwa Djohan Effendi adalah anggota kelompok kaum neo-modernis Islam di negeri kita. Kalau Dr Djohan Effendi menggunakan rekaman keterangan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir sendiri, mengenai peranan mereka dalam pembentukan Jamaah Islamiyah, sehingga berani mengambil kesimpulan yang dikemukakannya, sanggahan saudara Fauzan justru tidaklah demikian. Yang dilakukan, hanyalah penamaan atas Dr Djohan Effendi sebagai anggota kelompok neo-modernis Islam di negeri kita. Tentu orang bertanya, manakah obyektivitas sanggahan tersebut?

Ternyata, yang dilakukan hanyalah penamaan di atas belaka, tanpa memberikan argumentasi apa-apa. Tidakkah langkah ini justru ditertawakan? Tentu saja hal itu akan dilakukan penulis, jika tidak menyangkut sesuatu yang sangat penting bagi kita bangsa Indonesia, seperti tragedi terorisme.
Dari kritikan di atas, menjadi jelas bahwa sanggahan tersebut sangat memalukan, karena tidak disertai argumentasi apapun, bahwa keterlibatan Dr Djohan Effendi dalam kelompok neo-modernis Islam di tanah air kita adalah informasi yang benar. Dr Djohan Effendi, dan juga penulis, tidak perlu merasa malu dengan penamaan itu. Selama kita menghormati dan bersikap benar terhadap sebuah fakta, selama itu pula kita tidak perlu merasa malu atau takut kepada siapapun. Sedangkan sanggahan terhadap sikap itu, kalau hendak dibantah atau ditolak, hendaknya berdasarkan argumentasi yang kuat dan rasional. Bukannya dengan penamaan belaka bahwa si fulan anggota kelompok ini atau warga kalangan itu. Pelajaran sederhana, namun sulit dilaksanakan bukan?

Pendidikan Islam Harus Beragam

Dalam sebuah dialog tentang pendidikan Islam, berlangsung di Beirut (Lebanon) tanggal 13-14 Desember 2002 yang diselenggarakan oleh Konrad Adenauer Stiftung, ternyata disepakati adanya berbagai corak pendidikan agama, hal ini juga berlaku untuk pendidikan Islam. Walaupun ada beberapa orang yang terus terang mengakui, maupun yang menganggap pendidikan Islam yang benar haruslah mengajarkan “ajaran formal” tentang Islam. Termasuk dalam barisan ini adalah dekan-dekan Fakultas Syari’ah dan Perundang-undangan dari Universitas Al-Azhar di Kairo. Diskusi tentang mewujudkan “pendidikan Islam yang benar“ memang terjadi, tapi tidak ada seorang peserta-pun yang menafikan dan mengingkari peranan berbagai corak pendidikan Islam yang telah ada. Penulis sendiri membawakan makalah tentang pondok pesantren sebagai bagian dari pendidikan Islam.

Dalam makalah itu, penulis melihat pondok pesantren dari berbagai sudut. Pondok pesantren sebagai “lembaga kultural” yang menggunakan simbol-simbol budaya jawa; sebagai “agen pembaharuan” yang memeperkenalkan gagasan pembangunan pedesaan (rural development); sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat (centre of community learning); dan juga pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersandar pada silabi, yang dibawakan oleh Imam Al- Suyuti lebih dari 500 tahun-nan yang lalu, dalam Itman al-dirayah. Silabi inilah yang menjadi dasar acuan pondok pesantren tradisional selama ini, dengan pengembangan “kajian Islam” yang terbagi dalam 14 macam disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini, dari nahwu/ tata bahasa arab klasik hingga tafsir al-Qur’an dan teks hadist nabi, semuanya dipelajari dalam lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Melalui pondok pesantren juga nilai ke-Islam-an ditularkan dari generasi ke generasi.

Sudah tentu, cara penularan seperti itu merupakan titik sambung pengetahuan tentang Islam secara rinci, dari generasi ke generasi. Di satu sisi, ajaran-ajaran formal Islam dipertahankan sebagai sebuah “keharusan” yang diterima kaum muslimin diberbagai penjuru dunia. Tetapi, disini juga terdapat “benih-benih perubahan”, yang membedakan antara kaum muslimin di sebuah kawasan dengan kaum muslimin lainnya dari kawasan yang lain pula. Tentang perbedaan antara kaum muslimin di suatu kawasan ini, penulis pernah mengajukan sebuah makalah kepada Universitas PBB di Tokyo pada tahun 1980-an. Tentang perlu adanya “study kawasan” tentang Islam di lingkungan Afrika Hitam, budaya Afrika Utara dan negeri-negeri Arab, budaya Turki-Persia-Afghan, budaya Islam di Asia Selatan, budaya Islam di Asia Tenggara dan budaya minoritas muslim di kawasan-kawasan industri maju. Sudah tentu, kajian kawasan (area study's) ini diteliti bersamaan dengan kajian Islam klasik (classiccal Islamic study’s).

*******

Pembahasan pada akhirnya lebih banyak ditekankan pada dua hal yang saling terkait dalam pendidikan Islam. Kedua hal itu adalah, pembaharuan endidikan Islam dan modernisasi pendidikan Islam, dalam bahasa Arab taj’did al-tarbiyah al-Islamiah dan al-hadasah, dalam liputan istilah pertama, tentu saja ajaran-ajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum muslimin harus di didik mengenai ajaran-ajaran agama mereka. Yang diubah adalah cara penyampaiannya kepada peserta didik, sehingga mereka akan mampu memahami dan mempertahankan “kebenaran”. Bahwa hal ini memiliki validitas sendiri, dapat dilihat pada kesungguhan anak-anak muda muslimin terpelajar, untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai “ajaran-ajaran yang benar” tentang Islam, contoh paling mudahnya adalah menggunakan tutup kepala di sekolah non-agama, yang di negeri ini dikenal dengan nama jilbab. Ke-Islaman lahiriyah seperti itu, juga terbukti dari semakin tingginya jumlah mereka dari tahun ke-tahun yang melakukan ibadah umroh/ Haji kecil.

Tentu saja, kenyataan seperti itu tidak dapat diabaikan di dalam penyelenggaraan pendidikan Islam di negeri manapun. Dengan kata lain, pendidikan Islam tidak hanya di sampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga melalui sekolah-sekolah non-agama yang berserak diseluruh penjuru dunia. Demikian juga, “semangat menjalankan ajaran Islam”, datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah, antara berbagai komponen masyarakat Islam. Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan hidup kaum muslimin di mana-mana, adalah respon umat Islam terhadap “tantangan modernisasi”, seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya, adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendidikan Islam, yang perlu kita renungkan secara mendalam.

Pendidikan Islam, tentu saja harus sanggup “meluruskan” responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam di mana-mana. Hal inilah yg merisaukan hati para pengamat seperti penulis, karena ujungnya adalah diperlukan jawaban yang benar atas pernyataan berikut: Bagaimanakah caranya membuat kesadaran struktural sebagai bagian natural dari perkembangan pendidikan Islam? Dengan ungkapan lain, kita harus menyimak perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat, dan membuat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sendiri. Ini merupakan pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus ditangani dengan baik.

******

Jelas dari uraian diatas, pendidikan Islam memiliki begitu banyak model pengajaran baik yang berupa pendidikan sekolah, maupun “pendidikan non-formal” seperti pengajian, arisan dan sebagainya. Tak terhindarkan lagi, keragaman jenis dan corak pendidikan Islam terjadi seperti kita lihat di tanah air kita dewasa ini. Ketidakmampuan memahami kenyataan ini, yaitu hanya melihat lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja menjadi berat tugas para perencana pendidikan Islam, kenyataan ini menunjukkan di sinilah terletak lokasi perjuangan pendidikan Islam.

Dalam kenyataan ini haruslah diperhitungkan penjabaran tarekat dan gerakan shalawat nabi, yang terjadi demikian cepat dimana-mana. Tentu saja, “kenyataan yang diam” seperti itu sebenarnya berbicara sangat nyaring, namun kita sendiri yang tidak dapat menangkapnya. Seorang warga Islam yang memperoleh kedamaian dengan ritual memuja nabi itu, dengan sendirinya berupaya menyesuaikan hidupnya dari pola hidup nabi yang diketahuinya, yaitu kepatuhan kepada ajaran Islam. Ritual itu tentu saja akan menyadarkan kembali orang tersebut ,kepada kehidupan agama walaupun hanya bersifat parsial (Juz’i) belaka. Hal inilah yang seharusnya kita pahami sebagai “kenyataan sosial” yang tidak dapat kita pungkiri dan diabaikan.

Karenanya, peta “keberagaman” pendidikan Islam seperti dimaksudkan di atas, haruslah bersifat lengkap dan tidak mengabaikan kenyataan yang ada. Lagi-lagi kita berhadapan dengan kenyataan sejarah, yang mempunyai hukum-hukumnya sendiri. Perkembangan keadaan, yang tidak memperhitungkan hal ini, mungkin hanya bersifat menina-bobokan kita belaka, dari tugas sebenarnya yang harus kita pikul dan laksanakan. Sikap untuk mengabaikan keberagaman ini, adalah sama dengan sikap burung onta yang menyembunyikan kepalanya di bawah timbunan pasir tanpa menyadari badanya masih tampak. Jika kita masih bersikap seperti itu, akibatnya akan menjadi sangat besar bagi perkembangan Islam di masa yang akan datang. Karenanya jalan terbaik adalah membiarkan keaneka-ragaman sangat tinggi dalam pendidikan Islam dan membiarkan perkembangan yang akan menentukan. Sebuah hal yang sulit dilakukan, namun gampang dirumuskan. Nyatanya memang benar demikian, bukan?
Tata Krama dan ‘Ummatan Wahidatan’

Dalam penerbitan perdana sebuah jurnal ilmiah bulanan Nahdlatul Ulama, yang diterbitkan pada 1928 dan bertahan sampai tahun 60- an, KH M. Hasyim Asy’ari menuliskan fatwa beliau: bahwa kentongan (alat dari kayu yang dipukul hingga berbunyi nyaring) tidak diperkenankan untuk memanggil shalat dalam hukum Islam. Dasar dari pendapatnya itu adalah kelangkaan hadis Nabi; biasanya disebut sebagai tidak adanya teks tertulis (dalil naqli) dalam hal ini.

Dalam penerbitan bulan berikutnya, pendapat tersebut disanggah oleh wakil beliau Kyai Faqih dari Maskumambang, Gresik, yang menyatakan bahwa kentongan harus diperkenankan, karena bisa dianalogkan atau diqiyaskan kepada beduk sebagai alat pemanggil shalat. Karena beduk diperkenankan, atas adanya sumber tertulis (dalil naqli) berupa hadis Nabi Muhammad SAW. Mengenai adanya atau dipergunakannya alat tersebut pada zaman Nabi, maka kentongan pun harus diperkenankan.

Segera setelah uraian Kyai Faqih itu muncul, KH M. Hasyim Asy’ari segera memanggil para ulama se-Jombang dan para santri senior beliau untuk berkumpul di pesantren Tebu Ireng, Jombang. Ia pun lalu memerintahkan kedua artikel itu untuk dibacakan kepada para hadirin. Setelah itu, beliau menyatakan mereka dapat menggunakan salah satu dari kedua alat pemanggil itu dengan bebas. Yang beliau minta hanyalah satu hal, yaitu hendaknya di Mesjid Tebu Ireng, Jombang kentongan itu tidak digunakan selama-lamanya. Pandangan beliau itu mencerminkan sikap sangat menghormati pendirian Kyai Faqih dari Maskumambang tersebut, dan bagaimana sikap itu didasarkan pada “kebenaran” yang beliau kenal.

Dalam bulan Maulid/ Rabi’ul Awal berikutnya, KH M. Hasyim Asy’ari diundang berceramah di pesantren Maskumambang. Tiga hari sebelumnya, para utusan Kyai Faqih Maskumambang menemui para ketua/ pemimpin ta’mir mesjid dan surau yang ada di kabupaten Gresik dengan membawa pesan beliau: Selama Kyai M. Hasyim Asy’ari berada di kawasan kabupaten tersebut, semua kentongan yang ada harus diturunkan dari tempat bergantungnya alat itu. Sikap ini diambil beliau karena penghormatan beliau terhadap Kyai Hasyim Asy’ari, yang bagaimanapun adalah atasan beliau dalam berorganisasi. Kebenaran, tidak berarti hilangnya sikap menghormati pandangan seseorang, sebuah sikap tanda kematangan pribadi kedua tokoh tersebut.

Sikap saling menghargai di antara kedua tokoh tersebut, yaitu antara Rais Aam dan Wakil Rais Aam PBNU itu, menunjukkan tata krama yang sangat tinggi di antara dua orang ulama yang berbeda pendapat, tapi menghargai satu sama lain. Inilah yang justru tidak kita lihat saat ini, terlebih-lebih di antara pemimpin gerakan Islam dewasa ini, yang tampak mencuat justru sikap saling menyalahkan, sehingga tidak terdapat kesatuan pendapat antara mereka. Yang menonjol adalah perbedaan pendapat, bukan persamaan antara mereka. Penulis tidak tahu, haruskah kenyataan itu disayangkan ataukah justru dibiarkan?

Mungkin ini adalah sisa-sisa dari sebuah nostalgia yang ada mengenai “keagungan” masa lampau belaka. Tapi bukankah seseorang berhak merasa seperti itu? Bukankah kitab suci Al-Quran menyatakan, “Sesungguhnya telah Kuciptakan kalian (dalam bentuk) lelaki dan perempuan dan Kujadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di hadapan Allah adalah yang paling bertaqwa” (Inna khalqna kum min dzakarin wa undza wa dzalanakum su’uban wa qaba illa li ta’arafu inna aqramakum inza allahi hattaqum). Ayat ini jelas membenarkan perbedaan pendapat di antara kaum muslimin.

Namun Allah juga berfirman dalam kitab suci-Nya itu: “Dan berpeganglah kalian kepada tali Allah (secara) keseluruhan dan janganlaj bercerai-berai/ terpecah belah” (wa tashimu bihabli allahi jami’an wa la tafaroqu). Ayat ini menunjukkan kepada kita, bahwa yang dilarang bukannya perbedaan pandangan melainkan bersikap terpecah-belah satu dari yang lain. Hal ini diperkuat oleh sebuah ayat lain: “Bekerjasamalah kalian dalam (bekerja untuk) kebaikan dan ketakwaan”(Ta’awanu alla al-birri wa al-taqwa) yang jelas-jelas mengharuskan kita melakukan koordinasi berbagai kegiatan. Tetapi, kerjasama seperti hanya dapat dilakukan oleh kepemimpinan tunggal dalam berbagai gerakan Islam.

Masalahnya sekarang adalah langkanya kepemimpinan seperti itu. Para pimpinan gerakan Islam saling bertengkar, minimal hanya bersatu dalam ucapan. Mengapakah demikian? Karena para pemimpin itu hanya mengejar ambisi pribadi belaka, dan jarang berpikir mengenai umat Islam secara keseluruhan. Seharusnya, mereka berpikir tentang bagaimana melestarikan agama Islam sebagai budaya, melalui upaya melayani dan mewujudkan kepentingan seluruh bangsa. Ambisi politik masing-masing akan terwujud jika ada pengendalian diri, dan jika diletakkan dalam kerangka kepentingan seluruh bangsa.

Dalam ajaran Islam dikenal istilah “ikhlas”. Ketulusan yang dimaksudkan adalah peleburan ambisi pribadi masing-masing ke dalam pelayanan kepentingan seluruh bangsa. Di sinilah justru harus ada kesepakatan antara para pemimpin berbagai gerakan atau organisasi Islam yang ada, dan ketundukkan kepada keputusan sang pemimpin dirumuskan. Untuk melakukan perumusan seperti itu, diperlakukan dua persyaratan sekaligus, yaitu kejujuran sikap dan ucapan, yang disertai dengan sikap “mengalah” kepada kepentingan berbagai gerakan organisasi itu. Tanpa kedua hal itu, sia-sialah upaya “menyatukan” umat Islam dalam sebuah kerangka perjuangan yang diperlukan.

Penulis teringat kepada sebuah adagium yang sering dinyatakan sebagai ucapan Nabi Muhammad SAW: “Tak ada agama tanpa kelompok, tak ada kelompok tanpa kepemimpinan dan tak ada kepemimpinan tanpa sang pemimpin” (La diina illa bizma’atin wa laa jam’ata illa bii immamatin wa-laa imammata illa bii imammin). Adagiumnya memang benar, walaupun sekelompok kecil pernah mengajukan klaim kepemimpinan itu dan minta diterima sebagi pemimpin. Namun sikap mereka yang memandang rendah kelompok lain, justru menggagalkan niatan tersebut, sedangkan kelompok-kelompok lain tidaklah memiliki kepemimpinan kohesif seperti itu. Herankah kita, jika wajah berbagai gerakan Islam di Tanah Air kita saat ini tampak tidak memiliki kepemimpinan yang jelas? Di sinilah kita perlu membangun kembali “kesatuan” umat (ummatan wahiditan). Mudah diucapkan, tapi sulit diwujudkan bukan?





Ulil dengan Liberalismenya

Ulil Abshar-Abdalla adalah seorang muda N ahdlatul Ulama (NU) yang berasal dari lingkungan “orang santri”. Istrinya pun dari kalangan santri, yaitu putri budayawan muslim Mustofa Bisri. Sehingga, kredibilitasnya sebagai seorang santri tidak pernah dipertanyakan orang. Mungkin juga cara hidupnya masih bersifat santri. Tetapi dua hal yang membedakan Ulil dari orang-orang pesantren lainya, yaitu ia bukan lulusan pesantren, dan profesinya bukanlah profesi lingkungan pesantren. Rupanya kedua hal itulah yang akhirnya membuat ia dimaki-maki sebagai seorang yang “menghina” Islam, sementara oleh banyak kalangan lain ia dianggap “abangan”. Dan di lingkungan NU, cukup banyak yang mempertanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap “aneh” bagi kalangan santri, baik dari pesantren maupun bukan.

Mengapa demikian? Karena ia berani mengemukakan liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya, adalah anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan “kemerdekaan” berpikir seorang santri dengan demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinanya sendiri akan “kebenaran” Islam. Padahal hal itu telah menjadi keyakinan yang baku dalam diri setiap orang beragama tersebut. Itulah sebabnya, mengapa demikian besar reaksi orang terhadap hal ini.

Reaksi seperti ini pernah terjadi ketika penulis mengemukakan bahwa ucapan “Assalamu’alaikum” dapat diganti dengan ucapan lain. Mereka menganggap penulis lah yang memutuskan hal itu. Segera penulis dimaki-maki oleh mereka yang tidak mengerti maksud penulis sebenarnya, sehingga KH. Syukron Makmun dari jalan Tulodong di Kebayoran Baru (Jakarta Selatan) mengemukakan, bahwa penulis ingin merubah cara orang bersholat. Penulis, demikian kata Kiai yang dahulu kondang itu, menghendaki orang menutup shalat dengan ucapan selamat pagi dan selamat sore. Padahal penulis tahu definisi shalat adalah sesuatu yang dimulai dengan “Takbiratul Al-Ihram” dan di sudahi dengan ucapan “Salam”. Jadi, menurut paham Mazhab Al-Syafi’i, penulis tidak akan semaunya sendiri menghilangkan salam sebagai peribadatan, melainkan hanya mengemukakan perubahan salam sebagai ungkapan. Baik ketika orang bertemu dengan seorang muslim yang lain maupun dengan non muslim. Di lingkungan Universitas Al-Azhar di Kairo misalnya, para Syaikh/ Kiai yang menjadi dosen juga sering merubah “tanda perkenalan “ tersebut, umpamanya saja dengan ungkapan “selamat pagi yang cerah” (Shabah Al-Nur). Kurangnya pengetahuan Kiai kita itu, mengakibatkan beliau berburuk sangka kepada penulis. Dan tentu reaksi terhadap pandangan Ulil sekarang adalah akibat dari kekurangan pengetahuan itu.

*****

Tidak heranlah jika reaksi orang menjadi sangat besar terhadap tokoh muda kita ini. Yang terpenting, penulis ingin menekankan dalam tulisan ini, bahwa Ulil Abshar-Abdalla adalah seorang santri yang berpendapat, bahwa kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Tentu saja ia percaya akan batas-batas kemerdekaan itu, karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna kecuali kehadirat Tuhan. Selama ia percaya ayat dalam kitab suci Al-Qur’an: “Dan tak ada yang abadi kecuali kehadirat Tuhan “ (Wallau yabqo illa Wajhah), dan yakin akan kebenaran kalimat Tauhid, maka ia adalah seorang Muslim. Orang lain boleh berpendapat apa saja, tetapi tidak dapat mengubah kenyataan ini. Seorang Muslim yang menyatakan bahwa Ulil anti Muslim, akan terkena Sabda Nabi Muhammad SAW: “Barang siapa yang mengkafirkan saudara yang beragam Islam, justru ialah yang kafir” (Man kaffarahu akhahu musliman fahuwa kafirun).

Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd (Averros), yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam. Sebagai akibat Averros juga di “kafir” kan orang, tentu saja oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan-perubahan. Dalam hal ini, memang spektrum antara pengikut paham sumber tertulis “Ahl Al-Nahqli“ dan penganut paham serba akal “Ahl Al-Aqli” (kaum rasionalisme) dalam Islam memang sangat lebar. Kedua hal ini pun, sekarang sedang ditantang oleh paham yang menerima “sumber intuisi” (ahl Al-Dzauq), seperti dikemukakan oleh Al-Zaribi dari Universitas Yar’muk di Yordania. Sumber ketiga ini, diusung oleh Al-Imam Al-Ghazali dalam magnumopus (karya besar), “ Ihya’ulum al-din”, yang saat ini masih diajarkan di pondok-pondok pesantren dan perguruan-perguruan tinggi di seantero dunia Islam.

Jelaslah, dengan demikian “kesalahan” Ulil adalah karena ia bersikap “menentang” anggapan salah yang sudah tertanam kuat di benak kaum muslim. Bahwa kitab suci Al-Qur’an menyatakan “Telah ku sempurnakan bagi kalian agama kalian hari ini” (Alyauma akmaltu dinakum) dan “Masuklah ke dalam Islam/ kedamaian secara menyeluruh “ (Udkhulu fi al-silmi kaffah), maka seolah-olah jalan telah tertutup untuk berpikir bebas. Padahal, yang dimaksudkan kedua ayat tersebut adalah terwujudnya prinsip-prinsip kebenaran dalam agama Islam, bukannya perincian tentang kebenaran dalam Islam. Ulil mengetahui hal itu, dan karena pengetahuannya tersebut ia berani menumbuhkan dan mengembangkan liberalisme (keterbukaan ) dalam keyakinan agama yang diperlukannya. Dan orang-orang lain itu marah kepadanya, karena mereka tidak menguasai penafsiran istilah tersebut.
Berpulang kepada kita jualah untuk menilai tindakan Ulil Abshar-Abdalla, yang mengembangkan paham liberalisme dalam Islam. Lalu mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia tidak mengetahui kemungkinan akan timbulnya reaksi seperti itu? Tentu saja ia mengetahui kemungkinan itu, karena sebagai seorang santri Ulil tentu paham “kebebasan” yang dinilai buruk itu. Lalu, mengapa ia tetap melakukan kerja menyebarkan paham tersebut? Tentu karena ia “terganggu” oleh kenyataan akan lebarnya spektrum di atas. Karena ia khawatir pendapat “keras” akan mewarnai jalan pikiran kaum muslim pada umumnya. Mungkin juga, ia ingin membuat para “Muslim pinggiran” merasa dirumah mereka sendiri (at home) dengan pemahaman mereka. Kedua alasan itu baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan, mungkin saja menjadi motif yang diambil Ulil Abshar-Abdalla tersebut.
Kembali berpulang kepada kita semua, untuk memahami Ulil dari sudut ini atau tidak. Jika di benarkan, tentu saja kita akan “membiarkan” Ulil mengemukakan gagasan-gagasannya di masa depan. Disadari, hanya dengan cara “menemukan” pemikiran seperti itu, barulah Islam dapat berhadapan dengan tantangan sekulerisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita masih mengharapkan Ulil masih mau melahirkan pendapat-pendapat terbuka dalam media khalayak. Bukankah para ulama di masa lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan pebedaan-perbedaan pemikiran seperti itu? Adagium seperti “perbedaan pandangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat “ (Ikhtilaf Al-A’-Immha rahmah Al-ummah).

Jika kita tidak menerima sikap untuk membiarkan Ulil “berpikir” dalam media khlayak, maka kita dihadapkan kepada dua pilihan antara “larangan terbatas” untuk berpikir bebas, atau sama sekali menutup diri terhadap kontaminasi (penularan) dari proses modernisasi. Sikap pertama, hanya akan melambatkan pemikiran demi pemikiran dari orang-orang seperti Ulil. Padahal, pemikiran-pemikiran ini, harus dimengerti oleh mereka yang dianggap sebagai “orang luar”. Pendapat kedua, berarti kita harus menutup diri, yang pada puncaknya dapat berwujud pada radikalisme yang bersandar pada tindak kekerasan. Dari pandangan inilah lahirnya terorisme yang sekarang “menghantui” dunia Islam. Kalau kita tidak ingin menjadi radikal, sudah tentu kita harus dapat mengendalikan kecurigaan kita atas proses modernisasi, yang untuk sebagian berakibat kepada munculnya paham “serba kekerasan”, yang saat ini sedang menghingapi dunia Islam. pilihan yang kelihatannya mudah tetapi sulit dilakukan, bukan?

Umat Islam, Dimanakah Alamatmu?

Beberapa tahun yang lalu, Sydney Jones menulis sebuah artikel dalam jurnal ilmiah “Indonesia”, terbitan Univeritas Cornell, di New York. Dalam tulisan itu ia menyebutkan beberapa kali istilah “umat Islam”, yang sebenarnya telah diartikan berbeda-beda oleh para ahli yang berlainan lebih dari 100 tahun lamanya. Penulis juga senantiasa menyatakan, paling tidak kata itu memiliki dua buah arti penting. Di satu pihak maksud dari kata itu adalah semua orang yang beragama Islam, jadi istilah umat Islam sama dengan istilah kaum Muslimin. Setiap orang yang memberikan kesaksian dan berkeyakinan bahwa “Tiada Tuhan Selain Allah dan Nabi Muhammad adalah pesuruh-Nya” ini udah termasuk kaum Muslimin. Dalam pengertian umum itu umat Islam berarti setiap orang Muslim dalam sebuah negara. Arti kedua, adalah orang yang mendukung sebuah gerakan keagamaan Islam, seperti umat Muhammadiyah, NU, Persis, dll.

Berdasar maksud dua pengertian tadi, maka ketika ada klaim misalnya bahwa umat Islam menolak perjudian. Maka sejak hal itu akan dijadikan sebuah ketentuan formal, Rancangan Undang-Undang (RUU)nya dibawa ke DPR dan kemudian diundangkan atas dukungan semua anggotanya, termasuk kaum Non-Muslim. Memang undang-undang tersebut dibuat atas inisiatif kaum Muslimin -paling tidak para pemimpin mereka. Namun telah terjadi perpindahan dan UU tersebut menjadi “milik bersama” dengan mereka yang tidak menjadi warga berbagai gerakan Islam dan juga Non-Muslim. Banyak produk-produk hukum formal seperti ini, yang telah dihasilkan di negeri kita.

Dengan mengerti keadaan sebenarnya yang timbul dari kenyataan historis seperti itu, kita dapat melihat bagaimana pentingnya memahami aspirasi sebuah kaum, dan dapat menghindari kerugian yang mungkin ditimbulkan dalam kehidupan kaum Muslimin bangsa kita. Karena itu, menjadi sangat penting bagi kita untuk membedakan arti kata umat Islam yang dimaksud berdasarkan penggunannya.

Ketika ada klaim bahwa mayoritas “umat Islam” menginginkan negara agama, kita serta-merta dapat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah itu adalah para warga berbagai gerakan Islam yang ada di negeri ini. Namun hal itupun belum tentu benar demikian adanya, karena seluruh bukti-bukti historis justru menunjukkan keadaan sebaliknya yaitu bahwa gagasan tersebut hanyalah pendapat minoritas.

*****

Klaim partai-partai politik yang menamakan diri “Partai Islam” yang dalam kenyataan tidak mewakili pendapat mayoritas bangsa ini, terjadi dalam sidang-sidang Dewan Konstituante tahun 1956-1959 dan dalam sidang-sidang MPR beberapa tahun terakhir ini . Usulan agar supaya konstitusi kita mencantumkan Piagam Jakarta ternyata ditolak. Penolakan ini menunjukkan bahwa pihak-pihak yang mengambil inisiatif untuk memasukkan Piagam Jakarta ke dalam konstitusi kita, hanyalah kelompok minoritas. Namun masalahnya adalah walaupun mereka adalah golongan minoritas, namun berjumlah cukup signifikan yaitu antara 25 hingga 45 % suara dalam Dewan Konstituante dan MPR. Walaupun kedua lembaga itu telah dan akan dibubarkan, namun hal ini masih juga menjadi sesuatu yang dapat berbuntut panjang.

Jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah ini secara tuntas, hanyalah melalui pemilihan umum. Jika partai politik yang mengklaim pembawa aspirasi umat Islam ini menang, dengan sendirinya masalah lama ini akan muncul kembali dalam perdebatan politik kita di masa yang akan datang. Tapi kalau partai-partai politik yang “bukan” partai politik Islam yang memenangkan lebih dari 70 % suara, maka dapat diharapkan untuk selanjutnya masalah ini selesai dengan sendirinya. Lagi-lagi masalahnya berkisar pada istilah aspirasi “umat Islam”. Karena itu untuk sementara waktu kita masih harus bersabar menunggu datangnya sang waktu bagi penyelenggaraan pemilu tersebut.

Berkaitan dengan itu ada lagi masalahnya, yaitu keragu-raguan cukup besar dikalangan warga masyarakat kita: Benarkah pemilu akan terselenggara tepat pada waktunya? Karena kasus kematian Marimutu Manimaren yang diliputi kerahasiaan dan peledakan bom yang berkekuatan sangat besar di Hotel Marriott telah menimbulkan keragu-raguan, apakah itu tidak disengaja untuk menggagalkan pemilu?

Karenanya, pemerintah (dan ini berarti juga aparat-aparatnya yang penting seperti Polri, BIN dan sebagainya) harus segera berbicara tentang hal ini. Sikap untuk mengangap hal ini tidak penting justru akan memperpanjang kekhawatiran masyarakat . Hanya dengan kejelasan persoalan, bukan dengan langkah sangat cepat yang hanya untuk “mendinginkan keadaan”, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dapat dijaga.

Banyaknya kejadian yang ditimbulkan oleh para teroris, kasus yang tidak dapat diterangkan asal-usulnya dan jawaban yang tidak bertanggung jawab dari aparat pemerintah akhir-akhir ini, bagaimanapun juga akan membuat kepercayaan masyarakat berkurang. Kalau kepercayaan ini habis sama sekali, maka tentulah para penguasa pemerintahan akan dihadapkan kepada sesuatu yang lebih besar: revolusi sosial atau sering juga dinamakan konflik horizontal. Tanda-tanda pertamanya sudah terjadi secara meluas di negeri kita saat ini, dalam bentuk penjarahan-penjarahan oleh rakyat.
Karena itulah pemerintah saat ini sangat menjaga kepercayaan masyarakat, namun sangat disayangkan semakin menjadi-jadinya KKN di segala bidang, -betapa kecilnya sekalipun- telah mengurangi kepercayaan itu. Salah satu bentuknya adalah meluasnya anggapan keadaan di era Soeharto jauh lebih baik dari era sekarang ini.

Kalau masyarakat sampai kehilangan kepercayaan kepada pemerintah dengan sendirinya pendekatan politis kepada umat Islam semakin efektif, hal ini dapat dilihat dari semakin suburnya “partai politik Islam”; hal yang tentu tidak diharapkan oleh para pemimpin negara kita saat ini. Jadi, tidak jalan lain bagi kita selain memfungsikan Islam secara kultural/budaya, untuk menjamin agar supaya “Islam politik” tidak tumbuh lagi dan merusak pohon konstitusi kita.

*****

Dari apa yang digambarkan di atas, dengan sendirinya memunculkan kebutuhan untuk mengetahui definisi “umat Islam” yang sebenarnya dan mengetahui juga secara tepat konfigurasi keadaan di luar anggapan yang telah ada sering sangat ditentukan oleh perkembangan politik.

Baru-baru ini, penulis diwawancarai oleh radio Inggris, BBC World Service penulis ditanya apakah lagu yang disukai. Ketika penulis menyatakan lagu Me and Bobby McGee, pewawancara pertelpon itu sangat terkejut. Tahukah anda siapa penyanyinya? jawab penulis, tahu ia Janis Joplin mati karena overdosis narkoba pada usia 24 tahun. Lagu Me and Bobby Mc Gee menceritakan seorang perempuan hippy yang mengikuti seorang masinis lokomotif disel selama 3 hari sepanjang anak benua A.S dan tidur dengannya di kota-kota persinggahan tanpa perkawinan. Ini jelas melanggar ajaran agama, tetapi bagi saya yang penting nadanya enak.

Dari uraian di atas, menjadi jelas bahwa kita memerlukan kejelasan mengenai subyektifitas kaum Muslimin dan gerakan-gerakan Islam di negeri ini. Tanpa kejelasan itu, kita hanya akan berputar-putar belaka mengenai berbagai aspek dari kehidupan kita sebagai bangsa. Inilah hal yang menimbulkan keprihatinan kita, karena kita justru menghargai ke-bhineka-an. Tentu saja, dengan hanya bermodalkan kesimpangsiuran mengenai apa yang dimaksudkan dengan istilah “umat Islam” tersebut, kita akan tetap berada dalam kegelapan. Pemilu akan datanglah yang dapat memberikan jawaban yang pasti, apa sebenarnya aspirasi “umat Islam”? Sebelum itu tidak bijaksana kiranya kita mengambil langkah strategis dalam kaitan “membungkam” gerakan Islam dan gerakan Islam lain di dunia ini. Sangat sulit memahaminya dewasa ini, apalagi dengan penerapan dalam kenyataannya, bukan?



Wawancara Romo Magnis dengan Gus Dur 1998

Jauh sebelum Gus Dur dicalonkan sebagai presiden tahun 1999 sudah ada yang memandang perlu untuk segera merekam gagasan Gus Dur yang dinilai berbobot -bukan saja tentang NU, tapi lebih luas lagi: tantang persoalan yang dihadapi bangsa ini. Akhirnya, tiga kali perbincangan dilakukan di rumah Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan, akhir Agustus dan awal September 1998, sehabis Gus Dur sembuh dari serangan stroke. Perbincangan dengan mantan Ketua PB NU tersebut waktu itu dilakukan oleh Romo Magnis Suseno yang budayawan, pemikir, dan Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, dan Raymond Toruan, wartawan yang jadi Pemimpin Umum Harian The Jakarta Post. D&R mendapat izin mencuplik sebagian wawancara tersebut, terutama mengenai Islam dan NU. Direncanakan, wawancara kompletnya akan diterbitkan sebagai buku.

Banyak orang luar yang mempertanyakan, misalnya saja, orang Jerman, apakah Indonesia akan jadi Islami atau tidak, dalam arti formal, di masa depan?

Enggak. Islam justru malah kehilangan formalitasnya di Indonesia. Sebab, kalau kita lihat perjalanan Islam di Indoensia sekian abad ini, Islam itu lebih dekat pada gerakan nasionalis. Contohnya saja pertentangan antara Sultan Hadiwijaya dan Sutawijaya atau populer disebut Joko TIngkir. Kan menang Sutawijaya, tokoh yang boleh dikata yang meminta supaya ada nasionalisme dalam Islam.

Memang saya kenal banyak pribadi muslim yang jelas sangat nasionalis.

Jadi, kalau terus kita telusuri sampailah pada lahirnya Syarikat Dagang Islam. Syarikat ini lahir sebagai reaksi adanya keinginan membuat Islam yang nasionalis. Ternyata, Syarikat Dagang Islam tetap juga kecil, enggak bisa besar. Dengan kata lain, mereka yang menginginkan formalisme Islam enggak pernah menang di Indonesia.

Bahkan lahirnya Muhammadiyah sebagai upaya untuk lebih menonjolkan Islam di-counter dengan lahirnya NU. NU lahir dari dua madrasah, Taswirul Afkhar dan Nahdlatul Wathan, yang ingin memperjuangkan Islam nasionalis.Konsep Taswirul Afkhar adalah hasil pemikiran Cokroaminoto, yang jelascampuran antara Islam dan nasionalisme. Juga Nahdlatul Wathan, yang menurut artinya saja adalah 'kebangkitan tanah air'. Mereka ini tidak mau diganggu oleh hukum Islam yang mereka anggap bukan dibuat oleh mereka. Jadi, dengan kata lain, mereka takut terhadap encroachment pemerintah kolonial, takut kalau mereka masuk ke dalam gerakan Islam. Maka, lahirlah NU.

Tapi, sembilan tahun setelah NU berdiri, tahun 1935, ada pertanyaan:
apakah orang Islam wajib mendirikan kerajaan Islam di Indonesia ataukah harus mempertahankan kerajaan Hindia Belanda. Kongres (muktamar) NU di Banjarmasin, Juni 1936, menyatakan tidak wajib orang Islam mendirikan kerajaan Islam. Alasannya, di Indonesia sudah pernah berdiri kerajaan Islam dan rakyat sudah menjalankan agama dengan bebas. Ini menjadi dasar penerimaan NU terhadap Pancasila.
Pada tahun 1951 oleh Kiai Wahid Hasyim, ayah saya, sebagai Menteri Agama dari NU, perempuan diterima menjadi hakim agama melalui penerimaan diSGHN (Sekolah Guru Hakim Negeri). Ini baru satu-satunya di dunia.

Kemudian, pada tahun 1984, NU menerima asas Pancasila. Yang lain kann hanya ikut-ikutan NU. NU berani merumuskan menerima asas Pancasila dan tetap memegang akidah ahlul sunnah wal jamaah. Jadi, contoh-contoh itu membuktikan bahwa kedudukan Islam yang nasionalis, Islam yang memperhitungkan keadaan Indonesia, lebih kuat daripada mereka yang menginginkan formalisme Islam.

Kemudian, pada tahun 1984 timbul asas tunggal Pancasila bagi organisasi sosial-politik. Ketika saya berbicara dengan umat Katolik, ternyata dalam Kristen ada pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Nah, sebagai Sekretaris Panitia Kecil Pengurus Besar NU (yang membahas soal asas tunggal Pancasila), saya menyetir supaya NU menerima asas tunggal Pancasila itu. Karena apa? Karena, kalau kita setia pada Undang-Undang Dasar 1945, berarti --pada waktu itu lho-- ya, setia pada Pancasila. Nah, kalau setia pada Pancasila, berarti harus menerima juga Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan sosial-politik.

Saya ingat, akhir tahun 1983, Gus Dur pernah bicara dengan saya selama dua jam, memperingatkan supaya Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) jangan terlalu picik. KWI jangan ragu-ragu mengenai asas tunggal itu. Kalau begitu, apakah ini berarti demokrasi di Indonesia tidak mungkin?

Mungkin; justru harus ada demokrasi karena landasan demokrasi itu -kontrol sosial. Jadi, Indonesia tidak akan mungkin jadi negara Islam atau tidak akan mungkin jadi negara separatif karena adanya demokrasi.

Apakah demokrasi tidak lalu bisa dipakai oleh tiap-tiap kelompok:membantu mereka mau disintegrasi, juga sebaliknya membantu mereka untuk tidak disintegrasi?

Oh, tidak. Karena, mereka diharuskan mengikuti garis umum bangsa melalui dialog-dialog dan melalui perumusan bersama; siapa yang terbanyak itulah yang menang.

Tapi, negara ini kan mayoritasnya Islam dan prinsip demokrasi itu kan mayoritas. Jadi, bagaimana dengan yang minoritas-minoritas Kristen itu?

Ya ini, kalau demokrasi itu dasarnya kesatuan bangsa dengan sendirinya demokrasi tidak berdasarkan agama.

Tapi bisa kan atas dasar suara mayoritas lalu seakan-akan berprinsip demokrasi mengislamkan negara; apakah itu mungkin?

Seperti Amerika Serikat sekarang, kenapa tidak mungkin jadi negara Kristen padahal itu negara penganut demokrasi? Karena, ada undang-undang dasar Amerika yang memberikan tempat persamaan yang mutlak pada semua agama.

Saya sendiri merasa demokrasi memang jalan terbaik karena di situ lalu orang tidak terfokus hanya pada agama, tetapi pada politik. Dan, dalam politik ada bermacam-macam perbedaan sehingga saya sendiri merasa salah bahwa satu kelemahan besar Orde Baru adalah orde ini melarang rakyat ikut dalam politik. Akibatnya,seluruh energi dicurahkan ke agama, satu-satunya sektor yang masih relatif bebas dari rezim Orde Baru. Risikonya, tendensi primordial menjadi lebih kuat daripada dalam tahun 1950-an, ketika masih ada kebebasan.

Dalam hal ini tergantung pada organisasi agamanya. Untungnya, di Indonesia ada seperti NU, yang memahami betul bahwa Indonesia tidak berdasarkan agama walaupun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, Indonesia berdasarkan nasionalitas, kebangsaan. Karena itulah kami dari NU selalu menyodorkan bahwa konsep kebangsaan kita adalah, sebagai bangsa, kami tidak akan pernah bersatu utuk memformalkan ajaran agama Islam. Agama Islam urusan pribadi orang.

Gus Dur, ada yang mengatakan sebetulnya Indonesia tidak akan bisa melaksanakan integrasi karena budaya Jawa terlalu berpengaruh dan budaya Jawa katanya tidak demokratis.

Ya, tergantung pada bagaimana melihat budaya. Kalau saya memandang budaya Jawa, itu demokratis. Ada bagian-bagian dari budaya Jawa yang tidak demokratis, tapi yang namanya kewajiban-kewajiban umum kebudayaan itu jelas sekali demokratis. Semboyan mangan ora mangan asal ngumpul ('makan tidak makan asalkan berkumpul') itu saja kan contoh bahwa pemerintah wajib memberikan perhatian ke warga negara seluruhnya supaya makan. Jadi, dalam budaya Jawa, ketundukan pertama itu kepada Tuhan, kepada kebaikan.

Jadi, tidak betul budaya Jawa itu menggagalkan demokrasi?

Tergantung; mungkin yang dimaksudkan adalah budaya politik Jawa selama ini. Kalau ini, karena Jawa diperintah oleh raja-raja yang terlalu mengandalkan pada kekuasaan raja, jadinya, ya, seperti itu. Tapi, itu kan kebudayaan atas, pinjam istilah orang-orang antropologi. Bawahnya, budaya Jawa bawah, demokrat sekali.

Ketika Sutawijaya dikalahkan Sultan Hadiwijaya, dia menyingkir, mendirikan pesantren di sebuah pulau di tengah-tengah Bengawan Solo. Maka, tercipta tembang itu lho: "sigro milir sang getek sinonggo bajul, kawandoso cacahipun..." ("segera mengalir rakit didorong buaya, empat puluh banyaknya .."). Itu kan menunjukan 40 macam kesaktian yang dimiliki Sultan Hadiwijaya. Tapi, 40 macam kesaktian tidak untuk dia karena berwujud buaya.
Artinya, kalau lalai, dia akan ditelan oleh kesaktian yang 40 itu. Dengan kata lain, dia tidak pantas jadi raja. Karena itu lebih baik jadi ulama saja, mendidik masyarakat. Jadi, dari ini saja sudah ditunjukkan bahwa dalam kebudayaan Jawa itu ada yang seperti Joko TIngkir (Sultan Hadiwijaya), ada yang seperti Panembahan Senopati (Sutawijaya). Jadi, ya, tergantung pada dari mana memandang kebudayaan Jawa. Ada kiai, ada raja.

Jadi, tumbuhnya santri merupakan unsur demokratis dalam masyarakat Jawa?

Betul. Artinya, kiai sebagai manifestasi budaya santri itu menumbuhkan semacam kekuatan moral untuk mengoreksi hura-hura, mengoreksi raja-raja. Ambil contoh Kisah Kiai Mutamaqin di Kajen. Dua ratus tahun lalu, Kiai Mutamaqin sudah memberontak kepada Raja Kartosuro, yang diwakili oleh penghulu bernama Ketib Anom. Ia mengajarkan persamaan hak dalam masyarakat.

Terus, Kiai Mutamaqin dipanggil Ketib Anom. Berdebat mereka.

Menurut versi keraton, Kiai Ahmad Mutamaqin kalah kaji (kalah ilmu) -- istilahnya begitu. Karena itu harus mengalah kembali ke kampungnya, ke Cebolek. Tapi, sampai dengan hari ini, setiap 1 Suro dirayakan haul Kiai Mutamaqin, dirayakan peringatan ulang tahun kematiannya. Ribuan orang datang, mendengarkan tembang; dalam tembang ini, Cebolek menang,Mutamaqin menang. Jadi, dalam tradisi lisan, sang kiai menang; dalam tradisi tulisan, sang rajalah yang menang.

Nah, saya melihat ada dua dalam hal Serat Cebolek ini. Satu, ini adalah pemberontakan kaum syiah di Indonesia. Artinya, orang yang berangkat ke sini membawa syiah setelah sampai di sini ikut suni, tapi semangat syiahnya tetap, semangat kerakyatan. Yang kedua, Kiai Mutamaqain menentang keraton dan ternyata dia tetap hidup. Saya cenderung menafsirkan, dalam debat, Kiai Muatmaqin-lah yang menang. Sebab, kalau dia kalah, dia akan dimatikan, paling tidak enggak boleh jadi kiai lagi. Nyatanya, dia masih jadi kiai. Nah, dengan demikian, tradisi persamaan hak itu inti kedaulatan hukum, itu ada pada sang kiai, sang raja tidak.

Kalau begitu, citra budaya Jawa sangat orang atas?

Orang atas itu bagian dari kebudayaan keraton.

Lalu, bagaimana rakyat?

Rakyat mempunyai budayanya sendiri. Kiai-kiai berkembang di seluruh Pulau Jawa. Di mana ada lurah di situ ada kiai. Berarti, baik kecenderungan elitis maupun kecenderungan populis ada pada budaya Jawa. Maka itu jangan heran kalau NU menuntut persamaan hak. Karena itu, NU menerima Serat Cebolek yang dinyanyikan di Kajen pada setiap 1 Suro.

Soal lain, banyak ditanyakan orang luar negeri, apakah di Indonesia ada bahaya radikalisasi di kalangan Islam?

Saya rasa masalahnya bukan ada atau tidak, melainkan apakah situasinya kondusif untuk munculnya kaum militan. Sebab, kalau ditanya apakah orang Islam itu senang demokrasi, tentu saja senang. Tapi kan belum tentu orang Islam di Indonesia yang senang demokrasi itu lalu melawan gerakan Islam yang militan. Kita lihat, gerakan-gerakan Islam di Indonesia yang sekarang ada: mana gerakan militan yang dilawan? Enggak ada.

Nah, karena enggak dilawan, gerakan militan itu lalu mengira situasinya cocok untuk mereka. Jadi, mereka lalu maju terus. Jadi, dengan pertanyaan lain, jawabannya itu adalah "apakah situasi di Indonesia nanti akan tetap kondusif untuk mereka atau tidak?"
Kalau tidak, ya, mereka nanti akan kehilangan klaim; dan yang akan muncul adalah orang-orang yang moderat, yang baik, seperti saya ini. Karena apa, karena yang moderat itu jumlahnya besar; jadi enggak usah khawatir.

Sekarang ini, kecenderungannya lebih ke arah radikalisasi atau penciptaan suasana yang tidak kondusif untuk Islam militan?

Saya rasa, dilihat perjalanan bangsa kita mulai dari perjuangan kemerdekaan sampai sekarang, itu lebih kondusif untuk yang tidak militan. Munculnya nasionalisme di Indonesia yang begitu kuat, yang sekuler, bahkan kadang-kadang kelihatan sebagai antiagama, toh akhirnya yang seperti itu menyisih juga. Jadi, yang benar itu adalah kaum nasionalis yang cinta agama seperti Bung Karno dan sebagainya itu.

Lalu kemudian dari kalangan Islam muncul seperti NU, yang tidak mau memaksakan kehendak kepada orang lain -- NU jalan sendiri. Dan jangan dianggap NU begini karena kebetulan. Bukan, ini suatu sikap yang konsisten. Kan sudah saya sebutkan, dalam kongres Banjarmasin, NU sudah menyatakan tidak wajib mendirikan negara Islam.

Dalam Pemilihan Umum 1955, kira-kira setengah dari muslim Indonesia tidak memilih partai Islam; apakah kira-kira sekarang juga masih begini, atau bagaimana?

Sekarang malah lebih besar, Romo. Yang tidak memilih partai Islam itu lebih besar karena mereka sekarang juga memilih NU. Nanti, dalam pertempuran antara Pancasila dan Islam belum tentu orang memilih Islam. Seandainya, dalam pemilihan umum yang akan datang, lini yang saya bawakan sekarang ini menang, itu berarti orang-orang Islam tidak senang dengan kehadiran negara yang campur tangannya terlalu besar dalam agama.

Apakah orang-orang NU merasa negara terlalu banyak campur tangan?

O, iya, sekarang ini. Masjid saja diperebutkan antara orang NU dan Muhammadiyah. Dan, Muhammadiyah itu representasinya pegawai negeri, pemerintah. Maka, ada pemeo di NU: kalau orang NU sama orang lain ribut berebut sandal di masjid, NU dengan Muhammadiyah berebut masjid. Jadinya, orang NU kalah karena yang non-NU itu dibantu birokrasi pemerintahan. Dengan kata lain, NU sudah mual dengan pemerintah.

Kalau Gus Dur tidak bicara seperti orang NU, tapi sebagai negarawan, bagaimana Gus Dur melihat kekuatan Muhammadiyah yang supposed to be modernist dan kekuatan NU yang supposed to be traditionalist atau pluralis; lalu ada Dewan Dakwah, ada Majelis Ulama Indonesia (MUI)?

Saya tidak mengatakan Muhammadiyah itu seluruhnya antinasionalisme atau seluruhnya berpikiran militan, enggak. Saya melihat Muhammadiyah dengan NU itu perbedaannya justru dalam cara mengambil keputusan hukum saja, maksudnya hukum agama. Di NU maupun Muhammadiyah sama-sama banyak orang yang beranggapan hukum agama seharusnya hukum Islam dan diberlakukan untuk orang-orang muslim; dan tidak usah negara ikut campur. Jadi, saya tidak tahu mana yang lebih besar dan mana yang lebih kecil. Tapi, kalau orang Dewan Dakwah itu lebih mungkin menganggap kepentingan agama lebih tinggi, kepentingan negara lebih kecil. Nah, mereka inilah yang jumlahnya sangat kecil -- namanya minoritas.

Peran MUI dalam pembentukan, katakanlah, satu model Islam di Indonesia bagaimana?

MUI enggak bisa dijadikan contoh karena MUI bikinan pemerintah dan harus mempertahankan dirinya sebagai wadah bagi semua orang. Hal-hal yang seperti pikiran Dewan Dakwah tadi itu di MUI sama kuat dengan NU. Maka itu, di NU, MUI ditertawakan karena putusan-putusannya tidak mencerminkan keinginan umat, melainkan keinginan pemerintah. Itu dengan mengandaikan MUI seharusnya berdiri di atas semua golingan. Jadi, kita enggak tahu pemikiran MUI bagaimana.

Impian Gus Dur sendiri bagaimana?

Impian saya adalah tanpa majelis ulama. Di Amerika Serikat, enggak ada majelis ulama. Yang Kristen bergerak sendiri, yang Katolik bergerak sendiri, yang Islam juga bergerak sendiri. Tapi, mereka berdialog satu sama lain. Impian saya itu adalah terjadi proses hubungan silaturahmi diantara semua pengikut agama.

Kita bicara saja orang kepercayaan. Kepercayaan itu kalau kita bilang mereka dimasukkan dalam golongan Islam, lalu senang dengan hukum Islam, lalu menjalankan hukum Islam dengan konsekuen, lha mana bisa?

Pendiriannya juga berbeda, kok. Hanya berhubung orang pakai nama Islam, ya, harus begini-begitu. Padahal, Islam itu bisa macam-macam. Seperti Permadi juga Islam. Kalau saya melihat itu begitu. Artinya, saya menganggap orang seperti Jatikusumo itu tidak kurang Islamnya daripada saya. Selama dia merasa dirinya muslim, ya, sudah. Seperti di Amerika, semua orang, ya, Kristen. Tapi, ya, Kristen saja, bukan lalu seperti Children of God.

Itu sangat majemuk.

Ya, sangat majemuk; Islam juga begitu, Kristen juga begitu, kepercayaan juga begitu.

Apakah kita akan mendapatkan masyarakat yang lebih majemuk dan terbuka pada kemajemukan atau tendensi ke arah keseragaman akan lebih kuat?

Saya rasa kita akan menuju ke kemajemukan lebih dulu. Sebab, semakin modern masyarakat kan semakin majemuk. Artinya, dalam hal ini, semakin tua masyarakat akan dihormati sebagai makin tinggi tingkat kemajemukannya.

A. Wahid Hasyim, NU dan Islam

Soewarno adalah seorang pemuda berusia sekitar 20 tahun dan bertugas di Corp Polisi Militer (CPM) Yogyakarta di bawah pimpinan Sakri Soekiman di masa revolusi. la adalah prajurit biasa yang sering dipindahtugaskan dari satu tempat ke tempat lain di berbagai kesatuan dari masa itu. Yang paling mengesankan adalah tugasnya selaku pengawal Panglima Besar Soedinnan, Panglima ABRI pada waktu itu. Dari posisi itulah dia mengenal beberapa tokoh masyarakat kita, antara lain K.H. A. Wahid Hasyim.

Sekarang dalam usia 73 tahun, pensiunan tentara itu telah lama menjadi pengusaha swasta dan tinggal di Bogor.Dalam waktu senggangnya dia menceritakan pengalaman-pengalamannya di masa lampau. Suatu saat dia datang ke rumah penulis di Ciganjur. Soewarno menceritakan dengan semangat bahwa ia berkali-kali menjaga Panglima Besar Soedirman di saat beliau bertemu dengan pemuda A. Wahid Hasyim dan Pimpinan Masyumi, Dr. Soekiman Wirjosandjojo di Kauman, Yogyakarta.

Dr. Soekiman Wirjosandjojo ini pada tahun 50-an pernah menjadi Perdana Menteri Rl dengan K.H. A. Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama. Dia adalah ayah dari komandan Soewarno, Sakri Soekiman. Menurut Soewarno, ketika mereka bertiga bertemu dan berbicara tentang masalah kenegaraan, K.H. A. Wahid Hasyim tampak bersemangat terutama ketika dia menjelaskan perlunya hukum Islam disandarkan pada Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia.

Kalau sudah berbicara masalah ini. Dr. Soekiman dan Panglima Besar Soedirman hanya memandang sambil mengangguk-anggukkan kepala. Hal ini masuk akal, karena keduanya bukanlah orang yang mendalami masalah agama. Sedangkan pemuda A. Wahid Hasyim adalah pemuda pesantren yang sarat dengan kajian keagamaan. Jadi cerita Soewarno tentang hal ini jelas bukan sesuatu yang mengada-ada.

Yang menarik kita dari penuturan Soewarno itu adalah satu hal, bagaimanakah pemuda A. Wahid Hasyim mempertahankan kedudukan Pancasila dengan supremasinya atas hukum Islam (syari'ah). Sedangkan syari'ah pada umumnya dianggap memiliki supremasi lebih tinggi daripada Pancasila yang buatan manusia? Sayangnya penuturan Soewamo tersebut tidak diikuti oleh keterangan-keterangan lebih lanjut. Misalnya apa argumentasi yang dijadikan dasar pemikiran A. Wahid Hasyim untuk bersikap demikian. Hal ini penting karena K.H. A. Wahid Hasyim meninggal secara mendadak tahun 1953 dalam usia 39 tahun, dan Soewamo hingga saat ini tidak menguasai persoalan.

Kini terasa benar bobot persoalan yang diutarakan A. Wahid Hasyim itu, karena putaran masalahnya mengembangkan hal itu ke permulaan pemikiran kita kembali. Tanpa disadari siklus permasalahan itu muncul kembali dalam perhatian kita saat ini. Orientasi meng-utamakan Pancasila atas syari'ah kini mengalami pemikiran ulang. Kembali ada yang mempertanyakan terutama pada era pasca-Soeharto, di mana orang menuntut agar diperbolehkan menggunakan asas Islam. Ini berarti memberikan supremasi pada syari'ah, dan rasa-rasanya hal ini dapat menjadi isu utama dalam Pemilu tahun '99. Bahkan kalau saja Pemilu ditunda pelaksanaannya, itu karena tidak sanggupnya pihak yang ingin melontarkan supremasi syari'ah sumber hukum negara kita.Karenanya perlulah kita mencoba meraba-raba apa yang menjadi pemikiran A. Wahid Hasyim dalam masalah ini.

Di sisi lain, A. Wahid Hasyim pemah pula diceritakan oleh mantan Menteri Agama, Munawir Sjadzali. Beliau mengisahkan bahwa pada suatu saat pemah plilang bersama K.H. A. Wahid Hasyim dari niangan Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang dipimpin oleh pemuda Anwar Hariyono di Yogyakarta. Dalam perjalanan pulang dengan jalan kaki menuju Kauman, Yogyakarta, A. Wahid Hasyim menyatakan kekesalannya pada kiai-kiai NU.

Kekesalan A. Wahid Hasyim ini tentu saja dapat dimaklumi. Sebagai seorang pemuda dia merasa sangat terbelenggu oleh pola pikir para kiai yang dianggapnya sangat "konservatif". Dia sangat terpengaruh oleh suasana kongres yang banyak membahas berbagai persoalan secara terbuka dengan berbagai sudut pandang. Sedangkan dalam kongres tersebut, A. Wahid Hasyim sendiri masih harus terikat pada pendirian formal NU yang sepenuhnya berasal dari pandangan para ulama yang masih bersandar pada syari'ah. Lebih-lebih para ulama tersebut tidak tertarik pada Pancasila sebagai landasan hukum negara kita.

Di sini kita berhadapan dengan kenyataan sosiologis bahwa gerakan-gerakan Islam masih ada yang mengutamakan syari'ah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tema ini berulang-ulang lahir kembali setiap kali dasar-dasar negara kita dibicarakan. Bukankah ini hal yang mengejutkan kita? Soekarno pemah memperdebatkan ini dengan Moh. Natsir pada tahun 30-an melalui tulisan-tulisannya Islam Sontoloyo. Agus Salim juga pernah memperdebatkannya dalam serangkaian tulisan.

Sekarang pun masalah hubungan, fungsi, dan kedudukan syari'ah dan hukum negara masih hangat diperbincangkan sebagaimana terlihat dalam tulisan-tulisan Saad el-Din al-Asmawi dan Nasr Abu Zayd. Masing-masing pensiunan Ketua Mahkamah Agung Mesir dan pensiunan dosen hukum Islam di Fakultas Hukum Cairo University.

Pendapat A. Wahid Hasyim yang memberikan supremasi Pancasila sebagai dasar negara atas hukum Islam tidak perlu dianggap aneh. Pendiriannya yang demikian dibuktikan dan dikukuhkan ketika beberapa tahun kemudian dia menjabat sebagai Menteri Agama. Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Agama, K.H. A. Wahid Hasyim menerima permintaan agar para siswi diterima pada Sekolah Guru Hakim Agama Negeri (SGHAN).

Seperti diketahui, syari'ah melalui karya-karya para ulama telah menetapkan empat syarat bagi kedudukan hakim Islam, yang di negeri kita menjadi bagian dari Hukum Agama. Dalam pandangan ini, seorang wanita tidak boleh menjadi hakim agama, sehingga tidak boleh ada hakim agama wanita. Konsekuensi dari pandangan ini adalah ditolaknya wanita sebagai pelajar SGHAN karena lulusan lembaga tersebut nantinya akan menjadi guru hakim atau hakim agama.Hal ini jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 yang memberikan kedudukan sama pada pria dan wanita.

Dalam pandangan hukum buatan manusia ini diperkenankan adanya hakim agama wanita. Kalau ada menteri agama yang menerima wanita menjadi siswi SGHAN (sekarang IAIN, Fakultas Syari'ah, Jurusan Qadia'), jelas dia telah mengubah ketentuan syari'ah dan berpegang pada supremasi hukum kontemporer.

Inilah yang dilakukan oleh K.H. A. Wahid Hasyim,dalam kedudukannya sebagai Menteri Agama. Dengan demikian jelaslah bahwa dia mengikuti madzhab yang mengakui supremasi hukum kontemporer dengan mengalahkan syari'ah. Dan ini dilakukannya dalam kapasitas selaku pimpinan ormas terbesar di negeri ini, yaitu Nahdiatui Ulama (NU). Anehnya, meski pikirannya sangat liberal namun tidak pernah menerima hujatan dan gugatan dari ulama yang berpegang teguh pada syari'ah, termasuk ayahandanya sendiri.

EI-Asmawi menganggap Hukum Napoleon dari Barat yang menjadi landasan Hukum Pidana Mesir saat ini adalah telah memenuhi ketentuan-ketentuan syari'ah, sedangkan lawan-lawannya berpandangan sebaliknya.Kalau pandangan EI-Asmawi ini benar maka tidak perlu lagi ada hukum syari'ah, karena hukum yang ada telah menampung dua hal penting dari syari'ah, yaitu unsur ketahanan (deterrence) dan hukuman (punitive). Abu Zayd bahkan menganggap syari'ah tidak diperlukan lagi, karena telah ditutup peranannya oleh banyak aspek kehidupan masa kini.

Sementara itu yang berpendirian sebaliknya mengemukakan, bahwa dasar-dasar hukum yang ada dalam Al-qur'an, hadis Nabi dan dirumuskan dalam berbagai literatur fiqh merupakan legasi yang harus diberi tempat utama dalam kehidupan. Kalau terjadi pertentangan antara legasi dan segi-segi kontemporer dan kehidupan maka yang harus dimenangkan adalah legasi tersebut. Dengan kata lain, pendirian formal Islam dalam setiap soal haruslah diutamakan atas pendirian manusiawi kontemporer.

Dengan demikian, jelas apa yang dipikirkan A. Wahid Hasyim pada waktu itu adalah seuatu yang sangat menarik. Kalau benar apa yang diceritakan Soewarno dan apa yang menurut pandangan kita melatarbelakangi pemikiran A. Wahid Hasyim sepulang dari Kongres CPU, sebagaimana diceritakan Munawir Sjadzali, semuanya itu masih relevan hingga saat ini.

A. Wahid Hasyim memikirkan hal yang sama dengan Soekamo, Agus Salim dan Natsir, walaupun isi pemikiran berlainan dari tokoh yang berbeda-beda itu. Dia menghadapi masalah yang abadi, manakah yang harus diutamakan antara syari'ah dan hukum kontemporer? Dan masalah ini pula yang saya rasa harus dijawab oleh semua partai.

Pada tahun 1935, Nahdlatul Ulama (NU) mengadakan muktamar di Banjarmasin, Borneo
(sekarang Kalimantan). Salah satu keistimewaan muktamar itu adalah munculnya pertanyaan, wajibkah umat Islam negeri ini mempertahankan negara, yang waktu itu dikenal dengan nama kerajaan Hindia Belanda (Nederlandsch oos-indie), karena istilah Indonesia belum dipakai.Pertanyaan itu timbul dari persiapan-persiapan militer Jepang untuk menduduki Asia Tenggara sebagaimana terjadi beberapa tahun kemudian. Kalau dilihat dari sudut pandang hukum Islam, hal ini sangat menarik. Bukankah kerajaan Hindia Belanda diperintah oleh pemerintahan nonmuslim, karena Gubernur Jenderalnya adalah orang Belanda yang beragama Kristen? Kalau hal itu dapat dibenarkan berarti tidak ada keharusan bagi umat Islam untuk mempertahankan Kerajaan Hindia Belanda? Bukankah dengan demikian legitimasi kerajaan akan hilang?

Muktamar NU waktu itu temyata membuat keputusan yang sama sekali berbeda dengan yang dibayangkan para ulama syar'i. Muktamar memutuskan bahwa kerajaan Hindia Belanda wajib dipertahankan. Berarti pemerintahan oleh orang-orang nonmuslim pun tetap dipertahankan apabila dia merupakan pemerintahan yang sah dan tetap memberi jaminan kebebasan pada orang muslim untuk melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Kalau ini diterima berarti mempertahankan pemerintahan oleh orang Islam bukan merupakan kewajiban yang bertentangan dengan hal tersebut di atas.

Dengan kata lain prinsip adanya negara harus diterima terhadap kenyataan tidak adanya negara (faudla). Hal ini diperkuat dengan keputusan Pengurus Besar Nahdiatui Ulama (PBNU) untuk mengeluarkan Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 yang berisi seruan kewajiban bagi orang muslim untuk berjuang niempertahankan negara Rl dari serangan orang luar.

Kalau mempertahankan pemerintahan nonmuslim dilihat dari sudut pandang agama adalah kewajiban utama,maka in mempertahankan pemerintahan oleh kaum muslimin (Soekamo, Hatta, dan Syahrir) adalah juga kewajiban agama. Dengan kata lain masalah orangnya tidaklah penting, yang harus dijaga adalah tetapnya negara.

Apabila prinsip ini diterapkan jelas bahwa dasar negara Pancasila pun bersifat demikian. Kedua keputusan di atas sangatlah penting bagi NU dalam keikutsertaannya dalam kehidupan bernegara. Artinya, NU terikat pada keputusan bersama mendirikan negara kesatuan Republik Indonesia, yang juga adalah pendirian seluruh rakyat Indonesia. Ini dengan sendirinya berarti masalah agama diserahkan kepada para politikus di DPR (parlemen) dan MPR untuk diputuskan secara formal.

Kalau para kiai membicarakannya dalam muktamar itu bukan keputusan yang mengikat secara formal (kenegaraan), melainkan sebagai keputusan perorangan. Paling tinggi ia adalah keputusan kelompok. Hal ini sangat penting untuk diingat karena seluruh keberadaaan NU tergantung pada keputusan ini.

Kalau kita kembali pada Muktamar NU Banjarmasin di atas terlihat jelas bahwa NU membedakan antara pendapat resmi yang diwakili oleh negara dan pendapat yang mewakili kelompok agama. Salah satu diktum mengapa umat Islam mempertahankan negara Hindia Belanda adalah kenyataan bahwa di Indonesia pemah berdiri kerajaan Islam. Dengan demikian, hukum yang dipakai kerajaan Islam tersebut adalah hukum Islam yang dikenal di kawasan ini. Syari'ah yang diterima di sini pun adalah hukum Islam yang diterima kaum muslimin Indonesia. Bukannya hukum Islam yang abstrak yang berlaku untuk semua tempat dan zaman. Tidaklah dapat dicegah adanya perbedaan persepsi antara tempat dan waktu dalam dunia lslam.Berarti diktum itu tergantung pada pihak yang mengambil keputusan. Di sinilah letak kekuatan NU sekaligus kelemahan pandangan NU.

Kekuatannya terletak pada kenyataan bahwa pertimbangan-pertimbangan lokal selalu menjadi bagian dari keputusan NU di bidang agama. Dilihat dari sudut ini, kesediaan NU untuk mendukung syari'ah dalam sidang Konstituante 1956-1959 adalah tindakan taktis guna mempertahankan keutuhan umat yang akhirnya menjadi sesuatu yang terbantah dengan penerimaannya atas Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Sebaliknya, keputusan NU untuk menerima asas Pancasila dalam muktamarnya di Situbondo tahun 1984 adalah keputusan prinsip yang berjangka panjang. Pada waktu itu penulis telah ikut serta dalam proses merumuskan pendirian (pandangan) NU tersebut dengan menjadi Sekretaris Panitia Kecil NU yang diketuai oleh K.H. Ahmad Shiddiq. Ketika K.H. Ahmad Shiddiq memerintahkan penulis untuk menemui wakil pemerintah Rl, penulis diterima oleh pejabat yang bertugas mengurus masalah tersebut, yaitu Menteri Sekretaris Kabinet, Drs. Moerdiono.

Kepada beliau penulis menanyakan: apakah Pancasila akan menggantikan kedudukan agama, dipandang sebagai agama, atau diperlakukan sebagai agama oleh pemerintah? Oleh beliau dijawab tidak.Dengan demikian, tempat Pancasila dan agama berbeda-beda, karena agama dan negara memang memandangnya dari sudut yang berlainan. Berarti yang menangani masalahpun berbeda-beda antara pemerintah dan ulama, walaupun pandangan dasarnyatetap sama yaitu kesetiaan pada dasar negara.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa NU memiliki pandangan yang tersendiri mengenai hubungan antara Islam dan Pancasila.

Pertama, masalah Pancasila adalah masalah duniawi dan tidak memiliki dimensi akhirat, karenanya masalah itu lebih tepat diurus oleh negara dengan didampingi oleh para ulama ahli syari'at.

Kedua, persoalan Pancasila adalah persoalan yang harus dipecahkan di negara ini dan dalam konteks bernegara pula. Sehingga tidak tepat untuk menanyakan bagairnana pandangan Pancasila tentang suatu hal, karena itu adalah yurisdiksi dan syari'ah. Setiap upaya untuk mencari legitimasi negara dalam masalah-masalah keagamaan harus dijauhi sedapat mungkin, demikian pula sebaliknya. Ini berarti negara harus pandai-pandai membawakan diri untuk tidak mudah rnemasuki wilayah yang bukan urusannya guna memelihara sikap yang sama pada semuanya.

Kalau kita bisa menerima Pancasila dalain pengertian ini maka tidak terdapat lagi pertentangan dalam sikap. Namun apabila Pancasila diterima hanya untuk membenarkan tindakan dan sikap tertentu dari kalangan agamawan, hal itu berarti pemberian dasar negara oleh agama. Dan itu tidak dapat dibenarkan pada saat ini. Secara tidak terasa kita telah banyak membohongi Pancasila untuk kepentingan-kepentingan kaum muslimin. Sudah waktunya kita melakukan koreksi atas hal itu jika kita mau jujur pada diri sendiri dan pada negara.

Dari uraian di atas dapat digarisbawahi bahwa K.H. Abdul Wahid Hasyim sebagai tokoh NU yang berpikiran dinamis dan liberal telah memberikan dampaknya sendiri pada jalan perjuangan NU hingga saat ini. Benarkah hal ini telah disadari oleh kalangan NU dewasa ini? Inilah pertanyaan yang memerlukan jawaban dari warga NU apabila mereka ingin mendalami sejarah NU di masa lampau guna kepentingan di masa depan.



Adakah Sistem Islami?

Dalam kitab suci Al-qur’an disebutkan: “masuklah kalian ke dalam Islam/kedamaian secara penuh” (udkhuluu fi al-silmi kaffah). Di sinilah terletak perbedaan pendapat sangat fundamental di antara kaum muslimin. Kalau kata “al-silmi” diterjemahkan menjadi kata Islam, dengan sendirinya harus ada sebuah entitas Islam formal, dengan keharusan menciptakan sistem yang Islami. Sedangkan mereka yang menterjemahkan kata tersebut dengan kata sifat kedamaian, menunjuk pada sebuah entitas universal, yang tidak perlu dijabarkan oleh sebuah sistem tertentu, termasuk sistem Islami.

Bagi mereka yang terbiasa dengan formalisasi, tentu digunakan penterjemahan kata "al-silmi" itu dengan kata Islami, dan dengan demikian mereka terikat kepada sebuah sistem yang dianggap mewakili keseluruhan perwujudan ajaran Islam dalam kehidupan sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah. Jelas sekali, ini membawa implikasi adanya keperluan akan sebuah sistem yang dapat mewakili keseluruhan aspirasi kaum muslimin. Karena itu, dapat dimengerti mengapa ada yang menganggap penting perwujudan “parpol Islam” dalam kehidupan berpolitik.

Tentu saja, demokrasi mengajarkan kita untuk menghormati eksistensi parpol-parpol Islam, tetapi ini tidak berarti keharusan untuk mengikuti mereka. Terlebih jauh lagi, kita juga harus menghormati hak mereka yang justru mempertanyakan kehadiran sistem Islami tersebut, yang secara otomatis akan membuat mereka yang tidak beragama Islam sebagai warga dunia yang kalah dari kaum muslimin. Ini juga berarti, bahwa dalam kerangka kenegaraan sebuah bangsa, sebuah sistem Islami otomatis membuat warga negara non-muslim berada di bawah kedudukan warga negara beragama Islam, alias menjadi warga negara kelas dua. Ini patut dipersoalkan, karena akan menyangkut kaum muslimin nominal, yang tidak menjalankan ajaran Islam secara keseluruhan. Kaum muslim seperti ini, sering disebut muslimin nominal atau abangan, tentu akan dinilai kurang Islami jika dibandingkan dengan mereka yang menjadi anggota/ warga partai/ organisasi para pelaksana ajaran Islam secara penuh, yang juga sering dikenal dengan nama “kaum santri”.

Apabila terdapat pendapat tentang perlunya sebuah sistem Islami, mengapa lalu ada ketentuan-ketentuan non-organisatoris diterapkan di antara kaum muslimin oleh kitab suci Al-qur’an? Sebuah ayat menyatakan adanya lima syarat untuk dianggap sebagai “muslim yang baik,” sebagaimana disebutkan dalam kitab suci Al-qur’an: “menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak saudara, anak yatim, kaum miskin dan sebagainya) menegakkan profesionalisme dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan.” Kesetiaan kepada profesi itu, digambarkan oleh kitab suci Al-qur’an dengan istilah, “mereka yang memenuhi janji yang mereka berikan” (wa al-mufuuna bi ‘ahdihim idza ‘aahaduu). Adakah janji yang lebih nilainya dari pada janji kepada profesi masing-masing, yang disampaikan ketika membacakan janji prasetia pada waktu menerima sebuah jabatan?

Kalau kelima syarat di atas dilaksanakan oleh seorang muslim, tanpa menerima adanya sebuah sistem Islami, dengan sendirinya tidak diperlukan lagi sebuah kerangka sistemik menurut ajaran Islam. Maka perwujudan sebuah sistem Islami tidak termasuk menjadi syarat bagi seseorang untuk dianggap “muslim yang taat”. Ini menjadi titik sengketa yang sangat penting, kareana di banyak tempat telah terjadi tumbuhnya paham yang tidak mementingkan arti sistem.

Karena itu, ketika NU (Nahdlatul Ulama) menyatakan deklarasi berdrinya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), tanpa menyebutkan bahwa partai tersebut adalah partai Islam, penulis dihujani kritik tajam elama berbulan-bulan dari mereka yang menginginkan partai tersebut dinyatakan sebagai partai Islam. Ini dilakukan oleh mereka, tanpa menyadari bahwa NU sejak semula telah menerima kehadiran upaya berbeda-beda dalam sebuah negara atau kehidupan sebuah bangsa.

Dalam Muktamarnya tahun 1935 di Banjarmasin, Muktamar harus menjawab sebuah pertanyaan: wajibkah bagi kaum muslimin mempertahankan kawasan yangg waktu itu bernama Hindia Belanda yang diperintah oleh orang-orang non-muslim (para kolonialis Belanda)? Jawab Muktamar saat itu; wajib. Karena di kawasan tersebut, yang di kemudian hari bernama Indonesia, ajaran Islam dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh warga bangsa secara bebas, dan dahulu ada kerajaan-kerajaan Islam di kawasan itu. Dengan demikian, tidak harus dibuat sistem Islam, dan dihargai perbedaan cara dan pendapat di antara kaum muslimin di kawasan tersebut.
Diktum Muktamar NU di Banjarmasin tersebut, memungkinkan dukungan pimpinan NU kepada mendiang Presiden Soekarno dan Hatta untuk memimpin bangsa ini. Demikian pula, pembentukan badan-badan formal Islam bukanlah satu-satunya medium bagi perjuangan Islam untuk menerapkan ajaran di bumi nusantara. NU yang resmi sebagai organisasi kemasyarakatan Islam dan bukannya lembaga politik, dapat saja meyalurkan aspirasinya tentang pelaksanaan ajaran Islam di kawasan tersebut melalui Golkar (Golongan Karya) yang tidak menjadi organisasi Islam resmi.

Perbedaan jalan perjuangan antara yang menganut paham lembaga Islam sebagai sistem di satu pihak, dan mereka yang tidak ingin melaksanakan perjuangan melalui jalur-jalur resmi Islam, dihargai dan diterima oleh para pendukung Ibn Taimiyyah beberapa abad yang lalu.

Lalu, bagaimana dengan hadits Nabi saw; “tiada agama tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa pimpinan, dan tiada pimpinan tanpa pemimpin" (laa diina illa bi jama’atin, wa laa jama’ata illa bi imaamatin, wa laa imaamata illa bi imamin), Bukankah ini menunjukkan adanya sebuah sistem. Dapat diberikan jawaban, bahwa tidak ada sesuatu dalam ungkapan tersebut yang menunjukkan secara spesifik, kepada adanya sebuah sistem Islami. Dengan demikian, setiap sistem diakui kebenarannya oleh ungkapan tersebut, asal ia memperjuangkan berlakunya ajaran Islam dalam kehidupan sebuah bangsa/negara.

Karenanya, dalam pandangan Islam, menurut pendapat penulis tidak diwajibkan adanya sebuah sistem Islami, dan ini berarti tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Ini penting untuk diingat, sampai hari inipun masih ada pihak-pihak yang ingin memasukkan Piagam Jakarta ke dalam UUD (Undang-Undang Dasar) kita. Dengan klaim mendirikan negara untuk kepentingan Islam, ini jelas bertentangan dengan demokrasi, karena paham itu berintikan kedaulatan hukum di satu pihak dan perlakuan sama pada semua warga negara di hadapan Undang-Undang (UU) di pihak lain. Sederhana persoalannya, bukan?



Islam: Antara Birokrasi Dan Pasar Bebas

Dalam menguraikan sejarah ekonomi bangsa-bangsa Timur Tengah, Charles Issawi menunjuk kepada bangsa Mesir. Bangsa ini sulit melepaskan diri dari birokrasi pemerintahan, karena tradisi sejarah yang menunjukkan kekuatan mereka semenjak ribuan tahun yang lalu. Di mulai dengan Fir’aun/Paraoh yang menjadi manifestasi kekuasaan Tuhan di muka bumi, melalui para Sultan yang menjadi wakilnya dan kekuasaan kaum imperialis yang luar biasa, birokrasi pemerintah menjadi sesuatu yang kokoh dengan adanya sosialisme Arab di bawah Gamal Abdel Nasr. Birokrasi pemerintahan mengembangkan diri begitu rupa, hingga kepentingan-kepentingannya seringkali disamakan dengan kepentingan rakyat banyak, sebuah hal yang secara perlahan-lahan tapi pasti sedang merasuki kehidupan kita sebagai bangsa.

Hal ini jarang dipikirkan orang, dan mau tak mau kita harus mengaitkannya dengan konsep negara Islam yang saat ini ditiup-tiupkan oleh sementara orang. Karenannya, sebuah pertanyaan harus dijawab sebelum meneruskan pemikiran tentang konsep tersebut yaitu: di manakah letak birokrasi pemerintahan dalam sebuah konsep negara Islam? Ini diperlukan, untuk menghindarkan sebuah negara Islam, kalau konsep seperti itu dapat dibuat dan kemudian dilaksanakan, karena hal itu akan menyangkut kepentingan kita bersama sebagai bangsa.

Dapat saja keinginan itu dianggap sebagai sesuatu yang mengada-ada, tetapi ia harus dibicarakan di sini untuk memperoleh kejelasan tentang posisi Islam dalam kehidupan kita sebagai bangsa yang bernegara dan bermasyarakat. Jika ini kita abaikan, jangan-jangan kita dihadapkan kepada semakin kuatnya birokrasi pemerintahan dalam kehidupan kita. Ini untuk menghindarkan kita dari penyesalan berkepanjangan, jika gagasan tentang konsep negara Islam dapat diwujudkan.

Ketika penulis menanyakan kepada Datuk Seri Dr. Mahathir Muhamad, tentang keputusan Malaysia keluar dari kungkungan Dana Moneter Internasional (IMF), beliau menjawab bahwa guru besar, Massachussets Institute of Technology (MIT), Paul Krudman yang menganjurkan hal itu. Ketika guru besar itu singgah di Jakarta, penulis bertanya kepadanya; apakah hal itu sebaiknya juga dilakukan oleh Indonesia? Beliau menyatakan, Malaysia dapat melakukannya karena memiliki birokrasi yang kecil dan jujur (lean and honest beureucracy), dan Indonesia sebaiknya tidak melakukan hal itu, karena tidak memiliki birokrasi seperti yang disebutkan tadi. Penulis tidak menjawabnya, karena disadari kita memang memiliki birokrasi pemerintahan yang terlalu besar dan korup.

Karena itu, yang ingin diutamakan adalah beberapa hal, dimulai dari peningkatan pendapatan pegawai negeri sipil dan warga TNI/POLRI. Persenjataan dan kesejahteraan mereka harus ditingkatkan secara drastis, kalau diinginkan mereka tidak terlibat tindakan-tindakan korup dan penyelundupan. Tanpa dilakukannya kedua hal itu, mustahil kita akan memiliki birokrasi yang jujur. Sementara itu, pengalihan tenaga-tenaga birokrasi harus terus dilakukan begitu rupa, agar tempat-tempat yang memerlukannya memperoleh tenaga birokrat yang cukup, dan tempat-tempat yang tidak begitu memerlukan terlalu banyak akan memperoleh birokrasi sejumlah yang diperlukan.

Demikian pula, status purnawirawan harus diterapkan pada waktunya agar tidak menghambat karier maupun kemungkinan promosi generasi muda. Jika hal ini dilaksanakan konskwen, dalam waktu beberapa tahun saja akan tercapai keseimbangan antara kebutuhan birokrasi dan tersediannya tenaga untuk itu. Pada tahap itulah kita baru dapat melakukan rekonsiliasi kepegawaian –seperti yang ditentukan oleh Undang-undang. Memang berat tugas menciptakan birokrasi dalam jumlah dan tingkatan yang sesuai dengan kebutuhan, tapi memang masa depan bangsa ini tergantung sepenuhnya pada kemampuan kita untuk mewujudkan keseimbangan seperti itu.

Hal itu berarti keharusan menciptakan profesionalisme penuh bagi system kepegawaian kita. Kitab suci Al-qur’an menyebutkan keharusan itu dengan istilah “memenuhi janji mereka di kala mengucapkan sumpah prasetia kepada jabatan” (wal mufuuna bi ‘ahdihim idza ‘aahadu). Adakah sebuah janji yang lebih besar dari pada sesuatu yang diucapkan ketika menyatakan janji prasetia kepada jabatan? Karena itulah profesionalisme harus ditegakkan, guna memungkinkan kita menepati janji prasetia yang kita ucapkan ketika pertama kali menerima jabatan?

Karena itu, birokrasi pemerintahan memang diperlukan oleh sebuah negara modern, namun birokrasi seperti itu haruslah benar-benar professional, untuk membantu dalam pengambilan keputusan pemerintah serta mencari kebijakan yang diperlukan untuk menyejahterakan rakyat. Tetapi, birokrasi pemerintahan bukanlah entitas independen, melainkan sebagai pihak yang selalu berpegang kepada kepentingan warga negara kebanyakan. Adagium ushul fiqh (teori Hukum Islam) yang menyatakan, “kebijakan dan tindakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin, haruslah terkait langsung dengan kesejahteraan mereka” (tasarraful imam ‘ala ar-ra’iyyah manuutun bil maslahah).

Jelaslah dari uraian di atas, bahwa Islam tidak memberikan kekuasaan mutlak kepada birokrasi pemerintahan untuk berbuat semau mereka. Tetapi, Islam juga memandang pentingnya arti birokrasi pemerintahan yang baik, karena segenap kebijakan pemimpin tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaannya oleh sebuah birokrasi pemerintahan. Sebaliknya, pasar bebas yang merupakan inti dari system ekonomi hanya akan terwujud tanpa terlalu besarnya birokrasi pemerintahan. Karenanya, birokrasi pemerintahan yang tidak terlalu besar dan tunduk sepenuhnya kepada para pemimpin politik sebagai pengambil keputusan terakhir, merupakan keharusan yang tak dapat ditawar lagi (conditio sine qua non, syartun laa yatimmu al-wajiibu illa bihi fahua wajiibun). Tidakkah lalu menjadi jelas bagi kita, bahwa menurut pandangan Islam, birokrasi pemerintahan dalam ukuran tidak terlalu besar dan memiliki wewenang serba terbatas?

Dari Merinding sampai Kata “Awas!”

Banyak yang salah memahami kata-kata jihad. Jihad selalu dikonotasikan dengan perang dalam arti fisik. Ada yang bilang, "mendengar jihad itu kayak berada di Koramil, merinding". Padahal sebenarnya dalam sebuah traktat agama yang sudah 300 tahun umurnya dan diajarkan di pesantren-pesantren, terdapat empat macam jihad. Yang -pertama, jihad itu menegakkan wujud Tuhan,baik melalui perdebatan, peribadatan dan sebagainya.Dengan menegakkan wujud Tuhan itu sesungguhnya sudah berjihad. Kedua, menegakkan hukum-hukum Tuhan. Mana yang dilarang Tuhan itu mesti dijauhi dan mana yang diperintahkan Tuhan dijalankan dengan sebaik-baiknya. Itu juga sudah berjihad.

Ketiga, baru berperang di jalan Allah kalau diserang.Artinya, kalau tidak diserang ya tidak perlu berperang. Ternyata konsep ini dapat dijalankan. Bosnia, misalnya,yang baru berperang dengan Serbia, ternyata sudah berkomunikasi secara baik seperti sediakala.

Konsep keempat, menjaga orang yang dilindungi Islam dan kerusakan. Siapa yang dilindungi oleh Islam itu? Di sana dinyatakan orang muslim dan nonmuslim yang hidup dalam satu masyarakat. Kaum muslimin harus ikut menjaga agar jangan sampai warga nonmuslim yang hidup dalam satu masyarakat itu dirusak atau tidak terhindar dari kerusakan. Bentuk perlindungan bisa bermacam-macam. Misalnya, penyediaan pangan jika dibutuhkan. Konsep Bulog dalam mengendalikan harga bahan makanan dan penyediaan stok yang cukup dan segala macam itu sebenarnya sesuai konsep ini. ltulah sebenarnya agama dalam bentuk kemasyarakatan.

Penyediaan pakaian untuk menutup aurat merupakan bahan garapan yang dapat dikerjakan bersama-sama. Islam menggarap bareng berdasarkan atas keyakinan agamanya,demikian juga orang Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya dapat melakukan hal itu berdasarkan keyakinan masing-masing.

Penyediaan papan (perumahan) juga termasuk dalam konsep itu. Bahkan ada istilah ujratut tamridh watsamanit dawa', atau biaya perawatan dan harga obat yang terjangkau masyarakat, juga termasuk dalam jihad.

Kalau begitu jihadnya orang Islam sama dengan jihadnya orang beragama lain? Memang konsep jihad,kalau saja tidak "diborong" oleh orang Islam, sebenarnya dapat dipakai penganut agama lain. Demikian juga konsep kasih sayang orang Kristen juga dapat diambil oper oleh orang Islam di saat mengusahakan agar nilai-nilai kemanusiaan benar-benar diterapkan dalam kehidupan. Di situ kita bisa memahami konsep kasih sayang yang mutlak dan demikian menyeluruh.

Kalau kita hanya bicara yang baik-baik itu baru separuh jalan. Baru mimpinya. Realitasnya belum kita sentuh. Realitasnya adalah kepahitan. Bahwa kehidupan keberagamaan kit belum terlepas dari kesalahpahaman. Ada sebuah ayat dalam Al-qur'an yang biasa ditafsirkan secara kurang pas. "Walan tardla ankal yahudu, walan nashara hatta tattabi’a millatahum" (Wahai Muhammad, orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sampai kamu ikut agama mereka).

Kata "rela" itu apa sih artinya? Tidak rela diartikan seolah-olah tidak menginginkan hidupnya. Gampangnya orang yang tidak kita relai itu supaya mati saja, deh'. Tidak rela kalau mereka hidup. "Rela" di sini sebenarnya mengandung arti yang sederhana, tetapi kompleks. Tidak rela artinya tidak dapat menerima konsep kebenaran abad yang dibawakannya. Kita mesti memahami ini dalam konteks bahwa tentu saja orang Yahudi dan Nasrani tidak rela kepada kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad. Sebab kalau mereka rela berarti mereka sudah tidak menjadi Kristen lagi, tidak menjadi Yahudi lagi. Mereka sudah menjadi Islam.

Nah karena dipahami secara salah, maka sampai keluar kata-kata, "Orang Kristen nggak rela sama kita, awas!"Juga ada pidato-pidato bahwa semua jabatan dalam pemerintahan harus dipegang orang Islam, sebenarnya ini sudah terlalu jauh. Ini sebenarnya realitas tadi. Ini yang perlu diluruskan dan dipahami bersama agar tidak menimbulkan kerawanan-kerawanan. Memang diperlukan upaya-upaya komunikasi secara intensif antarumat ber-agama, sementara di dalam umat masing-masing agama perlu dilakukan pelurusan-pelurusan terhadap pemahaman yang menyimpang.

Di kalangan Islam tengah terjadi proses perpindahan identitas, dari identitas muslim lama menuju ke identitas muslim baru. Kalau dulu yang ada hanya sikap ritualistik, semata-mata peribadatan, kini sikap itu dikembangkan lebih jauh, bahwa peribadatan itu meliputi semua sisi kehidupan, termasuk soal-soal sosial, pendidikan, dan budaya. Perubahan identitas itu juga menimbulkan kegoyahan dan kegoncangan. Juga muncul reaksi yang bermacam-macam. Termasuk di dalamnya reaksi skriptualisme yang keras, dengan membaca Al-qur'an dan Hadits secara verbatim, literer, dan harfiah saja. Tidak dilihat dalam pemikiran lebih jauh dalam konteks tradisi pemikiran yang sudah berkembang selama 14 abad dalam Islam sendiri.




Ekonomi Rakyat Ataukah Ekonomi Islam?

Dalam tiga dasawarsa terakhir ini, beberapa pemikir mengemukakan apa yang mereka namakan sebagai teori ekonomi Islam. Semula, gagasan tersebut berangkat dari ajaran formal Islam mengenai riba dan asuransi, yang berintikan penolakan terhadap bunga bank sebagai riba, dan praktek asuransi yang bersandar pada sikap untung-untungan. Ditambahkan pada kedua hal itu, penolakan pada persaingan bebas (laisses faire) sebagai inti ekonomi yang banyak digunakan dalam hal ini adalah sikap melindungi yang lemah dan membatasi yang kuat dalam pandangan Islam.

Dalam perkembangan berikutnya, dasawarsa 80-an memunculkan sejumlah orang yang dianggap menjadi eksponen pandangan ekonomi Islam. Mereka banyak berasal dari lingkungan lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga tak heranlah jika mereka mengacu pada orientasi kepentingan rakyat kecil dan menolak peranan perusahaan-perusahaan besar dalam tatanan ekonomi yang ada waktu itu. Namun, mereka gagal mengajukan sebuah teori yang bulat dan utuh yang dapat dianggap mewakili ekonomi Islam. Keberatan mereka terhadap praktek-praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), monopoli dan dominasi (oleh kerjasama pengusaha-pengusaha dan para pejabat pemerintahan), adalah keberatan yang tidak didukung oleh teori yang lengkap, dan dengan demikian dapat dianggap sebagai orientasi kelompok belaka.

Dengan perubahan kebijaksanaan di masa pemerintahan Presiden Soeharto, di ujung dasawarsa itu dan didukung pula oleh kemunculan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), kelompok tersebut lalu berubah pikiran dan ikut memperebutkan jabatan sebagai pejabat pemerintah. Ini berarti, mereka lebih mengutamakan pendekatan institusional, dengan merebut institusi-institusi pemerintahan, dan cenderung meninggalkan perjuangan kultural. “Kemenangan” institusional itu tidak membuat mereka semakin kuat, karena mereka tidak dapat menghambat korupsi, dan bahkan akhirnya justru mereka sendiri-lah yang melakukan korupsi. Mereka menghamba pada kekuasaan, dan mereka membawakan pendekatan institusional dalam perjuangan, dan melupakan perjuangan kultural, justru organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang mempelopori perlawanan kultural itu dengan tetap menolak untuk membenarkan institusi pemerintahan.

Dengan demikian, watak merakyat dari perjuangan di bawah berubah watak menjadi perjuangan politik. Karenanya, hal-hal ekonomi-pun diukur dengan ukuran-ukuran politik. Nyata sekali dalam hal ini, apa yang terjadi dengan kredit usaha tani (KUT). KUT yang semula merupakan program ekonomi, dengan cepat berubah menjadi sebuah program politik, yaitu mengusahakan sebuah pihak pendukung kekuasaan tertentu untuk menang dalam pertarungan politik melawan pihak-pihak lain, tanpa memandang kecakapan ekonomis dan kebolehan finansial. Jadilah ia seperti sekarang ini, yakni menjadi bulan-bulanan pihak Pengadilan Negeri (PN) karena klien-nya dihadapkan pada pengadilan, termasuk di dalamnya para Kyai. Ini semua, merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah oleh siapapun, dan metamorfose yang terjadi adalah bagian dari perjuangan politik, dan bukan bagian dari perjuangan ekonomi.

Dengan perubahan perjuangan ekonomi menjadi perjuangan politik, otomatis kegagalan upaya menolong rakyat kecil yang menjadi sisa-sisa dari apa yang dilakukan itu. Bahwa upaya politik mempertahankan institusi, baik itu institusi mikro seperti proyek-proyek yang tergabung dalam KUT, maupun upaya makro untuk mempertahankan kekuasaan, jelas menggambarkan kenyataan menarik: kegagalan dalam mengembangkan apa yang dinamakan ekonomi Islam, baik dalam teori maupun praktek. Justru yang terjadi adalah upaya pelestarian kekuasaan secara politis yang juga menghadapi kegagalan pula.

Turut hancur pula dalam proses ini pengembangan teori Islam, karena ia dikait-kaitkan dengan kekuasaan yang ada. Keadaan menjadi lebih diperparah oleh kenyataan tidak adanya peninjauan ulang terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah di masa lampau. Ini berarti, gagasan tentang ekonomi Islam di negeri kita, tidak pernah didasarkan atas peninjauan mendalam dari kebijakan, langkah-langkah dan keputusan-keputusan pemerintah di bidang tersebut. Bagaimana akan dibuat acuan mengenai sebuah sistem ekonomi Islam, kalau fakta-fakta ekonomi dan finansial semenjak kita merdeka tak pernah ditinjau ulang?

Dari tinjauan ulang itu akan dapat diketahui, bahwa tatanan ekonomi dan finansial kita, didasarkan hampir seluruhnya atas kecenderungan menolong sektor yang kuat dan mengabaikan apa yang dianggap sebagai sektor yang lemah. Sektor ekonomi yang kuat dapat dilihat, umpamanya, dalam hal pemberian fasilitas, kemudahan dan pertolongan bagi usaha kuat. Apalagi, setelah pengusaha-pengusaha keturunan Tionghoa, yang belakangan menjadi konglomerat, berhasil menguasai sektor tersebut. Ekonomi rakyat menjadi semakin tidak diperhatikan, dan ungkapan-ungkapan tentang ekonomi rakyat itu dalam kebijakan pemerintah hanyalah bersifat retorika belaka.

Alokasi dana untuk pengembangan ekonomi rakyat dalam RAPBN, umpamanya, menunjukkan betapa sedikitnya perhatian kepada sektor ini. Apalagi kebocoran RAPBN, yang dalam perkiraan Prof. Soemitro Djojohadikusumo telah mencapai 30% dari jumlah anggaran, menjadikan sangat kecilnya perhatian pemerintah kepada sektor ini. Belum lagi diingat, matinya kreatifitas usaha kecil dan menengah (UKM) di hadapan birokrasi pemerintahan yang sangat kaku.

Dalam hal menemukan pemecahan bagi masalah-masalah yang dihadapi, di sinilah akan tampak adanya kegagalan terhadap apa yang dinamakan ekonomi Islam. Itulah sebabnya, mengapa pemikiran mengenai ekonomi Islam sekarang menjadi sangat mandul. Ketika Drs. Kwik Kian Gie mengemukakan keinginan agar Indonesia keluar dari dana moneter internasional (IMF, International Monetary Fund), tak ada seorangpun dari para pemikir gagasan ekonomi Islam itu yang menyatakan suara menerima atau menolak pandangan tersebut. Ini tentu disebabkan oleh perubahan besar dari pemikiran ekonomi menuju pada upaya politik seperti digambarkan di atas. Padahal, salah satu gagasan yang sering dilontarkan penulis secara lisan dalam rapat-rapat umum di seluruh bagian negeri ini, jelas mengacu pada kebutuhan tersebut. Keharusan kita untuk mempertahankan kompetisi, tata niaga internasional dan efisiensi yang rasional, merupakan bagian yang tidak bisa ditinggalkan dari sebuah kebangkitan ekonomi. Namun, yang harus didorong sekuat tenaga, adalah ekonomi rakyat dalam bentuk kemudahan-kemudahan, fasilitas-fasilitas dan sistem kredit sangat murah bagi perkembangan UKM dengan cepat. Dalam pada itu, peningkatan pendapatan pegawai negeri sipil dan militer harus dilakukan untuk mendorong peningkatan kemampuan daya beli (purchasing power) mereka.

Kemandulan itu jelas menunjukkan watak normatif dari gagasan ekonomi Islam, hingga tidak ada tempat bagi responsi yang berwatak normatif. Dengan kata lain, gagasan ekonomi Islam itu lebih cenderung untuk mempermasalahkan aspek-aspek normatif, seperti bunga bank dan asuransi. Tentu saja perkembangan seperti ini sangat mengganggu perumusan pemikiran-pemikiran responsif yang tidak bersifat normatif. Artinya, pemikiran yang dikembangkan dalam gagasan ekonomi Islam itu lebih banyak menyangkut nilai-nilai dari pada pencarian cara-cara aplikasi yang justru diperlakukan oleh nilai-nilai tersebut. Jadi, masalahnya cukup sederhana bukan?

Islam: Gerakan Ataukah Kultur?

Ketika menghadapi hari Waisak 2546 tanggal 26 Mei 2002, penulis mendapat undangan untuk hadir dalam acara tersebut dari KASI (Konferensi Agung Sangha Indonesia). Penulis menjawab akan hadir, dan rombongan KASI berlalu dengan hati lega, karena penulis lebih menghargai para Bhikku yang memimpin KASI. Setelah berjalan beberapa waktu, penulis mendengar bahwa Megawati Soekarnoputri sebagai personifikasi kepala negara dan pemerintah akan datang pada acara yang sama di Candi Borobudur, pada waktu yang bersamaan pula. Di saat itulah ada orang yang bertanya pada penulis, akan datangkah ke acara KASI di Balai Sidang Senayan Jakarta?

Ketika penulis menjawab iya, segera disusul dengan pertanyaan berkut: hadirkah anda dalam acara KASI itu yang berbeda dari pemerintah? Penulis menjawab, akan hadir. Apakah alasannya? Karena penulis yakin, bahwa KASI mewakili para Bhikku dan agamawan-agamawan lain dalam agama Budha di negeri kita. Sedangkan Walubi (Wahana Luhur Budha Indonesia) adalah organisasi yang dikendalikan bukan oleh agamawan, dengan kata lain, Walubi adalah organisasinya orang awam (laymen). Prinsip inilah yang dipakai penulis dalam bersikap pada sebuah organisasi agama, dengan demikian sikap konsisten telah diambil penulis sejak semula.

Pada hari raya Waisak itu, sebelum berangkat ke Balai sidang, penulis mendengar bahwa Megawati Soekarnoputri ternyata tidak hadir di Candi Borobudur untuk keperluan tersebut. Namun, pemerintah diwakili oleh Menteri Agama, dan dengan demikian jelas pemerintah mengakui Walubi sebagai perwakilan umat Budha di negeri kita, karena kehadiran orang yang berkompeten mengurusi masalah tersebut di tempat itu. Sedangkan di Balai Sidang, hadir Menteri Jacob Nuawea, yang justru tidak membidangi masalah tersebut. Dengan ungkapan lain, pemerintah justru mengutamakan Walubi sebagai perwakilan umat Budha, dan bukannya KASI. Nah, di samping penulis, juga hadir Kardinal Dharmaatmadja, Haksu Tyoe Tyai In dan seseorang yang mewakili Majelis Ulama Indonesia (MUI). Untunglah, Ir. Akbar Tandjung datang mewakili DPR dan ketua Bappenas Kwik Kian Gie yang bertindak selaku penasehat panitia. Namun, kesan bahwa pemerintah lebih mengutamakan Walubi dan bukannya KASI sebagai perwakilan umat Budha di Indonesia, tidak dapat dihindari lagi.

Sikap tidak jelas dari pemerintah itu, pada dasarnya sangat menguntungkan KASI, karena kemeriahan acara yang tidak begitu diperhatikan pemerintah justru akan membesarkan KASI, dan bukan sebaliknya. Dengan ungkapan lain, di hadapan kekuasaan pemerintah yang tidak begitu melindunginya, ternyata KASI justru ditunjang oleh dua pihak yang penting: pihak agamawaan Budha sendiri, dan para pemuka agama-agama lain yang menghargainya. Bukankah kedua modal itu akan memungkinkan KASI dapat bergerak lebih maju?

Kejadian di atas, menjadi lebih menarik lagi bagi kaum muslimin di negeri kita, adalah membandingkannya dengan keadaan intern sendiri. Kalau dalam agama-agama lain seorang agamawan diangkat oleh organisasi terttinggi dari agama tersebut, yang biasanya didominasi oleh para agamawan , justru dalam Islam hal itu tidak ada. Bukankah justru Rasulullah SAW sendiri yang bersabda: “Tidak ada kependetaan dalam Islam” (laa rahbaniyyata fi al-Islam)? Karenanya, pantaslah kalau dalam Islam tidak ada agamawan yang diangkat oleh sebuah pihak yang dinilai sebagai lembaga tertinggi agama tersebut.

Ini berarti, tidak ada pihak yang memiliki otoritas dalam pengangkatan ulama, terserah pada pengakuan masyarakat kepada seseorang untuk dianggap sebagai ulama. Karena kekosongan seperti itu, lalu organisasi-organisasi Islam meletakkan para wakil mereka dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI). Apakah yang terjadi? Hilangnya ke-ulamaan dalam arti penguasaaan ilmu-ilmu agama dalam kepengurusan MUI itu sendiri. Seseorang yang hafal sepuluh ayat Al-qur’an dan sepuluh hadits Nabi saja sudah bisa masuk dalam jajaran pimpinan harian MUI, karena ia tidak mewakili umat, melainkan sebuah organisasi.

Karena itu, kedudukan MUI tidak tepat jika dianggap mewakili umat, karena mereka mewakili organisasi. Karenanya, aspek penguasaan ilmu-ilmu agama di lingkungan MUI tidak bersifat baku, padahal merekalah pembawa tradisi kultural dalam kehidupan umat. Dalam keadaan demikian, perwakilan yang ada tidak mencerminkan kelompok agamawan, melainkan hanya menampilkan perwakilan gerakan-gerakan agama, seperti Muhammadiyah, NU dan sebagainya. Karena langkanya kohesi intern umat, cara termudah untuk mempersatukan seluruh elemen umat adalah mencari musuh bersama: kekuatan Barat yang dianggap merusak kekuatan Islam. Mereka adalah kaum minoritas muslim yang suaranya tidak pernah terdengar, kecuali untuk menjadi korban kaum mayoritas.

Maka, di sinilah terletak kelemahan dan justru kekuatan yang dimiliki umat Islam. Dikatakan kelemahan, karena tidak ada kohesi dan kejelasan siapa yang diterima dan tidak sebagai agamawan. Dan, dikatakan kekuatan, karena langkanya sikap dominan dari para agamawan. Maka, pemikiran-pemikiran orang awam tentang agama diperlakukan sama dengan pemikiran para ahli agama itu sendiri. Contoh yang kongkret yang dapat dikemukakan di sini, yaitu tentang Ki Panji Kusmin di awal-awal tahun 70-an. Orang awam ini dapat digambarkan (atau justru sebaliknya) sebagai pihak representatif yang mewakili Islam. Bahwa kemudian tokoh muslim yang memiliki kekuataan tersendiri, walaupun tidak didukung oleh kekuatan pemerintahan, menentang pandangannya yang memandang Tuhan tidak perlu dibela siapapun dalam kebesarannya, jelas-jelas ditentang oleh pandangan formal untuk membela-Nya, sangat nyata menunjukkan dikotomi tersebut.

Tetapi, bagaimanapun juga harus ada standar minimal yang digunakan untuk menilai apakah seseorang dapat dianggap mewakili Islam atau tidak. Tanpa kriterium ini, hanya situasi semrawutlah yang lahir, seperti yang terjadi sekarang ini, karena tiap orang dapat menyatakan dirinya mewakili Islam. Di sinilah arti penting dari sabda Nabi SAW: “ kalau persoalan diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah hari kiamat” (idza wusida al-amru ila ghairi ahlihi, fantatziri al-sa’ah). Sanggupkah kaum muslimin di negeri kita menetapkan kriterium tersebut?
Hindari Negara Berasumsi Agama

Dalam harian Media Indonesia, Salahuddin Wahid, adik kandung penulis memaparkan pandangannya tentang hubungan antara agama dan negara. Dalam pandangan itu, Salahuddin Wahid menunjuk kepada sebuah posisi yang menurut pandangannya berada di "di tengah" antara pandangan sekuler dan pandangan fundamentalistik. Apa yang dipaparkan itu, sepintas lalu memang baik bahkan menggiurkan, karena Salahuddin Wahid berbicara tentang konsep bernegara bagi kepentingan nasional. Tetapi lain kenyataan, dan lain pula prakteknya. Sesuatu yang secara teoritik berada di tengah-tengah persoalan khoriul umur autsatuha, (sebaik-baik perkara adalah yang tepat berada di tengah), belum tentu demikian dalam prakteknya. Hal inilah, yang benar-benar harus dipertimbangkan oleh sebuah organisasi dalam mengambil keputusan bukan untuk kepentingan tertentu atau pendapat-pendapat yang sudah dimiliki.

Di dalam melihat sejarah Islam yang panjang di negeri kita, hal ini tampak nyata. Dalam pandangan Dr. Taufik Abdullah, ada empat macam perkembangan Islam yakni model Aceh, model Minang, model Goa, dan model Jawa. Keempat model ini sampai sekarang masih terasa pengaruhnya dalam perkembangan Islam di negeri kita, setelah berabad-abad ia diperkenalkan.

Pada model Aceh, masyarakat Islam berkembang dari daerah perkampungan muslim. Kampung-kampung muslim itu makin lama makin bertambah luas dan bertambah banyak penduduknya, hingga akhirnya membentuk kerajaan-kerajaan. Karena berkembang dari kampung Islam, kerajaannya pun memiliki wajah Islam yang menyeluruh. Dan hal ini tetap dipertahankan hingga zaman modern ini. Maka, terkenallah sebuah pemeo "Aceh adalah serambi Makkah".

Di ranah Minang, seribu kilometer lebih ke arah selatan, keadaannya temyata berlainan. Tidak ada kerajaan yang kuat di tanah itu, karenanya juga tak ada pemerintahan pusat yang ditakuti orang. Karena itulah, hukum adat berkembang subur selama berabad-abad dan kemudian hukum syari’ah mendampinginya. Tentu, ini menimbulkan masalah kecil, karena ada dua kekuasaan yang berkembang pada saat bersamaan. Yang manakah yang harus diikuti? Karena perbedaan demikian tajam, tanpa ada kekuasaan pusat yang sanggup menghentikan sengketa tersebut, akhirnya tidak dapat dihindarkan pertentangan dalam skala besar, yakni Perang Paderi (tahun 1822-1836). Peperangan itu, boleh dikata mustahil dapat dipecahkan secara militer tetapi harus diselesaikan secara politis.

Dan itulah yang terjadi, ketika kekuasaan Belanda datang menghentikan peperangan dan memisahkan pihak- pihak yang bertikai—seperti tergambar berdasarkan pemeo yang terkenal "Adat bersendikan syara' dan syara' bersendikan pada Kitabullah". Ini adalah pemecahan yang bukan pemecahan, tetapi sanggup menghentikan peperangan.

Hukum Agama

Model ketiga, yaitu model Goa. Model ini, adalah berdasarkan kenyataan sejarah yang panjang. Kekuasaan raja dianggap sebagai perwakilan kekuasaan agama, walaupun dalam kenyataannya hal itu tak terjadi.

Memang, formalitasnya terjadi, perkara kenyataan dapat dicari nantinya. Hal itu, kini, terjadi dalam kekuasaan para sultan di Semenanjung Malaya, di mana sultan dipandang sebagai pemimpin agama, apa pun tingkah laku mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya, model Jawa bermula—boleh dikatakan, pada permulaan kerajaan Mataram. Keraton, sebagai pusat kerajaan ditampilkan sebagai pusat kekuasaan agama, walaupun seluruh warga negara tidak mempraktekkan ajarannya. Rajanya bergelar Sayyidin Panotogomo Kalifatullah Ing Tanah ]awi. Namun, dalam kenyataan, adat pra-lslamlah yang berlaku di keraton (pemakaian kemben yang berada di luar adat Islam). Juga kepergian sultan di Masjid Keraton yang hanya dua kali setahun serta keikutsertaannya dalam perayaan sekaten untuk menghormati kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Meskipun negara tidak mempraktekkan hukum agama, tetapi penghormatan yang diberikan terhadap hukum agama dalam bentuk pembangunan Masjid Keraton di sebelah utara atau selatan alun-alun dan pembangunan kantor penghulu adalah sebagai simbol kekuasaan agama (meski, tanpa ada realisasinya dalam kenyataan).

Hal ini, dapat dilihat dalam posisi Departemen Agama sekarang, dan dalam posisi Masjid Istiqlal negara kita saat ini. Selama dimungkinkan, hal ini banyak dicontoh oleh provinsi-provinsi lain, terutama di kedua Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Struktur yang seperti itu, tentunya, tak menyenangkan dan dicoba untuk diubah oleh gerakan-gerakan Islam. Ternyata, perubahan ini sampai kini belum berhasil secara struktural. Hal itu tampak dalam kenyataan sejarah yang ada sekarang ini. Orang tidak berani memberikan tempat terlalu besar kepada Departemen Agama dan juga tidak berani menghilangkannya. Yurisdiksinya juga hanya dibatasi pada hal-hal keagamaan saja, seperti pendidikan agama, penerangan agama dan sebagainya.

Kenyataan hidup yang serba pas-pasan ini, juga terpampang luas —misalnya, dalam Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ). Event-nya sendiri bercakupan luas, meliputi seluruh Tanah Air dan negeri-negeri yang diundang. Namun dalam kenyataan tidak memiliki dampak serius dalam kehidupan ini. Perbandingannya sama dengan sebuah event olahraga nasional. Padahal Al-qur'an yang diperlombakan memiliki pengaruh kuat terhadap pola kehidupan kaum muslimin. Begitu banyak ayat Al-qur'an tentang demokrasi dan hak-hak asasi rnanusia, tetapi sedikit pun tak mempengaruhi keadaan demokrasi di negeri ini.

Ornamental

Karenanya, di sini, kita hanya melihat Islam yang seremonial belaka dan tidak melihat agama yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari di negeri ini, karena Islam hanya berkembang secara ornamental belaka.

Corak fungsional yang diperjuangkan oleh gerakan hak asasi manusia dan corak masyarakat hukum yang diingini, temyata diperjuangkan oleh mereka yang tak menggunakan wawasan agama. Paling tidak, formalitas hukum Islam, formalitas keadilan dan formalitas demokrasi, yang semuanya merupakan perwujudan hak-hak asasi manusia yang bersederajat dan berkedudukan sama.Tetapi, inilah yang tidak terjadi hingga saat ini, karena gerakan Islam pada umumnya baru tersentuh oleh aspek- aspek ornamental belaka dari pelaksanaan agama langit (samawi) itu.

Dari contoh-contoh di atas, dapat dilihat bahwa pelaksanaan hukum Islam dalam arti yang paling hakiki justru dilakukan tanpa wawasan keagamaan dalam kehidupan kita. Kalau ada gerakan Islam memperjuangkan hak-hak asasi manusia dan kebebasan, ia ditentang habis-habisan oleh sesama gerakan Islam yang masih berorientasi pada kebiasaan ornamental belaka.

Oleh sebuah tulisan di harian Media Indonesia, pernah dikemukakan adanya tiga bentuk pergulatan: Islam menjadi alat formal untuk membentuk masyarakat baru yang demokratis, Islam yang mencoba menentang perubahan-perubahan seperti itu, dan Islam tidak berkepentingan dengan proses demokratisasi. Menurut penulisnya, yang harus diambil adalah pendapat kedua, karena pendapat pertama berarti formalisasi ajaran agama dalam kehidupan bemegara. Dalam kenyataan, pendapat kedua ini hanya terdapat di Indonesia, dan gampang sekali untuk melihat bahwa hal itu tidak akan berjalan di negeri kita. Dari semua pelajaran sejarah bangsa-bangsa muslim, selama seabad terakhir ini, bahwa pilihan kedua itu tidak berjalan dan boleh dikata tidak ada artinya. Dalam waktu tidak lebih seabad, ia akan ditolak oleh para pemilih yang tidak mau berada dalam kesulitan besar. Kalau mereka cinta demokrasi, para pemilih dalam pemilu mengikuti pihak-pihak yang melaksanakan demokrasi tanpa kaitan dengan agama. Karenanya, bukankah lebih praktis berjuang melalui jalur itu dan menunjukkan bahwa agama mereka telah memiliki postulat-postulat demokrasi tersebut sejak lama? Dengan demikian, bukankah lebih praktis memperjuangkan Islam melalui hak-hak asasi manusia dan persamaan kedudukan seluruh warga negara daripada menjelaskan sebaliknya? Demikian pula, bukankah pemerintahan despot dan para tiran yang dikutuk oleh hak asasi manusia dan demokrasi, juga ditolak oleh hukum Islam? Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa sejarah modem Turki justru menghadapkan Tansu Ciller terhadap ketua gerakan Islam Mehmet Erbakan. Ketua gerakan nasionalis, Benazir Bhutto melawan gerakan Islam jama 'ah Nawaz Sharif di Pakistan. Datuk Asri melawan Perdana Menteri Mahathir Muhammad di Malaysia. Kesemua itu mempunyai arti penting bagi Indonesia. Bukankah ini berarti pelajaran berharga bagi gerakan Islam di negeri kita?

Sepenting siapa pun K.H. A. Wahid Hasyim, M. Natsir dan lain-lain, mereka seharusnya menyadari bahwa penghilangan Piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus, penerimaan Pancasila di Konstituante, penetapan kembali Piagam Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959, hanyalah bersifat taktis belaka. Dalam jangka panjang, secara lebih prinsipil adalah perjuangan menghilangkan atau menetapkan Islam dalam kehidupan bernegara. Kalau Anda mengikuti pendapat yang pertama, berarti Anda adalah pengikut gerakan nasional. Sedang sebaliknya adalah pengikut gerakan Islam yang menolak Pancasila.

Inilah sejarah yang berjalan di negeri kita, kalau kita mau jujur terhadap diri sendiri. Cara lain untuk memandang hal ini, bagi penulis, tidak lain merupakan penipuan terhadap diri sendiri, dan ia telah melakukan pilihannya sendiri, memperkenalkan ajaran-ajaran demokrasi, hak-hak asasi manusia dan penegakan hukum kepada seluruh warga negara, bukannya kepada kaum muslimin saja.

Sejarahlah yang nanti akan membuktikan kebenaran tersebut. Tetapi tidak ada yang dapat mempersalahkan mengapa penulis berpendapat demikian.

Islam: Ideologis Ataukah Kultural?

Terdapat "teori aneh" dalam memahami DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh. Dalam rangkaian pembunuhan itu –yang, menurut sebuah LSM mencapai hampir 10.000 jiwa dan dikuburkan secara massal di berbagai tempat, dianggap oleh teori tersebut adanya maksud-maksud tertentu dalam melakukakannya. Salah satu maksudnya adalah untuk menciptakan momok berupa "kaum fundamentalis muslim" di kawasan tersebut, sehingga dengan demikian dapat dipertahankan langgengnya kekuasaan yang memegang pemerintahan di negeri ini. Bahwa korban sekian banyak dianggap tidak ada artinya, adalah sikap yang sama dengan pendapat untuk membenarkan pembantaian lebih dari 500.000 jiwa di Jawa di ujung tahun 1965 dan sepanjang tahun 1966. Termasuk juga pembantaian oleh orang-orang NU yang didorong untuk melakukannya oleh para pemimpin mereka, di samping pribadi-pribadi yang berbaju seragam.

Memang, ambisi politik pribadi dapat saja membuat manusia melakukan hal-hal yang tidak pernah terpikir oleh akal sehat, termasuk peristiwa DOM dan pembantaian "orang PKI" itu. Dengan hilangnya jejak orang-orang yang melakukan hal itu, tentu diperlukan rekonsiliasi nasional yang benar-benar tulus. Ini berarti permintaan maaf oleh pihak pemerintah kepada keluarga korban, dan dilepasnya mereka yang terlibat dengan kedua peristiwa tersebut dari jabatan mereka. Ini berarti juga, penelusuran atas peristiwa-peristiwa lain yang terjadi di kawasan yang berbeda-beda di negeri kita dalam waktu yang berlainan. Ini adalah hakikat dari rekonsiliasi nasional yang harus dicapai oleh bangsa ini, seperti yang terjadi di Afrika Selatan dan Korea Selatan di masa lampau. Nama-nama seperti Nelson Mandela, Desmond Tutu dan Kim Dae Jung merupakan bukti keberanian sikap untuk melakukannya.

Ada juga bangsa-bangsa lain yang melakukannya tanpa secara resmi dan terbuka mengakui adanya rekonsiliasi nasional, seperti yang terjadi di Thailand dan negeri kita dalam tahun-tahun terakhir ini. Apa yang diperbuat oleh ketiga orang di atas adalah tanda sikap ksatria, yang sekaligus mendukung nama kedua negara mereka itu dalam tata pergaulan internasional. Dapatkah kita mencapai hal itu, kalau diingat bahwa tokoh-tokoh masa lampau masih turut menentukan nasib negeri ini. Sejarahlah yang akan menjawab, dan bukannya penulis. Paling tidak, sejarah yang akan menentukan bahwa bangsa kita berhak dihormati orang seperti itu atau tidak .

Ada pihak-pihak yang melakukan ishlah sebagai pengganti dari rekonsiliasi nasional, dan dengan demikian, dicukupkan pada ishlah itu sendiri sebagai medium Islam untuk menyelesaikan sengketa. Dalam peristilahan fiqh (Hukum Islam), digunakan istilah Ishlahu Dzati al-Bain (rujuknya pihak-pihak yang bersengketa). Nah, persyaratan untuk menyelesaikan sengketa dengan cara ini juga bermacam-macam, tergantung aliran (madzhab figh) dan sub-aliran yang diikuti. Pada umumnya, sarat yang paling utama adalah kesediaan kedua belah pihak atau lebih untuk menerima dua hal: menerima cara itu sendiri maupun pihak penengah yang memimpin jalanya proses penyelesaian sengketa tersebut.

Cara mencapai penyelesaian melalui Ishlah ini sangat kuat tertanam di kalangan kaum santri, hingga penulis sering diminta untuk melakukan Ishlah dengan Matori Abdul Djalil. Dilupakan bahwa, ishlah atau penyelesaian apapun harus didasarkan atas kejujuran dan kesungguhan akan melaksanakan ishlah itu sendiri, sesuatu hal yang penulis lihat tidak ada dalam diri orang itu. Lalu, bagaimana penulis dapat mempercayai ishlah yang dapat diambil itu akan dijalankan dengan tulus dan setia oleh orang tersebut? Karena itulah penulis memilih diam saja terhadap usulan di atas, dan memppercayakan pada akal sehat mayoritas para pendukung dalam hal ini.

Keharusan mencari penyelesaian atau ishlah dalam hal ini, harus juga didukung oleh nilai instrinksik bagi persoalan yang menghadang. Dalam kasus Mathori Abdul Djalil, ia dipecat dari keanggotaan PKB karena melanggar ketentuan organisasi. Di sini, ada masalah organisatoris yang muncul di zaman ini, dan tidak ada pada zaman Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, harus ada konsensus umat atas hal itu, padahal konsensus itu sendiri belum pernah dicapai, berarti tidak ada preseden bagi hal ini. Jadi, karena langkanya preseden itu, penulis memutuskan untuk berdiam diri ketika menerima usul ishlah dengan Mathori Abdul Djalil. Berarti tidak meng-iya-kan ataupun menolak usul tersebut.

Masalahnya menjadi jelas, haruskah kita melakukan rekonsiliasi nasional tersebut sebagai bagian dari upaya demokratisasi? Ini adalah masalah pelik, yang harus diselesaikan sebelum kita melaksanakan proses demokratisasi itu sendiri. Jelas, penegakan hukum dalam arti menindak para pelaku kejahatan secara legal tidak mungkin dilakukan. Berarti penegakan kedaulatan hukum secara penuh dan tuntas juga tidak mungkin dilakukan. Kurangnya bukti-bukti legal –dan, di samping itu, perimbangan kekuatan yang ada, tidak mungkin membuat kita menegakkan kedaulatan hukum secara tuntas. Karenanya, mau tak mau kita harus puas dengan penegakan hukum parsial, atau sebagian saja. Yang terpenting, penegakan kedaulatan hukum bagi kasus yang dapat dikenakan hukuman harus dijalankan.

Dalam hal ini, proses demokratisasi secara hukum juga harus menerima penyelesaian secara moral, sebagaimana dilakukan oleh mantan Presiden Korea Selatan, Chun Do Hwan. Ia memilih jadi pendeta Budha dan tinggal di sebuah kuil, sebuah keputusan amat berat sebagai mantan Presiden dan Pimpinan Angkatan Perang yang pernah mengalami zaman kejayaan dan memegang tampuk kekuasaan pemerintahan. Presiden Kim Dae Jung, memegang kekuasaan sekarang, mengampuninya dan tidak menghukumnya secara legal.

Siapapun tidak dapat menyangkal, Kim Dae Jung melaksanakan demokratisasi di Korea Selatan, padahal ia mengampuni Chun Do Hwan dan tidak menyeretnya ke pengadilan. Jadi, demokratisasi tidak identik dengan pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas, melainkan penegakan kedaulatan itu di masa depan akan terlaksana. Islam dan rekonsiliasi nasional merupakan salah satu cara yang dapat digunakan dalam proses demokratisasi pada sebuah negeri. Tergantung pada budaya dan peradaban bangsa tersebut, dapatkah demokratisasi dapat diwujudkan dengan cara tersebut atau tidak. Inilah pelajaran penting dari pengalaman orang lain, maupun dari pengalaman sejarah bangsa kita sendiri.

***

Dalam upacara penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa untuk bidang humaniora di Universitas Soka Gakkai, Tokyo, baru-baru ini, penulis mengemukakan dalam sambutannya bahwa sebuah tradisi baru telah di mulai di Asia. Di samping PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang membawakan moralitas keagamaan dalam kehidupan politik suatu bangsa, kita lihat adanya hal sama yang dilakukan oleh partai Komeito, yang didukung oleh gerakan Budha terbesar di dunia, Soka Gakkai di Jepang. Hal yang sama juga dilakukan oleh Bharatiya Janata Party, yang dipimpin oleh Perdana Menteri India Atal Behari Vajpayee. Dan, didukung oleh oraganisasi Hindu kenamaan di negeri itu, Rahasia Severaj Sangha (RSS), yang didirikan tahun 1925, setahun sebelum NU lahir (tahun 1926).

Malam harinya, sebelum pemberian gelar tersebut, penulis berkunjung ke rumah Prof. Mitsuo Nakamura, seorang ahli gerakan Islam di Indonesia, yang tinggal di Ito City (sekitar dua jam berkendaraan mobil dari kota Tokyo). Sebuah pertanyaan beliau menunjuk dengan tepat problematika yang dihadapi penulis; anda memisahkan idiologi agama dari kehidupan negara, tanyanya. Mengapakah sekarang anda justru membawa agama dalam kehidupan bernegara? Ternyata, badan yang terasa kecapaian akibat berkendaraan mobil ke Ito City selama dua jam itu, hilang seketika dengan pertanyaan tersebut. Inilah yang penulis cari selama beberapa tahun ini, tetapi tidak pernah dirumuskannya dalam bentuk pertanyaan seperti itu.

Penulis memberi jawaban, bahwa yang terjadi (dan terus terang saja, dikembangkan penulis di Indonesia melalui PKB), adalah penolakan terhadap langkanya moralitas dalam kehidupan politik kita dewasa ini. Jadi dengan demikian, kalau dalam masyarakat sekuler di barat ada moralitas non-agama dalam kehidupan politik, di negara-negara berkembang yang belum memiliki tradisi yang mapan, moralitas ditegakkan melalui dasar-dasar agama. Jadi, ukuran-ukuran idiologis-agama tetap tidak memperoleh tempat dalam kehidupan bernegara karena sifatnya yang sesisi dan hanya khusus untuk kepentingan para pemeluk agama tersebut. Jadi di sinilah terletak perbedaan antara moralitas dan idiologi, walaupun sama-sama berasal dari wahyu yang satu.

Kenyataan ini adalah sesuatu yang penting: kita harus jeli membaca sejarah bangsa-bangsa di dunia, dalam mengambil pelajaran serta sikap yang diperlukan. Kalau di satu sisi, kita melihat moralitas yang tinggi tanpa berdasarkan agama, seperti diperlihatkan Chiang Chemin dan Chu Rongzi di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang sepenuhnya disandarkan pada moralitas sekuler yang bersifat materiil. Kita harus mampu mengembangkan moralitas politik yang di dasarkan pada ajaran-ajaran umum semua agama. Kejujuran, kesungguhan kerja daan pertanggungan-jawab secara jujur kepada nasib bangsa di kemudian hari merupakan sebagian saja dari moralitas umum seperti itu. Karenannya, pemakaian agama untuk menimbulkan moralitas seperti itu justru harus dihargai, dan bukannya dicurigai.

Gramsci mengemukakan gagasan sosialisme yang penuh kemanusiaan, dan di dalamnya tentu peranan besar dari moralitas yang tinggi, sebagai sebuah koreksi atas marxisme-leninisme yang sarat dengan ketentuan-ketentuan organisatoris belaka, dan pandangannya saat itu (sebelum 1927) dianggap sebagai penyimpangan Komunisme di Italia, namun dengan adanya kebangkrutan dan kehancuran Uni-Soviet justru membenarkannya. Demikian pula halnya dengan Alexander Dubcek di Praha yang berani menawarkan Komunisme yang berwajah kemanusiaan. Namun, beberapa puluh tahun kemudian apa yang mereka bawakan menjadi kenyataan: bahwa Komunisme-pun harus melakukan koreksi atas peranannya dalam kebangunan manusia di akhir abad lalu dan sepanjang abad ini. Pengamatan ini sepenuhnya mengikuti apa yang diingatkan Vladimir Ilyich Lenin: penyakit kiri ke-kanak-kanakan (leftism infantile disease). Yang dihadapi teori revolusi manapun adalah heroisme romantis, yang menganggap revolusi harus rampung ketika aku berjuang. Aku-isme seperti inilah yang justru merusak revolusi, karena perjuangan jangka panjang harus ditundukkan kepada kebutuhan pribadi seorang pemimpin yang tidak lama jangka hidupnya.

Lawan dari aku-isme itu adalah budaya/kultur dan agama, termasuk manifestasi budaya yang sangat penting dalam sejarah umat manusia. Kalau tidak kita pahami dengan benar, peranan agama tidak lagi berorientasi kultural, melainkan berorientasi institusional. Kegagalan memahami hal ini berarti kegagalan pula dalam memamahi proses demokratisasi, yang memang sejak semula sudah tidak ideal. Sir Winston Spencer Churchill pernah menyatakan, demokrasi banyak kelemahan dan kekurangannya, tetapi ia tetap merupakan perwujudan terbaik dari upaya umat manusia menegakkan pemerintahan yang benar. Tanpa menghiraukan hal-hal seperti ini, pandangan Mao Zedong di RRT menjadi sesuatu yang tidak sehat.

Demikianlah, terlihat betapa erat hubungan antara budaya/kultur dan politik, paling tidak untuk menampilkan kesusilaan politik (political-morality) yang diperlukan oleh sistem pemerintahan manapun di dunia ini. Kata-kata Chu Rongzi “sediakan sepuluh buah peti mati, sembilan buah untuk para koruptor dan sebuah lagi untuk diriku, kalau aku juga korup”, adalah ungkapan moralitas yang diingini. Karenanya, baik itu moralitas sekuler dari sebuah idiologi duniawi seperti Komunisme, maupun moralitas agama yang digunakan dalam pengembangan sistem politik, haruslah dibaca sebagai keniscayaan sebuah pemerintahan yang benar-benar bertanggung jawab pada rakyat.

Di sini, kita harus belajar dari para moralis dunia, dari Fir’aun Akhnaton di Mesir kuno hingga Mahatma Gandhi di India dalam abad ke 20, merupakan rambu-rambu yang harus digunakan dalam mengemban amanat rakyat yang kita junjung tinggi. Kegagalan memahami hal ini, hanya akan membuat seorang penguasa mementingkan diri saja, seperti halnya Kaisar Nero yang membakar kota Roma untuk mencari kesenangan, Kaisar Bu Tek Chian yang curiga kepada semua orang dengan anggapan mereka ingin menyingkirkan dirinya dari pemerintahan, maupun Sultan Agung Hanyakra Kusuma dari Mataram yang bergembira dengan para dayang-dayangnya di atas Taman Sari dengan menyaksikan lawan-lawan politiknya di makan buaya, karena tidak dapat melawan binatang-binatang buas itu tanpa senjata.

Adagium ushul figh (Islamic legal theory) bahwa "tindakan dan kebijaksanaan seorang pemimpin mengenai rakyat yang di pimpin, harus terkait langsung dengan kesejahteraan mereka" merupakan sebuah rambu moral yang melarangnya untuk menumpuk kekayaan bagi dirinya sendiri.

Tiap agama dan keyakinan memiliki sejumlah adagium/ketentuan seperti itu, karena itulah moralitas-agama sangat diperlukan dalam menciptakan sistem politik yang sehat. Karenanya, kita tidak perlu ragu-ragu dapatkah moralitas-agama memberikan sumbangan bagi pembentukan sistem politik yang sehat bagi sebuah bangsa. Pada tingkat inilah agama dan politik dapat dihubungkan, dan tidak pada tingkat idiologis

***
Dalam acara NU/PKB dan beberapa pesantren di Kalimantan Selatan, serta orasi budaya dalam Konferensi Besar Ikatan Putri-Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) di Samarinda, penulis melihat sebuah phenomenon yang sangat menarik. Di tiap tempat, penulis selalu disuguhi pagelaran qasidah shalawat badr, bahkan di daerah lain terjadi orang-orang non-muslim membawakannya. Ini berarti, bahwa sajak arab ciptaan KH. Ali Mansyur dari Tuban, di Banyuwangi tahun 1962 itu, telah menjadi hasanah budaya, minimal budaya NU/PKB. Terlepas dari penyerahan bintang NU kepada keluarga almarhum pencipta sajak tersebut di Muktamar Krapyak, Yogyakarta, tahun 1989 itu, fakta penyebaran sajak yang ditembangkan dalam birama (bahr) tradisional tersebut, tampak jelas ia telah dianggap sebagai phenomenon budaya tersendiri tanpa disadari.

Hal ini menunjukkan eratnya hubungan antara budaya dan agama. Sama eratnya dengan penyampaian lagu-puja dalam qasidah dziba’iyah yang dibawakan jutaan orang anak-anak muda NU, setiap minggu, jelas menunjukkan bahwa penyebaran agama Islam di negeri ini antara lain dilakukan dengan penyampaian budaya. Artinya, penyebaran Islam itu dilakukan secara damai, tidak melalui jalan peperangan. Memang harus diakui, kekuatan yang dimiliki kaum muslimin, melalui kekuasaan atau tidak, telah turut mendukung penyebaran agama secara damai itu.

Namun, tidak selamanya penyebaran agama secara damai itu terkait dengan kekuasaan, seperti terlihat pada berbagai aktifitas yang dulu menyertai aliran syi’ah di negeri kita, beberapa abad yang lalu. Secara budaya, apa yang tadinya dianggap sebagai tindakan penyebaran agama, sekarang diterima sebagai adat di berbagai daerah.
Perayaan Tabot, umpamanya, dapat dikemukakan sebagai salah satu contoh, di Bengkulu. Adat yang satu ini, menampilkan diusungnya Tabot/peti mati/ keranda cucu Nabi SAW, Sayyidina Hasan dan Husein, yang justru menjadi tanda bagi kesetiaan orang pada ajaran ahl-al bait (keluarga beliau) yang menjadi titik sentral ajaran syi’ah itu. Bahwa ia telah menjadi manifestasi budaya, menunjukkan arti kesejarahan yang sangat penting.

Hal yang sama juga kita temui dalam penggunaan nama-nama di lingkungan DPR/MPR-RI kita. gedung yang megah itu diharuskan menggunakan nama-nama dalam bahasa sangsekerta, seperti Graha Nusantara dan sebagainya. Sedangkan DPR/MPR-RI sendiri, sebagai produk Undang-Undang Dasar (UUD), lebih mencerminkan dialog antara para pemimpin Indonesia sebelum kemerdekaan, yang menggunakan pengaruh bahasa arab. Lihatlah kata-kata yang dipakai, seperti Dewan Perwakilan Rakyat. Ketiga-tiganya, sebelum mengalami konjugasi dalam bahasa kita, adalah kata-kata dalam bahasa Arab; baik kata dewan, wakil maupun rakyat, berasal dari Timur Tengah. Begitu juga kata pemilihan umum, dengan kata “umum” digunakan untuk hal-hal yang menyangkut publik, jelas berasal dari “sono”.

Namun, perkembangan bahasa yang semula diambil dari kata-kata arab dan kemudian dilanjutkan dengan kata-kata sangsekerta, merupakan adaptasi yang dimiliki oleh bangsa kita. Kalau itu kita kaitkan dengan perkembangan di bidang-biidang lain, akan lebih besar kemelut pengertian yang diakibatkan oleh pemakaian sehari-hari. Ambil saja kata hukum, yang berasal dari kata al-hukm dalam bahasa arab. Kata ini semula digunakan untuk menunjuk hukum agama Islam (fiqh), namun karena perluasan pemakaiannya yang meliputi penggunaan produk-produk yang digunakannya, akhirnya kata yang berasal-usul arab itu meliputi makna baru, yang memiliki arti lain seperti disebutkan di atas. Al-hukm yang semula berarti aturan dan undang-undang agama (canonical law), berkembang menjadi hukum –yang berarti undang-undang negara.

Perubahan pengertian ini, disebabkan sebagian oleh perubahan arti kata law/recht, yang diambilkan dari bahasa-bahasa eropa modern. Belum lagi kalau diingat adanya bahasa-semu (meta language) dalam bahasa nasional kita, seperti disinyalir oleh Dr. Toety Herati Nurhadi: diamankan berarti ditangkap, harga disesuaikan berarti dinaikkan dan sebagainya. Akibat dari penggunaan bahasa semu ini, masyarakat sempat terkotak-kotak dan timbulah isolasi antar golongan di dalamnya. Akibat dari isolasi tersebut adalah munculnya jalan pintas berupa budaya kekerasan (culture of violence) yang terjadi --terutama dalam bentuk munculnya penggunaan preman dalam kehidupan kita sebagai bangsa.

Jelaslah dengan demikian, hal pertama yang harus dilakukan adalah pembakuan arti yang kita gunakan sehari-hari. Tanpa pembakuan ini, kita akan tetap rancu dalam pemikiran dan kacau dalam pengertian. Akibatnya, kita sebagai bangsa tidak tahu kemana orientasi kehidupan harus diarahkan. Hal ini tampak antara lain, dalam pernyataan seorang anggota fraksi PDI-P DPR-RI bahwa ia bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil partai. Ini berarti, kerancuan telah menelusup dalam tubuh kita sebagai bangsa, menunjukkan cara berpikir yang carut marut yang kita alami saat ini. Demokrasi kita, yang semula berarti pengutamaan kepentingan rakyat banyak, diubah dengan tidak terasa kepada pemenuhan kebutuhan golongan dan ambisi pribadi.

Dengan demikian, kebutuhan menyamakan pandangan tentang demokrasi yang ingin kita ciptakan dalam kehidupan bangsa, haruslah tetap dilanjutkan. Walaupun sudah lebih dari 150 tahun, Alexis de Tocquevile menerbitkan bukunya tentang demokrasi di Amerika Serikat, sampai hari inipun pembicaraan tentang jenis-jenis dan jangkauan proses tersebut dalam kehidupan bangsa Amerika tetap berlangsung. Dengan demikian, perkembangan proses demokratisasi itu sendiri senantiasa dijaga oleh para pemikir, agar tidak menyimpang dari tujuan semula. Ini adalah sebuah hal yang sangat mendasar (fundamental), karenanya ia tidak dapat diabaikan begitu saja.

Karena itu, keinginan berbagai kalangan gerakan Islam, agar Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam pasal 29 UUD kita, haruslah terus dibicarakan. Ia menunjukkan kurang adanya pengertian di kalangan gerakan-gerakan Islam tersebut. Bukankah pencantuman Piagam Jakarta itu dalam salah satu pasal UUD akan berarti memasukkan idiologi agama tersebut ke dalam kehidupan negara, dan dengan demikian memberikan kepadanya kedudukan resmi sebagai idiologi negara? Bukankah dengan demikian, para warga negara lain yang non-muslim dimasukkan ke dalam lingkungan warga negara kelas dua? Dan bukankah orang yang berpaham idiologisme non-agama, seperti kaum nasionalis dan sosialis, juga tidak memperoleh kedudukan terhormat di negeri ini? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus dijawab, bila kita menginginkan kehidupan bangsa yang benar-benar demokratis di masa depan?

***

Beberapa partai masih mencantumkan Islam sebagai asas/dasar negara, begitu juga beberapa perkumpulan lain non-politis. Ketika hal itu ditanyakan pada penulis, maka jawabannya adalah biar saja, karena itu adalah kehendak mereka. Dengan rasa heran, yang bertanya mengemukakan: aneh sekali, anda dari dahulu selalu menentang negara Islam, mengapakah partai politik yang berasaskan Islam tidak anda tolak? Bukankah ini berarti anda menerima pandangan mereka? Bukankah kedua hal itu saling bertentangan, tapi anda terima?

Jawabannya justru karena penulis menolak negara Islam. Jadi jelas, penulis menolak negara Islam di Indonesia, tidak di tempat lain yang penduduknya homogen (berpandangan tunggal). Karena bangsa kita beraneka ragam dalam pandangan hidup, dengan sendirinya negara tidak dapat hanya melayani mereka yang berpandangan negara Islam saja. Orang muslim pun, seperti penulis yang tidak menerima negara Islam di Indonesia, harus dihargai pendapat dan sikap hidup mereka. Apalagi yang tidak beragama Islam, yang jumlahnya melebihi 10% bangsa ini. Adalah tindakan gegabah untuk menganggap konsep negara Islam diterima kaum muslimin di negeri ini, hanya karena mereka merupakan mayoritas penduduk.

Itulah yang membuat mengapa penulis menolak gagasan negara Islam di sini, karena penulis tidak ingin menyangkal kebenaran yang dibawakan oleh statistik. Lain halnya dengan bangsa Pakistan, yang ingin mendirikan negara sendiri karena persamaan agama, dan untuk itu mereka berani berpindah tempat ke kawasan tersebut dari daerah asal dan di Pakistan membentuk kelompok kaum pendatang (muhajirin). Dapat dimengerti mengapa mereka menginginkan Republik Islam Pakistan pada waktu ini, walaupun tidak sejalan dengan pikiran penulis sendiri.

Kembali pada masalah asas Islam bagi partai politik maupun perkumpulan lain. Karena yang beratribut Islam adalah partai politik dan/atau perkumpulan-perkumpulan lain, maka tidak ada sangkut pautnya dengan negara. Kalau mereka memperjuangkan Piagam Jakarta, untuk dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar kita, maka itu adalah hak mereka juga untuk merubah konstitusi dan dasar negara. Ini adalah konskuensi berdemokrasi, bahkan di Amerika Serikat pun ada orang yang ingin agar Undang-Undang Dasar-nya diubah menjadi Undang-Undang Dasar Komunis. Masalahnya tinggal apakah rakyat mau menerimanya dalam pemilu atau tidak.

Sikap membedakan kehidupan negara dari kehidupan perkumpulan yang seperti ini, adalah sikap sehat dan demokratis yang harus ditegakkan, kalau kita ingin mengembangkan demokrasi di negara kita. Dasar dari sikap ini adalah keyakinan rakyat banyak yang tahu apa yang harus dilakukan, walaupun mayoritas tidak berpendidikan tinggi, dan bahkan masih besar prosentase mereka yang buta huruf. Kalau dalam hal ini saja kita sudah tidak memiliki keberanian, maka mereka yang bercita-cita mendirikan negara Islam tidak memperoleh tempat untuk menyuarakan kehendak, dan mereka akan menempuh jalan pemberontakan bersenjata.

Karenanya, kita harus memberikan tempat bagi perbedaan pendapat dan kemerdekaan berbicara, artinya adalah kebebasan menyatakan pikiran tanpa dikekang sama sekali. Inilah yang mendasari pendapat penulis, bahwa TAP MPRS No. 25 tahun 1966 harus dicabut. Karena TAP itu melarang penyebaran paham Marxisme-Leninisme atau Komunisme. Sebagai sebuah paham, pikiran itu hanya dapat diperangi oleh pendidikan dan penerangan, bukan oleh sebuah Ketetapan MPR ataupun produk hukum apapun. Lain halnya, kalau yang dilarang adalah lembaga atau institusi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), karena itu dapat dilarang oleh negara, seperti halnya kita melarang lembaga bernama free mason (lembaga yang berpikiran bebas tanpa agama). Di sinilah diperlukan ketelitihan kita, agar produk-produk kenegaraan kita tidak merugikan diri sendiri.

Hal sekecil ini, yaitu perbedaan-perbedaan antara paham dan lembaga harus dilakukan dengan cermat. Tanpa kecermatan seperti itu, kita dapat berjalan di arah yang salah, yaitu menindak hal yang tidak perlu diperhatikan dan membiarkan sesuatu yang memerlukan tindakan. Inilah letaknya arti penting dari perembugan/permusyawaratan, seperti yang dibuat oleh Undang-Undang Dasar kita: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang seringkali dianggap sebagai ajang percaturan kekuasaan, antara dua hal yang berjalan sendiri-sendiri. Kekurangan memahami situasi seperti ini hanya akan memperparah keadaan, karena timbul dari kurangnya pengetahuan yang mendalam tentang peranan pemerintah dalam menjaga kepentingan negara.

Ini adalah sesuatu yang berjalan dari sebuah generasi yang diwariskan dari generasi penerus. Joko Tingkir, umpamanya, mempunyai keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakin dari Kajen, Pati, yang sangat tunduk pada Amangkurat IV di Surakarta. Ada semacam kontinuitas cara yang dipertahankan dengan segala kekuatan, karena Joko Tingkir alias Sultan Hadiwidjaya adalah penguasa kesultanan Demak yang digulingkan oleh Sutawidjaya, pendiri dinasti Mataram yang kemudian bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayyidin Panatagama Kalifatullah Ing Tanah Jawi. Karena penulis masih keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakin, berarti masih terkait dengan Sunan Benawa di Kendal, ayah Sunan Pakubuwana I, dengan sendirinya para penguasa Mataram masih menghormati penulis.

Kenyataan inilah yang harus diperhatikan dalam mengikuti sistem politik Jawa, karena kuatnya kontinuitas tradisi tersebut. Karena sistem politik Jawa masih memiliki bekasnya yang mendalam atas sistem politik nasional yang kita miliki sekarang, dengan sendirinya tali temali ini harus diperhatikan juga. Ini memperkuat pendapat penulis, bahwa kita tidak memiliki acuan negara Islam bagi sistem politik yang kita kembangkan. Karena hal ini diabaikan oleh sementara pihak dalam wujud sistem politik kita yang ada, maka pemilu adalah satu-satunya tempat untuk menguji kebenaran pendapat penulis ini. Menurut dugaan penulis, kurang dari 20 % pemilih akan memberikan suara kepada partai-partai politik yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Sejarahlah yang akan menjawab, benarkah apa yang disangkakan penulis itu akan terjadi?



Intelektual di Tengah Eksklusivisme

Gerakan intelektual Islam dan kontribusinya dalam kontek perkembangan Islam di Indonesia dewasa ini harus di tempatkan pada pengertian strategis. Mereka yang menyusun bahan-bahan GBHN dan dokumen resmi kenegaraan di pemerintahan kedudukannya memang strategis. Namun dilihat lebih jauh mendorong masuknya orang Islam dalam posisi strategis kenegaraan sebenarnya tidaklah strategis. Ini dapat disamakan dengan teknokrat yang berbondong-bondong lewat Bappenas. Mereka tidak mendobrak apapun dan dengan demikian samasekali tidak strategis. Sebagai suatu kelompok memang strategis tetapi tidak untuk bangsa. Dewasa ini masalah-masalah dasar bangsa seperti kedaulatan hukum atau kebebasan berpendapat belum dapat dikatakan tuntas atau terjamin. Bila dahulu jargon-jargon yang dipakai adalah demokrasi dan pertumbuhan ekonomi, tapi sekarang mempergunakan bendera Islam. ltu hanya varian baru dari suatu yang telah ada selama ini dengan membentuk teknokrasi baru dari kalangan orang Islam. Sebenarnya kita menginginkan terobosan strategis yang membuat pembangunan dapat benar-benar banting stir. Pada gilirannya masalah itu lebih banyak terkait dengan power-building yang membuat kita harus berbicara dengan pemegang kekuasaan.

Sangat mustahil kalau hanya cendekiawan muslim yang mampu untuk merumuskannya sendiri. Sekali kita bargain dengan pihak di sana untuk menyusun suatu paket pembangunan, tampaknya Islam di situ paling jauh difungsikan sebagai suplemen. Begitu banyak konsep seperti, Wawasan Nusantara, konsep Hankamrata, Undang-undang, Ketahanan Nasional yang sudah jadi lantas hendak diapakan? Anda harus melihat bagimana pembengkokan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat dicocokkan dengan idealisme Islam mengenai demokrasi. Hanya aspek teknis yang dapat diperbaiki. Kalau pendekatan teknis tentunya merupakan tugas teknokrat. Dengan perkataan lain just another technocracy.

Saya melihat pengelompokan intelektual berjalan ke arah kemandekan. Kelompok intelektual, apalagi yang memakai bendera agama, akan lebih berfungsi kalau bersuara untuk masa depan. Perjuangan hak asasi manusia, demokrasi dan kedaulatan hukum adalah perjuangan universal. Menyuarakan hal-hal tersebut merupakan otonomi masyarakat terhadap negara. Berarti di sini tidak boleh memakai bendera Islam. Islam layak memberikan sumbangan tetapi tidak lantas mengklaim. Sekarang seolah-olah Islam maju dengan klaim bahwa sumbangan yang benar hanya dari Islam. Seharusnya kita berfikir bahwa masing-masing, termasuk orang sosial-demokrat dan nasionalistik, memberikan sumbangan untuk satu Indonesia.

Secara prinsip Islam sudah sempuma. Ketika dijabarkan secara operasional ia masih harus merambah lagi. Dengan munculnya kelompok intelektual yang serba mau menformalkan Islam, saya khawatir Islam kehilangan relevansinya. Islam yang seharusnya di jantung dan urat nadi sekarang kita letakkan di hadapan. Jangan dilupakan kita sebagai bangsa terlanjur heterogen dan pluralistik. Nurcholis Madjid boleh saja berbicara Islam itu kebebasan, tetapi kenyataannya? Para intelektual muslim sendiri, mengambil contoh Monitor menuntut dicabutnya SIUPP tabloid tersebut. Bagi saya tuntutan tersebut merupakan heavy blow. Untuk membela kebebasan mereka kalah dengan orang-orang seperti Natsir atau Anwar Harjono yang tidak mengandaikan dirinya intelektual namun berani berbicara. Bahkan A.R. Fachruddin masih memberi kesempatan kepada saya untuk mempertahankan pendirian. Tidak perlu menghukum perusak-perusak Monitor. Setidaknya hak saya untuk berpendapat dipertahankan. Kalau Islam di negeri ini mau benar lihatlah ia sebagai pemberi warna, tidak lebih dari itu. Jika difungsikan sebagai satu-satunya kebenaran sedangkan yang lain harus mengalah maka ia menjadi eksklusif.

Emil Salim mengatakan ikatan cendekiawan muslim tidak eksklusif. Kenyataannya? Kenapa tidak ada Abdurrahman Surjomiharjo, Yuwono Sudarsono, Dorodjatun Kuntjoro Jakti atau Ismid Hadad dalam struktur kepanitiaan (ICMI, Red)? Bolak-balik melulu dari kalangan NU, Muhammadiyah, atau HMI. Apa yang dikatakan Emil Salim itu lebih merupakan kepentingan konsolidasi. Saya tidak sependapat dengannya bahkan kalau dikelompokkan lantas tidak eksklusif. Orang kemudian membandingkan dengan keberadaan ikatan-ikatan cendekiawan Kristen atau Katolik. Kenapa mencari perbandingan dengan mereka yang sebenarnya juga eksklusif. Minoritas melakukan kesalahan bukan berarti yang mayoritas menjadi benar kalau berbuat hal yang sama. Janganlah mendorong minoritas untuk semakin memiliki complex-inferioty. Berilah mereka kesempatan untuk berkembang serta perlakukanlah secara adil.

Eksistensi Intelektual Tidak Membawa Bendera

Kelompok cendekiawan Islam itu pada akhirnya menjadi preoccupatie, dengan memusatkan perhatiannya hanya kepada bendera Islam. Kalau sudah begitu apa sumbangannya? Tetapi syukurlah masih ada suara-suara yang berani menentang arus dan ini tidak perlu dikelompokkan. Eksistensi intelektual Islam adalah bila ia mampu melayani bangsa sebagai individu-individu tanpa harus dikelompokkan.

Ada beberapa model peserta gerakan intelektual Islam di Indonesia dewasa ini. Mereka yang berada di kampus antara yang karir dan aktivis. Termasuk di sini mereka yang tidak menyelesaikan sekolahnya tetapi melakukan kegiatannya bersumber dari dan menjadi idolanya kampus. Kampus dilihat tidak hanya sebagai lambang, tetapi kampus dalam pengertian environment. Masih sangat sedikit yang dapat menggabungkan karir dan aktivis, kecuali misalnya Soetjipto Wirosardjono. Hadir pula mereka yang berasal dari ormas-ormas Islam dalam kampus. Dapat pula gabungan seperti Amien Rais yang berasal dari Muhammadiyah dan Gadjah Mada. Peserta lain datang dari lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat(LSM). Mereka ini sudah post-campus, tidak lagi berurusan dengan kampus, misalnya Aswab Mahasin. Di kampus dia kurang menonjol dan setelah selesai bekerja di LSM. Intelektual lainnya bersumber dari pemerintah. Sekarang ini dicoba untuk dikembangkan sumber-sumber baru intelektual muslim dari organisasi-organisasi wadah penyatuan umat seperti MUI dan Dewan Mesjid Indonesia.

Latar belakang pendidikan, sosial, dan organisasi keagamaan sangat jelas mempengaruhi heterogenitas kandungan pemikiran gerakan pembaruan Islam. Dengan disatukan dalam satu "kandang" memang tercapai efesiensi. Tetapi bahayanya perbedaan pandangan tidak ditolerir. Sebab perbedaan pandangan dianggap mendongkel pimpinan. Nantinya hanya pimpinan yang boleh mengeluarkan pendapat. Saya dengar ada upaya mewadahtunggalkan bahkan menganggap intelektual yang tidak berada di situ (ICMI,Red) sebagai bukan intelektual muslim.

Persoalannya bukan hanya vertikal, horisontal atau orientasi kelembagaan an-sich tetapi timbul dari posisi legalitas pengambilan keputusan. Sebelum berlangsung pertemuan ICMI di Malang, saya pernah berbicara dengan memandang itu eksklusif dari satu sudut, di samping penjelasan saya tidak ikut karena yang hadir disitu semuanya telah memakai bendera Islam. Walaupun pintu telah dibuka tetapi jika tidak diajak tentunya tidak mau masuk. Itu menunjukkan ekslusifisme keanggotaan. Basic premisnya ini suatu organisasi ekslusif karena pembuatnya adalah orang-orang formal dari umat. Namun hal demikian tidak mengurangi penghargaan saya sedikitpun kepada pengambil inisiatif. Ada yang mengatakan saya nyerimpung. Lha, nyerimpung itu kalau saya melarang orang pergi.

Peta dan konfigurasi intelektual Islam di Indonesia harus dilihat dari kontribusinya. Selama ini terlihat sangat rutin serta tidak mencari terobosan, hanya mengembangkan skill dan sebagainya. Ada pula yang mencari terobosan dengan pemikiran-pemikiran alternatif pluralistik atau legal-formalisme.

Untuk menilai masa depan gerakan intelelektual Indonesia harus dilihat beberapa hal. Tugas pokok intelektual adalah mempertahankan kebebasan berpikir, bukannya membunuh kebebasan berpikir. Kejujuran intelektual sangat penting dan tanpa itu jangan berbicara intelektual. Intelektualisme hanya muncul dari kebebasan berpikir. Konsekuensinya kita tidak boleh "giring-giring" atau demi efektivitas harus ada keseragaman pendapat. Hargai pula pluralitas dengan menganggap mereka yang berada di luar sebagai orang mandiri. Kancah intelijensia itu milik bersama umat manusia. Tidak bisa Islam menyatakan sumbangannya lebih besar dan yang lain. Tentang kecintaan, kasih sayang, penghargaan yang tulus kepada umat manusia, apapun agama atau keyakinannya pada dasarnya sama-sama mengabdi kepada manusia. Hanya ajarannya yang berbeda. Karena itu tidak bisa kita memenangkan diri sendiri lantas menyalahkan orang lain. la baru dikatakan intelektual kalau dapat mengutarakan gagasannya dalam kemanusiaan yang sama. Jika masih berpolemik dengan menyebutkan hanya Islam yang paling benar itu bukan lagi intelektual. Concern semua pihak sama, karena itu kita akan terus mencari, common-quest.

Catatan-catatan untuk Berdialog

Kita lebih baik berdialog di media massa. Saya atau siapapun berbicara tentunya yang lain akan menanggapi. Kita saling belajar dengan cara ini. Saya lebih membutuhkan forum untuk pengembangan pandangan dalam basis yang sama, misalnya pandangan Islam tentang kedaulatan hukum. Setiap orang memberikan kontribusi dengan catatan tidak satupun pendapat di situ yang mutlak menang.

Sangat bagus jikalau kaum intelektual Islam mengambil sikap integratif, memasukkan diri pada mainstreams kehidupan bangsa yang memperjuangkan demokrasi serta tatanan yang lebih adil di kemudian hari. Kita setiap hari berjumpa dengan orang yang intelektualnya berbeda. Setelah ditunjukkan bahwa Islam mempunyai sumbangan kepada peradaban manusia, mereka pun kagum. Kita seharusnya kagum pula terhadap agama lain yang juga mempunyai jawaban. Pada pokoknya setiap tradisi pemikiran keagamaan mempunyai andil dan sumbangan masing-masing. Adakah intelektual muslim yang benar-benar memahami orang penghayat, kejawen atau masalah Cina? Paling tidak akhirnya merendahkan atau mengatakan musyrik. Kita terlalu sempit memahami apa yang dikatakan oleh nabi dalam hadis " Barang siapa mengetahui dirinya, mengetahui Tuhannya". Harus disadari dirinya tidak berdiri sendiri tetapi harus dilihat dalam konteks kemasyarakatan.

Intelektual muslim tergantung hendak melangkah kemana. Met of zonder intelektual muslim dalam bentuk kelompok, pemikir-pemikir muslim hendak dibilang intelektual atau disebut apapun seharusnya memberikan sumbangan. Muslim tidak terbatas hanya dengan menyebutkan Abdurrahman Wahid ketua umum PBNU ; Nurcholis Madjid orang HMI; Amien Rais Muhammadiyah, Lubis-Wasliyah, atau Latief Muchtar-Persis. Tetapi mereka-mereka yang "KTP", tidak pernah ke masjid, tidak pernah shalat namun selama ini merasa Muslim mereka berhak untuk berbicara dan menyumbangkan pikiran atas nama Islam. Memonopoli kebenaran,itu yang salah. Kita harus meluaskan intelektual muslim jika kita hendak sungguh-sungguh. Seperti Soedjatmoko, sekalipun dia tidak pernah baca ayat kecuali dalam sebuah pidato di istana, semua akhirnya mengakui bahwa dia intelektual muslim.

Sejarah Akan Menilai

Timbulnya klaim pada gilirannya akan memunculkan penyelamat atau pemeriksa agama yang kadangkala berseru "nah ini tidak Islam", celakanya bila hal tersebut ditujukan kepada sesamanya. Kampus mengatakan "wah ini orang pesantren, tidak Islam, khurofat". Sementara pesantren berujar "kampus ini nggak ngerti kitab kuning bukan Islam". Akhirnya kita terlihat semakin konyol. Menurut saya tergantung intelektual muslim hendak pergi ke jalan inklusivisme atau integrasi. Kalau ke jalan integrasi janganlah berpikir lagi sebagai orang Islam yang berada di luar pemikiran orang yang lahir, berbicara dan bersama-sama dengan orang Indonesia lainnya.

Saya membaca, menguasai, menerapkan AI-Qur'an, dan Hadits, dan kitab-kitab kuning tidak dikhususkan bagi orrang Islam. Saya bersedia memakai yang manapun asal benar dan cocok dengan hati nurani. Saya tidak memperdulikan kutipan dari Injil, Bhagawad Gita kalau bernas kita terima. Dalam masalah bangsa ayat AI-Qur'an kita pakai secara fungsional bukannya untuk diyakini secara teologis. Keyakinan teologis dipakai dalam persoalan mendasar. Tetapi aplikasi, soal penafsiran. Berbicara penafsiran berarti bukan lagi masalah teologis tetapi sudah pemikiran.

Beberapa catatan evaluasi pemikiran generasi baru intelektual Islam vang mulai tampil belakangan ini, mereka sudah tidak terikat lagi dengan kelompok-kelompok Islam, mereka berani mempertanyakan hal-hal yang paling mendasar dan bereksperimen melaksanakan gagasan. Segi negatif yang cenderung terlalu besar, mereka kebanyakan mengembangkan pandangan vang sempit dalam mengibarkan bendera Islam. Sebenarnya tanpa mengibarkan bendera Islam, tetapi bicara biasa saja tentang Islam sudah mempunyai dampak bendera. Ketika saya menulis tentang kisah penembak misterius, orang luar negeri yang memperhatikan Indonesia mengatakan, "inilah pandangan Indonesia tentang hak-hak asasi manusia," manusia tidak boleh dibunuh begitu saja. Waktu itu pandangan Islam dianggap sangat luas, padahal semua itu pandangan dan sumbangan saya sebagai manusia Indonesia yang berlatar belakang muslim. Kalau sudah bisa beranggapan begitu maka pendapat orang seperti Romo Mangun akan sama valid dengan pendapat kita. Ini yang susah kalau kita eksklusif, kita tegakkan bendera Islam lalu yang lain dianggap tidak berarti. Kalau mau begitu tidak perlu dialog. Itu monolog, masing-masing mengatakan "agama gua kecap nomor satu". Dialog itu mengandaikan kita betul-betul berusaha memahami pihak lain secara utuh. Walaupun hendak diklaim apapun, kenyataannya selama ini yang berlangsung hanyalah serial monolog, bukan dialog, la tidak bisa menghindar dari pengadilan sejarah. Sejarah yang akan menilai.


Islam: Apakah Bentuk Perlawanannya?

Pada pertengahan bulan Mei 2002, penulis menyampaikan penilaiannya atas diri KHA. Mutamakin dalam sebuah seminar yang berlangsung di IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Pendapat itu dikemukakan dalam seminar untuk menyambut terbitnya sebuah buku tentang diri beliau, yang memang benar-benar merupakan karya berbobot ilmiah dan melihat peranan beliau dari berbagai sudut pandangan. Baik dari aspek epistimologis, kesejarahan maupun aspek sosiologis. Karya tersebut merupakan sebuah penanganan serius yang harus diteruskan oleh para peneliti lainnya.

Dalam seminar itu, penulis mengemukakan sebuah sudut pandang yang sama sekali baru dalam menilai dan memahami tokoh KHA. Mutamakin yang wafat pada abad ke 18 Masehi dan dimakamkan di desa Kajen, Margoyoso, Pati. Di antara keturunannya yang masih aktif dalam kehidupan masyarakat adalah Ra’is ‘Am NU, KH. A. M. Sahal Mahfudz dan diri penulis sendiri. Salah satu sesepuh keluarga dan keturunan beliau, dengan pengaruh sangat besar semasa hidup adalah KH. Abdullah Salam yang meninggal dunia tahun lalu dan dimakamkan di desa tersebut. Sebagai penghafal al-Qur’an beliau memimpin sebuah pesantren di desa tersebut dan mengembangkan asketisme yang sangat mengagumkan, dalam bahasa pesantren dikenal dengan istilah akhlakul karimah.

Dalam menilik riwayat KHA. Mutamakin itu penulis juga menggunakan Serat Cebolek yang diterbitkan Keraton Amangkurat IV dan Pakubuwono II di Surakarta, yang dibahas oleh disertasi Dr. Soebardi; juga ceritera ketoprak dan ceritera-ceritera lain, di samping berbagai tulisan kaum pesantren tentang beliau dan terutama tulisan-tulisan beliau sendiri. Yang tidak sempat penulis gunakan, adalah tulisan Dr. Kuntowidjoyo dari Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang KH. Rifa’i, Batang, yang menggunakan referensi Serat Cebolek dan sebuah buku tentang beliau yang diterbitkan oleh LkiS, di Yogyakarta, tulisan (kini) Pejabat sementara (pjs) Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo di Semarang.

Penulis berpendapat, KHA. Mutamakin telah memelopori sebuah pendekatan baru dalam hubungan antara Islam dan kekuasaan negara pada abad ke 18 Masehi, yang memerlukan penelitihan mendalam dari kita, untuk memahami strategi perjuangan Islam di masa lampau, saat ini maupun masa depan. Tilikan mendalam ini diperlukan guna memungkinkan kita untuk menemukan strategi perjuangan Islam yang tepat di negeri ini.

Perjuangan umat Islam dalam abad ke 18 Masehi itu, pada intinya berupa sikap pro/menunjang pemerintah, dan sikap menentangnya. Kaum syari’at/fiqh (Hukum Islam) pada umumnya bersikap mendukung kekuasaan, mungkin atas dasar adagium yang terkenal: “pemimpin lalim untuk 60 tahun memerintah, masih lebih baik dari pada anarkhi sesaat” (Imaamun Faajirun li sittiina ‘Amman khairun min faudha saa’atin). Sikap ini merupakan sebuah kenyataan tidak adanya kontrol atas jalannya pemerintahan, semuanya tergantung pada kehendak sang penguasa. Para pelanggar hukum, termasuk pelanggar fiqh/Hukum Islam terkena sangsi atau tidak secara legal seluruhnya tergantung sang penguasa. Kaum fiqh itu menetapkan KHA. Mutamakin harus dihukum, karena memasang lukisan binatang secara utuh, dan sering menonton wayang dengan lakon Bima Suci/Dewa Ruci. Dengan menonton pagelaran wayang berlakon Dewa Ruci itu, ia telah melanggar syari’ah dan harus dihukum. Tetapi hukuman itu terserah pada sultan sebagai penguasa.

Sebaliknya, para pemimpin tarekat bersikap menentang penguasa, dan tasawwuf merupakan pemicu pemberontakan di beberapa tempat dalam abad tersebut. Dalam pandangan ini, penguasa dianggap menyimpang dari kebenaran formal agama, karena itu haruslah dilawan secara terbuka. Sikap ini, sebenarnya sama-sama bersifat politis, bila dibandingkan dengan sikap di atas. Hanya saja, jika yang satu menentang maka yang lain mendukung. Sikap politis inilah yang membuat penguasa waktu itu banyak menghukum mati dan menyiksa para pemimpin gerakan tarekat. Cerita ulama yang mati dibakar atas perintah sultan adalah sesuatu yang memilukan di waktu itu.

Di sini, KHA. Mutamakin memperkenalkan pendekatan yang lain sama sekali. Ia mengutamakan pemunculan paham alternatif terhadap kelaliman penguasa, namun tidak memberikan perlawanan secara terbuka. Dengan demikian, ia lebih mengutamakan sikap memberikan contoh bagaimana seharusnya seorang pemimpin wajib bertindak dan membiarkan para ulama sebagai alternatif kultural di hadapan sang penguasa. Pendekatan inilah yang di kemudian hari dikenal dengan pendekatan kultural yang memicu perlawanan rakyat, tanpa melawan sang penguasa. Sikap ini dikecam dengan keras oleh pendekatan politis yang menunjang penguasa dan yang menentangnya.

Pendekatan kultural ini, tidak pernah jelas-jelas menentang penguasa, tapi ia juga tidak pernah menunjang penguasa. Di masa itu, kaum syari’ah memberikan dukungan kepada penguasa sedangkan pihak tarekat bersikap menentang. KHA. Mutamakin mengembangkan sikap kultural di atas, yakni pihak tarekat yang diwakili sayap penentangan yang bersifat politis dan sayap pilihan alternatif yang bersifat kultural. Di masa Orde Baru, keadaan menjadi terbalik: pihak tarekat justru menjadi penunjang dan mendukung kekuasaan, seperti terjadi pada pemimpin-pemimpin tarekat pada masa itu. Sedangkan kaum syari’at, seperti yang tergabung dalam kalangan NU/PPP menampilkan perlawanan kultural terhadap kekuasaan.

Sekarang, pertanyaan pokok adalah: haruskah perlawanan kultural itu dikembangkan terus di masa depan, atau justru dimatikan, dan dengan demikian perjuangan seterusnya menjadi perlawanan politis saja. Jawabannya menurut penulis adalah sesuatu yang sangat komplek: bagi organisasi non-politis, seperti NU, pendekatan yang harus diambil adalah pendekatan kultural yang lebih didasarkan pada alternatif-alternatif yang mengutamakan kebersihan perilaku di bidang pemerintahan. Sedangkan bagi organisasi-organisasi politik, seperti PKB, tekanan harus diletakkan pada penciptaan sistem politik yang bersih, meliputi ketiga bidang ekskutif-legislatif-yudikatif. Hanya dengan kombinasi kedua pendekatan kultural dan politis itu dapat ditegakkan proses demokratisasi di negeri kita. Sebagaimana diketahui, demokratisasi hanya dapat tegak kalau dapat diupayakan berlakunya kedaulatan hukum dan adanya perlakuan yang sama bagi semua warga negara di muka Undang-Undang. Bukankah dengan demikian, menjadi relevan bagi kita di saat ini, pendekatan kultural yang dahulu dirintis KHA. Mutamakin?





Islam Dan Dialog Antar Agama

Charles Torrey dalam disertasi doktornya di Universitas Heidelburg tahun 1880-an, mengemukakan bahwa Al-qur’an mempunyai keistimewaan, berupa penggunaan istilah-istilah profesi untuk menyatakan keyakinan agama. Disebutkannya ayat; "barang siapa memberikan pinjaman yang baik pada Allah, maka akan diberi imbalan berlipat ganda" (man yuridhi al-Allaha qardlan hasanan fa yudhaa’ifahu), yang berarti bukan sebuah transaksi kredit melainkan pelaksanaan amal kebajikan. Contoh lain, adalah; "barang siapa menghendaki panenan yang baik di akhirat, akan Ku-tambahi panenannya" (man kaana yuridhu hartsa al-akhirati nazid lahu fi-hartsihi), yang lagi-lagi menggunakan kata panenan sebagai penunjuk kepada amal kebajikan atau amal sholeh.

Di sini, Torrey juga menggunakan sebuah ayat lain untuk menunjuk kepada perbedaan antara Islam dan agama-agama lain, tanpa menolak klaim kebenaran agama-agama tersebut. "Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, maka amal kebajikannya tidak akan diterima oleh Allah, dan dia di akhirat kelak akan menjadi orang yang merugi perdagangannya" (man yabtaghi ghaira al-Islama diinan falan yuqbala minhu wa huwa fi al-akhirati min al-khasirin), ayat ini menunjuk perbedaan dalam keyakinan antara Islam dan agama-agama lain. Perbedaan antara Islam dan agama lain, dalam ayat ini jelas menunjuk kepada masalah keyakinan, dengan tidak menolak kerjasama antar Islam dan berbagai agama lainnya.

Dengan demikian, perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerjasama antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerjasama itu, tentunya akan dapat ditujukan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog antar agama dalam kehidupan. Dengan kata lain, prinsip pemenuhan kebutuhan berlaku dalam hal ini, seperti adagium ushul fiqh (teori legal hukum Islam); "sesuatu yang membuat sebuah kewajiban agama tidak terwujud tanpa kehadirannya, akan menjadi wajib pula" (ma la an-yatimu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun) tidak akan terlaksana, karena itu dialog antar agama juga menjadi kewajiban.

Kitab suci Al-qur’an juga menyatakan: "sesungguhnya telah Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling mengenal" (inna khalaqnaakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnaakum syu’uban wa qabaa’ila li ta’arafu), menunjuk kepada perbedaan pandangan yang senantiasa ada antara laki-laki dan perempuan serta antar berbagai bangsa atau suku bangsa. Dengan demikian, perbedaan pandangan merupakan sebuah hal yang diakui Islam, karena yang dilarang adalah perpecahan dan keterpisahan (tafarruq).

Tentu saja, antara berbagai keyakinan tidak perlu dipersamakan secara total, karena masing-masing memiliki kepercayaan/ aqidah yang dianggap benar. Dalam hal ini, sama kedudukannya dengan penafsiran-penafsiran itu terhadap aqidah keyakinan masing-masing. Dalam Konsili Vatikan II yang dipimpin Paus Yohanes XXIII dari tahun 1962 hingga 1965, menyebutkan bahwa para uskup yang menjadi peserta menghormati setiap upaya mencapai kebenaran, walaupun tetap yakin bahwa kebenaran abadi hanya ada dalam ajaran masing-masing agama, tidak perlu diperbandingkan atau dipertentangkan.

Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa yang dapat di-kerjasama-kan antara berbagai sistem keyakinan itu adalah bagaimana menangani kehidupan masyarakat, karena masing-masing memiliki keharusan menciptakan kesejahteraan lahir (keadilan dan kemakmuran) dalam kehidupan bersama, walaupun bentuknya berbeda-beda. Di sinilah, nantinya, terbentuk persamaan antar agama, bukannya dalam ajaran/aqidah yang dianut. Karena ukuran capaian harus menggunakan bukti-bukti empirik, seperti tingkat penghasilan rata-rata warga masyarakat ataupun jumlah kepemilikan -misalnya, telpon atau kendaraan per 10.000 keluarga. Dengan demikian, ukuran rata-rata tingkat kepemilikan dapat dipersamakan oleh capaian-capaian tersebut. Sedangkan yang tidak, seperti ukuran keadilan, dapat diamati secara empirik pula dalam kehidupan sebuah sistem kemasyarakatan.

Yang dikemukakan di atas adalah persamaan-persamaan antara berbagai agama. Lalu, bagaimana halnya dengan ayat Al-qur’an, seperti; "dan orang-orang Yahudi dan Kristen tidak akan rela kepadamu, hingga engkau mengikuti kebenaran/ aqidah mereka" (wa lan tardha an-kal yahudu wa la al-nashara hatta tattabi’a millatahum). Kalau kita bersikap demikian, hal itu sebenarnya wajar-wajar saja, karena menyangkut pemerimaan keyakinan/ aqidah. Selama Nabi Muhamad saw masih berkeyakinan; "Tuhan adalah Allah dan beliau sendiri adalah utusan Allah swt", selama itu pula orang-orang Yahudi dan Kristen tidak dapat menerima (berarti tidak rela kepada) keyakinan/aqidah tersebut. Sama halnya dengan sikap kaum muslimin sendiri, selama orang Kristen yakin bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan orang Yahudi percaya bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan, maka selama itu pula kaum muslimin tidak akan rela kepada kedua agama tersebut.

Dalam arti, tidak menerima ajaran mereka, tetapi hal itu tidak menghalangi para pemeluk ketiga agama itu untuk bekerjasama dalam hal muamalat, yaitu memperbaiki nasib bersama dalam mencapai kesejahteraan materi. Mereka dapat bekerjasama untuk mengatur kesejahteraan materi tersebut dengan menggunakan ajaran masing-masing. Cukup indah, namun sederhana bukan?

Islam dan Diskripsinya

Djamil Suherman menulis beberapa cerita pendek tentang dunia pesantren dengan tokoh utamanya Ummi Kulsum. Dijelaskannya, bagaimana di pesantren orang berbudaya tersendiri yang lepas dari budaya umum, yang ada di pedesaan kita. Termasuk didalamnya penggambaran para santri yang mencintai buah hati mereka, tanpa boleh berhubungan sama sekali. Penggambaran itu oleh para kritikus sastra, seperti H.B. Yasin, sebagai diskripsi terbaik tentang dunia pesantren. Dengan demikian, apa yang dituliskan Djamil Suherman menentukan pandangan kita tentang para penghuni Pondok Pesantren dan jaringan-jaringan mereka, dengan sistem nilai yang tak kalah dahsyatnya dari sistem nilai yang ada dalam cerita-cerita silat/kungfu dari Chin Yung, yang diterjemahkan dalam bahasa kita secara terpisah oleh O.K.T atau Boe Beng Tjoe, kedua-duanya mencapai dua puluh lima judul (per judul 20 jilid).

“Robohnya Surau Kami”, karya A.A Navis, sebaliknya menggambarkan realita kegundahan hati para pengikut tradisionalisme agama di Ranah Minang, karena tidak menemukan pemecahan rasional atas krisis multi-dimensional yang dihadapi lembaga Pondok Pesantren di kawasan tersebut. Nada lebih mementingkan pembaharuan dalam karya A.A. Navis ini tampak jelas, dan sesuai dengan kenyataan adanya krisis keagamaan yang mendalam di Sumatera Barat. Diskripsi situasi itu oleh A. A. Navis, jelas menunjukkan dinamika lain dari dunianya Djamil Suherman yang terasa sangat romantis. Perbandingan kedua karya itu saja, sudah menunjukkan pentingnya arti sebuah diskripsi dalam memaparkan situasi kehidupan yang tengah digumuli.

Maka, jelaslah dari perbandingan di atas, bahwa diskripsi kehidupan beragama di sebuah masyarakat pada suatu waktu, sangatlah penting artinya bagi para pengamat. Romantisme Pondok Pesantren, dan kemurungan para pencari jawaban atas krisis yang berlarut-larut, menunjukkan dengan jelas besarnya perbedaan dalam kehidupan beragama yang dijalani oleh dua buah masyarakat yang berbeda. Menjadi kewajiban kita-lah untuk sanggup mencari benang merah yang menghubungkan keduanya.

Dalam film “The Singer, Not The Song”, dari tahun 50 atau 60-an, John Mills yang menjadi pendeta berusaha melakukan konversi kepada agama atas diri Dirk Bogarde yang bermain sebagai bandit yang piawai. Akhirnya, ketika Bogarde dikepung oleh aparat negara dan tertembak, di saat itulah si pendeta merangkak mendekatinya dan ikut tertembak di tembus peluru. Di saat menjelang kematian mereka, Bogarde memeluk agama kristen, karena melihat pengorbanan jiwa pendeta Mills yang mengorbankan jiwanya untuk mengkonversikannya. Ia menjadi kristen sungguh-sungguh karena pengorbanan pendeta Mills dan bukan karena kebenaran yang dibawakan dan dikhotbahkan pendeta tersebut.

Jelas dari gambaran di atas, bagi seorang Bogarde yang sudah muak dengan “kebenaran ajaran agama”, yang lebih berpengaruh atas perilakunya adalah pengorbanan dari “pembawa kebenaran” itu sendiri. Dengan kata lain, setiap orang melihat segala sesuatu dari sudut pandangan tertentu yang terkadang kita anggap tidak penting. Jadi, yang menjadi permasalahan bagi kita adalah pilihan-pilihan pandangan itu sendiri, yang sangat ditentukan oleh diskripsi yang dikemukakan. Jika ini kita abaikan, berarti kita melihat agama sebagai sesuatu yang tidak hidup, melainkan kita hanya melihat sisi universal dan formal dari agama tersebut.

Karenanya, dalam kenyataan sehari-hari kita melihat pentingnya arti diskripsi yang diberikan atas sebuah “kebenaran agama”. Dengan melupakan hal ini, kita lalu melakukan idealisasi atas ajaran agama, bukannya melihat agama sebagai sebuah proses yang dijalani secara berbeda-beda oleh orang-orang yang berlainan, dan dengan sendirinya membawa pemahaman yang tidak sama pula. Pendekatan idealisasi universal di atas memang sangat penting, tetapi juga sama pentingnya untuk melihat bagaimana pengertian orang tentang sebuah agama dibangun dari kenyataan-kenyataaan empirik dalam kehidupan kita.

Kedua pendapat di atas, yaitu pendekatan empirik di satu pihak dan pendekatan idealisme-universal di pihak lain, penting untuk sama-sama kita hayati dan kita pikirkan lebih jauh. Kepincangan untuk melihat sebuah agama dari pendekatan formal dan universal, akan membawakan sudut pandang ideal yang tidak memahami hakikat agama itu sendiri. Sebaliknya, hanya menekankan diri pada aspek empirik belaka dalam mengemudikan sebuah organisasi keagamaan (seperti NU dan Muhammadiyah) sama saja artinya dengan memisahkan kehidupan dunia dari kehidupan akhirat.

Dewasa ini, hal itu tampak nyata dalam kehidupan dua buah organisasi keagamaan Islam terbesar di negeri kita, yaitu NU dan Muhammadiyah. Kedua-duanya terjebak dalam pandangan universal yang idealistik, yaitu bagaimana sumber-sumber tekstual (adillah naqliyyah) membentuk hukum agama/figh secara ideal; dan dari situlah di bangun sebuah kerangka universal tentang “kehidupan menurut ajaran Islam”. Tentu ini lebih mencerminkan kepentingan kritis, yang terkadang tidak bersinggungan dengan kepentingan sebenarnya di masyarakat. Umpamanya saja, mengenai perjudian dan hiburan malam. Yang dipentingkan adalah melarang keduanya, tanpa meghilangkan sebab-sebab utama yang mendukungnya. Bagaimana judi akan terbasmi kalau ketidak-pastian hukum masih merajalela? Bukankah yang kaya dan berpunya akan memenangkan perkara hukum, dan tanpa kepastian hukum, dapatkah orang kecil melakukan usaha mencari rezeki yang halal? Dengan ketidak-pastian itu, herankah kita alau ada orang berjudi untuk mencari kekayaan dengan cepat?

Nah, di sinilah terletak arti penting diskripsi tentang Islam. Dari manakah ia harus dilihat? Dari kenyataan hidup orang Islam (berarti deskripsi empirik), ataukah dari sudut ajaran formal (berarti pendekatan ideal-formalistik) yang bersifat universal? Tergantung dari kemampuan kita menjawab hal ini dengan baik, nasib sejumlah kajian Islam di berbagai lembaga penelitihan dewasa ini.

Islam Dan Ekonomi Rakyat

Dalam beberapa dasa warsa yang lalu, diajukan oleh berbagai pihak sebuah gagasan tentang ekonomi rakyat. Di samping itu, beberapa pemikir Islam mengajukan apa yang mereka namakan “ekonomi Islam”, yang sepintas lalu mengandaikan adanya tatanan ekonomi yang terlepas dari bangunan ekonomi yang selama ini dikenal orang. Ini dapat dimengerti, karena dua sebab. Pertama, karena tata ekonomi yang ada waktu itu sepenuhnya di dasarkan pada asumsi-asumsi materialistik, hingga tata ekonomi yang dihasilkannya pun bersifat sekuler. Dengan demikian, yang melawannya pun harus memiliki acuan spiritual, dengan begitu diajukanlah “ekonomi Islam” sebagai sesuatu yang samawi (memiliki kebenaran langit), yang menjadikannya sesuatu yang sama sekali tidak praktis bagi kehidupan.

Sebab kedua, tata “ekonomi rakyat” waktu itu, memiliki pengertian tata ekonomi yang dibangun atas dasar asumsi-asumsi komunistik, yang berarti juga ekonomi sekuler. Dengan penyifatan “ekonomi Islam” sebagai tatanan yang tidak membumi, dan “ekonomi rakyat” yang bersifat komunistik, maka dengan sendirinya “ekonomi Islam” itu dijauhkan dari istilah dari “ekonomi rakyat”. Karenanya, dua terminologi itu berjauhan satu dari yang lain, kalau tidak dikatakan bertentangan atau justru bermusuhan. Di satu pihak, orang tidak mau mengakui dasar spiritual dari sebuah teori ekonomi; dan di pihak lain, orang menolak gagasan “ekonomi rakyat”.

Kini, globalisasi yang disalah-artikan sebagai penguasaan/dominasi kehidupan ekonomi oleh perusahaan-perusahaan besar (MNC, Multi-National Corporations), telah memaksa orang untuk berpikir ulang tentang kedua terminologi “ekonomi rakyat” dan “ekonomi Islam” di atas. Dalam mencari pemecahan atas nasib negara-negara berkembang yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar -semacam MNCs itu, mau tak mau orang lalu merasakan adanya kebutuhan akan aplikasi kata “keadilan” dalam tatanan ekonomi yang diinginkan.

Dalam pencarian kata yang tepat untuk menemukan keseimbangan antara kekuatan perusahaan-perusahaan besar/MNCs di satu pihak dan negara-negara berkembang di pihak lain, terasa ada kebutuhan untuk menampilkan kembali istilah “ekonomi rakyat”, yang diperkirakan juga berlaku bagi istilah “ekonomi Islam”. Kenyataan inilah yang merupakan sesuatu yang harus diperhitungkan oleh mereka yang ingin mencari tatanan ekonomi yang memperhatikan keseimbangan kemampuan antara perusahaan-perusahaan besar/MNCs dan negara-negara berkembang tersebut.

Ketidak-mampuan memahami kenyataan ini, telah berakhir dengan protes salah arah yang terjadi dalam pertemuan WTO (World Trade Organisation) di Seatle dua tahun yang lalu, dan di ulang kembali di Qatar. Dicarikan jawaban materialistik/sekuler bagi persoalan yang sebenarnya berwatak spiritual, dalam artian diperlukan adanya penggunaan tata nilai (value system) sebagai landasan sebuah tatanan ekonomi. Tatanannya dapat bersifat sekuler, tapi ada nilai-nilai dasar yang bersifat spiritual yang juga digunakan.

Pemeliharaan keseimbangan antara berbagai tatanan ekonomi memerlukan sebuah landasan yang sangat kokoh, yaitu “keyakinan akan keadilan”, sebuah keyakinan yang muncul apabila kita berpegang teguh pada asas-asas spiritual, yang umumnya dimiliki semua agama. Ketika Schumacher memunculkan gagasan “kecil itu indah” (small is beautiful), ia melakukan itu atas nama prinsip-prinsip agama Budha yang menekankan pentingnya arti “jalan tengah” (middle way). Dalam hal ini, Schumacher mementingkan pengendalian hawa nafsu agar tidak mengarahkan kehidupan kita pada keinginan untuk menguasai sesuatu secara berlebihan.

Jelaslah dengan demikian, bahwa pandangan Islam tentang ekonomi ditentukan oleh rasa keadilan yang tinggi, sesuatu yang tidak dapat dibatasi oleh tatanan ekonomi belaka. Semangat menjunjung tinggi pada keadilan, dalam berbagai bentuknya dalam berbagai bidang, telah ada dalam kitab suci Al-qur’an. Firman Tuhan “wahai orang-orang yang beriman, tegakkanlah keadilan dan jadilah saksi bagi Tuhan walaupun mengenai diri kalian sendiri” (yaa ayyuha al-ladzina ‘amanuu kuunu qawwamiina bi al-qishti syuhadaa’a lillah walau ‘ala anfusikum), jelas menggambarkan adanya semangat seperti itu.
Kesadaran akan keadilan ini, telah membawakan rasa perlunya tatanan ekonomi yang lebih adil, yang dirumuskan dalam tatanan “ekonomi rakyat”. Dalam tatanan sedemikian itu, bentuk badan ekonomi yang harus didukung oleh negara secara lebih besar lagi adalah Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Seorang teman penulis, memiliki sejumlah UKM, dengannya ia memiliki omzet bermilyard-milyard rupiah. Dalam hal ini, ia menguasai aset-aset ekonomi yang beragam, dan dapat disebut sebagai pengusaha kelas kakap. Tetapi, perusahaan-perusahaan yang dikelolanya berskala kecil. Melalui perusahaan-perusahaan kecil itu, ia melayani masyarakat kecil yang justru pelayanannya secara keseluruhan berjumlah sangat besar. Dengan kata lain, ia menerapkan prinsip “ekonomi rakyat” dalam jumlah yang sangat besar, yakni jumlah yang dilayani sama besarnya dengan milik perusahaan-perusahaan besar tapi dengan orientasi membela orang kecil, dan tidak memberlakukan prinsip maksimisasi keuntungan (profit maximization).

Perubahan yang mencolok dari pengertian “ekonomi Islam” pada pengertian “ekonomi rakyat” ini, merupakan perkembangan yang sangat menarik untuk dikaji. Dengan kata lain, tekanan tidak diberikan pada pengembangan teoritis dalam memahami ajaran Islam di bidang ekonomi, melainkan justru pada pengembangannya dalam praktek. Ini berarti, prioritas pengembangan apa yang dinamakan “ekonomi Islam” itu, lebih banyak berkisar pada aspek orientasi. Orientasi kerakyatan yang dimilikinya, merupakan sebuah dorongan sangat besar untuk memperoleh sebuah tatanan ekonomi yang memperhatikan aspek keadilan dan keseimbangan, karena penolakan atas istilah “globalisasi” yang disalah-artikan, yang berkesudahan pada pelestarian ketidak-adilan dan ketidak-seimbangan dalam tatanan ekonomi dunia. Karena sifatnya yang mencari keseimbangan antara negara-negara bertehnologi maju di satu sisi dan negara-negara berkembang di sisi lain, tanpa harus terjebak dalam pengembangan populisme yang menolak sistem-sistem ekonomi lain, seperti kapitalisme, dengan sendirinya loyalitas kepada kepentingan orang banyak itu, menjadikan konstruks “ekonomi Islam” tersebut berfungsi korektif belaka, dan tidak menjadikannya lawan atau alternatif bagi siapapun. Kalau diingat “ekonomi Islam” adalah alternatif teoritik bagi kapitalisme dan sosialisme, maka timbul sebuah pertanyaan dapatkah ia dinamai ekonomi Islam?



Islam Dan Formalisme Ajarannya

Dalam sejarah umat manusia, selalu terdapat kesenjangan antara teori dan praktek. Terkadang kesenjangan itu sangatlah besar, dan kadang kecil. Apa yang oleh paham komunisme dirumuskan dengan kata rakyat, dalam teori dimaksudkan untuk membela kepentingan orang kecil, tapi dalam praktek justru yang dibela terbanyak adalah kepentingan kaum Aparatchik. Itupun berlaku dalam orientasi paham tersebut, yang lebih banyak membela kepentingan penguasa dari pada kepentingan rakyat kebanyakan. Karena itu, kita harus berhati-hati dalam merumuskan orientasi paham ke-Islaman, agar tidak mengalami nasib seperti paham komunisme tersebut.

Orientasi paham ke-Islaman sebenarnya adalah kepentingan orang kecil dalam hampir seluruh persoalannya. Lihat saja kata “maslahah ‘ammah”, yang berarti kesejahteraan umum. Inilah yang menjadi objek dari segala macam tindakan yang diambil pemerintah. Kata kesejahteraan umum dan/atau kemaslahatan umum itu tampak nyata dalam keseluruhan umat Islam. Yang langsung tampak, umpamanya, adalah kata kunci dalam adagium teori hukum Islam (Ushul Fiqh): “tindakan/kebijakan seorang pemimpin atas rakyat (yang dipimpin) sepenuhnya bergantung kepada kebutuhan atau kesejahteraan mereka” (tasharruf al-Imam ‘ala al-ra’iyyah manuuthun bi al-maslahah).

Adapun yang tidak langsung mengenai kebutuhan orang banyak dapat dilihat dalam adagium lain: “menghindarkan kerusakan/kerugian diutamakan atas upaya membawakan keuntungan dan kebaikan” (dar’u al-mafasith muqaddam ‘ala jalbi al-masholih). Artinya, menghindari hal-hal yang merusak umat lebih diutamakan atas upaya membawakan kebaikan bagi mereka. Dengan demikian, menghindari kerusakan dianggap lebih berarti dari pada mendatangkan kebaikan. Adagium inilah yang digunakan Dr. Amien Rais untuk meyakinkan penulis untuk menerima pencalonan sebagai Presiden Republik Indonesia, tiga tahun lalu. Karena ia yakin bangsa ini waktu itu belum dapat menerima seorang wanita (Megawati) sebagai Presiden negara, hingga dikhawatirkan akan ada perang saudara jika hal itu terjadi.

Pengaturan melalui kesejahteraan, keselamatan, keutuhan sesuatu, secara langsung atau tidak langsung, menjadi pegangan gerakan-gerakan Islam di negeri kita semenjak dahulu. Contoh terbaik dalam hal ini adalah gugurnya Piagam Jakarta (Jakarta Charter) dari Undang-Undang Dasar (UUD) kita. Para pemimpin berbagai gerakan Islam pada saat itu, tanggal 18 Agustus 1945, setuju membuang Piagam Jakarta tersebut dari UUD ‘45, agar bangsa kita yang heterogen dalam asal-usul mereka itu dapat bergabung ke dalam pangkuan Republik Indonesia. Pendapat yang dipegang oleh Ki Bagus Hadikusumo dan KH A. Kahar Mudzakir dari Muhammadiyah, Abi Kusno Cokrosuyoso dari Sarekat Islam, A. Rahman Baswedan dari Partai Arab Indonesia (PAI), A. Subardjo dari Masyumi, H. Agus Salim dan A. Wahid Hasjim dari Nahdlatul Ulama (NU), itu jelas menonjolkan semangat persatuan pada tingkat paling tinggi. Bahwa para Ulama Fiqh (Hukum Islam) tidak menolak tindakan itu, menunjukkan dengan jelas bahwa keutuhan dan kesejahteraan umat dinilai begitu tinggi oleh berbagai gerakan Islam.

Dengan demikian, tertolaklah anggapan bahwa Islam hanya bersandar pada formalitas belaka, secara kultural, masuknya beberapa unsur budaya lokal ke dalam budaya Islam, atau sebaliknya, merupakan bukti kuat akan hal ini. Tari Seudati yang digambarkan dengan indahnya oleh James Siegel dalam the rope of God, mengenai kesenian daerah Aceh yang bernapaskan praktek-praktek kaum sufi itu jelas menunjukkan hal itu. Demikian pula, diciptakannya tembang Ilir-ilir oleh Sunan Ampel, menunjukkan bagaimana terjadi saling pengaruh-mempengaruhi yang sangat halus antara budaya daerah kita dan budaya agama yang dibawakan oleh Islam.

Demikian pula, bagaimana dengan mudahnya manifestasi budaya santri dalam budaya daerah yang disebut Tabot di Sumatera barat dan Bengkulu, dengan budaya daerah setempat menjadi wahana bagi ekspresi keagamaan kaum Syi’ah di hadapan tindakan-tindakan “budaya Sunni” dalam beberapa abad terakhir ini, menunjukkan betapa besar dinamika budaya yang terjadi. Penggunaan “budaya adat” sebagai wahana apa yang tadinya dikenal sebagai budaya agama adalah sesuatu yang benar-benar hidup dalam perkembangan sejarahnya.

Hal inilah yang menjadi tantangan kita dewasa ini. Ayat kitab suci Al-Qur’an menyatakan “dan dalam diri utusan Tuhan benar-benar telah ada contoh yang sempurna bagi orang yang mengharapkan kerelaan Allah, kebahagiaan akhirat dan senantiasa ingat akan tanda-tanda kebesaran Allah” (la qad kaana lakum fii rasulillahi uswatun hasanah li man kaana yarju Allaha wa al-yauma al akhira wa dzakara Allaha kathira), dapat digunakan sebagai pengingat bagi kita akan pentingnya arti pelestarian lingkungan alam dan penjagaan kepentingan kita dalam apa yang dinamakan kasus makro.

Hal-hal seperti inilah yang seharusnya menjadi tekanan bagi gerakan-gerakan Islam dalam membangun sebuah bangsa, justru bukannya mementingkan formalisasi ajaran-ajaran agama tersebut dalam kehidupan. Karena itu, persoalan formalisasi ideologi Islam dalam kehidupan bernegara tidak menjadi kebutuhan utama. Justru penampilan non-formal dari agama tersebut harus terwujud tanpa formalisasi dirinya, seperti di negara ini. Dengan demikian, agama Islam menjadi sumber inspirasi bagi gerakan-gerakan Islam dalam kehidupan bernegara.

Dasar perjuangan seperti inilah yang sebenarnya mengilhami juga lahirnya partai-partai CDU (Christian Democratic Union, Uni Demokratik Kristen), di Jerman dan sejumlah negara lain. Inti dari pandangan seperti itu, terletak pada kesadaran bahwa agama harus lebih berfungsi nyata dalam kehidupan, dari pada membuat dirinya menjadi wahana bagi formalisasi agama yang bersangkutan dalam kehidupan bernegara. Esensi inilah yang telah ditangkap dengan sangat baik oleh berbagai gerakan Islam di negara ini semenjak beberapa puluh tahun yang lalu. Ceritera yang indah, bukan?

Islam Dan Fungsi Keadilan

Dalam tulisan-tulisan terdahulu, tampak jelas bahwa Islam tidak mementingkan bentuk kelembagaan, melainkan fungsi-fungsi lembaga. Karena itu, Islam tidak mengenal konsep tentang negara, melainkan tentang fungsi-fungsi negara. Dengan demikian, sebuah konsep negara bangsa (nation-state) menjadi sama nilainya dengan negara Islam. Pentingnya fungsi tersebut, akan dibicarakan dalam tulisan ini. Karenanya, prinsip pentingnya fungsi harus sudah dimiliki ketika membahas tulisan ini.

Sikap ini, tidak berarti Islam memusuhi konsep negara agama, termasuk konsep tentang Negara Islam, melainkan hanya menunjukkan betapa bentuk negara bukanlah sesuatu yang esensial dalam pandangan Islam, karena segala sumber-sumber tekstual (adillah naqliyah) tidak pernah membicarakan bentuk-bentuk negara. Yang selalu dibicarakan adalah berbagai fungsi dari sebuah negara, dan ini mengaharuskan kita untuk membuat telaahan secara mendalam mengenai konsep Negara Islam tersebut. Tanpa telaahan yang mendalam, kita akan bertindak gegabah dan bersikap emosional dalam menyusun konsep tersebut. Hal ini nyata-nyata bertentangan dengan petunjuk tekstual itu sendiri. Kitab suci Al-qur’an telah berfirman: “bertanyalah kepada yang mengerti, jika kalian tidak mengetahui masalah yang dibicarakan” fa al-as’aluu ahla al-dzikri in kuntum laa ta’lamuun)
Sikap ini, harus di ambil dan dimiliki kaum muslimin, jika mereka ingin menegakkan agama dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran-Nya. Sikap emosional itu sendiri, dalam jangka panjang akan sangat merugikan, sedangkan dalam jangka pendek akan menambah keruwetan dalam perjuangan kaum muslimin sendiri. Ini bukan berarti penulis menentang gagasan adanya partai Islam, bahkan menegaskan bahwa parai-partai tersebut harus membuat telaahan tentang Negara Islam, hingga gagasan tersebut benar-benar dapat diterima oleh akal yang sehat dan oleh hati nurani kita sendiri. Hanya dengan sikap seperti itulah, perjuangan kaum muslimin akan membawa hasil yang diharapkan, dan mampu membawa kaum muslimin tersebut kepada pemenuhan tujuan yang diharapkan: “negara yang baik, penuh dengan pengampunan Tuhan” (baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur).

Salah satu fungsi negara dalam pandangan Islam, adalah menegakkan keadilan. Firman Allah dalam kitab suci Al-qur’an berbunyi; “wahai orang-orang yang beriman, tegakkah keadilan dan jadilah saksi bagi Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri” (yaa ayyuha al-ladzina amanuu kuunu qawwamiina bi al-qishti syuhada’a lillahi walau ‘ala anfusikum). Jelas di sini, yang diminta adalah fungsi keadilan, bukannya bentuk penyelenggaraan keadilan oleh negara.

Jelas dari ayat ini, Islam lebih mementingkan penyelenggaraan keadilan, dan bukan bentuknya. Adakah keadilan itu mengambil bentuk ditetapkannya hukuman-hukuman pidana, ataukah berupa tender yang independen dan bebas dari permainan orang dalam (insider’s trading), tidaklah menjadi persoalan benar. Yang terpenting adalah berfungsinya keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Ini yang harus dipegangi oleh umat Islam dalam menegakkan negara, jika diinginkan kesejahteraan bersama dapat diraih oleh seluruh warga bangsa.

Walaupun agak menyimpang dari pembahasan pokok ayat ini, dapat dikemukakan pendapat Al-‘athmawi, mantan ketua Mahkamah Agung (MA) Mesir, bahwa Hukum Pidana Islam mengenal prinsip menghindari dan menghukum (deterrence and punishment) terhadap/atas pelanggaran-pelanggaran pidana yang terjadi, karenanya setiap hukum yang memuat pinsip ini, termasauk hukum Pidana Barat (Napoleonic Criminal Law) yang berlaku di Mesir saat ini, sudah berarti melaksanakan hukum Pidana Islam tersebut. Memang, terjadi perdebatan sengit tentang pendapat Al-‘athmawi tersebut, tetapi penjelasan di atas menunjukkan besarnya kemungkinan yang dikandung oleh firman Allah di atas dalam penyelenggaraan negara yang sesauai dengan prinsip-prinsip Islam.

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, yang terpenting adalah bagaimana keadilan itu dapat diwujudkan, bukannya bentuk negara yang diinginkan. Maka, jelaslah Islam lebih mementingkan fungsi dan bukan bentuk negara, suatu hal yang sering kita lupakan. Karenannya, pembahasan kita selanjutnya lebih baik ditekankan pada fungsi penyelenggaraan pemerintahan dari pada bentuk negara yang diinginkan.

Strategi yang demikian sederhana, ternyata tidak dimengerti banyak orang. Apakah sebabnya? Karena orang lebih mementingkan formalitas sesuatu dari pada fungsinya. Tetapi, Islam juga mempunyai formalitas lain, yaitu pentingnya permusyawaratan atau rembugan. Kitab suci Al-qur’an menyatakan; “dan persoalan mereka haruslah di musyawarahkan oleh mereka sendiri” (wa amruhum syura bainahum), berarti secara formal Islam mengharuskan adanya demokrasi. Dalam sistem demokratik yang sebenarnya, suara penduduk yang memilih (voter’s voice) yang menentukan, dalam adagium bahasa latin disebutkan “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan), jelas menunjukkan betapa penting arti demokrasi bagi Islam. Kalau rakyat memilih bukan partai Islam yang memerintah, dengan sendirinya formalitas keadilan juga ikut terkena.

Dalam hal demikian, maka partai-partai Islam dan kaum muslimin haruslah menggunakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam, bukannya bentuk lahiriyyah. Dari pembahasan singkat tentang fungsi keadilan yang harus terwujud dalam pemerintahan sebuah negara, menjadi nyata bagi kita bahwa mereka yang tidak menginginkan Negara Islam, tetapi menuntut pelaksanaan keadilan yang nyata dalam kehidupan, berarti telah melaksanakan ajaran Islam. Karena itu, kita harus mementingkan arti penyelenggaraan keadilan dalam kehidupan kita, sebagai amanat yang harus kita perjuangkan habis-habisan. Justru mereka yang mementingkan formalitas Hukum Islam tetapi melupakan penyelenggaraan keadilan ini, harus dipertanyakan sudah memperjuangkan ajaran Islam-kah atau belum? Sederhana bukan?

Islam dan Hubungan Antar Umat
Beragama di Indonesia

Hubungan antar umat beragama di indonesia tampaknya kembali mengalami cobaan dan ujian berat dua tahun terakhir ini. Kalau diikuti dengan cermat tampak bahwa hal ini masih akan berlangsung cukup lama. Memulihkan hubungan yang semula tampak harmonis dan kemudian mengalami keretakan, bukanlah hal yang mudah. Namun, masa depan kita sebagai bangsa banyak bergantung pada kemampuan pemulihan hubungan itu. Kegagalan dalam hal ini dapat mengakibatkan ujung traumatik yang mengerikan: terpecah-belahnya kita sebagai bangsa.

Karenanya, mau tidak mau kita harus mengerahkan kemampuan sekuat tenaga untuk mewujudkan pemulihan hubungan antarumat beragama itu. Untuk keperluan itu, kita terlebih dahulu harus memahami sebab-sebab paling dasar dari retaknya hubungan dan sisi-sisi multidimensional dari kemelut yang dihadapi. Tanpa mengetahui penyakitnya, tentu tak akan ditemukan obatnya, dan penyembuhan tidak akan mungkin dilakukan.

Pada hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang tumbuh, seperti bangsa kita, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertia yang mendalam antara beraneka ragam unsur-unsur etnis, budaya daerah, bahasa ibu, dan kebudayaannya. Kalaupun tidak terjadi salah pengertian mendasar antara unsur-unsur itu, paling tidak tentu saling pengertian yang tercapai barulah bersifat nominal belaka. Dengan kata lain, suasana optimal yang dapat dicapai bukanlah saling pengertian, melainkan sekedar sangat kurangnya kesalahpahaman.

Pola hubungan “harmonis” seperti itu, dengan sendirinya tidak memiliki daya tahan yang ampuh terhadap berbagai tekanan yang datang dari perkembangan politik, ekonomi, dan budaya. Kerukunan yang ada hanyalah kondisi yang rapuh, yang mungkin dapat diistlahkan dengan ungkapan dari masa Perang Dingin antara negara-negara adikuasa dahulu: hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence).

Sudah tentu kedamaian yang terselenggara hanyalah sekedar sikap bertetangga baik, tanpa rasa senasib dan sepenanggungan di antara orang yang merasa sesama bersaudara.

Hubungan baik yang disifati hanya oleh tata krama dan rasa saling menghormati secara lahiriah belaka. Persambungan rasa tentu akan sangat sedikit terjadi dalam keadaan demikian.

Perbedaan sikap dan pandangan, apalagi perbenturan kepentingan, dapat membuat ketenangan suasana sewaktu-waktu berubah menjadi kebalauan. Mereka yang tadinya saling menghormati, tiba-tiba dapat bersikap saling menyalahkan. Mereka yang tadinya santun satu sama lain, sekonyong-konyong dapat bersikap saling menyalahkan.. Suasana kejiwaan yang dipenuhi rasa terkejut karena semula keadaan baik-baik saja, menambah intens rasa “kehilangan” ketenangan semula. Hal itu lalu memperbesar rasa tambah parahnya keadaan lebih dari kenyataan yang sebenarnya berlangsung.

Dari yang diuraikan itu, menjadi nyata bagi kita, bahwa masalah pokok dalam hal hubungan antarumat beragama, adalah pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kita hanya akan mampu menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekedar saling menghormati, yang diperlukan adalah rasa saling memiliki (sense of belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain.

Karena Islam adalah agama golongan penduduk mayoritas bangsa kita, menjadi sangat menyedihkan bahwa sampai hari ini masih sangat luas sikap negatif mereka kepada pihak-pihak lain. Materi khotbah dan ceramah para pemimpin Islam, dari kalangan ulama hingga kalangan cendekiawan, masih berubah sewaktu-waktu menjadi sangat memprihatinkan.

Memang mayoritas bangsa kita, yang notabene beragama Islam, masih dicengkam oleh kemiskinan dan kebodohan sehingga mudah “dirayu” untuk berpindah agama secara murahan. Kondisi logis dari kenyataan itu sebenarnya adalah keharusan bagi gerakan Islam untuk memajukan umat mereka. Ini berarti keharusan untuk melakukan transformasi multidimensional atas kehidupan umat yang mereka pimpin, bukannya mencari kambing hitam atas keterbelakangan dan ketertinggalan sendiri.

Ini tidak berarti, para pimpinan Islam di segenap tingkatan harus menutup mata terhadap semua ekses yang terjadi dalam kehidupan beragama dinegeri kita. Harus diambil langkah-langkah untuk menangani dan mencegah terulangnya ekses-ekses itu, termasuk cara penyebaran agama terlalu agresif, yang dilakukan oleh sementara kelompok penganut agama dari golongan minoritas. Namun, cara penanganan dan penagkalan haruslah dilakukan dengan bijaksana, tanpa harus melakukan generalisasi terhadap semua warga umat dari agama tersebut.

Tentu kaum muslimin di negeri kita tidak mau dipersalahkan atas kegiatan negatif yang dilakukan oleh minoritas muslimin di negeri-negeri lain. Kita hanya mampu mendudukan masalah ini secara proporsional.

Kenyataan sederhana ini dan kerifan seperti dituntut di atas, memang tidak mudah untuk diwujudkan, apalagi untuk dikembangkan dalam lingkup yang luas. Namun, kita tidak punya pilihan lain, kalau masih diinginkan bangsa kita yang demikian heterogen dapat mengembangkan diri menjadi bangsa yang kukuh sendi-sendi kehidupannya dalam memasuki abad ke-21.

Semua pihak dikalangan kaum muslimin memikul tanggung jawab untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap semua warga masyarakat bangsa kita, karena hanya dengan cara demikian Islam dapat tumbuh menjadi kekuatan pelindung bagi seluruh penduduk negeri ini secara keseluruhan.

Islam dan Kepemimpinan Wanita

Sejumlah pemimpin partai-partai politik Islam, beberapa tahun yang lalu, menyatakan bahwa kepemimpinan wanita tidak tepat dalam pandangan agama. Dasar anggapan itu adalah ungkapan Al-qur'an "lelaki lebih tegak atas wanita" (al-rijalu qawwamuna 'ala an-nisa), yang dapat diartikan menjadi dua macam. Pertama, lelaki bertanggung jawab fisik atas keselamatan wanita; dan kedua, lelaki lebih pantas menjadi pemimpin negara. Ternyata para pemimpin partai politik Islam di atas memilih pendapat kedua itu, terbukti dari ucapan mereka di muka umum. Anggapan tersebut, yang pada umumnya menjadi pendapat dunia Islam selama ini, dalam kenyataan justru menunjukkan sebaliknya.

Beberapa sumber tekstual ('adillah naqliyah) melanjutkan anggapan ini dengan ungkapan "wanita hanya mempunyai separuh akal lelaki", dan sumber-sumber sejenis. Bahkan sebuah kutipan dari kitab suci Al-qur'an dipakai dalam hal ini, yaitu "bagian pria (dalam masalah warisan) adalah dua kali bagian wanita" (hatzu ar-rajuli mithlu hatzi al-unthaya'in), padahal kutipan itu hanya mengenai masalah waris-mewaris saja. Karena itu, pandangan kedua ini, yang masih umum dipakai orang dalam dunia Islam, selalu menilai rendah wanita.

Dalam tulisan ini, penulis ingin meluruskan hal itu agar hak lelaki dan hak wanita menjadi semakin berimbang karena memang Islam menilai seperti itu. Firman Allah SWT dalam Al-qur'an. "Sesungguhnya Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan'' (inna khalaqnaakum min dzakarin wa untha), mengisyaratkan persamaan seperti itu. Perbedaan pria dan wanita bersifat biologis, tidaklah bersifat institusional/kelembagaan sebagaimana disangkakan banyak orang dalam literatur Islam. Akibatnya, masyarakatpun menjadi terpengaruh, termasuk kaum wanitanya sendiri.
Sewaktu masih menjadi Ketua Umum PBNU, penu- lis pernah didatangi salah seorang ulama Pakistan, sewaktu Benazir Bhutto masih menjadi orang pertama dalam pemerintahan negeri tersebut. Ia meminta agar penulis membacakan surat al-fatehah bagi bangsa Pakistan, agar mereka terhindar dari malapetaka. Bukankah, katanya, Rasulullah SAW bersabda, "celakalah sebuah kaum yang dipimpin wanita?'' Bukankah dengan menjadi Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto justru melakukan hal itu?'' Penulis menjawab, bahwa dalam hal ini diperlukan penafsiran baru sesuai dengan perubahan yang terjadi? Bukankah Nabi Muhammad SAW menunjuk kepada kepemimpinan abad VII hingga VIII Masehi di Jazirah Arabia? Kepemimpinan suku atau kaum, waktu itu memang berbentuk perseorangan (individualize leadership), sedangkan sekarang kepemimpinan negara justru dilembagakan?

Benazir Bhutto harus mengambil keputusan melalui sidang kabinet, dengan para menteri yang mayoritasnya pria. Dan, kabinet tidak boleh menyimpang dari kebijakan parlemen, yang mayoritas anggotanya adalah pria. Hingga, parlemen pun tidak boleh menyimpang dari Undang-Undang Dasar, dengan penjagaan dan pengawalan dari Mahkamah Agung yang seluruhnya beranggotakan kaum pria. Anda benar, kata tamu tersebut, namun saya minta Anda tetap saja membaca surat al-fatehah untuk keselamatan bangsa Pakistan.

Apa yang digambarkan di atas menunjuk kepada suatu hal: sulitnya mengubah sebuah pandangan yang telah berabad-abad lamanya diikuti orang. Dalam hal ini, antara pandangan agama Islam di mata orang-orang itu, dalam kenyataan berlawanan dengan apa yang dirumuskan oleh UUD. Seolah-olah terjadi perbenturan antara agama dan negara. Padahal, dalam kenyataan, ribuan anak-anak perempuan ulama Muslimin justru menjadi sarjana S2 hingga S3, karena UUD memungkinkan hal itu. Bukankah persamaan hak antara pria dan wanita dijamin oleh UUD kita, termasuk dalam pendidikan?

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Sumatra Barat, mengeluarkan peraturan daerah yang melarang warga masyarakat dari jenis wanita untuk keluar rumah tanpa mahram (suami atau sanak keluarga yang tidak boleh dikawininya), setelah pukul 09.00 malam. Bukankah ini jelas melanggar UUD, yang menyamakan kedudukan antara pria dan wanita di muka Undang-Undang? Karenanya, sidang kabinet yang dihadiri oleh penulis telah memutuskan tidak diperkenankan adanya peraturan daerah tersebut atau produk-produk lain hasil DPRD I atau DPRD II, yang berlawanan dengan Undang-Undang Dasar. Maka, dalam hal ini, mestinya Mahkamah Agung-lah yang memiliki wewenang untuk menyatakan apakah sebuah produk DPRD tersebut melanggar UUD atau tidak. Jika demikian, otomatis produk itu tidak berlaku lagi.

Dari uraian di atas jelaslah, memperjuangkan hak-hak wanita adalah pekerjaan yang masih berat di masa kini, hingga wajiblah kita bersikap sabar dan bertindak hati-hati dalam hal ini. Tetapi, keadaan ini pun, bukanlah hanya monopoli golongan Islam saja. Di Amerika Serikat (AS) yang dianggap memelihara hak-hak wanita dan pria secara berimbang menurut Undang-Undang Dasarnya, ternyata dalam praktik tidak semudah apa yang dianggap seperti semula. Belum pernah dalam sejarahnya ada presiden wanita, walaupun UUD-nya tidak pernah melarang akan hal itu. Di sini, ternyata terdapat kesenjangan besar antara teori dan praktik dalam sebuah masyarakat paling "maju" sekalipun.

Islam Dan Kesejahteraan Rakyat

Dalam ushul fiqh (teori Hukum Islam), dikemukakan keharusan seorang pemimpin agar mementingkan kesejahteraan rakyat yang dipimpin, sebagai tugas yang tidak dapat tidak harus dilaksanakan: “kebijaksanaan dan tindakan Imam (pemimpin) harus terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin” (tasyarruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuutun bi al-maslahah), menetapkan hal ini dengan sangat jelas. Tujuan berkuasa bukanlah kekuasaan itu sendiri, melainkan sesuatu yang lain, yang dirumuskan dengan kata kemaslahatan (al-maslahah). Prinsip kemaslahatan itu sendiri seringkali diterjemahkan dengan kata “kesejahteraan rakyat”, yang dalam ungkapan ekonom dosen Harvard dan mantan Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk India, sebagai “the affluent society”.

Dalam bahasa pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kata kesejahteraan tersebut dirumuskan dengan ungkapan lain, yaitu masyarakat sejahtera yang dirumuskan dengan istilah “masyarakat adil dan makmur”. Itulah tujuan dari berdirinya sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam siklus berikut: hak setiap bangsa untuk memperoleh kemerdekaan, guna mewujudkan perdamaian dunia yang abadi dan meningkatkan kecerdasan bangsa, guna mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur. Dengan menganggapnya sebagai tujuan bernegara, UUD 1945 jelas-jelas menempatkan kesejahteraan/keadilan-kemakmuran sebagai sesuatu yang esensial bagi kehidupan kita.

Dalam hal ini, menjadi nyata bagi kita bahwa prinsip menyelenggarakan negara yang adil dan makmur menurut UUD 1945, menjadi sama nilainya dengan pencapaian kesejahteraan yang dimaksudkan oleh ushul-fiqh. Hal inilah yang harus dipikirkan secara mendalam oleh mereka yang menginginkan amandemen terhadap UUD 1945. Tidakkah amandemen seperti itu dalam waktu dekat ini, akan merusak rumusan tujuan bernegara tersebut?

Tingginya kesejahteraan suatu bangsa, dengan demikian menjadi sesuatu yang esensial bagi Islam. Saudi Arabia dan negara-negara teluk lainnya telah mencapai taraf ini, walaupun masalah keadilan di negeri-negeri tersebut masih belum terwujud seluruhnya. Keadilan baru dibatasi pengertiannya pada keadilan hukum belaka, hingga keadilan politik dan budaya belum terwujud. Dengan demikian, masih menjadi pertanyaan besar, apakah negara-negara tersebut demokratis ataukah belum?. Memang terasa, jawaban atas pertanyaan di atas bersifat sangat pelik, apalagi dalam hal ini kita berhadapan dengan sebuah pertanyaan besar: benarkah demokrasi berdasarkan hak bersuara bagi tiap individu (one man one vote principle) telah mencerminkan demokrasi yang sesungguhnya?

Penulis mengemukakan hal ini dengan maksud agar ia dibicarakan secara serius dalam wacana terbuka bagi kaum muslimin. Haruskah kita menerima pencapaian kesejahteraan dan terselenggaranya keadilan sekaligus sebagai persyaratan demokrasi? Jawaban yang sungguh-sungguh dan bernar-benar berbobot akan menentukan nilai wacana kaum muslimin atas hal ini, hingga kesimpulan yang didapatpun akan mempunyai nilai penuh bagi kehidupan kita. Pemikiran yang jujur tentang hal ini memang sangat diperlukan, jika diinginkan wacana itu sendiri mempunyai nilai dan arti yang tinggi.
Jalinan antara kesejahteraan dan keadilan menjadi sangat penting bagi kaum muslimin di negeri ini, paling tidak bagi kaum santri yang melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya arti upaya tersebut dapat dilihat pada tidak tercapainya keadilan maupun kesejahteraan di negeri ini, walaupun ia memiliki tiga sumber alam yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain: hutan yang lebat yang dikenal sebagai paru-paru dunia, kekayaan tambang yang luar biasa dan kekayaan laut yang kini banyak dicuri orang. Kegagalan mencapai kesejahteraan hidup bagi rakyat banyak itu, dapat dikembalikan sebabnya kepada kebijakan ekonomi dan peraturan-peraturan semenjak kemerdekaan kita, yang lebih banyak ditekankan pada kepentingan orang kaya/cabang atas dari masyarakat kita, bukan kepentingan rakyat banyak.

Karena eratnya hubungan antara kebijakan/tindakan pemerintah di bidang ekonomi dan pencapaian kesejahteraan, jelas bagi kita ajaran Islam memang belum dilaksanakan dengan tuntas oleh bangsa kita selama ini. Dikombinasikan dengan korupsi dan pungutan-pungutan liar yang ada maka secara keseluruhan dapat dikatakan telah terjadi penguasaan aset-aset kekayaan bangsa, dan dari penguasaan seperti itu dapatkah diharapkan akan tercapai kesejahteraan yang merata bagi bangsa kita? Jawaban atas pertanyaan ini, menunjukkan keharusan bagi kita untuk berani banting setir/kemudi dalam upaya mencapainya. Kalau tidak, berarti kita rela membiarkan sebagian besar bangsa kita hidup di bawah garis kemiskinan atau tidak jauh dari garis tersebut. Inginkah kita hal itu akan terjadi, manakala kita ingat tujuan mendirikan negeri ini?

Jelaslah bagi kita bahwa, pencapaian kesejahteraan yang merata bagi seluruh bangsa kita, merupakan amanat agama juga? Bukankah kita menjadi berdosa jika hal ini dilupakan dan kita tetap tidak melakukan perbaikan? Bukankah penjualan tanah dan aset-aset lain di pedesaan kita oleh rakyat kecil, sekedar untuk memperoleh makanan saja, pada saat tulisan ini dibuat, merupakan kejahatan agama yang tidak dapat dimaafkan?

Jawaban atas rangkaian pertanyaan di atas, membawa kita kepada keharusan menempuh kebijakan dan tindakan baru di bidang ekonomi: pengembangan ekonomi rakyat dalam bentuk memperluas dengan cepat inisiatif mendirikan dan mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Dalam hal ini, segenap sumber-sumber daya kita harus diarahkan kepada upaya tersebut, yang berarti pemerintah langsung memimpin tindakan itu. Ini tidak berarti kita menentang usaha besar dan raksasa, melainkan mereka harus berdiri sendiri tanpa pertolongan pemerintah dan tanpa memperoleh keistimewaan apapun. Selain itu, kita tetap berpegang pada persaingan bebas, efisiensi dan permodalan swasta dalam dan luar negeri. Jelaslah dari uraian di atas, upaya menegakkan ekonomi rakyat seperti itu tidak terlepas dari tujuan UUD 1945 atau ajaran Islam. Pencapaian kesejahteraan/maslahah menurut ajaran Islam dan pencapaian masyarakat adil dan makmur menurut UUD 1945 adalah sesuatu yang esensial bagi kita. Tanpa hal itu, apapun yang kita lakukan akan bertentangan dengan kedua-duanya. Cukup mudah dalam perumusan, tapi sangat sulit dalam pelaksanaan, untuk melakukan upaya banting setir/kemudi di bidang ekonomi, bukan?

Islam Dan Masalah Kecukupan

Kitab suci Al-qur’an berkali-kali menandaskan, bahwa masalah kecukupan adalah masalah yang kerapkali mengganggu hidup manusia. Dikatakan; "Telah membuat kalian lalai, upaya memperbanyak harta, hingga kalian masuk liang kubur" (al-hakum al-takatsur hatta zurtum al-maqabir), jelas dari ayat ini bahwa, upaya mengejar harta sebanyak mungkin dapat melupakannya dari Tuhan, apalagi bila si penderita adalah sesama manusia. Dengan demikian, melalui ayat di atas, Islam jelas sekali menentukan bahwa manusia harus bersama-sama dalam kehidupan, termasuk dalam mencari apa yang dinamakan "kecukupan" (affluence society), baik yang bersifat perorangan maupun keseluruhan masyarakat.

Dengan demikian, nyata bagi kita, kecukupan itu dalam pemikiran Islam ada batasnya, yaitu mencapai tingkat perolehan yang tinggi tanpa mencegah orang lain mencapai hal yang sama. Kesamaan hak ini perlu mendapat tekanan, karena dalam konsep kapitalisme klasik tidak pernah dipikirkan tentang gairah mencapai hal yang maksimal, dan senantiasa dilupakan bahwa ada manusia lain yang menjadi korban. Persaingan bebas tidak lagi mempedulikan siapa korban, toh manusia memang tidak bernasib sama. Negara berkewajiban menyediakan kompensasi bagi pihak yang kalah dalam bentuk kecukupan minimal yang disediakan bagi warga negara. Contoh yang paling umum terjadi dalam asuransi sosial yang memberikan kepada orang yang menganggur 80% pendapatan tertinggi semasa mereka masih bekerja. Asuransi sosial ini adalah jaminan sosial akan kebutuhan terendah seorang warga masyarakat, dan itulah yang menjadi tugas utama pemerintah, yakni; penyediaan jaminan sosial yang mencukupi kebutuhan standart akan kehidupan. Untuk tujuan politik, pemerintah menyediakan berbagai pelatihan kerja, guna memungkinkan para penganggur itu memperoleh lapangan pekerjaan baru yang tadinya tidak dapat mereka masuki.

Diharapkan dengan pembayaran pajak yang besar dari persaingan bebas, maka pemerintah akan mampu menanggulangi masalah pengangguran itu dengan menetapkan dasar kecukupan minimal bagi seorang warga negara di bawah garis minimal itu, kalau tercapai jumlah yang ditentukan itu, berarti pemerintah sudah melaksanaakan tugas. Jadi keseluruhan hidup manusia diukur dengan capaian minimal tersebut, dan selebihnya manusia dapat mengejar ketinggian maksimal dalam keenakan hidup secara material. Hal ini berarti, seluruh kehidupan diukur dengan ukuran capaian materialistik belaka. Maka, tidak mengherankan jika penerapan ukuran-ukuran pincang itu menghasilkan juga pola kehidupan yang pincang; masyarakat gay, masyarakat lesbi dan bahkan perkawinan antar sesama lelaki dan perempuan, hingga tak mengherankan jika dalam institusi perkawinan pun juga terjadi perkembangan yang sedemikian rupa. Di sini, sudah tentu ukuran-ukuran moral yang kita ikuti selama ini justru "mengganggu" lembaga-lembaga baru yang akan diwujudkan, seperti P4 (Panitia Penyelesaian perkawinan dan Perceraian).

Dan, sudah tentu pengembangan ukuran materialistik bagi warga negara harus diwujudkan guna pencapaian masyarakat yang sejahtera bagi para warganya. Tetapi, ini tidak meninggalkan ukuran-ukuran moral yang konvensional dalam kehidupan bermasyarakat. Tanggung jawab sosial para warga masyarakat tidak dapat digantikan negara demikian saja, seperti yang terjadi di Skandinavia, bahwa angka bunuh diri yang tinggi di dalamnya, menunjukkan besarnya rasa tidak puas atas tatanan spiritual yang dikembangkan. Sikap netral yang tidak memihak pada si lemah, membuat para warga negara gundah perasaannya. Di tengah-tengah kemakmuran serba benda tersebut, ternyata manusia tidak cukup dilayani dengan struktur materialistik belaka, melainkan juga membutuhkan institusi-institusi lain yang lebih mengarah kepada hal-hal spiritual dalam negara yang diperintah oleh kaum sosial demokrat. Aspek spiritual ini menjadi menonjol, dan mengambil bentuk munculnya nasionalisme sempit atau rasionalisme modal baru seperti yang terjadi di Eropa Barat, yang sering menyebut diri mereka memenangkan golongan konservatif.

Kehidupan di bawah tingkat kecukupan itu tidak menjadi perhatian benar bagi pemerintah, paling jauh hanya ditangani aspek psikologisnya saja. Yang bersifat materialistik contohnya adalah manusia lanjut usia (Manula). Dalam masyarakat kita, jumlah ini semakin lama semakin bertambah besar, karenanya di berbagai negara dibangunlah sejumlah rumah panti jompo bagi para warga negara yang mencapai usia manula. Mereka berkumpul di rumah-rumah jompo dan hidup bersama manula-manula lain. Negara tidak melihat hal yang aneh dalam keterpisahan (isolasi) antara sesama warga negara. Jadi, yang diperhatikan adalah aspek keterpisahan dari sudut psikologis, tanpa meninjau terlalu jauh keterikatan manula dari keluarganya.

Tentu, apa yang diterangkaan di atas dapat diperdebatkan, seperti jawaban atas pertanyaan adakah pengaruh seorang manula atas cucunya; bersifat positif ataukah negatif? Jawaban-jawaban atas pertanyaan seperti itu tentu saja menjadi penting untuk ditemukan rumusan-rumusannya yang definitif. Demikian pula, dapatkah jawaban-jawaban seperti itu menjadi sama bagi warga negara, ataukah hanya berkenaan dengan warga negara tertentu saja? Karena itu, diperlukan sejumlah lembaga yang dipimpin oleh para pakar dari berbagai bidang untuk memadu jawaban yang diperoleh, sehingga menjadi landasan bagi sejumlah kebijakan umum.

Dari hal-hal yang disebutkan di atas, menjadi jelas bagi kita, bahwa wawasan agama harus dapat digabungkan dengan pertimbangan-pertimbangan kepakaran yang lain. Karenanya, menjadi penting untuk memahami peranan agama dalam melihat masalahnya tidak hanya dari sudut agama belaka, melainkan secara menyeluruh dari berbagai bidang. Menjadi pertanyaan penting bagi kita, adakah Islam dapat menerima jawaban multi-fungsi dan multi-bidang seperti ini.

Jelaslah dari uraian di atas, bahwa aplikasi atau penerapan-penerapan ajaran agama, termasuk agama Islam, memang bersifat sangat sulit dan sangat kompleks dalam kehidupan nyata. Karenanya, kita harus bersikap hati-hati dalam masalah ini; kita tidak dapat berlepas-tangan dari aspek-aspek penyediaan jawaban dari sudut pandangan agama atau justru hanya mengandalkan diri.

Pendekatan ini menjadi sesuatu yang bersifat komprehensif, di mana berlawanan dengan lembaga yang lain dari pemerintah yang sama, guna memungkinkan jawaban-jawaban dalam hal ini. Penulis beranggapan faktor nilai (values) turut menentukan tindakan-tindakan manusia untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan nyata, sungguh rumit bukan?

Islam Dan Orientasi Bangsa

Yang paling banyak dilakukan orang adalah mengacaukan antara orientasi kehidupan sebuah bangsa dengan sebuah konsep, makanya sering ada kerancuan dengan menganggap adanya sebuah konsep negara dalam Islam. Atas dasar ini, orang pandai semacam Abul A’la Al-Maududi, menganggap ideologi sebagai sebuah kerangka-pandang Islam. Karena itulah, ia lalu menganggap tidak ada nasionalisme dalam Islam, karena Islam bersifat universal bagi seluruh umat manusia. Tentunya, ini berhadapan dengan kenyataan bahwa sangat besar jumlah kaum muslimin yang memeluk nasionalisme, seperti mendiang Bung Karno. Pertanyaannya, dapatlah mereka dianggap kurang Islam dibanding ulama besar tersebut?

Pendapat al-Maududi itu jelas membedakan antara mereka yang menerima universalitas Islam sebagai sebuah formalitas, dengan mereka yang tidak memiliki atau mempercayai formalitas seperti itu. Pendapat ini, antara lain disanggah oleh seorang peneliti dari Amerika Serikat (AS), Bill Cleveland, yang dalam disertasinya mengungkapkan bahwa teori universalitas pandangan Islam dari Shakib Arsalan (kakek Kamal Jumlad dari Lebanon, seorang pemimpin Druz), bersumber pada keanggotaannya dalam parlemen Ottomans (Ustmaniyyah) bagi landasan pandangannya mengenai universalitas dari ajaran formal Islam. Kalau ia tidak berpandangan demikian, ia harus ikut nasionalisme Arab, sebuah pandangan yang justru ditolaknya. Dengan demikian, universalitas dari pandangan formal Islam ia jadikan teori, karena ia ingin mempertahankan kedudukannya sebagai anggota parlemen Ottomans tersebut.

Baik karya-karya Al-Maududi maupun disertasi Cleveland di atas, menunjukkan dua pandangan yang saling bertentangan. Tapi, kedua pandangan itu menunjukkan bahwa pandangan Al-Maududi lebih dikenal di kalangan orang-orang Perancis sebagai golongan l’integrist, dan di dunia barat lain di kenal dengan sebutan Islamists, yang menganggap bahwa Islam harus diwujudkan secara keseluruhan, bukan secara parsial. Pandangan ini bermula dari ayat terakhir dalam ayat suci Al-qur’an: "hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian, agama kalian, dan Ku-sempurnakan bagi kalian pemberian nikmat-Ku, dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai agama kalian" (al-yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu alaikum nikmati wa radhitu lakum al-Islama diina). Menurut pandangan ini, Islam hanya akan tampak dan berarti kalau ia menjadi sebuah sistem, dan itu hanya berarti kalau dia ada secara formal. Maka, dari pikiran inilah lahir gagasan negara Islam.

Dengan demikian, Islam dapat dibagi menjadi dua bagian: Islam formal dan tidak formal. Dalam pandangan formal, ajaran Islam yang formal selalu menjadi aturan bernegara, dalam bentuk Undang-Undang. Ini hanya akan memberikan tempat bagi sebuah versi hukum belaka dengan versi lain yang berada di luar Undang-Undang (UU). Dengan demikian, yang benar adalah apa yang tertera dalam rumusan UU, sedangkan yang tidak tercantum di dalamnya tentu saja jangan dipakai. Ini sudah tentu berbeda dari pandangan umum madzhab fiqh (Islamic law school). Dalam pandangan mereka, orang dapat saja berbeda pandangan dan rumusan aturan, tergantung dari pilihan masing-masing. Adagium terkenal dalam hal ini adalah: "perbedaan pandangan di kalangan para Imam adalah rahmat bagi umat" (ikhtilaf al-aimmah rahmat al-ummah). Bahkan, pandangan ini memperkenankan perubahan-perubahan rumusan hukum agama dari waktu ke waktu.

Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1989 di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, merumuskan kebolehan itu dengan kata-kata: rumusan hukum agama sangat tergantung kepada prinsip-prinsip yang digunakan. Jelaslah, perubahan rumusan hukum agama itu menjadi diperkenankan, karena adanya kebutuhan. Salah satu kaidah fiqh berbunyi: "kebutuhan dapat saja dianggap sebagai keadaan darurat" (al-hajatu tanzilu manzila al-dharurah). Prinsip ini memperkenankan perubahan rumusan hukum agama jika memang ada kebutuhan nyata untuk itu.

Karena hukum agama dalam sebuah negara Islam adalah keputusan-keputusan hukum yang diwujudkan secara formal, hingga dengan sendirinya asas pluralitas tidak dapat dilaksanakan, dan yang ada adalah UU formal. Dan, sistem formal agama lalu menjadi lahan tawar-menawar. Karena itu, banyak pihak yang berpendapat bahwa, ajaran formal Islam selalu bersifat kaku dan tidak mampu menampung perkembangan-perkembangan baru yang terjadi. Contohnya adalah sikap para penguasa Saudi Arabia yang telah membongkar tanah pusara Sayyid Ali ‘Uraidhi, di Madinah, untuk mencegah terjadinya penyembahan berhala yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bagi ratusan juta orang kaum tradisionalis muslim, yang seringkali disebut orang kolot, sikap seperti itu berarti justru membuat Islam tidak bergerak sesuai dengan perkembangan zaman. Islam akan mengalami kebekuan, yang sering di sebut dengan istilah al-jumud.

Kasus Sayyid ‘Uraidhi di atas, putra ketiga Ja’far Shaddieq setelah Isma’il (diabadikan dalam nama kelompok Syi’ah Isma’iliyyah) dan Musa al-Kadzim (perintis Syi’ah Istna ‘Asyariyah yang memerintah Iran dan menjadi kelompok mayoritas di Irak saat ini), menunjukkan betapa besar para pengikut beliau di seluruh dunia. Katakanlah para kelompok Sunni tradisionalis, perasaan mereka dianggap sepele saja oleh pemerintah Saudi Arabia. Sikap formal yang diikuti Syeikh M. Abdul Wahab (diabadikan dalam istilah-salah, Wahabisme) membuat pemerintah Saudi Arabia menjadi formalis, merusak/menghancurkan makam beliau di ‘Uraidhah, dekat Madinah, beberapa waktu yang lalu. Pemerintah Saudi Arabia yang -konon, katanya "melembut", ternyata tetap tidak demikian, karena permintaan kaum formalis di lingkungan kerajaan tersebut.

Kejadian di atas, yang katanya ber-Undang-Undang Dasar kitab suci Al-qur’an dengan 6666 ayatnya, menunjuk dengan jelas kenyataan bahwa formalisme di negeri itu justru memacu konservativisme di kalangan para ulamanya. Kalau hal ini tidak mereka perbaiki dalam waktu dekat ini, maka di kalangan kaum muslimin di seluruh dunia akan terjadi pertentangan sangat dahsyat, yang belum pernah terjadi selama ini. Keputusan Raja Saudi pertama, Abdul Aziz, di tahun 1924, untuk mengijinkan kaum muslimin melakukan ibadah haji menurut keyakinan masing-masing telah membuat Saudi Arabia bisa diterima semua kalangan Dunia Islam. Keputusan membongkar kuburan Sayyid ‘Uraidhi adalah sesuatu yang justru berkebalikan dari keluasan pandangan di atas.

Pegangan golongan formalis dalam Islam adalah ayat: "masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan" (udkhulu fi al-silmi kaffah)yang berarti kalau anda menyerah kepada Tuhan, lakukan hal itu secara sungguh-sungguh dan tak tanggung-tanggung. Toleransi kita diminta oleh kitab suci yang kita yakini, bahwa Islam adalah pelindung bagi semua orang, termasuk kaum non-muslim. Ini bersesuaian dengan ayat lain yang berbunyi: "tiadalah Ku-utus engkau kecuali sebagai penyambung tali persaudaraan dengan sesama umat manusia" (wa ma arsalnaaka illa rahmatan li al-‘alamin), dengan kata terakhir ini diartikan para ahli tafsir memiliki pengertian umat manusia belaka dan bukan semua makhluk yang ada di dunia ini. Para formalis mengartikan kata "al-silmi" di sini, dengan arti Islam sebagai sistem, katakanlah sistem Islami. Namun, penafsiran ini hanya memperoleh pengikut yang sedikit, sedangkan mayoritas kaum muslimin (terutama para ulama), memegang arti Islam sebagai pengayom, sebagaimana penulis kemukakan di atas. Indah, pengertian tentang Islam sebagai pelindung itu, bukan?

Islam Dan Teori Pembangunan Nasional

Nabi Muhammad saw bersabda: “setiap kalian adalah penggembala, dan seorang penggembala akan ditanya tentang gembalaannya” (kullukum ra’in wa kullu ra’in mas’ulun ‘an ra’iyyatihi), dan ini merupakan landasan moral bagi setiap warga negara untuk mempertanyakan orientasi dan teori pembangunan nasional yang dipakai di negaranya. Sejauh ini, yang diajukan selalu hanya orientasi pembangunan yang elitis dan teori pembangunan nasional yang sekuler. Sangat sedikit perhatian diberikan pada orientasi pembangunan dan teori pembangunan nasional yang diambil dari ajaran agama. Padahal, banyak sekali aspek-aspek spiritual yang dapat dijadikan landasan bagi teori pembangunan nasional yang lebih menyeluruh dan orientasi pembangunan yang memiliki sisi keagamaan sangat kuat.

Akibat yang sangat terasa bagi kita dewasa ini adalah orientasi pembangunan kita yang serba elitis dan hanya mementingkan kaum kaya dan cabang atas dari masyarakat kita, sedangkan banyak sekali para orang kaya -yang di kemudian hari menjadi konglomerat hitam, dengan membawa lari modal pinjaman mereka ke luar negeri. Ini adalah akibat langsung dari orientasi pembangunan yang serba elitis tadi, yang bertumpu pada ekspor produk-produk ke luar negeri, dan sama sekali tidak memberikan perhatian pada pembentukan modal secara besar-besaran kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM), minimal dengan pemberian kredit murah bagi mereka, serta pemberian kemudahan-kemudahan dan fasilitas-fasilitas lain. Akibatnya, adalah krisis ekonomi dan keuangan yang berkepanjangan di negeri kita, hingga dewasa ini.

Untuk meredam suara protes yang mencari sebab-muabab kedua krisis ini, dikemukakanlah acuan-acuan seperti persaingan, perniagaan internasional yang bebas dan keharusan berefisiensi. Padahal ketiga patokan itu berarti persyaratan yang harus dipenuhi, jika diinginkan gerak perekonomian yang sehat bagi sebuah negara. Orientasi memajukan gerak ekonomi, baik yang bersifat elitis seperti memajukan konglomerasi, maupun yang profesional dengan bersandar pada pertumbuhan UKM yang kuat, mengharuskan adanya kompetisi yang ketat, penghormatan kepada tata niaga internasional dan kemampuan efisiensi yang tinggi.

Ukuran tunggal yang digunakan dalam menilai majunya perekonomian, memang berbeda dari teori pembangunan nasional yang sekuler dari teori pembangunan nasional yang lebih lengkap (baik aspek spiritual keagamaan maupun aspek-aspek lainnya). Teori pembangunan nasional yang sekuler selalu bermula dari tinggi rendahnya pendapatan nasional sebuah bangsa, dengan menggunakan berbagai pertimbangan kwantitatif. Sedangkan teori pembangunan nasional yang bersumber pada agama, senantiasa bermula dari tanggungjawab menciptakan masyarakat yang adil dan makmur (menurut bahasa UUD 1945), sedangkan menurut ajaran agama Islam dinamai kesejahteraan. Perbedaan titik tolak dalam memandang hasil pembangunan nasional ini, tidak dapat dihindarkan, karena memang cara melihat masalahnya pun berbeda. Dari sudut pandangan spiritual keagamaan, yang dinilai adalah capaian individu warga masayarakat, sedangkan bagi teori pembangunan nasional yang sekuler, yang dipentingkan adalah sudut pandang makro masyarakat secara keseluruhan. Tentu saja cara pandangnya pun berbeda satu dari yang lain, karena perbedaan titik tolak tersebut.
Dari perbedaan teori yang digunakan, yang akhirnya perbedaan dalam cara memandang pembangunan nasional, jelas bahwa kita harus memilih antara teori pembangunan nasional yang sekuler dan teori pembangunan yang lebih menyeluruh. Tentu saja pilihan orang seperti penulis lalu jatuh pada teori pembangunan nasional yang lebih berorientasi spiritual/keagamaan. Karena, di samping ukuran-ukuran kwantitatif seperti penghasilan nasional, capaian umur rata-rata warga negara -baik pria dan wanita serta pemilikan rata-rata perorangan tiap penduduk sebuah negara terhadap mobil, rumah, telepon dan sebagainya, juga digunakan ukuran non-materiil seperti keadilan, HAM, dan kemakmuran kolektif. Jadi, ukuran yang digunakan tidak hanya satu corak saja, tapi memiliki perbedaan dari satu ke lain bidang.

Ini menjadi sesuatu yang penting, karena dengan ukuran-ukuran kwantitatif akan tetap terdapat disparitas yang tinggi dalam kehidupan di berbagai sektor, seperti perniagaan, pertukangan dan sebagainya. Justru di negara-negara berkembang, disparitas itu terasa sangat tinggi. Sedangkan di negara-negara bertehnolog maju hal itu kurang terasa. Kecenderungan masyarakat di Jepang, misalnya, yang membatasi perbedaan pendapatan tertinggi sekitar 20 kali lipat pendapatan terendah, membuat masyarakat tidak terlalu dilanda kecemburuan sosial yang besar. Dengan ungkapan lain, kapitalisme di negara-negara bertehnologi maju telah membentuk susunan masyarakat yang lebih-kurang tingkatan-tingkatannya, sesuatu yang belum ada pengaturannya di negara-negara yang sedang berkembang.

Dengan demikian, slogan-motto-semboyan yang digunakan dalam pembangunan nasional-pun juga berbeda. Perbedaan ini harus dicari sumber-sumbernya dalam teori pembangunan nasional yang digunakan. Inilah yang membuat penulis membedakan teori pembangunan nasional yang sekuler dari teori yang juga memasukkan dalam dirinya aspek-aspek spiritual-keagamaan. Pencarian orientasi lebih lengkap ini dilakukan penulis, karena ia melihat ketimpangan-ketimpangan dalam orientasi pembangunan yang sedang berjalan, yang memanjakan golongan atas dan pengusaha kaya belaka.

Perhatian kurang sekali diberikan, kepada teori pembangunan nasional yang lebih lengkap, yang memunculkan orientasi kesejahteraan bersama seluruh warga negara, di samping ukuran kwantitatif yang lazim digunakan. Krisis ekonomi finansial yang melanda kehidupan bangsa kita dewasa ini, jelas diakibatkan oleh orientasi pembangunan nasional yang terlalu elitis., dan mengabaikan ukuran-ukuran seperti kesejahteraan bersama, keadilan sosial, penegakan hukum dan pelaksanaan hak-hak asasi manusia. Dicoba untuk mengemukakan ukuran kesejahteraan seluruh bangsa, keadilan sosial dan sebagainya dalam mengukur keberhasilan pembangunan nasional.

Jelaslah dengan demikian, bahwa ukuran mikro dan makro yang benar harus sama-sama digunakan dalam mengukur capaian pembangunan nasional kita. Ini berarti perubahan besar dalam cara memandang strategi pembangunan nasional yang digunakan. Di samping optimasi persaingan, penerimaan tulus terhadap tata niaga internasional dan penghargaaan rasional kepada efisiensi (yang lebih bersifat ukuran-ukuran mikro), digunakan juga orientasi yang benar akan keadilan sosial, kedaulatan hukum dan HAM. Dengan kata lain, di samping ukuran-ukuran kwantitatif yang bersifat mikro, digunakan juga ukuran-ukuran kwalitatif dalam arti orientasi pada keadilan, kedaulatan hukum dan kepentingan rakyat banyak sebagai hal-hal makro yang juga harus diperhatikan. Jelas, bukan?

Islam: Kisah Sebuah Ayat

Dalam kitab suci Al-qur’an, sebuah ayat menyatakan: “pungutan fai’ oleh Allah Swt dari kaum non-muslimin, diperuntukkan bagi Allah Swt, Utusan-Nya, sanak keluarga dekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan pejalan di jalan Allah, agar supaya tidak beredar di kalangan orang kaya di lingkungan kalian” (maa afa’ Allahu min ahli al-qurra fa lillahi wa lirasuulihi wa dzawi al-qurba wa al-masaakina wa ibni sabiil kaila yakuuna dulatan baina al-aghniyaa’I minkum). Fai’ adalah pungutan bagi kalangan non-muslim ketika Nabi Saw meng-islamkan sebuah daerah di sekitar Madinah, sebagai pungutan Allah atas mereka, sedangkan kaum muslimin membayar zakat. Sementara pengertian “bagi Allah” menunjuk kepada kepentingan fisik agama Islam, seperti tempat ibadat dan gedung-gedung tempat pendidikan. Sedangkan kata “dulatan”, dalam bentuk lain “daulah” oleh para penulis masa kini sering diartikan negara.

Jelas sekali dari uraian di atas, bahwa yang dibicarakan oleh ayat tersebut adalah kegiatan ekonomi, yaitu; pungutan atas kaum non-muslimin, santunan kepada anak yatim-piyatu, penyediaan modal bagi sanak keluarga dan santunan bagi kaum miskin dan ibnu sabil (pejalan yang beribadat bagi kepentingan Allah). Di sini, jelas sama sekali tidak disinggung tentang peranan negara dalam ayat tersebut, sedangkan kata “daulah” digunakan pada peredaran asset dan penggunaannya di luar negara.

Dengan kata lain, yang dibicarakan bukan bentuk negara dan wujud pemerintahan, melainkan fungsi kepemimpinan yang harus memiliki orientasi yang tepat. Ini berarti, fungsi kepemimpinan sekarang yang diemban oleh negara harus diarahkan pada penggunaan aset-aset nasional bagi kepentingan rakyat banyak, bukannya kepentingan para pemilik modal saja. Dengan ungkapan lain, orientasi ekonomi nasional harus diarahkan kepada kepentingan rakyat banyak (sozial wissen schaft, kalau meminjam istilah mantan Konselir Jerman Barat, Ludwiq Erhard).

Ini berarti, orientasi ekonomi kita selama ini berjalan salah arah. Segenap kebijakan pemerintah, Undang-undang maupun peraturan-peraturan nasional kita, sejak kemerdekaan berjalan salah, kalau dilihat dari pandangan Islam. yang diperhatikan adalah kalangan terdidik dan berpunya (the haves), yang belakangan menjadi pemilik modal yang sangat kuat (kaum konglomerat). Ini dapat dilihat dengan jelas dari dua hal yaitu; keengganan pemerintah untuk menaikkan pendapatan rakyat secara drastis dan cepat, termasuk pegawai negeri sipil dan anggota-anggota TNI maupun POLRI.

Dalam hal lain, pemerintah terlalu menekankan kenaikan ekspor nasional yang berarti, lagi-lagi justru memperbesar keuntungan pihak para eksportir dan membentuk modal semakin besar bagi para konglomerat. Tak heran, jika pendapatan para warga masyarakat umum tetap kecil saja dari tahun ke tahun, dan dengan demikian kemampuan daya beli (purchacing power) mereka juga tetap rendah saja. Tidak mengherankan, jika lalu pasaran dalam negeri (domistic markets) tidak dapat membesar, walaupun kita berpenduduk 200 juta orang lebih. Perlombaan antara peningkatan pendapatan dan peningkatan daya beli menjadai tidak terwujud, hingga ekonomi nasional kita tetap saja lemah -semenjak kemerdekaan kita rebut lebih dari setengah abad yang lalu.

Menjadi nyata bagi kita, bahwa selama ini orientasi pengembanggan ekonomi nasional kita boleh dikata salah arah, karena kesadaran nasional kita tidak merasa berkepentingan dengan bidang ekonomi. Dalam arti, kita tidak pernah berani menguji orientasi ekonomi nasional kita. Maka, tidaklah mengherankan jika keadaan kita dari dahulu tetap begini-begini saja tanpa ada kemajuan yang berarti. Kecilnya anggaran belanja yang kita sediakan untuk pendidikan nasional, umpama saja, telah menunjukkan hal itu dengan nyata. Ia merupakan sebab dan sekaligus akibat bagi taraf pendidikan nasional kita yang lemah.

Jelaslah bagi kita, betapa besar arti orientasi pemerintahan bagi kehidupan sebuah bangsa. Namun kita tidak pernah memperhatikan hal itu, karena kita lebih mementingkan hal-hal konseptual yang terkadang tidak pernah ada dalam kehidupan nyata. Itupun dilakukan hanya menyangkut hal-hal yang bersifat klasik belaka, yaitu terkait dengan hal-hal ideal dan tidak berhubungan dengan praktek kehidupan sebagai bangsa. Hal itu terjadi, karena kita memang terkungkung dalam pertentangan antara kaum elitis dan kaum populis. Kedua-duanya lebih mementingkan aspek ideal dari kehidupan, tanpa mau tahu dengan hal-hal yang bersifat praktis.

Hal itu semakin menjadi nyata, jika ditilik dari kehidupan kita sebagai bangsa, yang dirongrong oleh korupsi maupun adanya pungutan-pungutan liar. Kita tidak pernah sungguh-sungguh dalam memberantas kedua hal tersebut, dan dengan begitu kita tetap membiarkan ekonomi nasional kita menjadi sesuatu yang berbiaya tinggi (high cost economy). Digabungkan dengan orientasi ekonomi yang salah dan lemahnya kedaulatan hukum, membuat kita tidak mampu mewujudkan impian-impian praktis yang muncul selama ini. Kombinasi antara ekonomi biaya tinggi dan rendahnya pendapatan perorangan maupun rendahnya daya beli, digabungkan dengan kenaikan jumlah penduduk yang sangat besar tiap tahun (antara 3-4 juta jiwa per tahun), membuat kehidupan kita sebagai bangsa menjadi sangat terbelakang. Untunglah kita masih mempunyai sumber daya alam yang luar biasa, baik berupa kekayaan laut, hutan dan kekayaan tambang yang banyak jumlahnya. Karena itulah, kita masih dapat menaikkan tarap hidup sebagai bangsa, walaupun sangat perlahan dan berjalan sangat lambat.

Dengan demikian, menjadi jelaslah, bahwa sebagai bangsa kita harus lebih mementingkan orientasi ekonomi dari pada konsep-konsep ideal mengenai negara kita. Kita dapat saja mengembangkan paham negara kesatuan dalam sistem pemerintahan federal yang tidak bersifat unitaris. Melalui pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan dalam ayat suci Al-qur’an di atas, kita diingatkan untuk lebih mempersoalkan masalah orientasi kehidupan bangsa, dan bukan masalah konseptual seperti bentuk negara. Bukankah demikian?

Islam, Moralitas Dan Ekonomi

Sejumlah ahli ekonomi berpendapat bahwa ada kaitan langsung antara Islam dan ekonomi. Dengan demikian, ada yang dinamakan ekonomi Islam, yaitu Islam memuat ajaran-ajaran ekonomi yang harus diterapkan oleh masyarakat kaum muslimin. Pengakuan ini sangatlah menarik, karena kita sudah lama melihat bahwa ekonomi hanyalah bersifat empirik saja, sedangkan agama memiliki nuansa spiritual yang sangat kuat. Jadi, ada sebuah pertanyaan yang sangat menarik, adakah ekonomi Islam?

Pada tahun-tahun 70-an dan 80-an, sejumlah ekonom mengajukan pendapat, bahwa sebuah ekonomi dapatlah dinamakan ekonomi Islam, kalau mengikuti ketentuan-ketentuan agama Islam mengenai riba, eksistensi bank dan penolakan terhadap asuransi. Menurut pendapat ini, sistem perbankan tidak diperkenankan menggunakan bunga Bank (bank interest), sedangkan ketentuan-ketentuan yang lazim dalam asuransi sama saja dengan permainan judi, yang diharamkan oleh Islam. Dengan demikian, pemberian atau pengambilan bunga bank dan penerimaan asuransi berarti penyimpangan dari hukum Islam. Ekonomi yang menggunakan kedua-duanya sama saja dengan ekonomi yang menolak ajaran Islam.

Dalam tahun-tahun 70-an, muncul juga pendapat orang-orang seperti Prof. Dr. Mubyarto dari Universitas Gajah Mada (UGM), yang mengemukakan pendapat tentang ekonomi Pancasila. Menurut pendapat beliau, ekonomi Pancasila harus terkait langsung dengan ekonomi orang kecil, dan bertumpu pada moralitas. Pendapat ini identik dengan anggaran dasar dari ekonomi Islam, minus soal bunga bank dan asuransi. Karenannya, pembahasan tentang ekonomi Islam dengan segera lalu terhenti, karena orang lalu berdiskusi tentang ekonomi Pancasila. Dalam pada itu, ekonomi yang empirik dan bebas nilai, seperti yang dibawakan kaum tehnokrat, tetap dilaksanakan dan berkembang pesat.

Sekarang ini, terasa adanya keperluan untuk membahas ada tidaknya ekonomi Islam. Pertama, karena adanya sejumlah program yang menggunakan nama syari’ah, seperti bank syari’ah yang ada di lingkungan sebuah bank besar milik negara (BUMN). Begitu juga ada beberapa upaya percobaan untuk menerapkan asuransi menurut ajaran Islam –yang dikenal dengan nama takaful. Kedua, karena dalam waktu lima belas tahun terakhir, ekonomi kita benar-benar bersifat empirik dan tidak menggunakan acuan moral sama sekali. Ini berarti, telah terbangunnya ekonomi yang benar-benar kapitalistik dan berazas saiapa yang kuat dan cerdik, dialah yang menguasai segala-galanya.

Bahkan, begitu kuatnya watak kapitalistik dalam ekonomi kita waktu itu, hingga seorang bankir dan pendiri jaringan sebuah bank raksasa di negeri ini, senantiasa mengucapkan “puji Tuhan” setiap kali akan menipu orang. Jadi agama diredusir hanya menjadi keimanan dan keyakinan belaka, sedangkan dimensi sosial dijauhkan dari agama dalam pengertian tersebut. Benarkah dengan sistem ekonomi harus membuang jauh-jauh pertimbangan moral sama sekali? Di sisi lain, sebuah sistem ekonomi yang hanya bertumpu pada acuan moral saja dapatkah dinamai sebuah sistem ekonomi. Kalau jawabannya positif, berarti ekonomi Islam ada; dan kalau jawabannya negatif, berarti tidak ada ekonomi Islam. Justru dalam menentukan jawaban atas kedua pertanyaan di atas, terletak wujud atau tidak terwujudnya ekonomi Islam.

Yusuf Qardhawi mengemukakan, bahwa tidak dapat begitu saja bunga bank dianggap sebagai riba, tergantung pada besar-kecil dan maksud pemungutan bunga bank tersebut. Menurut pendapatnya, jika bunga bank dipungut dari upaya non-produktif –katakanlah bersifat konsumtif belaka, maka ia dapat dikatakan riba. Kalau bunga bank itu merupakan bagian dari sebuah upaya produktif maka bunga bank yang digunakan atas transaksi itu bukanlah riba, melainkan bagian dari ongkos produksi saja.

Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa ada tiga hal yang sangat penting yang tidak boleh dilupakan sama sekali. Pertama, orientasi ekonomi itu sendiri, yang harus memperjuangkan nasib rakyat kecil serta kepentingan orang banyak. Ini sesuai dengan ketentuan agama Islam bahwa tindakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin harus terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin. Istilah yang digunakan dalam bahasa Arab oleh teori hukum Islam (ushul fiqh) adalah maslahah, diterjemahkan oleh penulis dengan istilah kesejahteraan. Dan, dalam bahasa Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, masyarakat sejahtera dirumuskan sebagai masyarakat adil dan makmur, hingga orientasi kepentingan dan kesejahteraan warga masyarakat itu, yang dikandung oleh Islam dalam hal perekonomian, sepenuhnya sesuai dengan UUD 1945.

Kedua, mekanisme yang digunakan untuk mencapai kesejahteraan itu, tidak ditentukan format dan bentuknya. Dengan demikian, acuan persaingan-perdagangan bebas dan efisiensi yang dibawakan oleh kapitalisme, tidaklah bertentangan dengan pandangan ekonomi yang dibawakan Islam. Bahkan Islam menganjurkan adanya sikap fa istabiqu al-khairat (berlombalah dalam kebaikan), yang menjadi inti dalam praktek ekonomi yang sehat. Dengan persaingan dan perlombaan, akan terjadi efisiensi yang semakin meningkat. Namun, pemerintah sebagai penguasa harus memberikan perlindungan kepada yang lemah tanpa melakukan intervensi dalam perdagangan. Ini adalah prinsip yang harus dipegang teguh dalam menentukan kebijakan ekonomi, hingga negara-negara yang bertehnologi maju-pun melindungi para penganggur yang tidak memperoleh pekerjaan sampai 3% dari jumlah keseluruhan kaum pekerja.

Dari orientasi dan mekanisme pasar seperti itu, jelas bahwa tidak ada satupun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sedangkan masalah bunga bank dan pelaksanaan asuransi sebagai unit parsial dalam kehidupan ekonomi, dapat saja dirumuskan suatu yang benar-benar sesuai dengan ajaran Islam, dengan predikat bank Islam/bank syari’ah maupun takaful/asuransi Islam. Pendekatan parsial yang memakai kata Islam sebagai pengenal, tanpa menyebut ekonomi secara keseluruhan sebagai “ekonomi Islam” dapat saja dilakukan tanpa kehilangan Islamisitas kita sendiri. What’s in a name, ungkap dramawan dunia William Shakespeare. Karenanya, dapat saja kita melihat pelaksanaan prinsip-prinsip Islam dalam orientasi dan mekanisme ekonomi kapitalistik tanpa memeluk kapitalisme itu sendiri. Orientasi kapitalistik itu dibedakan dari orientasi yang diuraikan di atas, yaitu dalam orientasi kapitalistik yang diutamakan adalah individu pengusaha besar dan pemilik modal. Dalam Islam, justru kepentingan rakyat-kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan yang menjadi ukuran. Jelas, bukan?

Islam, Negara Dan Rasa Keadilan

Dalam dua sumber tekstual kitab suci Al-qur’an mengenai keadilan, tampak terlihat dengan jelas bagaimana keadilan dapat ditegakkan, baik dari masalah prinsip hingga prosedurnya. Dari sudut gagasan, umpamanya, kitab suci Al-qur’an menyatakan; "wahai orang-orang yang beriman, tegakkan keadilan dan jadilah saksi-saksi bagi Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri" (Yaa ayyuha al-ladzina aamanuu kuunu qawwamiina bi al-qisthi syuhadaa’a li Allahi walau ‘ala anfusikum). Dari ayat ini tampak jelas bahwa, rasa keadilan menjadi titik sentral dalam Islam.

Sedangkan dari sudut prosedur, kitab suci Al-qur’an menyatakan; "jika kalian saling berhutang, maka hendaknya kalian gunakan tanda-tanda tertulis" (idza tadayyantum fa’ukatibuhu). Dalam hal ini, rasa keadilan harus ditegakkan dengan bukti tertulis, sehingga tidak dapat dipungkiri oleh orang banyak. Secara prosedural, hal ini juga dijalankan dalam masyarakat bertehnologi maju, sehingga kesan yang ada selama ini menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sangat tertinggal dapat dihilangkan.

Demikian pula, seorang hakim tidak dapat lepas dari tuntutan keadilan ini, seperti yang dikemukakan oleh sebuah hadits; "jika seorang hakim ragu-ragu tentang kesalahan seorang terdakwa, maka ia tidak boleh menjatuhkan hukuman mati, sebab ditakutkan ia dapat berbuat kesalahan." Jadi, aspek-aspek keadilan itu bersifat menyeluruh, meliputi prinsip, prosedur dan pelaksanaannya.

Apa yang dikemukakan di atas, adalah aspek-aspek yang terkandung dalam masalah mikro. Dalam banyak hal, keadilan mikro itu seluruhnya tergantung dari bangunan mikro sistem kemasyarakatan yang ditegakkan. Dalam hal ini, prinsip keadilan juga dapat dilihat secara makro dalam Islam. Banyak ungkapan dari sumber-sumber tertulis yang memungkinkan adanya penafsiran makro yang berdasarkan rasa keadilan bagi umat manusia. Ungkapan dalam hadits; "tangan yang memberi lebih baik dari pada tangan yang menerima" (al- yadu al u’lya khairun min al yadi al sufya), jelas menunjukkan adanya keharusan dipeliharanya keadilan dalam hubungan antara negara kreditor kepada debitur. Sayangnya, hal ini justru tidak terdapat dalam tata ekonomi modern kita di seluruh dunia saat ini.

Pengertian makro, juga tampak dalam keharusan bagi para pemimpin negara/masyarakat untuk menunaikan tugas membawa kesejahteraan. Ushul Fiqh menyatakan; "langkah dan kebijakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin, terkait langsung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin" (tasyarraful al-Imam a’la al ra’iyyah manuutun bi al-maslahah). Artinya, kesejahteraan masyarakat itu tidak akan dapat tercapai, jika wawasan keadilan tidak tercermin dalam kesejahteraan seluruh warga masyarakat, melainkan hanya untuk sebagian saja.

Demikian menjadi jelas, bahwa Islam menghendaki kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat dan hal itu tidak akan tercapai tanpa keadilan yang terwujud secara kongkrit. Ini sangat penting untuk diperhatikan karena kebanyakan di negeri-negeri muslim, seorang penguasa selalu menikmati kekayaan berlimpah, sementara kaum miskin tidak punya apa-apa. Akhirnya, kehidupan mereka seperti terombang-ambing di tengah banyaknya produk-produk murah yang dijagokan oleh para pemilik modal yang berjumlah sangat kecil. Ketimpangan situasi seperti itu, dalam kehidupan modern -secara internasional dewasa ini, menunjukkan bahwa Islam tidak menyetujui kapitalisme klasik yang didasarkan pada prinsip persaingan bebas (laises faire) dalam pergaulan internasional saat ini.

Karena itu, orientasi pembangunan negara untuk kepentingan warga masyarakat kebanyakan, haruslah diutamakan dan bukannya pengembangan sumber daya manusia yang tinggi maupun penguasaan teknis yang memadai bagi modernisasi masyarakat kaum muslimin. Dengan kata lain, bukan modernitas yang dikejar melainkan terpenuhinya rasa keadilan dalam kehidupan bermasyarakat yang harus dicapai. Kehidupan modern yang penuh kenikamtan bagi sekelompok orang bukanlah sesuatu yang dituju Islam, melainkan masyarakat sejahtera bagi seluruh penduduk. Ini adalah sebuah prinsip yang sangat menentukan bagi kehidupan sebuah masyarakat.

Dalam pengertian ini, asas keseimbangan mengharuskan kita mencari sebuah tuntunan masyarakat yang benar-benar memperhatikan kesejahteraan orang kebanyakan tanpa mengekang kelompok industrialis maupun pemilik modal untuk berkembang. Di sinilah terletak kemampuan kita untuk menemukan sebuah sistem yang akan menjamin untuk batas waktu tertentu antara kepentingan rakyat kebanyakan dan kepentingan kelompok industrialis pemilik modal. Dalam hal ini, sebenarnya telah banyak dicoba untuk menemukan sistem yang demikian itu, namun semuanya gagal apabila hanya mengandalkan kepada idiologi-idiologi yang ada. Sistem kapitalisme, sosialisme maupun komunisme, misalnya, telah gagal dalam upaya itu. Hanya kalau ada modifikasi atas idiologi yang dianut, seperti Folks Kapitalismus, yang mencoba untuk membuat koreksi atas kapitalisme klasik yang hanya mementingkan persaingan bebas, karena itu tidak menganggap penting arti rakyat kebanyakan.

Seringkali, koreksi-koreksi itu dilakukan dengan mencampuradukkan beberapa idiologi di dalam sebuah wawasan yang sangat umum. Folks kapitalismus atau kapitalisme rakyat mengambil semangat egalitarian dari sosialisme, sedangkan birokrasi komunisme sekarang banyak mengambil dari kapitalisme klasik, paling tidak mengenai cara-cara berkompetisi. Di sini, Islam-pun juga pernah harus melakukan hal yang sama yaitu berani mengambil cara-cara semangat idiologi-idiologi lain. Belasan tahun yang lalu, ada gagasan tentang "sosialisme Islam", yang walaupun gagal berkembang namun tetap saja harus dihargai sebagai upaya dinamisasi agama tersebut. Begitu juga, pengertian-pengertian dasar kita harus mengalami perubahan. Dahulu, pengangguran berarti tiadanya pekerjaan bagi para warga negara, sekarang orang yang tidak bekerja dalam jumlah di bawah 3 % dianggap sudah bekerja dan jumlah tersebut tidak dinamai penganggur.

Dengan arti perubahan tersebut, maka pemahaman kita mengenai hubungan antara negara dan warganya juga bersifat dinamis. Jika negara mampu mewujudkan kemakmuran warganya pada taraf tertentu, maka hal itu sudah dianggap menunaikan kewajiban menciptakan kesejahteraan, karena negara mampu melindungi para warganya dengan menjamin taraf kehidupan pada titik tertentu, misalnya melalui asuransi sosial. Ini berarti penciptaan kemakmuran dan keadilan yang, kedua-duanya dijadikan tujuan UUD 1945 sudah ditunaikan dengan baik, meski ada sejumlah warga negara di bawah 3 % angkatan kerja yang sedang menganggur. Nah, kalau ini yang dituju oleh sebuah masyarakat Islam, untuk ini berarti pula Islam telah berhasil menyejahterakan warga negara tanpa menjadi sebuah sistem formal. Sangat komplek memang, tapi cukup berharga untuk direnungkan, bukan?

Islam-ku, Islam Anda, dan Islam Kita

Dalam membaca kembali makalah-makalah yang dikirimkan kepada sejumlah penerbitan, disampaikan dalam sekian buah seminar dan dipaparkan dalam sekian buah diskusi, penulis mendapati pandangan-pandangannya sendiri tentang Islam yang tengah mengalami perubahan-perubahan besar. Semula, penulis mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemikiran barat, seiring dengan kesediaan penulis turut serta dalam gerakan Ikhwanul Muslimun di Jombang, dalam tahun-tahun 50-an. Kemudian, penulis mempelajari dengan mendalam nasionalisme Arab di Mesir pada tahun-tahun 60-an, dan sosialisme Arab (al-isytirakiyyah al-‘arabiyyah) di Baghdad. Sekembali di tanah air, di tahun-tahun 70-an, penulis melihat Islam sebagai jalan hidup (syari’ah) yang saling belajar dan saling mengambil berbagai idiologi non-agama, serta berbagai pandangan dari agama-agama lain.

Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal sekaligus; di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesamaan pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengembaraan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu lalu berakhir pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada orang lain pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikiran sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain.

Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai Islam-ku, hingga karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa memiliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.

Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya sebagai satu-satunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiritual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika hal-hal irrasional itu benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata.

Tradisionalisme agama, pada umumnya, mengambil pola ini dan hal itulah yang dimaksudkan oleh George Mc. Luhan dengan istilah happening. Ini bisa lihat, misalnya, dalam setiap tahun para pemain rebana selalu memperagakan kebolehan mereka di arena Masjid Raya Pasuruan, tanpa ada yang mengundang. Kebanyakan mereka datang mengendarai truk ke kota tersebut dengan mengenakan seragam masing-masing, yang dibeli dari hasil keringat sendiri, serta tak lupa membawa makanan sendiri dari rumah. Setelah bermain rebana selama lima sampai sepuluh menit, mereka pun lalu pulang tanpa mendengarkan pagelaran rebana orang-rombongan lain.

Hal yang sama juga terjadi dalam haul/peringatan kematian Sunan Bonang di Tuban dalam setiap tahunnya. Tanpa diumumkan, orang datang berduyun-duyun ke alun-alun Tuban, membawa tikar/koran dan minuman sendiri, untuk sekedar mendengarkan uraian para penceramah tentang diri beliau. Di sini, pihak panitia hanya cukup mengundang para penceramah itu, memberitahukan Muspida dan menyediakan meja-kursi ala. kadarnya demi sopan santunnya kepada para undangan. Tidak penting benar, adakah Sunan Bonang pernah hidup? Dalam pikiran pengunjung memang demikian, dan itu adalah kenyataan --yang dalam pandangan mereka tidak terbantahkan. Nah, kebenaran yang diperoleh seperti ini adalah sesuatu yang didasarkan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman. Hal inilah yang oleh penulis disebutkan sebagai Islam Anda, yang kadar penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.
Sementara itu, dalam menelaah nasib Islam di kemudian hari, kita sampai pada keharusan-keharusan rasional untuk dilaksanakan ataupun dijauhi, jika kita ingin dianggap sebagai muslim yang baik. Kesantrian, dalam arti pelaksanaan ajaran Islam oleh seseorang, tidak menentukan kebaikan seperti itu. Banyak santri tidak memperoleh predikat muslim yang baik, karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedangkan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran agama sering dianggap sebagai muslim yang baik, hanya karena ia menyatakan pikiran-pikiran tentang masa depan Islam.

Pandangan seperti ini, yang mementingkan masa depan Islam, sering juga disebut Islam Kita. Ia dirumuskan, karena perumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama tersebut, sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam Islam Kita ini mencakup Islam-ku dan Islam Anda, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya, di manapun mereka berada.

Kesulitan dalam merumuskan pandangan Islam Kita itu jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang membentuk Islam-ku itu berbeda isi dan bentuknya dari Islam Anda, yang membuat sulitnya merumuskan Islam Kita ? Di sini, terdapat kecenderungan Islam Kita yang hendak dipaksakan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan segala sesuatu di pegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi. Dan dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa. Nah, pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa yang dinamakan idiologi-Islam, yang oleh orang-orang tersebut hendak dipaksakan sebagai idiologi negeri ini. Karenanya, kalau kita ingin melestarikan Islam-ku maupun Islam Anda, yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan idiologi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah hal-hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, melalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai Islam Kita, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksaan pandangan? Cukup jelas, bukan?



NU: Jam’iyah Dan Jama’ah

Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa kini tantangan melakukan modernisasi dalam NU mengambil bentuk modernisasi sistem pengelolaannya. Warga NU telah banyak yang menggunakan komputer untuk urusan sehari-hari, hingga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga harus melaksanakannya. Di kantor PBNU yang baru, bertingkat sembilan, terdapat sebuah lift sampai ke basement/lantai dasar. Seiring dengan itu, anak-anak dari pimpinan NU, dari tingkat pusat sampai tingkat dusun banyak yang menguasai berbagai bidang profesi, mengikuti berbagai jenjang pendidikan formal.

Pada waktu penulis berbicara di muka pertemuan Ikatan Sarjana NU (ISNU) –yang, para pesertanya berjumlah sekitar 200 orang lulusan S2 dan peserta S3 di berbagai Universitas. Lebih banyak lagi yang tidak mengikuti pertemuan tersebut, karena kesibukan pekerjaan maupun letak kediaman mereka yang jauh dari Jakarta.

Ini tentu, menimbulkan berbagai kesulitan bagi pimpinan NU di berbagai tingkatan. Adakah ukuran yang digunakan menjadi berbeda-beda? Bukankah perbedaan pendidikan juga bisa mengakibatkan perbedaan profesi yang selanjutnya menjadi perbedaan dalam menggunakan nilai-nilai? Tentu berbeda, nilai-nilai yang dianut seorang Kyai dengan nilai-nilai yang dimiliki generasi muda. Ketika ayah penulis, KH. A. Wahid Hasyim, melakukan pembaharuan pendidikan formal dengan membuat kurikulum campuran, jelas ia berbeda dari ayahnya yang masih mengajarkan kitab-kitab lama dengan menggunakan terjemahan bahasa Jawa di masjid Tebuireng, Jombang. Cara ayah beliau, sekarang diikuti oleh berbagai pesantren besar yang menggunakan kurikulum dan teks-teks pengajaran yang dinamai madrasah salafiyah (pesantren di Sukorejo/Asembagus/Situbondo, Ploso dan Lirboyo di Kediri adalah contoh dari model ini).

Sebaliknya, Pon.Pes Tebuireng, Jombang, menggunakan kurikulum campuran, dan bahkan menyelenggarakan bidang pendidikan formal berupa Sekolah Menengah Umum (SMU) tingkat pertama dan tingkat lanjutan. Begitu banyak variasi pendidikan formal yang dikembangkan di lingkungan NU, hingga payah kita menelusurinya. Yang semuanya itu, berpegang pada modernisasi harus bertumpu pada tradisionalisme. Karenanya, tuntutan perbaikan sistem merupakan dua buah perkembangan yang harus mencerminkan perjalanan NU sendiri. Para lulusan S2 dan penuntut S3 harus memperhitungkan tradisionalisme orang tua mereka, jika ingin meraih gelar kesarjanaan berbagai tingkatan tanpa gangguan.

*****

Dalam pada itu, peranan Kyai melalui pengajian umum dan wahana lain sejenis, juga tidak surut. Mereka melakukan modernisasi dengan cara mereka sendiri, termasuk dengan memperkenankan anak-anak mereka menjadi sarjana penuh dan bahkan S2/S3, setelah melalui pendidikan model lama yang sama sekali tidak memperhitungkan pendidikan formal non-agama di bawah tingkatan perguruan tinggi. Dengan sendirinya, ini berarti setahun dua tahun jenjang pendidikan lebih lama dari pada kalau mengikuti jenjang pendidikan campuran, tetapi itupun sudah banyak dilakukan. Belum lagi kalau kita ingat variasi, yaitu anak-anak Kyai yang mengalami pendidikan dasar cara lama, kemudian mengikuti jenjang pendidikan di fakultas-fakultas agama seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan sekolah-sekolah tinggi agama Islam.

Dengan demikian, telah terbukti, penguasaan mata pengetahuan agama tetap dipandang sebagai salah satu tujuan yang ingin dicapai. Dengan mengetahui hal ini, kita lalu memahami mengapa ada berbagai jenis pendidikan yang ditempuh anak-anak NU, dari yang sepenuhnya pendidikan perguruan tinggi formal tanpa mengenal pengetahuan agama (perguruan tinggi umum, hingga tingkatan pendidikan tinggi ilmu-ilmu keagamaan Islam belaka). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kaum muslimin menempuh jalan pendidikan formal yang tidak sama, dan dengan sendirinya ini berarti jama’ah (kumpulan orang banyak) yang dihasilkan juga berbeda-beda.

Dari uraian di atas, tampak jelas persepsi warga NU yang sangat bervariasi itu tidak memungkinkan adanya penanganan kultural/budaya yang satu, berlaku untuk semua warga NU. Dari yang paling kuno dan hanya mencari pengetahuan intuitif (menggunakan, petunjuk-petunjuk batin yang tidak diketahui rasionalistiknya), hingga kepada sikap hidup yang sangat rasionalistik dan sama sekali tidak mementingkan hal-hal spiritual. Dalam hal ini, haruslah diterima kenyataan bahwa sikap hidup intuitif yang tidak rasional, berhadapan dengan sikap hidup rasional yang tidak memperhitungkan faktor-faktor intuitif.

*****

Jika demikian, jelas bahwa pembedaan antara yang organisatoris dan yang bersifat kultural, haruslah ditampung di lingkungan NU. Kita memang harus melakukan perbaikan-perbaikan organisatoris yang diperlukan, tetapi tanpa mengabaikan aspek-aspek intuitif (al-Jawanib al-Dzauqiyah) dalam kehidupan warga NU sekarang ini. Aspek-aspek intuinif ini, yang jelas sekali terlihat dalam karya al-Ghazali; Ihya ‘Ulum al-dien, benar-benar msih hidup dalam kenyataan yang diperlihatkan para Kyai dan murid-murid mereka, masih berkembang sangat pesat di lingkungan NU. Hal ini disebut oleh penulis sebagai aspek-aspek kultural/budaya yang dimiliki organisasi Islam yang besar seperti NU.
Dengan demikian, perbaikan sistem yang menyangkut NU sebagai organisasi, haruslah dapat menampung aspek-aspek intuitif tersebut. Hal inilah yang dengan sadar dibangun oleh tokoh-tokoh NU masa lampau, seperti KH. Mahfudz Siddieq, KH. Abdullah Ubaid, KH. A. Wahid Hasyim dan KH. Ahmad Siddieq. Dengan sadar para pemimpin tersebut mencoba memasukkan aspek-aspek rasional dan aspek-aspek intuitif tersebut dalam pengambilan keputusan yang mereka lakukan. Karena itulah, mereka dapat diterima oleh “kaum Kyai kolot/tradisional” maupun oleh kaum rasional di lingkungan NU sendiri. Nah, kedua kecenderungan tersebut, sepenuhnya didukung oleh keluhuran moralitas (al-Akhlaq al-Karimah), yang kemudian dihancurkan oleh sistem politik korup yang berdasarkan KKN seperti kita kenal beberapa dasa warsa terakhir ini.
Jelaslah dari uraian di atas, bahwa aspek organisatoris/institusional harus menggunakan peralatan baru dan dibuat agar sesuai dengan ketentuan zaman. Tetapi, aspek-aspek intuitif juga tidak dapat ditinggalkan begitu saja, karena hal ini akan menyebabkan NU ditinggalkan oleh para Kyai dan para pengikut-pengikutnya. Aspek-aspek organisatoris (jam’iyah) harus dapat menampung aspek-aspek intuitif (jama’ah) yang semakin dipersubur oleh hilangnya etika/ moralitas/ al-Akhlaq al-Karimah dari kehidupan kita dalam beberapa dasa warsa terakhir ini. Dalam lingkungan agama Katholik-Roma, hal ini ditampung dalam dua organisasi yang saling berbeda: sistem kependetaan di satu sisi dan gerakan (kerasulan) awam, di sisi lain. Di samping hirarki vatikan, ada perkumpulan masyarakat St. E’gidio di kota Roma. Dapatkah kedua jenis gerakan dengan kebutuhan yang berbeda ini dijadikan sebuah sistem, seperti terjadi di lingkungan NU sekarang?

Islam: Kajian Klasik ataukah Wilayah?

Pada waktu mendiang Dr. Soedjatmoko masih menjabat sebagai Rektor Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Tokyo, penulis diundang ke sana untuk mengemukakan pandangan tertulis mengenai kajian Islam. Undangan tersebut ternyata membawa kepada sebuah pengembaraan yang sangat menarik hati penulis. Di samping bertemu Dr. Hassan Hanafie, yang sangat dihormati penulis, penulis juga bersama Dr. Soedjatmoko menonton film Gandhi di salah sebuah bioskop di Tokyo. Di situlah penulis mendapatkan gambaran yang sangat hidup tentang diri tokoh pejuang anti-kekerasan tersebut, yang selama ini hanya penulis kenal dari buku-buku belaka.

Penulis juga sempat di taman Jojogi Park bersama Dr. Soedjatmoko, untuk melihat bagaimana masyarakat Jepang menampung aspirasi anak muda yang gila dengan musik barat mutakhir, dan menari/berdansa dengan iramanya. Dari pada mengganggu masyarakat di daerah tempat tinggal/pemukiman, aspirasi seperti itu disediakan wadah penampungan, dari pada ditindak secara represif. Mungkin hal ini setara dengan adanya taman Hayde Park di tengah-tengah kota London, tempat siapapun boleh berdemonstrasi di tengah-tengah hingar bingarnya kota.

Penyaluran aksi protes seperti ini, di tempat-tempat umum, sebenarnya telah ada dalam budaya Jawa, dengan adanya alun-alun. Dalam konsep budaya semula, alun-alun juga berfungsi sebagai tempat warga negara yang ingin menyampaikan protes pada keraton atas sesuatu hal, dengan cara duduk di tengah-tengah hujan lebat dan sengatan matahari. Raja yang mengetahui hal itu, akan segera mengadakan pemeriksaan siapa yang bersalah dalam hal ini. Yang tidak jelas, kalau Raja sendiri yang bersalah, apakah sangsi yang harus dijalaninya?

Dalam presentasinya, di hadapan staf Dr. Soedjatmoko, penulis menyatakan bahwa kajian Islam tidak dapat hanya bersifat tunggal. Kajian tunggal itu, sebagaimana dijalankan oleh beberapa perguruan Islam sendiri, hanya akan melahirkan kajian klasik tentang ajaran Islam. Kalau itu yang terjadi, maka hanya ada satu warna kajian Islam, yang sebenarnya menjadi inti formalisme agama dengan ujung Negara Islam. Nah, kalau kita tidak menginginkan negara seperti itu, apakah yang harus dilakukan di bidang kajian?

Untuk menghindarinya, harus dibuat lembaga yang melakukan kajian kawasan (area studies) bagi bangsa-bangsa muslim. Dengan demikian, di samping persamaan-persamaan ajaran yang dimiliki kaum muslimin se-dunia, seperti peribadatan dalam rukun Islam, yang menunjukkan persamaan penerapan ibadat itu sendiri oleh masyarakat, juga pengetahuan kita akan perbedaan dalam cara beribadat itu. Dengan mengetahui persamaan dan perbedaan yang dimiliki sebuah kawasan muslim dengan/dari kawasan-kawasan lain akan memperkaya pandangan kita tentang bagimana Islam dijalankan oleh masyarakat-masyarakat muslim yang saling berbeda tersebut. Hanya dengan pengetahuan seperti itulah kaum muslimin akan mengenal diri mereka dengan lebih baik.

Kajian kawasan yang diusulkan penulis adalah: Islam di kawasan Afrika Hitam, kawasan Afrika Utara dan negeri-negeri Arab, Islam di kawasan peradaban Turko-Persia-Afghan, kawasan Asia Selatan, kawasan Asia Tenggara dan kaum minoritas muslim di negeri-negeri bertehnologi maju (advanced countries). Digabungkan dengan sebuah pusat kajian klasik, dapatlah diharapkan kita akan memiliki pusat-pusat kajian (study centers) yang akan sangat memperkaya rangkaian tindakan-tindakan untuk memajukan agama tersebut.

Kewajiban di atas, sebagian telah dipikul oleh berbagai Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di negara kita. Tetapi wajah klasik Islam yang masih mendominasi kehidupan kaum muslimin di luar kampus, akan membawa gambaran yang keliru tentang Islam. Agama ini bukan hanya milik sebuah golongan atau dimonopoli oleh sebuah pihak saja, melainkan juga dominasi tampak nyata melalui berbagai gerakan dan institusi yang mewakili agama tersebut. Sebuah upaya untuk mengakui beberapa perbedaan antara berbagai penghayatan Islam di kawasan-kawasan dan lembaga-lembga tersebut, justru menampilkan kekayaan yang besar.
Dengan demikian, menjadi nyatalah bagi kita bahwa kosmopolitanisme Islam justru di bangun oleh kekayaan yang berbeda-beda tersebut. Karena itu, sangat wajarlah apabila kekayaan seperti itu dimunculkan oleh studi kawasan yang berbeda-beda. Mengingkari hal ini, berarti menolak kenyataan empirik yang ada dalam Islam sejak lahir sebagai agama samawi/langit.

Perbedaan adalah keniscayaan yang tidak dapat dibantah dalam kenyataan sejarah Islam sendiri. Hal itu diperkuat pula oleh firman Allah dalam kitab suci Al-qur’an: “sesungguhnya telah Ku-ciptakan kalian sebagai lelaki dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian dalam bentuk bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa, untuk saling mengenal satu sama lain, sesungguhnya yang termulya di antara kalian di (mata) Allah adalah mereka yang paling bertaqwa” (inna khalaqnaakum min dzakarin wa untha waja’alnaakum syu’uuban wa qabaaila li ta’arafu, inna akramakum inda Allahi atqakum). Perbedaan itulah yang menolak gagasan Negara Islam, karena penolakan Islam terhadap uniformitas masyarakat yang dipaksakan oleh sebuah kekuasaan.

Tasawuf dan Kebatinan/Kejawen

Dalam perjalanan udara dari Cairo ke Abuja, ibu kota Nigeria, Menteri Luar Negeri Alwi Shihab meminta penulis mendiktekan pengantar bagi bukunya. Karya itu adalah terjemahan dari disertasinya yang ditulis untuk gelar doktor dari Universitas 'Ain Shamms di Cairo beberapa tahun lalu. Sebelum penulis mendiktekan pengantar tersebut, ia minta dibacakan beberapa bab dari buku tersebut. Ternyata apa yang didiktekan itu merupakan sebuah bahan pemikiran yang patut di ulang dalam tulisan ini.

Dalam buku itu, Alwi Shihab memaparkan bahwa penyebaran Islam di negeri ini dilakukan antara lain oleh kaum ulama pesantren. Mereka ini menggunakan tasawuf Suni sebagai pegangan dalam penyebaran agama Islam, semenjak beberapa abad yang lalu. Dengan tasawuf tersebut, mereka melawan pandangan kaum kebatinan, yang dalam budaya Jawa di kenal dengan nama Kejawen. Sebagai bukti sejarah atas penentangan mereka itu, disebutkan Syekh Siti Jenar (Tanah Merah atau Lemah Abang) sebagai orang yang menyimpang dari tasawuf Suni di atas, dan karena itu dihukum mati oleh para Wali Sanga (Wali Sembilan). Mereka yang mengikuti pandangan itu, pada akhirnya mengembangkan paham kebatinan/kejawen di negeri kita. Penulis menolak anggapan ini, karena memang legenda hukuman mati atas tokoh tersebut memang dapat ditafsirkan dari sudut pandang yang berbeda-beda. Penulis mempunyai anggapan lain, yang tentu merupakan penafsirannya sendiri atas "kejadian" tersebut. Dengan mengetahui perbedaan pandangan itu, penulis yakin kekayaan kita akan sejarah pemikiran di negeri ini akan semakin berkembang.

Penulis melihat "kejadian itu dari sudut yang berbeda. Jika Alwi Shihab menganggap para ulama di negeri kita itu menentang kebatinan/kejawen, berarti para ulama itu menentang salah satu bentuk Wihdatul Wujud (Pantheisme, manunggaling kawula lan Gusti), maka penulis memiliki anggapan lain. Dalam pandangan penulis, hukuman mati yang dijatuhkan Wali Sanga atas Syekh Siti Jenar, bukanlah karena beliau berpaham Wihdatul Wujud,-seperti yang diuraikan di atas, melainkan karena sebab lain. Beliau mengajarkan paham itu kepada orang banyak (kaum awam, laity).

Dalam pandangan penulis, "dosa" Syekh Siti Jenar bukan terletak pada penerimaan beliau pada Wihdatul Wujud, melainkan dalam "sikap gegabah beliau dalam mengajarkan paham tersebut di kalangan orang kebanyakan". Karena itulah, kaum penganjur tarekat (dikenal di sini sebagai kaum tasawuf, kaum Sufi) selalu menekankan pentingnya menjalankan syariat sebelum bertasawuf.

Pandangan semacam ini dikenal di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan kaum tradisionalis lain dengan ungkapan; Man Yatakhaqq' wa lam Yatasyarra' fahuwa Zindiqum (orang yang berpandangan hakikat dan tidak menjalankan syariat, adalah orang yang sesat) kesimpulan dari pandangan ini adalah anggapan para ulama tradisionalis kita yang tidak menolak Wihdatul Wujud-nya Ibnu 'Arabi, melainkan melarang penyebarannya di kalangan mereka yang masih awam.

Dari kesimpulan tersebut, penulis beranggapan ulama tradisionalis kita banyak yang mengambil ajaran Wihdatul Wujud itu bagi diri mereka sendiri, karena mereka sudah menguasai syariat, yang dalam hal ini berbentuk fikih (Hukum Islam). Dengan kata lain, mereka menolak penyebaran Pantheisme atau Wihdatul Wujud tersebut di kalangan orang awam, tetapi bagi kepentingan diri mereka sendiri, mereka juga menjalankan paham tersebut secara tertutup. Ajaran Wihdatul Wujud yang digunakan itu terutama adalah Wihdatul Syuhud (ajaran mengetahui sesuatu sebelum terjadi, dalam budaya Jawa di kenal dengan nama weruh sedurunge winarah).

Hal ini diperkuat antara lain dalam sikap almarhum KH Hasyim 'Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Beliau menolak dirayakannya ulang tahun kematian beliau (haul) di Tebuireng, Jombang, tiap setahun sekali. Beliau mengetahui dengan tepat bahwa suatu saat beliau akan disucikan (taqdisul maqbarah). Kalau ini yang terjadi, tentu disebabkan oleh ketidakmengertian orang awam terhadap "kesaktian" yang dimiliki.

Tentu, hal ini sangat berbahaya, karena beliau lalu dianggap sebagai perwujudan Tuhan dalam kehidupan-yang tak lain dan tak bukan adalah konskuensi mengajarkan paham Pantheistik itu di kalangan orang banyak, yang memang merupakan bahaya bagi ajaran Islam. Bagaimanapun saktinya seseorang itu, tidaklah patut ia menjadi Tuhan, karena dia hanyalah seorang hamba belaka.

Dengan menggunakan pandangan ini, dapat dilihat bahwa kaum ulama tradisionalis kita tidak menolak ajaran Wihdatul Wujud itu, melainkan dilarang penyebarannya secara gegabah. Jadi dengan demikian, antara kaum syara' dan kaum kebatinan (kejawen) memang berbeda, tetapi tidak bertentangan. Dengan kata lain pula, bahwa tidak ada pertentangan prinsipial antara kaum Wihdatul Wujud (kebatinan/kejawen) dan kaum syariat yang menggunakan referensi fikih. Ini semua, tentu membawa konsekuensi-konsekuensi bagi pengembangan tradisi demokratisasi di negeri kita, yang tidak pada tempatnya untuk diuraikan lebih lanjut di sini. Namun, akan ada tulisan lain di masa depan mengenai konsekuensi tersebut.






Kemiskinan , Kaum Muslimin dan Parpol

Penulis di datangi rombongan ini di kantornya pada suatu siang. Singkatan nama meraka adalah R,S, H, F dan R. F, R menjadi salah seorang kontraktor dan supplier sebuah perusahan negara yang besar. Sedangkan S, semula bekerja di sebuah perusahaan swasta dan sekarang menjadi supplier bagi pemerintah daerah di sebuah propinsi. H dan F adalah seorang pengusaha yang aktif, tapi penulis tidak bertanya tentang jenis kegiatan mereka. Dua hal penting yang penulis lihat dalam kiprah mereka adalah: pimpinan sebuah parpol, dan dengan demikian menjadi “Anak buah”penulis; dan mereka mempunyai SPK (Surat Perintah Kerja) dari Pemerintah Daerah (Pemda) tempat mereka tinggal, untuk menjadi supplier agrobisnis bagi rakyat di tempat mereka tinggal.

Yang menarik perhatian penulis, adalah cara berpikir mereka: di satu sisi, mereka tidak mengandalkan diri pada cara–cara politik lama seperti pembagian kaos oblong dan sejenisnya, dalam meraih perolehan suara melalui pemilu akan datang; dan di pihak lain, mereka langsung menghubungkan masalah politik dengan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, mereka melihat politik sebagai sebuah proses, dan tidak mendasarkan kegiatan politik atas cara-cara usang, melainkan dengan pendekatan menghilangkan kemiskinan. Dalam bahasa klise, yang mereka perbuat bukanlah memberikan ikan kepada rakyat, melainkan memberikan kail pada mereka untuk mencari ikan sendiri. Ini berarti, tingkat kesejahteraan rakyat, ditentukan oleh masyarakat sendiri, bukan orang lain. Pendekatan baru ini, katakanlah sebuah pendekatan struktural dalam menangani masalah kemiskinan –yang, sekaligus bersifat memberdayakan masyarakat, dan tidak bertumpu pada santunan kepada mereka. Pendekatan seperti inilah yang jarang terlihat dalam pendekatan politik pada masyarakat yang terbiasa dengan janji kosong untuk memberantas kemiskinan, dan hanya menerima santunan materi dan himbauan moral belaka.

Dalam sebuah masyarakat yang benar-benar demokratis, memberikan suara dalam pemilihan umum adalah sebuah tindakan untuk merubah kehidupan masyarakat, misalnya, ketika rakyat Amerika Serikat memilih Presiden Jackson dalam Abad 19 Masehi. Mereka memilih pemimpin yang mengerti benar mana yang menjadi hak rakyat, dan mana yang menjadi hak perorangan serta hak para Kapitalis/Bangkir/Industrialis. Mereka semua, di mata Jackson adalah orang-orang yang harus melakukan kegiatan ekonomi dalam arti membangun dan membesarkan perusahaan di berbagai bidang. Tetapi, mengenai tingkat kesejahteraan rakyat adalah tanggug jawab Presiden dan Kongres yang dipilih untuk periode tertentu oleh rakyat. Ini berarti, keduanya tidak boleh dicampur-adukan dan pemisahan ini harus tercermin dalam kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan finansial/keuangan. Ia melihat Bank Sentral Amerika Serikat di samping jadi alat pemupukan, juga menyangkut pengelolaan uang pajak penduduk negeri; dan karena itu pembentukannya ditentukan oleh mereka. American Federal Reserved System, sebagai Bank Sentral negara tersebut haruslah diisi dengan pimpinan yang ditunjuk rakyat melalui Presiden dan Konggres sebagai lembaga perwakilan rakyat. Ini adalah langkah pertama ke arah Folk Kapitalismus (Kapitalisme Rakyat), yang berbeda dari kapitalisme klasik dari John Stuart Mill. Akibat sikapnya ini, Jackson harus berhadapan dengan para Kapitalis/Bankir/Industrialis yang beranggapan, pemerintah sama sekali tidak boleh ikut campur tangan dalam Bank Sentral

Pendapat Jackson itu, sebenarnya sebuah pendekatan Struktural. Artinya, hanya dengan perubahan struktur masyarakat menuju pemberdayaan warga masyarakat untuk mengurus diri sendiri dan barulah masyarakat itu sendiri akan terbebas dari kemiskinan, karena perubahan struktural di dalamnya. Jika ini dicapai melalui pemilu dengan sendirinya perubahan itu akan menuju pada hilangnya kemiskinan. Kalau tadinya rakyat hanya menunggu santunan pemerintah atau pihak-pihak tertentu saja, maka dengan cara pemberian kail ini masyarakat akan mampu memecahkan masalah-masalah ekonomi mereka sendiri. Di sinilah terletak hubungan antara sebuah sistim ekonomi dengan masyarakat yang ada?.

Kemampuan rakyat mengubah nasib mereka sendiri, melalui bantuan Parpol dan sistim politik yang ada merupakan masalah pokok yang dihadapi oleh pemilu yang demokratis. Akibatnya, yang dihasilkan adalah seperti para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kita dewasa ini, yang hanya berfungsi seperti halnya taman kanak-kanak. Padahal, yang diharapkan adalah DPR yang benar-benar bertanggung jawab atas keselamatan negeri dalam arti yang luas, dengan wewenang-wewenangnya yang jelas. Dengan cara itulah pembagian wewenang antara pihak-pihak Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif terjaga dalam keseimbangan yang nyata, karena semua berkewajiban melayani masyarakat dan masing-masing tidak mementingkan pelayanan pada dirinya.

Bagi kaum muslimin, hal ini benar-benar merupakan kebutuhan mutlak. Kitab suci Al-Qur’an menyatakan; “ Dibuatkan bagi kaum muslimim kehinaan dan kemiskinan” (Dzuribat ‘alaihim al-dzillatu wa al-maskanah.), berarti Islam menolak kemiskinan sebagai sesuatu yang langgeng dan tetap ia menggangap kedua hal berubah-ubah menurut struktur masyarakat. Dengan demikian, terserah kepada manusia jualah untuk menghapuskan atau melestarikan kemiskinan itu. Tuhan atau nasib tidak terkait dengan hal itu, sepenuhnya diserahkan kepada manusia. Termasuk di dalamnya struktur masyarakat untuk menghapuskan atau melestarikan kemiskinan itu sendiri. Karena itu, banyak sekali pendapat kaum muslimin yang menentukan masalah kamiskinan sebagai kepastian dari Allah, harus diganti dengan pemahaman yang lain. Menurut pemahaman itu, Allah akan melestarikan kemiskinan apabila manusia sebagai warga masyarakat tidak mengadakan perubahan melalui sistem politik yang dianut. Maka, jelaslah dengan demikian, manusia menentukan nasib mereka sendiri, dan jika benar Allah lalu dipersalahkan dalam hal ini kitab suci Al-Qur’an menyatakan, “ Tidaklah kau lihat orang yang menipu agama? Yaitu mereka yang membiarkan anak-anak yatim (terlantar) dan tidak peduli atas makanan orang miskin?” (Aroaita al-ladzi yukadzdzibu biddin wa-ladzi yadu’ul yatim wa la yahudzu ‘alaa tha’ami al miskin), menujuk dengan jelas adanya orang-orang yang justru memanipulir kesengsaraan anak yatim dan makanan orang miskin demi kepentingan mereka sendiri. Karena manipulasi seperti itu dianggap sebagai perbuatan menipu agama, dengan sendirinya, perbaikan harus dilakukan oleh manusia yang sadar atas perintah sistim politik yang membela kepentingan rakyat. Kesimpulan seperti itulah yang dicapai oleh kelompok muda yang menjadi pimpinan parpol di daerah itu, dan inilah yang membahagiakan hati penulis. Perbuatan nyata yang harus menjadi dasar bagi perkembangan sebuah Parpol, dan bukannya retorika belaka. Sangat indah, bukan?




Islam: Keras dan Lembut, Dulu dan Kini

Ketika berada di Washington DC, penulis menghadiri Konvensi American Jewish Committee (AJC). Mengapakah hal itu penulis lakukan, padahal AJC adalah sebuah organisasi yang mungkin tidak disenangi jumlah sangat besar kaum muslimin? Jawabannya sederhana saja: bahwa kalau tidak kita terangkan pada mereka, mereka tetap tidak akan tahu selamannya tentang sisi-sisi lembut dari Islam. Mereka hanya tahu kelompok-kelompok teroris dan dan kelompok-kelompok keras lain dalam Islam. Karena itulah penulis menerima undangan mereka untuk berbicara dalam Konvensi/Konggres organisasi tersebut pada tanggal 8 dan 9 Mei tahun ini.

Penulis diberi kesempatan berbicara dua kali, yang pertama untuk menjelaskan pandangan penulis mengenai teori perbenturan budaya (clash of civilizations yang diajukan oleh Samuel Huntington beberapa tahun yang lalu. Di samping itu, penulis juga diminta berbicara pada acara penutupan Konvensi itu bersama dengan Presiden Peru, Fernando Toledo dan penasehat Presiden Amerika Serikat (AS) bidang keamanan, Condaleeza Rice. Pidato penulis dan para pembicara tersebut masing-masing hanya berlangsung tujuh menit, namun dampaknya atas kebijakan luar negeri AS sangatlah besar, karena memang AJC adalah organisasi besar dan memiliki pengaruh luas yang diikuti oleh prosentase sangat besar dari pemilih AS yang ingin diraih Presiden George W. Bush dalam pemilihan Presiden AS tahun 2004 nanti.

Dalam pidato itu, penulis meminta agar pihak barat turut menjaga agar identitas ke-Islaman tidak hilang dalam pertarungan politik yang sangat dahsyat antara bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa Arab di Timur Tengah dewasa ini. Di samping itu, penulis juga mengemukakan perlunya dipelihara standart yang utuh dalam perlakuan barat terhadap kaum muslimin. Apabila hal itu terwujud, yaitu terpeliharanya identitas Islam dan digunakannya standar tunggal, maka tentu wajah toleran, lembut dam damai yang di miliki oleh Islam akan tampak dipermukaan. Kalau itu terjadi, tindak kekerasan seperti terorisme dan sebagainya, akan menjadi sangat sulit muncul di kalangan kaum muslimin.

Keesokan harinya, setelah penyampaian pidato dalam penutupan Konvensi itu, penulis menerima telpon dari Louis Farakhan, pemimpin kulit hitam yang kini menjadi salah seorang pimpinan utama kaum muslimin di AS. Ia menelpon itu dalam keadaan sakit di kantornya yang terletak di kota Chicago, Illinois. Dalam percakapan akrab dengan beliau, penulis menyatakan berada di ibukota AS untuk menyampaikan gagasan tentang wajah lembut dan damai dari Islam. Dan, beliau pun menjawab bahwa Islam adalah juga agama keadilan, yang kadangkala harus ditegakkan dengan kekerasan. Lalu, penulis menyatakan, bahwa kata “kekerasan” sebaiknya diganti dengan kata lain, yaitu “ketegasan”. Kalau kita bersikap tegas, belum tentu harus menggunakan kekerasan.

Dari uraian di atas tampak, bahwa ada dua pendapat dalam memberikan responsi Islam atas keadaan yang tidak menguntungkan. Di satu pihak, ada keinginan untuk menyajikan jawaban yang jelas dan gamblang, dan untuk kepentingan itu dapat dimengerti berlangsungnya tindak kekerasan yang terjadi selama ini, termasuk yang berakibat pada terorisme. Jawaban seperti ini, memang secara psikologis memberikan kepuasan, tetapi dalam jangka panjang dia justru merusak citra Islam sendiri di mata orang lain maupun mayoritas kaum muslimin, karena gambaran tentang Islam lalu langsung terkait dengan tindak kekerasan.

Pendekatan kedua, menggantikan kekerasan dengan ketegasan. Orang yang bertindak lemah lembut jelas tidak suka dengan kekuasaan. Tapi, bukan berarti dia tidak tegas menghadapi berbagai tantangan, karena menjadi keyakinan orang itu, bahwa kekerasan ditolak oleh Islam. Dalam ketentuan agama, satu-satunya alasan yang membenarkan tindak kekerasan adalah kalau orang-orang itu diusir dari rumah mereka (a ukhriju min dziyaarihim ini adalah sesuatu yang bersifat prinsipil, karena itu haruslah dipegang kuat-kuat.

Bagi penulis sendiri, penolakan terhadap kekerasan itu juga disebabkan oleh faktor lain. Mahatma Gandhi, yang beragama Hindu, mengajarkan prinsip ahimsamsa menolak kekerasan, yang telah dibuktikannya dalam memerdekakan India dari tangan kaum penjajah Inggris. Untuk itu, ia terkadang harus berani menempuh bahaya, termasuk bagi nyawanya sendiri. Tetapi hal itu dijalaninya dengan dengan hati gembira, karena ia ingin menunjukkan dua hal: bahwa perjuangan tidak memerlukan kekerasan untuk berhasil, dan tidak ada perjuangan yang berhasil tanpa pengorbanan. Prinsip ini, dalam ungkapan bahasa Jawa disebutkan sebagai Jer Basuki Mawa Bea, yang merupakan salah satu pegangan hidup orang Jawa.

Tentunya, ada pertanyaan bagaimanakah seorang muslim yang baik dapat menjadi pengikut Mahatma Gandhi? Lagi-lagi, jawabannya sederhana saja, yaitu kebaikan merupakan nilai yang sama dari manapun ia berasal. Dr. Martin Luther King Jr. adalah seorang pendeta Protestan yang diakui ke-Kristenannya, meskipun ia memperjuangkan hak-hak demokrasi (civil right) bagi orang berkulit hitam di AS dalam tahun-tahun 60-an dan 70-an.

Sikap penulis menolak kekerasan itu, juga memperoleh landasan kokoh dari hadits Nabi SAW. yang berbunyi “carilah ilmu hingga ke negeri China’ (uthlubul ‘ilma walau bi al- Shiin Kalau diingat di China, waktu itu, belum tersebar adanya Islam yang, tentunya hal itu berarti bahwa barang yang baik yang harus dicari orang, tidak berarti harus datang dari negeri muslim sendiri. Kiasan/analogi seperti itu diperlukan, untuk mengetahui sikap seperti yang diambil penulis dalam hal ini benar atau tidak, dengan konskwensi kalau benar harus dipertahankan. Karenanya, penulis berharap sikap tersebut dinilai secara terbuka dan kritis, dalam arti diikuti kalau memang benar, dan diganti kalau memang salah.

Konsep Konsep Keadilan
Tidak dapat dipungkiri, Al-qur’an meningkatkan sisi keadilan dalam kehidupan manusia, baik secara kolektif maupun individual. Karenanya, dengan mudah kita lalu dihinggapi semacam rasa cepat puas diri sebagai pribadi-pribadi Muslim dengan temuan yang mudah diperoleh secara gamblang itu.
Sebagai hasil lanjutan dari rasa puas diri itu, lalu muncul idealisme atas Al-qur’an sebagai sumber pemikiran paling baik tentang keadilan. Kebetulan persepsi semacam itu sejalan dengan doktrin keimanan Islam sendiri tentang Allah sebagai Tuhan Yang Maha Adil. Bukankah kalau Allah sebagai sumber keadilan itu sendiri, lalu sudah sepantasnya Al-qur’an yang menjadi firmanNya kalamu 'l-Lah juga menjadi sumber pemikiran tentang keadilan?

Cara berfikir induktif seperti itu memang memuaskan bagi mereka yang biasa berpikir sederhana tentang kehidupan, dan cenderung menilai refleksi filosofis yang sangat kompleks dan rumit. Mengapakah kita harus sulit-sulit mencari pemikiran dengan kompleksitas sangat tinggi tentang keadilan? Bukankah lebih baik apa yang ada itu saja segera diwujudkan dalam kenyataan hidup kaum Muslimin secara tuntas? Bukankah refleksi yang lebih jauh hanya akan menimbulkan kesulitan belaka?
"Kecenderungan praktis" tersebut, memang sudah kuat terasa dalam wawasan teologis kaum skolastik mutakallimin Muslim sejak delapan abad terakhir ini.

Argumentasi seperti itu memang tampak menarik sepintas lalu. Dalam kecenderungan segera melihat hasil penerapan wawasan Islam tentang keadilan dalam hidup nyata. Apalagi dewasa ini justru bangsa-bangsa Muslim sedang dilanda masalah ketidakadilan dalam ukuran sangat massif. Demikian juga, persaingan ketat antara Islam sebagai sebuah paham tentang kehidupan, terlepas dari hakikatnya sebagai ideologi atau bukan, dan paham-paham besar lain di dunia ini, terutama ideologi-ideologi besar seperti sosialisme, komunisme, nasionalisme, dan liberalisme. Namun, sebenarnya kecenderungan serba praktis seperti itu adalah sebuah pelarian yang tidak akan menyelesaikan masalah. Reduksi sebuah kerumitan menjadi masalah yang disederhanakan, justru akan menambah parah keadaan. Kaum Muslim akan semakin menjauhi keharusan mencari pemecahan yang hakiki dan berdayaguna penuh untuk jangka panjang, dan merasa puas dengan "pemecahan" sementara yang tidak akan berdayaguna efektif dalam jangka panjang.

Ketika Marxisme dihadapkan kepada masalah penjagaan hak-hak perolehan warga masyarakat, dan dihadapkan demikian kuatnya wewenang masyarakat untuk memiliki alat-alat produksi, pembahasan masalah itu oleh pemikir Komunis diabaikan, dengan menekankan slogan "demokrasi sosial" sebagai pemecahan praktis yang menyederhanakan masalah. Memang berdayaguna besar dalam jangka pendek, terbukti dengan kemauan mendirikan negara-negara Komunis dalam kurun waktu enam dasawarsa terakhir ini. Namun, "pemecahan masalah" seperti itu ternyata membawa hasil buruk, terbukti dengan "di bongkar pasangnya" Komunisme dewasa ini oleh para pemimpin mereka sendiri dimana-mana. Rendahnya produktivitas individual sebagai akibat langsung dari hilangnya kebebasan individual warga masyarakat yang sudah berwatak kronis, akhirnya memaksa parta-partai Komunis untuk melakukan perombakan total seperti diakibatkan oleh perestroika dan glasnost di Uni Soviet beberapa waktu lalu.

Tilikan atas pengalaman orang lain itu mengharuskan kita untuk juga meninjau masalah keadilan dalam pandangan Islam secara lebih cermat dan mendasar. Kalaupun ada persoalan, bahkan yang paling rumit sekalipun, haruslah diangkat ke permukaan dan selanjutnya dijadikan bahan kajian mendalam untuk pengembangan wawasan kemasyarakatan Islam yang lebih relevan dengan perkembangan kehidupan umat manusia di masa-masa mendatang. Berbagai masalah dasar yang sama akan dihadapi juga oleh paham yang dikembangkan Islam, juga akan dihadapkan kepada nasib yang sama dengan yang menentang Komunisme, jika tidak dari sekarang dirumuskan pengembangannya secara baik dan tuntas, bukankah hanya melalui jalan pintas belaka.

Pembahasan berikut akan mencoba mengenal (itemize) beberapa aspek yang harus dijawab oleh Islam tentang wawasan keadilan sebagaimana tertuang dalam Al-qur’an . Pertama-tama akan dicoba untuk mengenal wawasan yang ada, kemudian dicoba pula untuk menghadapkannya kepada keadaan dan kebutuhan nyata yang sedang dihadapi umat manusia. Jika dengan cara ini lalu menjadi jelas hal-hal pokok dan sosok kasar dari apa yang harus dilakukan selanjutnya, tercapailah sudah apa yang dikandung dalam hati.

Pengertian Keadilan
Al-qur’an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan juga tidak selalu berasal dari akar kata 'adl. Kata-kata sinonim seperti qisth, hukm dan sebagainya digunakan oleh Al-qur’an dalam pengertian keadilan. Sedangkan kata 'adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (ta'dilu, dalam arti mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti tebusan).

Kalau dikatagorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan dalam Al-qur’an dari akar kata 'adl itu, yaitu sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan hendaknya kalian menghukumi atau mengambil keputusan atas dasar keadilan. Secara keseluruhan, pengertian-pengertian di atas terkait langsung dengan sisi keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan dalam kehidupan. Dari terkaitnya beberapa pengertian kata ‘adl dengan wawasan atau sisi keadilan secara langsung itu saja, sudah tampak dengan jelas betapa porsi "warna keadilan" mendapat tempat dalam Al-qur’an , sehingga dapat dimengerti sikap kelompok Mu'tazilah dan Syi'ah untuk menempatkan keadilan ('adalah) sebagai salah satu dari lima prinsip utama al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah mereka.

Kesimpulan di atas juga diperkuat dengan pengertian dan dorongan Al-qur’an agar manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang menderita, lemah dan kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan sesame warga masyarakat, jujur dalam bersikap, dan seterusnya.
Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum Muslim itu menunjukkan orientasi yang sangat kuat akar keadilan dalam Al-qur’an. Demikian pula, wawasan keadilan itu tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro dari kehidupan warga masyarakat secara perorangan, melainkan juga lingkup makro kehidupan masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak hanya dituntut bagi kaum Muslim saja tetapi juga mereka yang beragama lain. Itupun tidak hanya dibatasi sikap adil dalam urusan-urusan mereka belaka, melainkan juga dalam kebebasan mereka untuk mempertahankan keyakinan dan melaksanakan ajaran agama masing-masing.

Yang cukup menarik adalah dituangkannya kaitan langsung antara wawasan atau sisi keadilan oleh Al-qur’an dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga masyarakat, terutama mereka yang menderita dan lemah posisinya dalam percaturan masyarakat, seperti yatim-piatu, kaum muskin, janda, wanita hamil atau yang baru saja mengalami perceraian. Juga sanak keluarga (dzawil qurba) yang memerlukan pertolongan sebagai pengejawantahan keadilan. Orientasi sekian banyak "wajah keadilan" dalam wujud konkrit itu ada yang berwatak karikatif maupun yang mengacu kepada transformasi sosial, dan dengan demikian sedikit banyak berwatak straktural. Fase terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan Al-qur’an itu adalah sifatnya sebagai perintah agama, bukan sekedar sebagai acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian akan diperhitungkan dalam amal perbuatan seorang Muslim di hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak. Dengan demikian, wawasan keadilan dalam Al-qur’an mudah sekali diterima sebagai sesuatu yang ideologis, sebagaimana terbukti dari revolusi yang dibawakan Ayatullah Khomeini di Iran. Sudah tentu dengan
segenap bahaya-bahaya yang ditimbulkannya, karena ternyata dalam sejarah, keadilan ideologis cenderung membuahkan tirani yang mengingkari keadilan itu.

Sebab kenyataan penting juga harus dikemukakan dalam hal ini: bahwa sifat dasar wawasan keadilan yang dikembangkan Al-qur’an ternyata bercorak mekanistik, kurang bercorak reflektif. Ini mungkin karena "warna" dari bentuk konkrit wawasan keadilan itu adalah "warna" hukum agama, sesuatu yang katakanlah legal-formalistik.

Permasalahan
Mengingat sifat dasar wawasan keadilan yang legal-formalistik dalam Al-qur’an itu, secara langsung kita dapat melihat adanya dua buah persoalan utama yaitu keterbatasan visi yang dimiliki wawasan keadilan itu sendiri, dan bentuk penuangannya yang terasa "sangat berbalasan" (talionis, kompensatoris).
Keterbatasan visi itu tampak dari kenyataan, bahwa kalau suatu bentuk tindakan telah dilakukan, terpenuhilah sudah kewajiban berbuat adil, walaupun dalam sisi-sisi yang lain justru wawasan keadilan itu dilanggar. Dapat dikemukakan sebagai contoh, umpamanya, seorang suami telah "bertindak adil" jika "berbuat adil" dengan menjaga ketepatan bagian menggilir dan memberikan nafkah antara dua orang isteri, tanpa mempersoalkan apakah memiliki dua orang isteri itu sendiri adalah sebuah tindakan yang adil. Dengan demikian, pemenuhan tuntutan keadilan yang seharusnya berwajah utuh, lalu menjadi sangat parsial dan tergantung kepada pelaksanaan di satu sisinya belaka.

Warna kompensatoris dari wawasan keadilan yang dibawakan Al-qur’an itu juga terlihat dalam sederhananya perumusan apa yang dinamakan keadilan itu sendiri. Wanita yang diceraikan dalam keadaan hamil berhak memperoleh santunan hingga ia melahirkan anak yang dikandungnya, cukup dengan jumlah tertentu berupa uang atau bahan makanan. Sangat terasa watak berbalasan dari "pemenuhan keadilan" yang berbentuk seperti ini, karena ada "pertukaran jasa" antara mengandung anak (bagi suami) dan memberikan santunan material (bagi isteri). Dari pengamatan akan kedua hal di atas lalu menjadi jelas, bahwa permasalahan utama bagi wawasan keadilan dalam pandangan Al-qur’an itu masih memerlukan pengembangan lebih jauh, apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan wawasa keadilan dalam kehidupan itu sendiri.

Sampai sejauh manakah dapat dikembangkan wawasan demokrasi yang utuh bila dipandang dari sudut wawasan keadilan yang dimiliki Al-qur’an itu? Dapatkah kepada kelompok demokrasi yang utuh bila dipandang dari sudut wawasan keadilan yang
dimiliki Al-qur’an itu? Dapatkah kepada kelompok minoritas agama diberikan hak yang sama untuk memegang tampuk kekuasaan? Dapatkah wawasan keadilan itu menampung kebutuhan akan persamaan derajat agama dikesampingkan oleh kebutuhan akan hukum yang mencerminkan kebutuhan akan persamaan perlakuan hukum secara mutlak bagi semua warga negara tanpa melihat asal-usul agama, etnis, bahasa dan budayanya? Dapatkah dikembangkan sikap untuk membatasi hak milik pribadi demi meratakan pemilikan sarana produksi dan konsumsi guna tegaknya demokrasi ekonomi? Deretan pertanyaan fundamental, yang jawaban-jawabannya akan menentukan mampukah atau tidak wawasan keadilan yang terkandung dalam Al-qur’an memenuhi kebutuhan sebuah masyarakat modern di masa datang.

Diperlukan kajian-kajian lebih lanjut tentang peta permasalahan seperti dikemukakan di atas, namun jelas sekali bahwa visi keadilan yang ada dalam Al-qur’an dewasa ini harus direntang sedemikian jauh, kalau diinginkan relevansi berjangka panjang dari wawasan itu sendiri. Jelas, masalahnya lalu menjadi rumit dan memerlukan refleksi filosofis, di samping kejujuran intelektual yang tinggi untuk merampungkannya secara kolektif. Masalahnya, masih punyakah umat Islam kejujuran intelektual seperti itu, atau memang sudah tercebur semuanya dalam pelarian sloganistik dan "kerangka operasionalisasi" serba terbatas, sebagai pelarian yang manis?

Masih Perlukah Formalisme Agama?

Seorang pemikir dari India Ali Asghar Engineer menulis dalam bukunya yang berjudul Islam and The Modern State bahwa ide negara modern dalam pandangan Islam adalah negara sekuler. Pandangan seperti ini sudah tentu menimbulkan kejutan, terutama bagi mereka yang menginginkan kekuasaan agama dalam negara. Setidak-tidaknya mereka yang menginginkan adanya toleransi pihak sekuler dalam kehidupan bernegara, seperti Soekarno, Mohamad Yamin, dan sebagainya.

Bukankah Soekarno, Agus Salim, dan lainnya menerima UUD ’45 dengan penafsiran Islam? Bukankah ini berarti penghormatan terhadap pandangan para pemimpin Islam yang mewakili kepentingan agama tersebut dalam perjuangan kemerdekaan? Bukankah ini berarti bahwa UUD ’45 bukan pandangan sekuler dan bukan pula teokrasi dalam kehidupan bangsa kita?

Sebagai sebuah tahapan sejarah, dapat dimengerti bahwa para pemimpin yang merumuskan UUD ’45 mau memberikan interpretasi lisan yang sesuai dengan kehendak para pemimpin Islam. Tanpa melakukan hal itu, tidak akan tercapai penyelesaian dalam bentuk kehendak bersama. Kalau tidak dapat dicapai persetujuan, hal ini akan menguntungkan pihak penjajah. Inilah yang mendasari pemikiran mereka waktu itu. Dan, inilah yang namanya politik.

Para pemimpin Islam dininabobokan oleh penafsiran-penafsiran yang dipaksakan atas para pemimpin nasionalis. Dengan kata lain, para pemimpin nasionalis setuju dengan redaksi lisan yang dipaksakan oleh para pemimpin dari golongan Islam untuk mencapai persetujuan dan menghindari kemacetan. Berarti, apa yang dicapai itu hanyalah bersifat sementara dan mengikat bagi yang menyatakannya.

Generasi kemudian tidak lagi terikat dengan pernyataan mereka. Pak Harto yang tidak ikut terlibat secara aktif dalam perumusan Pancasila ternyata berpandangan bahwa Pancasila haruslah menjadi asas bagi organisasi-organisasi sosial politik. Bahkan, akhirnya menjadi keharusan bagi semua organisasi. Ini terjadi karena adanya semacam ketakutan kalau-kalau semuanya akan meninggalkan Pancasila karena hal ini termasuk jangkauan terjauh yang dapat dicapai. Kondisi mantapnya Pancasila inilah, yang ingin dicapai melalui upaya menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal.

Apa yang ditakutkan Pak Harto ini ternyata terjadi saat ini, ditandai dengan berlangsungnya demonstrasi yang dipimpin oleh Eggy Sujana di istana beberapa waktu lalu untuk menolak Pancasila sebagai asas tunggal bagi organisasi-organisasi Islam. Menjadi nyata bagi kita pentingnya pembahasan mengenai dasar negara ini karena besarnya perbedaan paham di antara kita sebagai warga Indonesia.

Sudah tentu perkembangan sejarah akan membawa kita pada berbagai kemungkinan. Sebagai negara kepulauan, perkembangan kita tentu akan berbeda dengan negara-negara di daratan Eropa. Kalau di Eropa pada umumnya banyak negara mengikuti sistem pemilu proporsional, sementara kita di sini, sebagaimana disampaikan oleh Mendagri Syarwan Hamid di hadapan anggota DPR, akan meniru Jepang dan Filipina, yaitu menggunakan sistem distrik, suatu sistem yang selama pemerintahan Orde Baru sangat dihindari. Mungkin juga ini bukan karena bentuk geografis negara kita, melainkan oleh perkembangan historis dan situasional. Amerika menggunakan sistem distrik walaupun negaranya kontinental. Tetapi, Amerika memiliki pengaruh luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Yang jelas, hal-hal seperti inilah yang kini menentukan masa depan kita dan sedang hangat dibicarakan pada saat tulisan ini dibuat. Dengan kata lain, baik hal-hal yang bersifat prinsipiil maupun taktis sama-sama memberikan pengaruh pada kita. Kita belum tahu lagi apakah kesudahan dari keadaan tumpang tindih ini.

Semua ini menunjukkan bahwa Indonesia tidaklah berada dalam suasana kosong ketika melakukan penafsiran-penafsiran atas keadaannya sendiri. Di satu pihak, ada dorongan untuk menggunakan nilai-nilai Islam yang abadi guna menegakkan negara tersebut dalam kehidupan modern saat ini. Kegagalan untuk melakukan hal tersebut dianggap sebagai kegagalan melakukan perjuangan Islam, seperti yang terjadi di hampir semua negara Islam sekarang.

Karena sekularisme sudah begitu merasuk dalam kehidupan kaum muslimin hingga ia dipakai di mana-mana walaupun dicoba untuk menutupinya. Sebaliknya hanya negara seperti Iran yang mau terbuka untuk menuntut negara Islam, sedangkan negeri-negeri yang lain tidak jelas apakah negara sekuler atau negara agama. Termasuk dalam daftar yang terakhir ini adalah Indonesia yang dinyatakan bukan negara sekuler dan bukan pula negara agama.

Salah satu di antara negara yang terang-terangan menerima sekularisme adalah Turki. Di negeri ini, pihak militer menjadi motor paham itu dan menjaga agar Turki tidak kehilangan watak sekularistiknya. Ketika Partai Keselamatan Nasional (Motherhood Salvation Party) memenangkan pemilu atas nama Islam, maka Nekhmatin Erbakhan sebagai pemimpinnya menjadi perdana menteri dan Tasu Gillar menjadi wakil perdana menteri.

Ternyata, tentara memiliki kecurigaan yang besar pada Erbakhan dan memaksanya berhenti dengan memilih Gillar sebagai PM yang kali ini didukung oleh Erbakhan. Dengan demikian, terjadi keseimbangan baru, yaitu pemerintahan tidak menggunakan sekularisme, tapi juga tidak menentang Islam. Keseimbangan baru itu merupakan kompromi yang hingga kini kita tidak tahu sampai kapan bisa dipertahankan.

Di Turki berkembang pula paham korlat yang tidak mempedulikan partainya Erbakhan, yaitu militaniisme yang timbul dari ajaran tarekat. Sebagai sesuatu yang militan, tarekat Naqsabandiyah lebih berkembang di bawah tanah dengan pimpinan dan kontak-kontaknya sendiri. Dengan demikian, kaum militer terpaksa berhadapan dengan tiga jenis gerakan Islam. Yang pertama dan kedua adalah gerakan Islam dari partainya Erbakhan yang menuntut diberi ruang gerak Islam secara formal dan tuntutan gerakan tarekat Naqsabandiyah yang bergerak di bawah tanah dan ketiga adalah kompromi antara nasionalisme ala Gillar dan gerakan Islam yang ada.

Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa diperlukan pemikiran jernih dan dalam mengenai strategi gerakan Islam di Indonesia dalam menghadapi tantangan modernisasi. Masihkah gerakan Islam di Indonesia diharuskan mengikuti ukuran-ukuran formal dari agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari? Dengan belajar dari berbagai tempat, khususnya Turki, mungkinkah kita melahirkan gerakan agama Islam yang berusaha menegakkan demokrasi dan menghargai hak-hak asasi manusia, kepentingan pribadi warga bangsa, kalau masih juga diikat dengan alat-alat lama?

Bukankah justru sebaliknya bahwa gerakan Islam harus menghindarkan formalisme dan memperjuangkan demokrasi dengan segala konsekuensinya. Kalau ini tidak dilakukan, bukankah salah satu hasil akan tercapai, kalau kita menghasilkan formalisme Islam yang mengekang demokrasi (seperti di Iran sekarang) atau menghasilkan demokrasi dengan meninggalkan Islam?
Pertarungan inilah yang tampaknya masih akan mewarnai kehidupan bangsa kita dalam waktu-waktu mendatang.

Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa

Dalam tulisannya di jurnal Indonesia (terbitan Cornell University) edisi oktober 1984, Sidney Jones membuat sebuah pengamatan menarik. Dalam artikel itu ia menunjukkan perubahan-perubahan dalam pengertian yang dimiliki kata "umat Islam" dari waktu ke waktu, di kalangan Nahdlatul Ulama. Perubahan-perubahan arti itu berjalan mengikuti meluas atau menyempitnya wawasan perjuangan gerakan-gerakan Islam yang ada. Semula, dalam abad-abad yang lalu umat Islam hanya meliputi sesama kaum muslimin yang tinggal di sebuah kawasan, yang ketika masyarakat suku-suku bangsa Indonesia masih dijajah oleh pemerintahan kolonial. Setelah itu, kata tersebut berkembang, meliputi semua kaum muslimin di seluruh dunia, yaitu ketika bangsa-bangsa muslim dijangkiti rasa gairah untuk memerdekakan diri dari penjajahan. Kemudian kata tersebut berubah liputannya, menjadi hanya sesama kaum muslimin yang membentuk nasion Indonesia. Makin kemudian lagi, kata "umat" lalu hanya meliputi mereka yang masuk (atau dimasukkan ke dalam) gerakan-gerakan formal Islam. Dan demikian seterusnya, kata tersebut akan senantiasa mengalami pemekaran dan penyempitan kelompok yang diliputnya. Strategi perjuangan yang diikuti juga akan senantiasa berubah-ubah, mengikuti perubahan arti yang dimaksud dengan kata "umat" tersebut. Spektrum jumlah manusia yang dimasukkan ke dalam kategori "umat" itu lalu juga memperlihatkan variasi yang kaya sekali dari masa ke masa, dari yang merupakan gugusan kelompok-kelompok kecil hingga seluruh kaum muslimin.

Tolok Ukur

Bagi para pelaku di panggung percaturan umat sendiri, perubahan arti dari waktu ke waktu itu tidak begitu dirasakan, karena apapun maksudnya, ia selalu menggambarkan "kelompok perjuangan yang benar", yang memiliki ciri-ciri sebagai muslim yang sebenarnya. Dengan kata lain, "umat" dilihat sebagai tipe ideal, yang bersedia berkurban untuk mencapai cita-cita yang dibawakan Islam. Terlepas dari sempitnya atau luasnya liputan kata "umat" itu, secara kualitatif gambaran abstrak yang ditampilkannya adalah citra ketulusan perjuangan bagi kepentingan "kejayaan Islam dan kaum muslimin" ('izzul Islam wal muslimin) dan "pengagungan sabda Allah yang luhur" (I'la-I kalimatillah hiyal 'ulya). Dalam operasionalisasinya, tujuan tersebut memang dapat saja dikongkretkan menjadi bermacam macam slogan, seperti Darul Islam-nya Kartosuwiryo, negara Pancasila-nya para perumus piagam Jakarta, masyarakat Islami-nya sementara kalangan muda-muda di kampus saat ini, ataupun hanya sekadar ciri-ciri kekhususannya Partai Persatuan Pembangunan menurut versi hasil muktamar I di Ancol beberapa bulan yang lalu.

Jalur yang dilalui perjuangan seperti itu-yang masih mencantumkan sasaran formal Islam sebagai tujuannya dengan sendirinya memerlukan format tersendiri, yang tidak dapat begitu saja disamakan dengan perjuangan orang lain. Kekhususan format itulah yang sebenarnya membedakan gerakan-gerakan Islam dari gerakan-gerakan lain, yang tujuan formalnya dirumuskan secara sangat global: "mengajak kepada perintah Allah dan mencegah larangan-larangan-Nya" (amar ma'ruf nahi munkar). Tidak ada gerakan Islam yang mampu menghindarkan diri dari format perjuangan ini, sedangkan penggunaannya oleh pihak lain di luar gerakan Islam justru memperkuat hubungan simbiosis antara umat dan format perjuangan tersebut. Bagi mereka yang diketahui tidak turut menghayati perjuangan gerakan Islam, kesediaan untuk memakai format ini justru dirasakan sebagai manipulasi oleh umat, setidak-tidaknya oleh kalangan pimpinannya. Cepat atau lambat, tudingan jari ke arah para "manipulator" itu akan dilakukan oleh mereka yang merasa lebih berhak mewakili perjuangan Islam, seperti dialami Presiden Ziaul Haq di Pakistan saat ini. Oleh kalangan mahasiswa militan muslim ia dituduh menggunakan Islam hanya untuk sekadar mempertahankan kekuasaan belaka.

Ketiga unsur yang digambarkan itu - batasan arti umat, tujuan perjuangan dan format perjuangan- merupakan tolok ukur dari sebuah tilikan yang lengkap tentang perjuangan massa Islam di sebuah kawasan. Sudut pandang yang dikemukakan Sidney Jones untuk melihat perjuangan massa Islam dari konsep keumatan yang digunakan oleh suatu gerakan Islam, akan mampu mengorek hakikat kesadaran keagamaan gerakan tersebut, karena ia akan menentukan orientasinya: apakah eksklusif, inklusif, utopis atau justru mendunia? la juga akan mengungkapkan kesadaran kesejarahan yang dimiliki gerakan tersebut: apakah sebagai bagian dari sebuah perjuangan umum kemanusiaan atau justru ingin merombak visi kemanusiaan yang umum diterima? Demikian pula, pengertian umat itu sendiri juga sangat menentukan dimensi politis dari perjuangan yang dilakukan, dalam arti bentuk kongkret masyarakat yang akan dituju.

Tujuan perjuangan juga merupakan sudut pandangan yang menarik untuk melakukan tilikan atas perjalanan sebuah gerakan Islam. Tujuan yang dirumuskan secara kongkret dan langsung akan memberikan aura yang berbeda atas perjuangan yang dilakukan, bila dibandingkan dengan tujuan yang sifatnya samar-samar. Ketika Masyumi sebagai partai politik mencanangkan "negara sejahtera yang diridloi Allah" (baldatun tayyibatun warabbun ghafur) tahun 1950-an, sudah tentu bekasnya pada kiprah para warga lalu menjadi sangat berbeda dari tujuan perjuangan partai Nahdlatul Ulama dikurun waktu yang sama, yang dirumuskan sebagai "menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljamaah" saja. Yang dimaksudkan dengan bekas-bekas itu adalah dampak dalam bentuk rumusan operasional perjuangan yang akan dilakukan seperti lingkup bidang yang akan digarap, struktur kepemimpinan yang dibentuk dalam gerakan itu sendiri, dan proses pengambilan keputusan yang digunakan. Demikian juga, tawaran bentuk-bentuk kemasyarakatan yang diajukan kepada "kelompok sasaran" juga menjadi berbeda.

Format perjuangan juga menyajikan jendela yang menarik untuk melakukan telaah atas perilaku sosial gerakan-gerakan Islam di sebuah kawasan. Pada format yang canggih dan kompleks -seperti rumusan program sebuah partai politik Islam -selalu ada unsur untuk meletakkan diri dalam situasi "kita" melawan "mereka", dengan segala konskuensi yang ditimbulkannya. Kasus pertentangan warga Nahdlatul Ulama yang oleh keadaan (seperti karena menjadi anggota KORPRI) tidak mungkin menjadi pendukung PPP di satu pihak dan kawan-kawan seorganisasi induk yang mendukung PPP adalah contoh menarik untuk dikemukakan dalam format perjuangan ini, begitu format perjuangan NU diubah oleh Muktamar XXVII di Situbondo, Desember 1984, yaitu ketika dinyatakan bahwa NU tidak lagi mempunyai kaitan organisatoris dengan partai/organisasi politik manapun, perubahan besar dalam hubungan kedua belah pihak langsung terjadi.

Masing-masing jendela penglihatan tersebut memang menarik untuk digunakan sebagai alat telaah, namun harus dalam keterkaitan satu dengan yang lain, guna memperoleh kebulatan gambaran yang diperlukan urltuk memahami pola perilaku gerakan-gerakan Islam dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Untuk hanya melihat format perjuangan Muhammadiyah saja saat ini, tentulah sulit untuk mengetahui mengapa sebagian warganya merasa berat untuk menerima Pancasila sebagai asas organisasi tersebut. Gambaran yang utuh baru diperoleh, jika digunakan pula sudut pandangan pengertian umat yang dimiliki orang-orang Muhammadiyah tersebut, dan tujuan perjuangan mereka untuk menegakkan nilai-nilai dan pandangan hidup ke-lslam-an dalam kehidupan masyarakat bangsa kita di masa depan. Bagi mereka, nilai-nilai dan pandangan hidup tersebut sudah merupakan sesuatu yang baku, dan ditakutkan justru Pancasila sebagai asas organisasi akan mengurangi keadaan telah terbakukannya nilai dan pandangan hidup itu.

Memahami perilaku gerakan-gerakan Islam dengan ketiga sudut pandangan itu akan membawa kepada telaah yang menekankan proses terbentuknya suatu sikap, bukannya pendataan sikap atau pandangan yang telah selesai dan mantap. Pendekatan seperti ini sangat diperlukan, karena pengenalan proses itu akan memberikan wawasannya sendiri dan memperkaya khazanah bacaan yang selama ini terlalu menekankan situasi statis gerakan-gerakan Islam, la juga dapat digunakan untuk melakukan prediksi atas perilaku massa Islam jangka panjang, setidak-tidaknya kecenderungan utama yang dapat timbul dari situasi tertentu yang dijalani kaum muslimin.

Organisasi Modern Islam

Jika ditilik dari ketiga sudut pandangan tersebut, menarik sekali untuk melihat perjalanan organisasi Islam modern pertama di negara kita—Sarekat Dagang Islam yang didirikan H. Samanhudi di permulaan abad mi di Solo. Yang menarik adalah bahwa organisasi ini telah menampilkan citra modernitas, yang sebelumnya tidak dimiliki kaum muslimin di tanah jajahan Hindia Belanda. Pertama karena "umat" yang ingin dijangkau adalah lapisan tertentu dari masyarakat, sehingga ada pembedaannya dari apa yang dikandung oleh istilah "kaum muslimin" yang hanya berkonotasi umum belaka. Sudah tentu pilihan arti kata "umat" yang dilakukan Sarekat Dagang Islam (SDI) itu menentukan tujuan dan format perjuangan. Umat yang diharapkan akan mendukung adalah lapisan pedagang; itupun diutamakan dari kalangan saudagar belaka. Format perjuangannya dengan sendirinya harus mampu merefleksikan kelompok pendukungnya, yaitu perjuangan praktis untuk meningkatkan kemampuan sosial-ekonomis, di samping palaksanaan ajaran-ajaran agama para saudagar itu dalam kehidupan niaga mereka. Format yang demikian mencerminkan orientasi kekinian itu sudah tentu sangat berbeda dengan orientasi kaum tarekat, misalnya. Demikian pula, tujuan perjuangan yang mau tidak mau harus dikongkretkan dalam sasaran dan capaian rasional yang mungkin dicapai, tentunya sangat berbeda dari hanya sekadar tujuan umum "menyebarkan ajaran Islam" yang menjadi kesadaran kelompok-kelompok muslim lainnya.

Kalau dilakukan perbandingan lain yang lebih menarik, yaitu dengan benih-benih gerakan kaum muda di Sumatra Barat pada kurun waktu yang relatif bersamaan, apa yang dicapai SDI adalah sesuatu yang unik. Kaum muda di Sumatra Barat memang menginginkan terbentuknya kekuatan dan pola hidup yang berbeda dari kalangan tua yang mereka tantang, tetapi perubahan itu sendiri lebih banyak berwatak puritanisme agama (atau dengan kata lain, modernisasi intern) daripada bertekanan hubungan keluar, seperti yang dialami SDI. Pembaharuan kaum muda di Sumatra Barat adalah pembaharuan penafsiran agama secara formal-legalistik belaka, sedangkan pembaharuan SDI adalah perumusan kembali wawasan kolektif para pendukungnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun yang jelas telah ada kesadaran untuk mendudukkan SDI pada kerangka kemasyarakatan yang telah mengandung unsur-unsur kebangsaan dan kenegaraan.

Pada Sarekat Islam (SI), yang didirikan setelah masa SDI itu, lebih jelas lagi tampak wawasan kebangsaan dan kenegaraan. Yang dipersoalkan bukan lagi masalah apakah Islam terkait dengan masyarakat bangsa —dan dengan demikian harus memiliki wawasan kenegaraan—melainkan bagaimana harus dirumuskan lingkup dan jangkauan wawasan yang akan ditumbuhkan.SI melihat dimensi kebangsaan dari kehidupan masyarakat terjajah di Hindia Belanda sebagai ikatan dasar yang meliput tidak hanya kelompok-kelompok yang memiliki persamaan primordial saja—seperti asal-usul etnis atau bahasa—melainkan juga memiliki kesamaan ideologis. Dalam konteks ideologis itu SI harus berkembang, yaitu sebagai pembawa ideologi tertentu yang sudah memiliki kejelasan rumusan—kenyataan. Atas dasar itulah SI menentukan format perjuangannya perjuangan semesta untuk turut dalam percaturan kekuasaan pada sebuah negara yang memiliki otonomi sendiri, kalau bukan memiliki kemerdekaan politis sebagai sebuah negara yang berdaulat. Bahwa kemudian dalam SI muncul wawasan kenegaraan lebih kongkret, —ketika SI merah dengan ideologi komunistiknya—sama sekali tidak mengurangi kenyataan bahwa SI selama hidupnya yang pendek di masa penjajahan memiliki format perjuangan semesta itu. Dalam wawasan seperti itu, massa Islam diajak untuk berkiprah di semua bidang kehidupan, dan sebuah kelompok pimpinan elite di puncak organisasi akan memusatkan seluruh kekuatan yang ditimbulkan oleh semua kiprah semesta itu ke dalam sebuah agenda perjuangan politik.

Dengan demikian, ada sebuah lompatan besar dari SDI ke SI, suatu lompatan berupa pertumbuhan dari kesadaran yang semula hanya untuk memajukan kesejahteraan dan kualitas hidup anggota belaka, menjadi kesadaran akan perlunya sebuah sistem kekuasaan yang akan menciptakan kesejahteraan yang diinginkan itu. Ada semacam lompatan berbentuk kongkretisasi saran penunjang yang dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita adanya negara yang dikuasai "pihak sendiri". Masyarakat yang tadinya hanya digambarkan sebagai gugusan manusia dalam gerak-gerak individual dalam gambaran cita yang dirumuskan SDI, lalu dipadatkan menjadi sebuah negara sebagai perangkat fungsional yang akan memberi warna 'ke-lslam-an' (Islamiticy) kepada kehidupan bangsa secara keseluruhan.

Lompatan SI itu, yang melibatkan massa Islam kepada sebuah upaya mendirikan atau membentuk masyarakat yang diletakkan dalam konteks bemegara, memberikan wawasan baru dalam kehidupan berbangsa kaum muslimin—wawasan berbangsa dalam artian nasion. Apa yang oleh ibn Khaldun dirumuskan sebagai "keterikatan kelompok" (ashabiyah) ternyata memiliki liputan yang tidak hanya terbatas pada sebuah unsur dominan belaka—seperti ras, bahasa dan adat istiadat—melainkan oleh sesuatu yang lain. Sesuatu itu yang oleh Bung Kamo selalu dikemukakan sebagai apa yang dimaksudkan Ernest Renan sebagai raison d'etre bangsa, adalah kesadaran akan persamaan nasib sebagai warga bangsa yang satu. Kesadaran berbangsa itu sendirilah yang melandasi keterikatan sebagai bangsa. Wawasan kebangsaan yang dimiliki SI sejak masa dini perjuangan kemerdekaan kita, adalah sumbangan terbesar SI bagi sejarah modern Indonesia. Upaya-upaya untuk memperjuangkan pembebasan dari ikatan penjajah Belanda sebelumnya, sebenarnya belum dapat dikatakan perjuangan kemerdekaan bangsa. Perang Aceh maupun Perang Diponegoro, misalnya, tidak lebih hanyalah perjuangan kemerdekaan dalam arti pembebasan teritorial tertentu dari kekuasaan penjajah. Dalam kapasitas demikian, perjuangan SI adalah titik mula perjuangan kemerdekaan bangsa, dan inilah benang merah yang senantiasa terdapat dalam perjuangan semua organisasi masyarakat dan partai politik yang muncul dengan bendera Islam semenjak itu hingga kini. Muhammadiyah yang sebenarnya lebih tua dari SI sebagai partai politik, pada awal berdirinya belum mengembangkan "semangat kebangsaan" seperti yang dikemukakan di muka. Baru setelah SI mengembangkan wawasan kebangsaan yang berdimensi nasion itulah Muhammadiyah lambat-laun mengembangkan hal yang sama dalam dirinya.

Demikianlah peranan besar SI dalam memulai dan kemudian mengarahkan kesadaran berbangsa kaum muslimin kepada wawasan yang baru. Itulah yang membuat begitu banyak gerakan Islam turut terlibat dalam perjuangan kemerdekaan bangsa, berkulminasi pada berdirinya Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), yang kemudian diikuti Masyumi. Namun, perkembangan orientasi berbangsa ini kemudian menyempit kembali, ketika kelompok-kelompok muslim justru mengembangkan sesuatu yang baru sebagai dimensi kenegaraan dari kesadaran berbangsa yang dirintis SI itu. Dimulai dari serangkaian perdebatan tentang hakikat apa yang harus dimiliki negara yang dicita-citakan setelah kemerdekaan nantinya tercapai, segera muncul kesadaran baru yang dirumuskan sebagai "ideologi Islam". Menurut kesadaran baru itu, negara yang harus didirikan seharusnya berdasarkan ajaran-ajaran dan wawasan keimanan Islam. Bahkan kalau dimungkinkan, negara yang didirikan selayaknya secara formal disebut negara Islam.

Perdebatan berkepanjangan antara pemimpin-pemimpin Islam dan para pemimpm nasionalis seperti Sukarno adalah wahana utama ekspresi ideologis Islam tersebut dalam tahun 1930-an dan awal 1940-an. Kalau disimak secara seksama tulisan-tulisan Natsir masa itu akan tampak adanya keyakinan membara bahwa Islam adalah sistem kemasyarakatan yang harus didirikan di Nusantara. Pertanyaan yang harus diajukan dalam hal ini adalah bagaimana massa Islam memandang persoalan hubungan Islam dan negara sebagaimana diperdebatkan para pemimpin mereka saat itu. Ternyata massa Islam tidak menghayati permasalahan tersebut, karena terbukti semua gerakan Islam tidak mampu melakukan mobilisasi kekuatan massal untuk mendukung gagasan para pemimpin muslim itu. Sebagian besar kaum muslimin justru lebih cenderung untuk hanya menggelorakan kesadaran berbangsa dalam artian yang umum, tidak seperti apa yang diajukan para pemimpin Islam itu. Kenyatan pahit ini terbukti dari sedikitnya respons tertulis maupun terorganisir yang diberikan kepada gagasan-gagasan mereka.

Faktor Komplementer

Betapa pahitnya kenyataan tersebut, yang jelas kekuatan ideologis Islam itu cukup besar dalam percaturan di tingkat atas dalam perjuangan kemerdekaan bangsa, sebagaimana terbukti dari kehadiran para pemimpin berhaluan itu dalam upaya persiapan kemerdekaan Indonesia, dan kemudian dalam mempertahankan kemerdekaan melalui revolusi fisik 1945-1949. Karena besarnya kekuatan di tingkat atas itulah lalu terjadi status quo mengenai hakikat negara, ketika persiapan kemerdekaan memasuki taraf terakhir. Kemacetan itu ditembus dengan rumusan sederhana, berupa rumusan sila pertama Ketuhanan yang maha Esa. Sila tersebut merupakan simbolisasi besarnya kekuatan ideologis Islam, namun yang tidak mampu memegang dominasi percaturan di tingkat atas karena tidak memperoleh dukungan luas dan massa Islam sendiri. Jika dukungan itu cukup besar, tentunya tidak akan begitu saja rakyat menerima bentuk kompromistik yang dicapai para pemimpin nasional kita waktu itu. Yang terjadi justru sebaliknya, yaitu semakin mantapnya Republik Indonesia sebagai negara yang pada hakikatnya hanya bersendikan kebangsaan belaka.

Kenyataan inilah yang rupanya masih belum tuntas dipahami oleh sementara kalangan pergerakan Islam di Indonesia saat ini. Bahwa kesadaran berbangsa sebagai penggerak utama (prime mover) bagi cita-cita kehidupan kita sebagai bangsa, adalah sesuatu yang harus diterima sebagai fakta objektif yang tuntas. Secara bertahap tetapi pasti, penerimaan atas kenyataan ini telah berlangsung secara menetap di kalangan gerakan Islam. Muhammadiyah yang menyatakan diri tidak terlibat dengan partai politik manapun sejak tahun 1970-an, tidak lain telah menyatakan secara tak langsung sia-sianya upaya "mengembalikan" perjalanan sejarah bangsa kepada sesuatu yang dirasakan "Islami", entah apapun maksud kata tersebut. Demikian juga Nahdlatul Ulama, dalam rumusan hasil Muktamar XXVII di Situbondo baru-baru ini justru menyebutkan Republik Indonesia sebagai bentuk final dan upaya kaum muslimin untuk membentuk negara di kawasan Nusantara.

Ketidakmampuan membaca perkembangan kesadaran kenegaraan kaum muslimin ini akan berakibat jauh, karena bagaimanapun juga akan muncul pandangan yang terlalu idealistik tentang hubungan Islam dan negara. Ajaran Islam—sebagai komponen yang membentuk dan mengisi kehidupan bermasyarakat warga negara kita—seharusnya diperankan sebagai faktor komplementer bagi komponen-komponen lain, bukannya faktor tandingan yang akan berfungsi disintegratif terhadap kehidupan bangsa secara keseluruhan. Konotasi yang bemada pamflet politik atau khotbah ideologis ini adalah penyimpulan penulis tentang perkembangan hakikat negara dan bangsa dalam pemikiran kaum muslimin, semenjak berdirinya SDI hingga kini. Dari kesadaran abstrak tentang perlunya sebuah masyarakat bangsa tanpa mempersoalkan bangunan negaranya, pemikiran itu kemudian berkembang menjadi kesadaran berbangsa yang memiliki wawasan nasional sebagaimana kita kenal sekarang. Dari kesadaran berbangsa selaku nasion Indonesia itu, lain tumbuh pemikiran untuk menumbuhkan negara yang berhakikatkan Islam, namun yang akhirnya terbentur kepada kenyataan langkahnya dukungan massa Islam sendiri secara kongkret untuk menembus status quo yang ada. Walaupun dalam sidang konstituante gerakan Islam masih mencoba sekali lagi untuk memunculkan hakikat negara seperti itu, namun dalam keseluruhan kiprah gerakan Islam justru menunjukkan kemampuan menerima kondisi objektif tersebut, dan mencukupkan "perjuangan" yang mereka lakukan untuk menjadikan Islam sebagai salah satu faktor komplementer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tetapi itu tidak menutupi kenyataan, bahwa masih cukup besar jumlah kalangan pergerakan Islam yang berpegang pada pola idealistik yang menganggap Islam sebagai pegangan hidup yang tidak seharusnya berfungsi komplementer terhadap ideologi atau paham-paham kenegaraan lain. Memang tidak dinyatakan secara eksplisit. Yang diajukan sebagai agenda adalah bagaimana menjadikan Islam sebagai "pemberi wama tunggal" bagi kehidupan masyarakat. Dengan ungkapan lain, Islam adalah altematif terhadap apa yang ada dewasa ini termasuk terhadap kesadaran berbangsa dalam arti nasion, begitu dominan mewarnai kehidupan bangsa hingga saat ini. Untuk lebih memungkinkan pengukuran objektif atas wawasan "pemberi wama tunggal" itu, seharusnyalah dilakukan telaah mendalam dan cermat atas keinginan massa Islam, dalam artian rakyat banyak yang tampaknya sudah berdamai dengan ideologi negara dan sekaligus masih mampu mempertahankan kehidupan mereka dalam konteks "Islami" tersendiri, yang berukuran lokal dan aplikatif hanya terhadap individu. Massa Islam itu tampaknya puas dengan akomodasi yang dilakukan NU dan Muhammadiyah, sebagai perwakilan terpenting kaum muslimin di Indonesia, untuk menerima fungsi komplementer bagi Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini terbukti dari dukungan masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan kedua organisasi tersebut maupun dari luasnya jangkauan keanggotaan mereka.

Dewasa ini massa Islam memang berada dalam situasi resah, karena berbagai faktor. Proses pembangunan bangsa secara keseluruhan masih belum jelas warna dasarnya, apakah akan menuju kepada tekanan semakin lama semakin berlebih pada pengembangan hak-hak masyarakat, atas kerugian hak-hak individual yang semakin hari semakin berkurang. Perkembangan keadaan juga masih belum menunjukkan tanda-tanda asas kekeluargaan akan menjadi "warna dasar" struktur ekonomi kita, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 33 UUD 1945. Keterasingan kita satu dari yang lain kian hari kian terasa, karena distorsi konsep-konsep yang kita gunakan dalam mengatur kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya diakibatkan meluasnya penyalahgunaan wewenang semua pihak. Semuanya itu memang merupakan sumber kegundahan bagi warga masyarakat selaku individu maupun sebagai anggota kelompok. Dengan demikian, tawaran alternatif senantiasa akan memperoleh sambutan, sebagai "obat penawar" bagi keadaan yang menggundahkan perasaan itu. Namun haruslah diingat, bahwa penerimaan seperti itu kepada sebuah tawaran alternatif hanya akan berumur pendek, selama sebab-sebab kegundahan hati itu masih ada. Sedangkan bangsa Iran yang secara formal telah menerima "sistem sosial Islam" sebagai alternatif ideologis bagi semangat kebangsaan Iran yang dominan sebelumnya, masih juga harus membuktikan bahwa penerimaan Islam sebagai hakikat negara akan bertahan setelah Ayatullah Khomaeni meninggal dunia nanti. Apalagi kalau "respon positif" itu hanya diperoleh dari kelompok-kelompok kecil yang berserakan.

Selama kelompok-kelompok "tawaran alternatif" itu belum berhasil membuktikan penerimaan luas oleh masyarakat muslim sendiri, sudah selayaknya jika pandangan bahwa Islam adalah faktor komplementer bagi ideologi negara Pancasila dianggap sebagai representasi dominan di kalangan massa Islam. Dengan demikian, pengertian kata "umat" Islam lalu menjadi umum, meliputi semua kaum muslimin di Indonesia. Demikian pula, format perjuangannya adalah partisipasi penuh dalam upaya nnembentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan penuh keadilan di masa depan. Dan akhirnya, tujuan perjuangannya adalah memfungsikan Islam sebagai kekuatan integratif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dari masyarakat kita. Kesanalah hendaknya kesadaran massa Islam diarahkan dan dikembangkan oleh gerakan Islam di negara kita.

Mengapa Mereka Marah?

Seorang kawan menanyakan, mengapa banyak pemuka masyarakat Islam marah kalau mendengar "kaum fundamentalis" atau tersinggung kalau orang membicarakan "isyu negara Islam". Pertanyaan yang patut direnungkan, karena ia menunjuk pada perkembangan sangat kompleks dalam kehidupan bermasyarakat kaum muslimin. Juga bersangkutan dengan kemelut identitas cultural muslimin di seluruh penjuru dunia, tidak hanya di negeri kita.

Pertanyaan kompleks sudah tentu tidak dapat dijawab sederhana. Membutuhkan renungan yang dalam, juga tidak kurang keberanian moral untuk melihat masalahnya dengan jernih. Tanpa hanyut oleh luapan amarah, atau ketakutan yang disembunyikan rapat-rapat di balik kebanggaan akan peranan kesejarahan dalam percaturan politik, cultural, dan keagamaan yang dihadapi. Juga memerlukan kesanggupan untuk menelusuri mana wilayah kehidupan yang hakikatnya menjadi "agenda pemikiran" kaum muslimin dan membedakannya dari agenda semu yang kini dijajakan sebagai pertanda kebangunan kembali Islam.

Pengagungan Diri

Kaum muslimin di mana-mana terbagi dalam dua kelompok utama: mereka yang mengidealisasi Islam sebagai alternatif satu-satunya terhadap segala macam isme dan ideology, dan mereka yang menerima dunia ini "secara apa adanya". Pihak pertama menganggap Islam telah memiliki kelengkapan cukup untuk menjawab masalah-masalah utama umat manusia. Tinggal dilaksanakan ajarannya dengan tuntas, tak perlu lagi menimba dari yang lain. Karenanya kalau dianggap perlu ada dialog dengan keyakinan, isme, atau ideologi lain, haruslah ia diselenggarakan dalam kerangka menunjukkan kelebihan Islam.

Seonggok "pembuktian" diajukan—umumnya dengan mengemukakan jawaban idealistis yang pernah dirumuskan Islam. Sudah tentu jawaban itu dilandaskan pada sejumlah pengandaian serba idealistis pula: kalau saja umat manusia mau mengikuti ajaran Islam (padahal kenyataannya tidak), jika para pemimpin menggunakan moralitas Islam (padahal hanya satu-dua orang saja yang mampu), dan seterusnya.

Postulat-postulat formal Islam diajukan sebagai jawaban terhadap kemelut kehidupan masa modern: ayat-ayat Al qur'an dan hadis Nabi sebagai tolok ukur lahiriah satu-satunya bagi "kadar keislaman" segala sesuatu yang dikerjakan.

Tidak heran kalau sikap kritis terhadap keadaan sendiri tidak dapat dikembangkan sepenuhnya—terhalang oleh "sudah sempurnanya" Islam sendiri. Lalu menjadi wajar juga kecenderungan untuk hanya mampu mengagungkan diri sendiri, yang memandang remeh perkembangan. Perkembangan apa pun di luar keasyikan kita dengan kehebatan Islam, lalu tidak memiliki nilai yang tinggi.

Kalau perkembangan di luar tidak dapat diabaikan, dicarikan alas an untuk menghindarkan pemikiran mendalam atasnya: ini buah pikiran komunistis, itu ide sekuler, dan seterusnya. Semakin besar kenyataan di luar menghadang ufuk pandangan kita, semakin hebat upaya melarikan diri dari perwujudan konkretnya.

Kalau diajukan pemikiran untuk mencari jawaban konkret (bukan hanya idealistis) dengan jalan menghadapkan ajaran Islam pada kerangka berfikir baru yang bersumber pada isme, keyakinan, dan ideology lain, maka cap keturtadan, kekafiran, dan (lagi-lagi) sekuler dipakaikan pada usul itu sendiri.

Mental Benteng

Timbullah apa yang kemudian dinamai sejumlah pengamat sebagai "mental benteng": Islam harus dipagari rapat-rapat dari kemungkinan penyusupan gagasan yang akan merusak kemurniannya. Tanpa disadari, mental seperti itu justru pengakuan terselubung akan kelemahan Islam. Bukankah ketertutupan hanya membuktikan ketidakmampuan melestarikan keberadaan diri dalam keterbukaan? Bukankah isolasi justru petunjuk kelemahan dalam pergaulan?

Kalau kepada sikap jiwa seperti itu diajukan tuduhan oleh pigak luar akan adanya mental fundamentalisme, atau tentang masih adanya pemikiran mendirikan "negara Islam", jelas rasa marah yang muncul sebagai reaksi. Bukankah karena ketakutannya terhadap "pengaruh negatif" luar, ia curiga terhadap semua pendapat "orang luar" tentang dirinya? Bukankah kepekaan adalah hasil dari sikap mengunci pintu seperti itu?

Padahal, penamaan sebagai kaum fundamentalis tidak ditujukan kepada semua muslimin yang mengidealisasikan Islam dan menempatkannya sebagai alternatif tunggal bagi semua isme, keyakinan, dan ideologi yang ada. Cukup besar jumlah idealis muslimin yang mampu menerima isme-isme lain dan melihat peranan agama mereka dalam fungsi mengarahkan isme-isme itu bagi kebutuhan hakiki umat manusia, entah nasionalisme, sosialisme, dan seterusnya.

Banyak sekali idealis muslimin yang melihat ideologi formal negara sebagai pengatur pergaulan politik, sedang Islam difungsikan terutama dalam pergaulan sosio- cultural. Jelas tidak semua kaum idealis muslimin fundamentalis. Kalau demikian, mengapa hampir semua "idealis muslim" marah terhadap istilah di atas atau terhadap anggapan adanya aspirasi mendirikan "negara Islam" dan sebangsanya?

Karena mereka mengurung diri dalam benteng mental yang mereka dirikan. Semua penamaan "dari luar", lalu dianggap mengenai semua warga benteng, sebagai tuduhan serampangan dan prasangka buruk terhadap semua muslimin idealis yang berada dalam benteng. Simplifikasi permasalahan adalah metode pemikiran mereka, sehingga pemberian nama apa pun yang dirasakan tidak simpatik dianggap ancaman.

Memang jauh implikasinya bagi masa depan perkembangan Islam. Tapi sebenarnya kita tidak usah pesimistis dengan sikap jiwa seperti itu. Mengapa? Karena itu akan berkurang dengan sendirinya, kalau proses pendewasaan telah mempengaruhi cara berpikir.

Ini hukum alam. Berlaku baik untuk muslimin maupun yang bukan.

Nasionalisme, Tasawwuf dan Demokratisasi

Karya penulis yang dimuat harian ini beberapa waktu lalu, berjudul Tasawwuf dan Kebatinan/Kejawen, ternyata mendapat tanggapan dari saudara M. Luqman Hakiem. Tanggapan itu, berjudul Tasawwuf Dan Proses Demokratisasi patut memperoleh tanggapan balik dari penulis yang hendak disampaikan di bawah ini. Tentu saja penulis belum membahas segi-segi peristilahan resmi dari Wahdatul Wujud ataupun segi-segi resmi dari Kebatinan/Kejawen, karena untuk memberikan jawaban di atas diperlukan waktu lama.

Yang ingin hendak dibahas di sini adalah bagian yang mengupas kaitan antara demokratisasi dan Islam di satu pihak, dan antara Kebatinan/Kejawen dan demokratisasi di pihak lain. Kini, yang tampak hanyalah bisingnya masalah-masalah yang ditimbulkan akibat pergesekan antara demokrasi dan Islam, yang mungkin ditimbulkan karena kebisingan internal dalam pemikiran Islam sendiri. Gerakan Islam itu pada mulanya tampak telah mencapai kebuntuan. Ini terlihat antara lain, dalam kenyataan bahwa gerakan Islam telah sampai kepada keberhentihan tuntutan negara Islam, atau tuntutan pelaksanaan ajaran Islam secara formal dalam idiologi negara. Perjuangan ini di negara kita telah berakhir pada kebuntuan yang ditimbulkan oleh berhentinya Piagam Jakarta (Jakarta Carter) pada tanggal 18 Agustus 1945.

Dengan demikian, seluruh gerakan Islam di Indonesia mengacu pada Pancasila sebagai idiologi negara. Namun, dalam kenyataannya, justru upaya menyelaraskan Syari’at Islam pada Pancasila memberikan nafas baru dalam dialog antara Islam dan idiologi tersebut. Nahdlatul Ulama (NU), umpamanya, dalam salah satu muktamarnya, setelah tahun 1971 di Surabaya, ternyata merumuskan Islam sebagai moralitas pendidikan dan ajaran/Hukum Agama. Dengan demikian, NU tidak dapat menerima Islam sebagai sesuatu yang idiologis dalam kiprahnya.

Hal ini, tentu saja tidak dapat diterima oleh gerakan-gerakan lain dalam Islam di Negeri ini. Mereka memiliki pengertian masing-masing mengenai hubungan antara Pancasila dan Islam. Di antara mereka bahkan ada pendapat, bahwa Islam haruslah terkait dengan politik dan/atau idiologi. Kalau Islam tidak menyangkut idiologi maka gerakan yang demikian itu bukanlah gerakan Islam. Ini berarti, formalisasi ajaran agama dalam kehidupan bernegara. Dalam hal ini, persoalaan utamanya adalah bagaimana membuat Islam memperjuangkan demokrasi dalam rangka pengembangan paham warga negara untuk mengembangkan demokrasi. Negara haruslah melayani semua pihak, karenanya Islam tidak perlu diformalkan dalam kehidupan bernegara. Cukup apabila para warga negaranya memperjuangkan sumbangan dan peranan Islam secara informal dalam pengembanggan demokrasi. Hal inilah yang dilakukan penulis sebagai Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU) selama masa hampir dua puluh tahun lamanya.

Sebaliknya, ada pula pandangan bahwa Islam harus diformalkan dalam kehidupan bernegara. Ini berarti, Pancasila haruslah diberi arti formal Islam, hingga ia tidak dapat dibelokkan oleh unsur apapun ke arah lain. Tetapi, ini berarti pula bahwa demokrasi dalam artiannya yang murni tidaklah harus dirumuskan. Ia harus mengalah dan menjadi diam manakala berhadapan dengan Hukum Islam.

Ini dapat dicontohkan sebagai berikut. Menurut pandangan pertama, orang akan mengubah Hukum Islam mengenai kemurtadan (apostasi) --yang patut di hukum mati. Dalam pandangan pertama ini, anggapan formal Islam tentang berpindah agama , dari Islam ke agama lain adalah suatu hal yang harus dihormati, sesuai dengan Deklarasi Universal hak-hak asasi manusia. Dalam pandangan kedua, justru Hukum Islam formal mengenai perpindahan agama ini harus tetap dipertahankan, kalau perlu dengan menolak sebagaian dari Deklarasi Universal tersebut.
Dalam pandangan kedua ini, Al-Maududi menolak kehadiran Nasionalisme dalam pemikiran Islam , karena ia adalah produk barat dan tidak berasal dari lingkungan sendiri. Kalau kita konskuen dengan ke-Islaman kita, dalam pandangan ini maka tidak ada kemungkinan bagi Islam untuk menerima Nasionalisme. Tentu, pandangan ekstrim ini tidak mencakup pandangan-pandangan Islam di negeri ini, karena Islam di negeri ini tidak pernah menolak gerakan Nasionalisme. Tapi setidak-tidaknya, tentu ada banyak kecurigaan terhadap paham tersebut di sementara kalangan atas gerakan-gerakan Islam di negeri ini.

Di sinilah nantinya terletak peranan Tasawwuf sebagai jembatan yang menengahi kedua paham Islam dan Nasionalisme itu. Ini dalam artian, seseorang yang merubah Hukum Islam di atas tentang kemurtadan, tetapi tetap menjadi muslim, melalui sikap ber-Tasawwuf. Dan, ini berarti pula, peluang berteori tentang hubungan Islam dan Nasionalisme dalam kaitan hidup bernegara, di samping praktek kehidupan untuk tidak mempersoalkannya.

Nah, di sinilah sebenarnya terletak pertanyaan kepada gerakan Nasionalisme di negeri ini. Dalam kiprahnya untuk menegakkan demokrasi, adakah peluang dalam gerakan ini untuk mempersoalkan secara teoritis mengenai hubunganya dengan negara? Bukankah yang selalu nampak di permukaan adalah wacana praktis mengenai hubungan Nasionalisme dan negara? Manakah pembahasan mengenai arti dan tujuan Nasionalisme secara teoritik, yang dahulu kita saksikan begitu kental di masa-masa menjelang kemerdekaan, dan segera setelah kemerdekaan tercapai? Mungkinkah terjadi proses demokratisasi yang sebenarnya kalau hanya membicarakan Nasionalisme dalam merebut kekuasaan negara, tanpa menyinggung hubungan Nasionalisme dan negara? Manakah sumbangan gerakan Kebatinan/Kejawen dalam membahas hubungan semacam itu? Apabila ini dapat terwujud, maka gerakan Kebatinan/Kejawen akan memberikan sumbangannya yang besar bagi demokrasi dalam kehidupan kita sebagai bangsa.




Negara Islam, Adakah Konsepnya?

ADALAH pertanyaan amat menarik untuk diketahui jawabannya, apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara? Sampai seberapa jauh hal ini dirasakan kalangan pemikir Islam sendiri? Apakah konsekuensi dari konsep ini bila memang ada? Lalu, apakah konsekuensi dari konsep itu sendiri? Rangkaian pertanyaan itu perlu diajukan di sini, karena dalam beberapa tahun terakhir ini banyak diajukan pemikiran tentang Negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak menggunakan pemikiran itu, telah meninggalkan Islam.

Jawaban-jawaban atas rangkaian pertanyaan itu dapat disederhanakan dalam pandangan penulis dengan kata-kata: tidak ada. Penulis beranggapan, Islam sebagai jalan hidup (syari'ah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Mengapa penulis beranggapan demikian? Karena sepanjang hidupnya, penulis telah mencari dengan sia-sia makhluk yang dinamakan Negara Islam. Sampai hari ini pun belum ditemukan. Jadi, salahlah jika disimpulkan memang Islam tidak memiliki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan.

Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya pendapat baku dalam dunia Islam tentang dua hal. Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin. Rasulullah SAW digantikan Sayyidina Abu Bakar-tiga hari setelah beliau wafat. Selama masa itu masyarakat kaum muslimin, minimal di Madinah, menunggu dengan sabar bagaimana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah tiga hari, semua bersepakat bahwa Sayyidina Abu Bakar-lah yang menggantikan Rasulullah SAW melalui bai'at/prasetia. Janji itu disampaikan para kepala suku/wakil-wakil mereka. Dengan demikian, terhindarlah kaum muslimin dari malapetaka.

Sayyidina Abu Bakar sebelum meninggal dunia, menyatakan kepada komunitas kaum muslimin, hendaknya Umar Bin Khattab yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah ditempuh cara penunjukkan pengganti, sebelum yang digantikan wafat. Ini tentu sama dengan penunjukkan seorang Wakil Presiden di masa modern ini, yang harus menyiapkan diri untuk mengisi jabatan itu jika berpindah ke tangannya.

Ketika Umar ditikam Abdurrahman bin Muljam dan ada di akhir masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pemilih/electoral college (ahl halli wa al-aqdhi), yang terdiri dari tujuh orang, termasuk anaknya, Abdullah, yang tidak boleh dipilih menjadi pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka untuk mengangkat Ustman bin Affan sebagai kepala negara/kepala pemerintahan. Untuk selanjutnya, Ustman digantikan Ali bin Abi Thalib. Saat itu, Abu Sufyan sedang menyiapkan anak cucunya untuk mengisi jabatan itu, sebagai pengganti Ali bin Abi Thalib. Lahirlah dengan demikian, sistem kerajaan dengan sebuah marga yang menurunkan calon-calon raja/sultan dalam Islam.

DEMIKIAN pula, besarnya negara yang dikonsepkan menurut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Di masa Umar bin Khattab, Islam adalah Imperium Dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. Sudah tentu di dalamnya juga ada pandangan tentang ukuran negara. Ternyata tidak ada kejelasan apakah sebuah negara Islam berukuran mendunia, sebuah bangsa saja (wawasan etnis) dengan demikian tidak jelas; negara-bangsa (nation-state), ataukah negara-kota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.

Dalam hal ini, Islam menjadi seperti komunisme: manakah yang didahulukan, antara sosialisasi sebuah negara-bangsa yang berideologi satu sebagai negara induk, atau menunggu sampai seluruh dunia di-Islam-kan, baru dipikirkan bentuk negara dan ideologinya? Menyikapi analogi negara komunis, manakah yang didahulukan antara pendapat Joseph Stalin ataukah Leon Trotsky? Sudah tentu tidak sampai membunuh Trotsky di Meksiko, seperti dilakukan Stalin.

Hal ini menjadi amat penting, karena mengemukakan gagasan Negara Islam tanpa ada kejelasan konseptualnya, berarti membiarkan gagasan itu tercabik-cabik karena perbedaan pandangan para pemimpin Islam sendiri. Misalnya, kemelut di Iran, antara para "pemimpin moderat" seperti Presiden Khatami dan para "Mullah Konservatif" seperti Rafsanjani saat ini. Satu-satunya hal yang mereka sepakati bersama adalah nama "Islam" itu sendiri.

Mungkin, mereka juga berselisih paham tentang "jenis" Islam yang akan diterapkan dalam negara itu, haruskah Islam Syi'ah atau sesuatu yang lebih "Universal"? Kalau harus mengikuti paham Syi'ah itu, bukankah gagasan Negara Islam lalu menjadi milik kelompok minoritas belaka? Bukankah syi'isme hanya menjadi pandangan satu dari delapan orang muslim di dunia saja?

DENGAN demikian jelas, gagasan Negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual dan tidak diikuti mayoritas kaum muslimin. Ia pun hanya dipikirkan sejumlah orang saja, yang terlalu memandang Islam dari sudut institusionalnya belaka. Belum lagi kalau dibicarakan lebih lanjut, dalam arti bagaimana halnya dengan mereka yang menolak gagasan itu, adakah mereka masih layak disebut kaum muslimin atau bukan? Padahal mereka adalah mayoritas penganut agama tersebut?

Bila diteruskan dengan sebuah pertanyaan lain, akan menjadi berantakan gagasan tersebut: dengan cara apa dia akan diwujudkan? Dengan cara teror atau dengan "menghukum" kaum non-muslim? Bagaimana halnya dengan para pemikir muslimin yang mempertahankan hak mereka, seperti yang dijalani penulis? Layakkah ia disebut kaum teroris, padahal ia amat menentang penggunaan kekerasan untuk mencapai sebuah tujuan. Lalu, mengapakah ia harus bertanggung jawab atas perbuatan kelompok minoritas yang menjadi para teroris itu?

NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini

Walaupun muncul cukup banyak tulisan tentang Nahdatul Ulama (NU), namun belum ada tulisan yang secara tuntas menyoroti organisasi sosial-keagamaan ini melalui beberapa pendekatan yang saling berkait. Umumnya tulisan itu hanya menekankan satu atau dua aspek tertentu saja, sehingga seringkali terjebak oleh penonjolan aspek-aspek yang menjadi fokusnya, dan mengecilkan aspek-aspek lain yang sama penting peranannya dalam kehidupan NU sendiri. Sebuah contoh dapat dikemukakan di sini, yaitu tulisan Mitsuo Nakamura tentang Muktamar XXVI NU di Semarang tahun 1979. Nakamura mencoba menelusuri sebuah ciri utama NU yang jarang terlihat pada organisasi lain, yaitu hierarki kepemimpinannya yang tidak berbangun vertikal, melainkan horisontal. Dalam acuan seperti itu, pimpinan NU di tingkat nasional harus pandai memanfaatkan pengaruh besar para ulama di tingkat daerah-baik lokal maupun propinsial-apabila ingin bertahan dalam kepemimpinan mereka.

Pemanfaatan seperti itu dilakukan oleh K.H. ldham Chalid, Ketua PBNU waktu itu yang mampu mengidentifikasikan dirinya sebagai pemimpin nasional yang tunduk kepada kekuasaan ulama daerah yang datang ke muktamar tersebut. Misalnya saja, menurut Nakamura, ldham Chalid menerima kritik-kritik tajam yang ditujukan kepada pengurus besar yang dipimpinnya. Dengan meminta maaf atas segala kesalahan dan kekurangan yang ada pada periode kepemimpinannya, ia mengajak seluruh peserta muktamar untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam periode kepemimpinan berikutnya. Kebalikan sikap itu justru diperlihatkan oleh saingannya yang terkuat, K.H.A. Sjaichu, yang dengan semangat bela dirinya justru menampilkan atraksi "orang atas" yang tidak mengikuti kehendak para ulama daerah. Dalam struktur kekuasaan yang lebih berat kepada "kekuasaan orang daerah" dengan sendirinya pendekatan ldham Chalid terasa lebih simpatik.

Sepintas lalu, konstruk (kerangka penjelasan) yang dibuat Nakamura itu mampu melakukan analisa atas perkembangan terakhir dalam tubuh NU, yaitu "pemberontakan" para kiai kepada kepemimpinan ldham Chalid sejak pertengahan tahun 1982 dan belum usai pada waktu tulisan ini dibuat. Seolah-olah para ulama daerah seperti K.H. As'ad Syamsul Arifin dari Pesantren Salafiah Sukorejo di Situbondo, akhimya menilai kepemimpinannya terlalu dititik beratkan pada "kepentingan orang Jakarta". Bahkan tampaknya konstruk itu menjadi "lebih baku" dengan bobot berat dari keputusan Musyawarah Alim Ulama NU di Situbondo di ujung tahun 1983, yang secara final mampu menyelesaikan masalah utama hubungan antara Islam sebagai "jalan hidup" di satu pihak dan Pancasila sebagai landasan kehidupan bemegara di pihak lain. Penyelesaian yang tidak hanya terasa bobotnya bagi semua pihak di lingkungan NU sendiri saja, melainkan juga bagi semua gerakan Islam yang ada di seluruh Indonesia saat ini. Bukan ldham Chalid sebagai tokoh nasional yang mewakili NU di tingkat tertinggi pemerintahan yang berbicara atas nama seluruh warga NU dengan suara meyakinkan dalam masalah tersebut, melainkan justru "ulama desa" Kiai As'ad yang secara mutlak mewakili mereka. Seolah-olah dengan perkembangan terakhir itu keabsahan konstruk Nakamura tentang NU sudah kukuh dan tidak mudah di goyahkan. Namun, terlepas dari sudut pandangan baru yang dikemukakannya tentang NU, yang dulu belum pernah dikemukakan oleh para pengamat lain, Nakamura ternyata tidak memberikan tempat dominan kepada aspek-aspek lain dari pola pergulatan kekuasaan dalam lingkungan NU, dan hanya berpuas diri dengan tekanan pada aspek "watak horisontal" hierarki kepemimpinan dalam NU belaka. Tentu saja lalu tidak tertangkap dampak dekatnya hubungan ldham Chalid dengan para pejabat tertinggi pemerintah, sesuatu yang tidak dimiliki oleh Sjaichu. Juga kemampuan ldham Chalid untuk membuat aliansi efektif antara semua pihak yang menakuti "dominasi Jawa Timur", dengan antara lain kuatnya isyu "dinasti Jombang" menjelang dan selama muktamar berlangsung. Belum lagi kalau dilihat dari segi kemampuan ldham Chalid untuk mengumpulkan dalam satu barisan dua aspirasi yang sebenarnya saling bertentangan: kemuakan pada verpolitisasi yang berjalan terlalu jauh dalam NU (dan yang mendambakan kehidupan organisasi yang penuh diisi kesalehan ritualistik) di satu pihak dengan kebanggaan akan kekuatan politik NU yang begitu besar jumlahnya. Teknik-teknik yamg digunakan ldham Chalid untuk melakukan pembauran antara kedua kecenderungan di atas tanpa terlalu diganggu oleh perbenturan serius, merupakan lahan kajian yang sangat menarik tentang perilaku politik dan budaya politik yang sangat kompleks dari kaum santri.

Dari sedikit ulasan di atas nyatalah bahwa konstruk yang selalu menekankan satu dua aspek kehidupan NU saja, sulit digunakan untuk mencapai hasil yang memuaskan. Hal inilah yang dirasakan oleh Sidney Jones, yang melakukan kajian mendalam tentang NU di daerah Kediri dalam rangka mempersiapkan disertasinya. Penelitian lapangan yang dilakukannya dalam tahun l982 berusaha menangkap kompleksitas kehidupan NU. Dari diskusi dengan pengamat wanita dan Amerika Serikat ini dapat dikenal beberapa pola yang melandasi corak kepemimpinan NU ketika masih menjadi partai politik, pada tahun-tahun lima dan enam puluhan. Pola-pola itu saling berkait satu dengan yang lain seperti antara besarnya kharisma kiai dan dampaknya pada lapisan kepemimpinan organisatoris antara ulama organisasi, politisi mubaligh dan pemimpin penghubung dengan pemerintah. Kiai sebagai pemimpin tertinggi jaringan tersebut harus senantiasa melayani kebutuhan mereka masing-masing, dan sekaligus memasukkan aspirasi warga biasa NU di tingkat bawah melalui jaringan "pola ganda" hierarki kepemimpinan NU itu.

Namun ada bahaya mengintai, jika pendekatan "kompleksitas jaringan hubungan" itu tidak mampu melepaskan diri dari kerangka acuan pendekatan sosial ekonomis seperti hubungan klien-patron dan konstruk-konstruk sejenis. Bahwa kepentingan bersama dalam jaringan sosial ekonomis turut mewarnai "jaringan kompleks", jelas tak dapat disangkal lagi. Namun adalah terlalu jauh untuk menganggap "pola kepentingan sosial ekonomis" sebagai satu-satunya kerangka acuan yang dapat menjelaskan secara gamblang pola-pola utama kehidupan NU. Pendekatan budaya politik, seperti yang dilakukan Don Emerson tentang "kepemimpinan di lingkungan golongan Islam", mungkin akan memberikan hasil lebih baik. Namun, sebuah kerangka acuan juga tidak akan banyak hasilnya untuk menafsirkan pola-pola kehidupan dalam sebuah kelompok masyarakat, jika tidak ditunjang oleh pengetahuan mendalam akan ciri-ciri berbagai pola pemahaman warga kelompok itu akan hakikat kelompok itu sendiri.

Tulisan ini sedikit banyak bermaksud untuk mengemukakan beberapa aspek pemahaman hakikat organisasi mereka di kalangan warga NU sendiri. Diharapkan, dengan inventarisasi fase-fase kehidupan NU seperti itu terlebih jauh di masa datang, akan terkumpul informasi yang cukup untuk mengenal tipologi berbagai perilaku kolektif NU sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan di kalangan kaum muslimin Indonesia. Kongretisasi pendekatan seperti ini dengan menerapkannya pada proses pengembangan Islam di kawasan ini diharapkan akan menampilkan sebuah liputan berdimensi ganda, namun tetap dikenal batas-batas wilayah permasalahannya. la dapat disusul dengan tinjauan dari aspek lain di kemudian hari yang akan memberikan informasi akumulatif yang membentuk sudut penglihatan yang bulat tentang NU.

Kaitan NU dan Perkembangan Islam

Aspek-aspek utama dari pengaitan NU kepada proses perkembangan Islam di Indonesia dapat dilihat pada hal-hal berikut: tradisi keilmuagamaan yang dikembangkannya, pandangan kemasyarakatan yang dimilikinya, cara pengambilan keputusan umum yang digunakannya, dan proses rekonsiliasi internalnya, jika terjadi perbedaan pandangan yang tajam. Kesemua aspek utama itu berkait satu sama lain, dan seringkali berfungsi saling tumpang tindih, walaupun secara keseluruhan berpola saling menunjang.

Tradisi keilmuagamaan yang dianut NU, sebagaimana telah dikemukakan oleh Zamakhsyari Dhofier dan Sidney Jones dalam salah satu tulisannya dan yang sebenarnya telah dikemukakan secara terbuka oleh warga NU sendiri sejak permulaan-bertumpu pada pengertian tersendiri tentang apa yang oleh NU disebut Aqidah Ahlussunnah wal jamaah. Doktrin tersebut berpangkal pada tiga buah panutan ini: Mengikuti paham AI-As'ari dan AI-Maturidi dalam bertauhid (mengesahkan Allah dan mengakui keutusan Muhammad), mengikuti salah satu mazhab fiqih yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) dan mengikuti cara yang ditetapkan AI-Junaid Al-Baghdadi dalam bertarekat atau bertasawuf. Berbeda dari pandangan kelompok-kelompok lain, seperti Muhammadiyah dan Persis (kedua-duanya hanya menerima skolastisisme AI-Asy'ari sebagai landasan kesunian mereka), NU mengembangkan tradisi keilmuagamaan paripurna telah membagi sikius kehidupan para warganya dalam sejumlah lingkaran kegiatan atau bidang perhatian yang baku.

Dalam berfiqh, mereka telah mengembangkan tidak hanya literatur keputusan hukum agama dalam skala massif sebuah corpusmagnum berjudul Al-Majmu, komentar atas Almuhazzab, terdiri dari empat belas jilid dengan rata-rata 400 halaman perjilidnya, melainkan juga cara-cara untuk menyusun pemikiran hukum (legal maxim, qawa'idul fiqh), menentukan bentuk akhir keputusan hukum yang akan diambil jika kondisinya dan persyaratan yang melatarbelakangi sesuatu masalah yang tadinya sudah diputuskan telah mengalami perubahan. Di sinilah terletak dinamika pengembangan hukum agama melalui fiqh dapat dilakukan, walaupun dalam batasan-batasan yang tetap masih ketat.

Di pihak lain bidang tasawuf memberikan bobot kedalaman spiritualitas penghayatan agama warga NU, jika telah diikuti pola hidup serba berfiqh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa pengamatan sarjana masa lampau yang melihatnya dari luar, seperti H.J. de Graaf dan Theodore Pigeaud, anutan pada tasawuf ini disebut pemujaan pada Wali Songo. Sudah tentu masalahnya tidak sesederhana ini, melainkan pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari doktrin yang utuh tentang hierarki kesalehan (piety) atau derajat-derajat ketaqwaan pada Allah, berkat (grace, barokah) yang memungkinkan intervensi hubungan seorang hamba kepada Tuhannya, dan seterusnya. Spiritualitas yang dikonkritkan kedalam rangkaian kegiatan ritualistik yang intensif seperti ini memungkin adanya "penyiraman jiwa" dari kekeringan penghayatan iman dan kemiskinan batin, sehingga terpelihara kontinuitas antara pandangan serba -fiqh di satu ujung dan intensitas penghayatan iman yang tinggi di ujung lain, membentuk sebuah kesejarahan (historicity) tersendiri.

Inti dari tradisi keilmuan yang dianut NU adalah perpautan organis antara tauhid, fiqh dan tasauf secara tidak berkeputusan, yang dalam jangka panjang menumbuhkan pandangan terpautnya sendiri antara dimensi duniawi dan ukhrowi dari kehidupan. Yang paling disukai di lingkungan NU adalah ungkapan berikut: "Hidup dunia sangatlah penting kalau dijadikan persiapan untuk kebahagiaan akhirat, dan akan kehilangan artinya jika tidak diperlakukan seperti itu". Perpautan dimensi duniawi dan ukhrowi dari kehidupan ini merupakan mekanisme kejiwaan yang berkembang di lingkungan NU untuk menghadapi tantangan sekularisme terang-terangan blatant yang timbul dari proses modemisasi

fiqh dan Kebebasan Negara

Dari tradisi keilmuagamaan seperti itu sudah tentu logis kalau lalu muncul pandangan kemasyarakatan yang tidak bercorak "hitam-putih". Perpautan kedua dimensi duniawi dan ukhrowi dalam kehidupan manusia tidak memungkinkan penolakan mutlak kepada kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Dengan kata lain, seburuk-buruk kehidupan dunia, ia haruslah dijalani dengan kesungguhan dan ketulusan.

Hal ini sudah tentu ada implikasinya sendiri kepada pandangan kenegaraan yang dianut warga NU yang masih belum kehilangan tradisi keilmuagamaannya. Kewajiban hidup bermasyarakat, dan dengan sendirinya bernegara, adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi. Eksisitensi negara mengharuskan adanya ketaatan kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup, yang dilepaskan dari perilaku pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan. Konsekuensi pandangan ini adalah keabsahan negara begitu ia berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan sistem alternatif sebagai pemecahan masalah-masalah utama yang dihadapi suatu bangsa yang telah membentuk negara. Dengan demikian, cara-cara yang digunakan dalam melakukan perbaikan keadaan senantiasa bercorak gradual. Pandangan tentang negara barulah akan bersifat penolakan bentuk yang ada, jika keseluruhan tradisi keilmuagamaan yang dianut NU telah memberikan legitimasi untuk itu, seperti terjadi dengan "fatwa perang jihad" yang dikeluarkan Rais Akbar NU K.H. Hasyim Asy'ari pada permulaan perang kemerdekaan, yang mendukung bentuk negara baru Republik Indonesia.

Ketentuan yang sama itu juga yang membuat NU menolak kehadiran "Negara Islam Indonesia" yang didirikan oleh Kartosuwiryo, bahkan sejak semula para ulama NU telah menyatakannya sebagai bughat(pemberontak) yang harus dibasmi. Untuk keperluan itulah, dikukuhkan kedudukan Kepala Negara Republik Indonesia menjadi waliyyul amri dharuri bissyaukah (pemegang pemerintahan sementara dengan kekuasaan penuh), oleh sebuah pertemuan ulama yang didominir ulama NU. Presiden Rl diterima sebagai pemegang pemerintahan, karena negara telah ada dan harus ada yang memimpin. Kedudukannya bersifat sementara (hingga hari kiamat), karena ia tidak dipilih oleh ulama yang berkompeten untuk itu (ahlul halli wal aqdi), melainkan melalui proses lain, sehingga tidak sepenuhnya memiliki keabsahan dimata hukum fiqh. Namun kekuasaannya tetap harus efektif, karenanya ia berkuasa penuh. Atas dasar kekuasaannya itu, ia berwewenang mengangkat pejabat-pejabat agama melalui pendelegasian wewenang itu kepada menteri agama. Misalnya saja, penunjukan ketua pengadilan agama sebagai wali hakim dalam kasus-kasus tidak adanya wali bagi gadis dalam pernikahan. Wali hakim (legal guardian) adalah keharusan dalam keadaan seperti itu, guna memperoleh keabsahan perkawinan yang diselenggarakan dan sudut pandang fiqh.

Pendekatan serba fiqh atas masalah-masalah kenegaraan itulah yang membuat NU relatif lebih mudah menerima ketentuan pemerintah tentang asas Pancasila dalam kehidupan berorganisasi dewasa ini. Dalam pandangan fiqh asas Pancasila adalah salah satu dan sekian buah persyaratan bagi keabsahan negara Republik Indonesia; hal itupun bukannya persyaratan keagamaan sama sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan apapun untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dalam kehidupan organisasi yang bersangkutan. Islam sendiri dapat saja diletakkan dalam kedudukan yang berbeda-beda dalam kehidupan organisasi, dalam kurun waktu yang berlainan. Pada suatu saat ia dijadikan asas, di waktu lain dijadikan landasan keimanan (aqidah), karena masalahnya hanyalah sekadar pencapaian legitimasi dalam pandangan fiqh .
Karenanya, tuduhan oportunistik dalam watak politik NU tidaklah tepat. NU seringkali mengeluarkan keputusan yang secara sepintas lain tampak dibuat sembarangan, yang memenuhi selera penguasa pada satu saat, yang sangat bersifat akomodatif terhadap kepentingan pemerintah pada saat itu. Oportunisme NU itupun seringkali dijadikan kambing hitam bagi tidak konsistennya "perjuangan Islam" di Indonesia, dan menjadi casus belli perbedaan tajam dalam strategi perjuangan yang dianut sebagai gerakan Islam di negeri ini. Tuduhan itu dikatakan tidak tepat, karena bagi NU pedomannya bukanlah "strategi perjuangan politik" atau "ideologi Islam" dalam artiannya yang abstrak, melainkan keabsahan di mata hukum fiqh. Fiqh menentukan asas organisasi sebagai hanya salah satu persyaratan hidupnya, sedangkan "landasan keagamaan" dapat saja dirumuskan dibagian lain dari anggaran dasarnya, seperti dibuat Munas Alim Ulama NU di Situbondo yang meletakkannya dalam Mukaddimah Anggaran Dasar NU yang akan diubah oleh Muktamar XXVII nanti. Ini memungkinkan penerimaan asas Pancasila. Fiqh menentukan absahnya kekuasaan Presiden Rl sebagai pemegang pemerintahan, karena ia harus ditunduki dan dipatuhi, di hadapkan sebuah Negara Islam Indonesia sekalipun!

Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan oleh hukum fiqh, NU mampu melakukan sebuah proses penyesuaian dengan tuntutan sebuah negara modern, walaupun dalam aspek kenegaraan pandangan serba fiqh itu juga sering merupakan 'hambatan' bagi pemegang pemerintahan untuk melaksanakan wewenangnya. Yang jelas, pandangan seperti itu -bagaimanapun- juga akan sering berbenturan dengan pandangan yang memperlakukan Islam sebagai ideologi kemasyarakatan, apalagi ideologi politik. Upaya menampilkan Islam sebagai 'jalan hidup alternatif' yang membentuk sistem kemasyarakatan baru di luar yang telah ada, jelas sulit diterima oleh para ulama NU, kecuali jika telah menjadi bentuk kenegaraan yang memiliki wujud penuh dan mampu mempertahankan diri, seperti Iran, Libya dan Saudi Arabia dewasa ini.

Landasan penolakan sistem alternatif 'Islam' itu adalah keabsahan bentuk negara yang telah ada. Namun, itu tidak berarti jalannya pemerintahan juga lain terlepas sama sekali dari kendala keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijaksanaan pemerintah senantiasa disesuaikan kepada ketentuan-ketentuan fiqh, sehingga sikap itu sendiri sering diterima oleh kalangan pemerintahan sendiri sebagai "hambatan" di kala melaksanakan wewenang mereka. Untuk kepentingan penilaian apakah jalannya pemerintahan tidak bertentangan dengan ketentuan fiqh, digunakan tolok ukur berupa sejumlah kaidah fiqh, seperti "kebijaksanaan kepala pemerintahan harus mengikufi kesejahteraan rakyat" (tas-harruful imam 'alarraiyyah manutun bil mashlahah).

Bentuk formal pemerintahan dengan demikian fidaklah menjadi permasalahan bagi NU, selama masih diikuti pola perilaku formal negara yang tidak bertentangan dengan hukum fiqh. Kasus-kasus penyimpangan dari "pola umum" perilaku formal negara itu tidaklah sampai kepada penolakan bentuk kenegaraan dan proses pemerintahan yang sudah ada. Sebagaimana yang dikemukakan Menteri Agama Munawir Syadzali dalam sebuah kesempatan, pemikiran para teoretis politik yang besar dalam Islam bukanlah mencari pola idealisasi bentuk kenegaraan yang telah ada. lbn Abi Rubai’, AI-Ghazali, lbn Taimiyyah, lbn Khaldun dan AI-Mawardi jelas-jelas menempuh perbaikan keadaan secara gradual, dengan mencoba mencarikan masukan dari fiqh untuk menyempumakan bentuk-bentuk negara yang telah ada. Hanyalah AI-Farabi yang mencoba menyusun sebuah Utopia berjudul "Negara Utama" (Al-Madinah Al-Fadhilah). Kasus-kasus penyimpangan haruslah ditangani secara kasuistik, bukannya dengan menolak kehadiran negara dan mengubah bentuk pemerintahannya

Pola berpikir seperti itu jelas harus dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan di lingkungan NU sendiri, yang mengutamakan konsensus dalam artiannya yang paling luas. Fiqh, yang dirumuskan oleh para ulama NU sebagai "pengetahuan tentang hukum-hukum agama yang ditarik dalil-dalil sumbernya", memberikan peluang sebesar-besarnya bagi semua pendapat untuk muncul dalam perdebatan mengenai sesuatu permasalahan. Spektrum pandangan yang begitu luas, dari yang menyetujuhi hmgga kepada yang menolak sesuatu usul, kemudian akan mengendap menjadi hanya dua atau tiga pendapat utama saja, masih dalam pola setuju atau menolak. Namun, masing-masing memiliki alasannya sendiri yang kuat, sehingga tidak dapat demikian saja diabaikan. Dari posisi seperti itu, akhirnya dipertemukan dalam sebuah sidang yang akan menformalkan pendapat akhir, seperti terjadi pada Munas Alim Ulama di Situbondo.

Dalam keadaan tidak dapat dicarikan pemecahan dan disepakati bersama, diambil keputusan untuk mengakui dua atau tiga pendapat utama sebagai pendapat yang sama-sama mengandung kebenaran. Dalam keadaan seperti itu, maka pendapat manapun yang digunakan oleh para warga NU tidak akan disalahkan oleh pihak yang berbeda pendapat. Kasus ini dapat dilihat dalam pendapat tentang DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royang) pada tahun 1960-an, dengan adanya dua pendapat yang saling bertentangan. Pendapat pertama menganggap adalah wewenang kepala negara untuk membekukan lembaga-lembaga perwakilan, jika di nilainya keadaan mendesak dan dapat menjadi keadaan darurat (Al-haja yanzilu manzilatad dharurah). Jadi ada keperluan untuk membekukan lembaga perwakilan yang ada, dan dengan sendirinya diperlukan gantinya. Karena tidak mungkin diselenggarakan pemilihan umum, kepala negara menggunakan wewenangnya untuk menyusun keanggotaan lembaga perwakilan baru dari keanggotaan lembaga perwakilan yang lama. Pendapat kedua menganggap tidak sah pembubaran DPR hasil pemilihan umum 1955, karena itu berarti kepala negara menyerobot hak rakyat tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya. Jika DPR tidak sah pembubarannya dengansendirinya tidak dapat digantikan oleh DPR-GR. Dalam keadaan macet dan tidak dapat dipertemukan antara kedua pendapat itu, terbuka kemungkinan untuk menerima keanggotaan DPR-GR bagi yang menyetujui pembentukannya, dan juga disahkan penolakan oleh mereka yang tidak menerima keabsahan pembentukannya.

Mekanisme "setuju untuk tidak bersetuju" (agree to disagree) itu menjamin adanya proses tolak-angsur yang sangat fleksibel di lingkungan pengambilan keputusan dalam NU, sehingga dapat terjaga keutuhan organisasi yang senantiasa dipenuhi perbedaan pendapat itu! Walaupun ada juga kelemahan mekanisme pengambilan konsensus untuk setuju (dan juga untuk tidak setuju) seperti itu, seperti lamanya proses pengambilan keputusan dan tidak jelasnya pendapat organisasi dalam suatu masalah; yang jelas ia berhasil menjamin keutuhan NU, tidak sampai pecah menjadi dua seperti oganisasi lain. Demikian pula, dalam hal yang disepakati keputusan atasnya, lalu terjadi penerimaan yang tuntas atasnya oleh semua kalangan.

Sebuah kelemahan lain dari sistem pengambilan keputusan berdasarkan konsensus itu adalah relatif mudahnya dijaga status quo dan sulitnya dilakukan perubahan dalam tubuh NU. Mekanisme "membenarkan dua pendapat" di atas belum tentu berarti mudahnya dilakukan percobaan untuk mengubah keadaan. Sebuah cara yang digunakan untuk menembus status quo itu adalah dengan cara "membudayakan terobosan". Mereka yang ingin melakukan perubahan, harus memulainya di lingkungan sendiri, sudah tentu pula-dengan risiko ditanggung sendiri jika mengalami kegagalan. Jika telah dibuktikan hasil positif dari upaya rintisan itu, barulah akan muncul pengakuan (dan kemudian peniruan) dari kalangan warga NU yang lain, semuanya dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama. Hal ini dapat dilihat dalam kasus madrasah nizamiah yang dirintis oleh K.H.A. Wahid Hasyim di Pesantren Tebuireng, Jombang, semasa hidup ayahnya, berupa sebuah sistem pendidikan agama dengan kurikulum campuran pada dasawarsa 1930-an. Temyata dalam waktu tidak sampai sepuluh tahun, upaya rintisan itu telah menjadi model utama bagi ratusan madrasah lain yang telah melihat sendiri kualitas tinggi dan para alumninya. Dengan "budaya terobosan" seperti itulah derajat toleransi terhadap inovasi di lingkungan NU temyata menjadi cukup besar.

Islam Abad Ini

Apa yang diterangkan tentang NU di atas, sebenarnya memiliki relevansi sangat tinggi bagi perkembangan Islam di Indonesia dalam abad ini. Pada saat permulaan kebangkitan kaum muslimin di Indonesia, dalam dasawarsa pertama dan kedua abad ini para ulama yang di kemudian harinya mendirikan NU, telah bersepakat untuk menerima "gerakan Islam" sebagai wahana penyaluran aspirasi umat Islam, baik melalui Serikat Dagang Islam (SDI) maupun Serikat Islam (SI) beberapa tahun kemudian. Baik atau buruk akibatnya bagi proses pembentukkan bangsa Indonesia di kemudian harinya, keputusan tersebut jelas memberikan dukungan kharisma kepada sebuah gagasan pengelompokan modern.

Melalui NU sendiri, dalam dasawarsa ketiga dan keempat abad ini, NU memberikan dukungannya kepada aspirasi perjuangan kemerdekaan berkulminasi dalam lahirnya negara Republik Indonesia sebagai sebuah negara non-teokratis. Melalui berbagai jenis pengalaman, akhirnya pada saat ini NU merupakan salah satu wajah utama moderasi di lingkungan gerakan Islam di Indonesia. Sikapnya untuk memberikan tempat menentukan kepada Pancasila dalam kehidupan kita sebagai bangsa, jelas sekali menunjukkan peranan moderasi seperti itu. Watak mencari pemecahan gradual atas segenap persoalan yang dihadapi seperti itu, justru bertentangan dengan semakin meluasnya kecenderungan untuk menyajikan Islam sebagai "altematif jalan hidup " bagi kemelut yang telah ada. Militansi gerakan "Islam sebagai alternatif" ternyata tidak mampu menembus benteng kukuh dari sikap serba moderat yang dimiliki NU. Dengan tidak menutup mata terhadap adanya kelompok seperti itu di kalangan generasi muda NU sendiri, secara umum dapatlah dikatakan bahwa NU mampu bertahan terhadap gempuran "Islam garis keras" yang ditampilkan oleh kelompok-kelompok militan tersebut. Integrasi nasional kita sebagai bangsa sebenarnya tengah diuji oleh kelompok-kelompok sektarian yang serba militan itu, sehingga peranan NU untuk mengurangi gangguan-gangguan terhadap integrasi nasional itu merupakan suatu hal yang patut direnungkan dalam diri kita. Namun, peranan untuk memantapkan keadaan dan mengurangi dampak dari pemunculan sektarianisme itu juga harus dijaga agar tidak hanya berhenti pada pemberian legitimasi kepada status quo belaka, melainkan diarahkan kepada perubahan keadaan secara gradual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Proses demokratisasi kehidupan politik dan kehidupan pemerintahan, sebenarnya memerlukan penanganan melalui rangkaian kegiatan sangat kompleks, baik oleh mereka yang berada di lingkungan pemerintahan maupun diluarnya. Adalah tidak bijaksana untuk mementingkan pandangan sektarian yang hanya mengutamakan kebenaran pihak sendiri belaka, walaupun itu berasal dari lingkungan gerakan Islam, dengan membahayakan proses integrasi nasional yang telah mencapai tahap kritis dalam konsolidasi dirinya. Akibatnya adalah keretakan yang mungkin tidak akan dapat dijembatani lagi, antara "golongan Islam" dan golongan-golongan lain di luarnya. Peranan NU dalam hal ini harus diarahkan kepada penciptaan sebuah " konsensus nasional" yang baru tentang tempat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimulai dengan penerimaan "pihak Islam" atas ideologi negara secara tuntas, seperti dibuktikan dengan penerimaan atas Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan organisasi kemasyarakatan, langkah-langkah itu harus dilanjutkan dengan pengintegrasian "perjuangan Islam" kedalam "perjuangan nasional", dengan meletakkan "perjuangan Islam" itu sendiri pada konteks demokratisasi dalam jangka panjang, tanpa mengguncangkan keadaan dan merapuhkan proses integrasi nasional yang tengah mengkonsolidasikan diri itu. Mampukah NU memegang peranan seperti itu di masa datang, mengingat kelambanannya yang sangat besar dalam mengambil keputusan dan sikapnya yang sangat pasif dalam kehidupan bangsa secara keseluruhan? Tantangan ini mau tidak mau harus dijawab, jika NU tidak ingin kehilangan relevansi dirinya dalam kehidupan bangsa dalam jangka panjang. la memiliki cukup kekayaan kultural dan pengalaman politik yang sangat beragam, untuk memulai kiprah seperti itu. Ketidakmampuan menggunakan keduanya bagi kiprah tersebut, dalam jangka panjang hanya akan membawa NU kepada pinggiran sejarah, dan berarti irrelevansi dirinya secara bertahap

Orientasi Kehidupan Sebuah Masyarakat

Kitab suci Al-qur’an menggunakan sebuah rumusan yang sangat pendek mengenai orientasi kehidupan sebuah masyarakat. Dalam pandangan Islam, rumusan itu adalah: "berjihadlah dengan harta-benda-mu" (jaahiduu bi amwaalikum) yang selalu didahulukan dari kata: "dan berjihadlah dengan nyawa-mu" (wa jaahiduu bi anfusikum) dan ungkapan-ungkapan lain yang sejenis. Ini menunjukkan, bahwa dalam pandangan sumber-sumber tertulis (adillah naqliyyah) Islam, orientasi kehidupan sebuah masyarakat dianggap sangat penting. Karena akan menentukan arah masyarakat tersebut. Segala jenis kegiatan harus berpandu pada orientasi itu, dan berhasil tidaknya tujuan yang terkandung dalam orientasi kehidupan masyarakat tersebut, akan diukur berhasil tidaknya ia diraih.

Dari orientasi yang disebut "berjihadlah dengan harta-bendamu" itu, dapat diketahui bahwa capaian kebendaan (materialisme) sangat diperhatikan oleh agama tersebut, selama tidak bertentangan dengan kepentingan orang banyak (maslahah ‘ammah), berarti dengan kesejahteraan umum. Dengan demikian, orientasi itu ditundukkan kepada etika tertentu, yang dirumuskan sebagai kepentingan orang banyak. Tentu saja, rumusan yang demikian sederhana tentang kepentingan orang banyak, mengundang beberapa penafsiran, termasuk pengertian kapitalisme klasik tentang persaingan bebas.

Tapi, keseluruhan ajaran Islam memperlihatkan apa yang dimaksudkan dengan rumusan "kepentingan orang banyak" itu tidak lain adalah kepentingan orang kecil. Dengan kata lain, persaingan bebas dilakukan kalau masyarakat melaksanakan ajaran-ajaran Islam, selama tidak bertentangan dengan orang kecil. Ini penting untuk diketahui , karena ada anggapan bahwa Islam sesuai sepenuhnya dengan kapitalisme klasik. Padahal kenyataannya tidaklah demikian, karena adanya pembatasan arti dari rumusan "kepentingan orang banyak" itu. Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa orientasi sebuah masyarakat yang benar menurut pandangan Islam terkait langsung dengan kepentingan rakyat banyak/orang kecil. Jadi tidak benarlah anggapan Islam sesuai sepenuhnya dengan kapitalisme klasik yang tidak membatasi liputan persaingan.

Ini semua, sejalan dengan filsafat hidup masing-masing. Kapitalisme tidak pernah berpikir tentang negara, melainkan tentang manusia secara individual. Islam, sebaliknya, menganggap peranan negara atau masyarakat sangat besar dalam menentukan perbuatan atau tindakan manusia secara kolektif. Ungkapan "tidak ada agama tanpa adanya kelompok, tidak ada kelompok tanpa adanya kepemimpinan dan tidak ada kepemimpinan tanpa adanya pemimpin" (laa diina illa bi jamaa’atin, wa laa jamaa’ata illa bi imaamatin, wa laa imaamata illa bi imaamin).

Dengan adanya perbedaan yang demikian mendasar, sebenarnya antara Islam dan kapitalisme tampaknya saling bertentangan. Modifikasi atas keduanya adalah yang mendekatkan kapitalisme klasik kepada Islam, guna memungkinkan seorang muslim berpegang pada kapitalisme. Kapitalisme klasik, yang menekankan kebebasan penuh untuk bersaing, membawa akibat terlemparnya mereka yang kalah dalam persaingan, dan dengan demikian menjadi "tanggungan negara. Karenanya, lalu diadakan modifikasi atasnya, hingga timbul kapitalisme-rakyat (folks kapitalismus), kapitalisme Keynesian dan sebagainya. Dengan demikian, dibuat pelayanan yang lebih manusiawi kepada semua warga negara, hingga mereka dapat menjadi warga negara yang berguna bagi masyarakat, sambil memenuhi kebutuhan diri sendiri secara finansial.

Demikian pula, sendi-sendi kemasyarakatan yang dibawakan Islam, mengalami modifikasi yang sangat berarti. Persaingan usaha semakin mendapatkan tempat dalam pandangan kemasyarakatan kaum muslimin. Perubahan pandangan ini terjadi karena semakin tingginya kesadaran bahwa nilai-nilai ekonomi dari persaingan/kompetisi harus dijaga, jika diinginkan kaum muslimin mampu bersaing dengan kelompok-kelompok non-muslim yang sering sudah mendahului mereka dalam mengantisipasi terhadap kondisi masyarakat yang berubah dengan cepat.

Di sini, dapatlah dilihat bagaimana besarnya pengaruh perubahan keadaan atas perilaku kaum muslimin. Dalam dasawarsa ke enam abad lalu, muncul istilah sosialisme-Islam (al-Isytirakiyyah al-Islamiyyah) antara lain untuk membenarkan tindakan Gamal Abdel Nasr untuk merampas dan kemudian membagi-bagikan tanah dari tuan-tuan tanah kepada para petani (fellahin) yang berjumlah jutaan orang di Mesir. Sejak tahun-tahun 70-an, muncul istilah seperti bank Islam, asuransi syari’ah (takaful) dan sebagainya. Yusuf Qardhawi maju dengan tesisnya tentang kebolehan bunga bank produktif, yang dalam pandangannya bukanlah riba. Karena Al-qur’an hanya melarang riba, melalui ayat "dan Allah melarang riba" (wa harrama riba), dalam pandangannya yang diharamkan adalah bunga bank yang digunakan tidak untuk tujuan produktif. Dan, karena pada umumnya bunga bank dibebankan kepada ongkos produksi, maka bunga bank tidak termasuk yang diharamkan.

Dengan adanya perubahan-perubahan pengertian tentang berbagai istilah, maka baik kapitalisme klasik maupun ajaran formal Islam mengalami modifikasi signifikan dan kedua-duanya menjadi mudah diterima orang di kalangan kaum muslimin. Ini berarti, dimungkinkannya pertautan antara ajaran kapitalisme dan ajaran Islam, tanpa digunakannya istilah resmi kapitalisme Islam (al-ra’su maaliyah al-Islamiyah), mulailah para pengusaha muslim merasa dekat dengan kapitalisme tanpa menghianati agama mereka. Timbul kesadaran bahwa, memiliki modal besar bukanlah kejahatan dalam pandangan Islam. Modal besar yang digunakan untuk membangun kekuatan ekonomi kaum muslimin, tidak lain adalah sesuatu yang sebenarnya diperlukan Islam, dan dengan demikian tidak pantas dipersoalkan.

Di sinilah perlu diingat oleh mereka, bahwa dalam pandangan Islam modal tidak pernah berdiri sendiri. Modal, sebagai alat ekonomi, barulah ada artinya apabila ia digunakan untuk kepentingan orang banyak, sebagai bagian dari jihad dengan harta-benda. Dengan kata lain, modal tidaklah dipakai untuk menyejahterakan pemiliknya belaka, melainkan juga untuk kepentingan orang banyak. Dengan kata lain pula, modal adalah alat yang juga bersifat menyejahterakan masyarakat, di samping memberikan laba kepada pemiliknya. Nah, orientasi yang benar tentang modal inilah yang harus dimiliki, baik oleh para penguasa muslim, rakyat kebanyakan maupun pemilik modal itu sendiri.

Di sinilah orientasi yang benar lalu menjadi persyaratan utama bagi penggunaan modal yang sesuai dengan ajaran Islam. Dengan kata lain, Islam secara formal tidak pernah merumuskan pandangan resmi tentang modal, melainkan tentang orientasi penggunaan modal itu sendiri. Ini berarti, tidak ada ajaran formal Islam baik tentang sosialisme maupun kapitalisme. Jadi sikap sejumlah penulis yang menganggap Islam melarang ataupun mendorong -baik kapitalisme maupun sosialisme adalah pandangan yang tidak benar.

Pengamatan di atas, sesuai dengan pandangan bahwa Islam tidak mementingkan formalisme. Dengan demikian, tidak ada konsep formal Islam tentang negara maupun idiologi. Yang ada adalah kesadaran bahwa Islam mengajarkan orientasi kehidupan yang mengutamakan asas pemanfaatan. "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain" (khairuhum anfa’uhum li an-nash), yang jelas-jelas menunjukkan kentalnya asas pemanfaatan itu. Bukankah ini sebuah jenis dari pendekatan mementingkan manusia (anthroposentrisme) yang dianut Islam? Artinya, asas pemanfaatan harus diwujudkan dalam kehidupan umat manusia secara kolektif, dan bukannya secara individual? Sungguh indah, bukan?

Muhammadiyah-NU: Perbedaankah atau Perpecahan?

Ketika Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912, KH. M. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Jombang, menanyakan siapa pendirinya. Mendengar jawaban KH. Ahmad Dahlan, beliau ganti bertanya, adakah orang itu santri yang bersama beliau mengaji pada KH. Sholeh Darat (Semarang)? Ketika memperoleh kepastian bahwa KH. Ahmad Dahlan itu adalah orang yang dimaksud tersebut, beliau mengatakan tentu Muhammadiyah organisasi yang baik, karena tokoh pendiri tersebut adalah orang baik. Hal ini dapat kita benarkan, kalau kita ikuti sejarah Muhammadiyah. Tekanan pada pendidikan, kesehatan dan kegiatan-kegiatan sosial menunjukkan hal itu dengan nyata.

Hal ini jugalah yang tampak dari pergaulan KH. M Bisri Syansuri, ketika beliau menjadi anggota PBNU, dan praktis menguasai Majlis-Majlis Hukum Agama (Majaalis al-Figh) --sebelum beliau membawa pendapat-pendapatnya ke forum tersebut, beliau selalu pergi ke Yogyakarta, untuk memperdebatkannya dengan KH. Hadjid dari Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Terkadang mereka bisa berdebat selama tiga hari berturut-turut dan terkadang pula mereka bersama pergi ke rumah KH. Adzkiya di Kroya (Pak Tua Ir. Musthofa Zuhad, dari PBNU sekarang) untuk maksud yang sama. Baru setelah itu, KH. M. Bisri Syansuri memaparkan "pendapatnya" kepada forum-forum di atas, yaitu setelah melalui "uji-coba" dengan kedua orang tersebut. Kelihatan sekali, antara mereka tidak ada jarak yang harus dijembatani, karena perbedaan pendapat di antara mereka adalah hal yang biasa, seperti perbedaan pendapat dengan iparnya, KH. A. Wahab Chasbulah.

Penulis pernah tinggal selama tiga tahun (1954-1957) di rumah KH. M. Djunaidi di Kauman, Yogyakarta. Di tempat itu, penulis sering melihatnya berdebat sangat lama tentang soal-soal figh, dengan tokoh NU KH. Ali Ma’sum dari Pondok Pesantren Krapyak, yang belakangan menjadi Rais ‘Am PBNU. Padahal, induk semang penulis, KH. M. Djunaidi itu belakangan menjadi anggota Majlis Tarjih (Dewan Agama) PP. Muhammadiyah. Di sini, tampak jelas bagi penulis, adanya keakraban antara tokoh-tokoh puncak NU dan Muhammadiyah tersebut.

*****

Pertanyaan utamanya adalah, kita melihat keakraban tersebutkah dalam menilai hubungan Muhammadiyah dan NU, atau justru sebaliknya? Justru yang kita lihat sehari-hari, sikap fanatik baik dari orang-orang NU maupun dari orang-orang Muhammadiyah sendiri, hingga terkadang tampak sebagai pertentangan dan perpecahan, bukannya sebagai perbedaan. Ini sangat diperlukan, karena tanpa memperoleh jawaban yang tepat, perpecahan dalam tubuh kedua organisasi Islam terbesar di negeri kita itu tampak semakin menjadi-jadi. Tentu ini tidak kita inginkan, sehingga kalau memang benar-benar keduanya berpecah dan bertentangan, hendaknya dapat diarahkan kepada perbedaan saja. Ini adalah proses pendidikan yang berlangsung lama, namun tak dapat terhindarkan.

Salah satu sebab mengapa tampak yang terjadi adalah pertentangan, dan bukannya perbedaan, adalah akibat tekanan kedua-duanya atas institusi atau lembaga, dalam hal ini kedua organisasi tersebut. Tekanan pada kelembagaan, membawakan keharusan untuk mempertahankan kepentingan/interest kedua perkumpulan tersebut, yang masing-masing bertabrakan satu sama lain. Pihak sendiri harus dimenangkan, dan pihak lain harus di"kalah"kan. Jadilah seolah-olah mereka saling berhadapan, padahal dalam kenyataan mereka menganut corak kehidupan yang sama yaitu mementingkan akhlak/moralitas/etika. Terkenal dengan ucapan H. Munawir Sadzali, mantan menteri agama kita, bahwa di Muhammadiyah ada orang NU bernama Ahmad Azhar Basyir (Ketua Umum PP. Muhammadiyah saat itu, dan di lingkungan PBNU ada orang Muhammadiyah bernama Abdurrahman Wahid), yang membawakan pembaharuan-pembaharuan.

Bahwa kedua perkumpulan itu memiliki persamaan-persamaan penting, jarang sekali diingat. Pertama, kedua-duanya mengacu pada tujuan kemaslahatan umat, yang dalam literatur kita umumnya disebut kesejahteraan rakyat. Pembukaan UUD kita, yang dibuat antara lain oleh tokoh-tokoh kedua organisasi itu, merumuskan hal itu sebagai masyarakat adil dan makmur. Jadi, tak benarlah ungkapan salah seorang Kyai NU; al-hamdulilah, keluarga besar kita semuanya beraqidah Islam, minimal Muhammadiyah. Menanggapi hal ini, Ahmad Azhar Basyir memberikan komentar, di Muhammadiyah juga banyak orang yang menganggap NU minimal.

*****

Aspek lain yang jarang dilihat orang, yakni perlakuan Keraton Hamengkubuanan di Yogyakarta. Keraton tersebut "merangkul" kedua-duannya, dengan menyantuni NU (melalui status "Masjid Pethok Nagari" di Mlangi dan Wonokromo) serta tetap membiarkan KH. Ahmad Dahlan menjadi penghulu keraton setelah mengadakan pembaharuan dengan mendirikan Muhammadiyah. Jadi, baik tradisionalisme maupun pembaharuan sama-sama memperoleh santunan dari keraton, yang sekarang bertambah dengan kebiasaan "semaan" al-Qur’an yang dahulu dirintis oleh alm. Kyai Hamim Jazuli (Gus Mik).

Kedua hal yang berbeda itu, yakni tradisionalisme Nu dan pembaharuan Muhammadiyah, seringkali melupakan kita. Dari sesuatu yang sangat penting: Islamisasi terbatas/limited Islamization --yang, dirintis Sultan Agung Hanyokro Kusumo, dengan pemakaian hukum-hukum nikah figh sebagai "peraturan" di keraton dan pemakaian bulan Muharom sebagai permulaan tahun Saka, ini dilanjutkan oleh pimpinan keraton.

Tentunya, ini harus memperhitungkan kenyataan bahwa --untuk beberapa dasa warsa, cara kehidupan "sekuler" yang tidak mau tahu dengan ajaran agama sempat menerapkan dominasinya atas masyarakat kita, termasuk keraton.

Dengan demikian jelaslah, bahwa keraton Hamengkubuanan memperlakukan Muhammadiyah dan NU, sebagai sebuah budaya, dengan tidak mementingkan institusinya. Ini adalah tindakan yang sangat bijaksana, yang sudah sepatutnya ditiru dan dicontoh oleh para pimpinan kedua organisasi tersebut.

Dengan ungkapan lain, baik tradisionalisme NU maupun pembaharuan Muhammadiyah haruslah diukur secara budaya, dan bukannya secara kelembagaan. Bukankah kini anak-anak muda kedua belah pihak sering dihadapkan kepada tantangan budaya modern yang menjauhkan mereka dari akar-akar budaya masa lampau? Bukankah ini melupakan kita dari kenyataan adanya orang-orang Muhammadinu, yang seringkali sudah tidak melihat relevansi pemisahan keduannya. Kalau saja kita menjadi dewasa dalam hal ini, kita akan melihat keadaan NU dan Muhammadiyah, bukannya pertentangan dan perpecahan antara keduanya

NU: Pergulatan Kultur Melawan Institusi

Harian Suara Pembaruan, tanggal 13/2/2002, memuat sebuah artikel tentang Nahdlatul Ulama (NU) dan penulis, yang dikemukakan oleh Ir. Salahuddin Wahid. Adik penulis ini, mengemukakan beberapa hal yang sangat menarik dalam artikel tersebut, yang menurut penulis adalah pengalihan perhatian secara sengaja atau tidak dari masalah sebenarnya.

Tujuan tulisan ini, adalah untuk melakukan pelurusan atas apa yang dikemukakan adik penulis dalam artikel tersebut. Kalau dengan ini terjadi perdebatan yang hangat antara penulis dan adik penulis sendiri, di depan umum, hal itu terjadi dalam upaya pencarian kebenaran, bukan untuk beradu pandangan untuk mencapai kemenangan.

Dalam artikel itu, Salahuddin Wahid sama sekali tidak menyebutkan bagaimana demokratisasi harus dilakukan di negeri kita. Apa pula tentang penegakan hukum, perombakan pendidikan nasional dan mendudukkan peranan Ulama/Kyai dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Secara tehnokratik ia hanya menyebutkan tentang perlunya menciptakan sistem yang baik bagi NU dalam memimpin masyarakat. Tetapi, bagaimana proses itu harus dijalani dalam kemelut sekarang ini sama sekali tidak disebut-sebut olehnya. Padahal, proses itulah yang harus dilalui denggan selamat, sebagai upaya sangat sulit untuk menegakkan benang basah dan menarik rambut tanpa mencerai-beraikan tepuung yang meliputinya.
Justru hal yang paling penting, sama sekali tidak disinggung, dan itulah yang akan dibicarakan oleh penulis.

Karena itulah penulis mengirimkan artikel ini, dan bukannya untuk berdebat dengan adik penulis sendiri. Sebab, hal itu dapat dilakukan kami berdua di mana saja, tetapi publik tidak akan mendapatkan manfaat dari perdebatan yang terjadi. Mungkin justru tradisi seperti inilah yang harus dimulai dan harus diilestarikan, untuk membuat bangsa ini menjadi masayarakat yang besar dan memberikan sumbangan berarti bagi perikemanusiaan –bahwa, penulis dan sang adik adalah saudara sekandung, adalah sebuah kebetulan belaka.

*****

Penulis setuju sepenuhnya dengan gagasan Salahuddin Wahid, agar NU berkembang menjadi sebuah sistem. Tetapi perkembangan itu jangan sampai mengecilkan arti kedudukan Ulama/Kyai dalam kehidupan, suatu hal yang oleh KH. A. Wahab Chasbullah, waktu itu Rais ‘Aam PBNU dijadikan dasar bagi keputusan NU keluar dari Masyumi dalam muktamar NU di Palemabang tahun 1952. Dan, hal itu pula yang diyakini oleh KH. M. Bisri Sansuri Rais ‘Aam PBNU untuk mendudukkan supremasi Ulama/Kyai dalam pembentukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1975. Bahwa mendiang Ali Murtopo tidak dapat memaksakan kehendak untuk memperlemah kedudukan Ulama/Kyai, akhirnya menjadiakan reformasi di Indonesia sebagai sebuah proses yang berbeda dari apa yang dijalani oleh bangsa-bangsa lain.

Masalah kedua yang dikemukakan Salahuddin Wahid juga harus dibicarakan secara terbuka dalam artikel ini. Salahuddin Wahid menganggap, seperti tersirat dalam tulisan tersebut, bahwa Muktamar Luar Biasa (MLB) NU adalah kehendak penulis, dan ini berarti perebutan kekuasaan belaka dalam sebuah institusi, lagi-lagi sebuah pandangan tehnokratik yang tidak mempercayai hal-ahal ideal dalam sebuah peristiwa.

Dalam kenyataannya, dai tengah-tengah arena Muktamar Luar Biasa (MLB) dipercepat Partai Keangkitan Bangsa (PKB), di Hotel Ambarukmo (Yogyakarta), penulis diminta oleh KH. Muhaiminan dari Parakan (Temanggung), KH. Abdurrahman Khudlori dari Tegalrejo (Magelang) dan KH. M. Subadar Besuk (Pasuruan), agar segera mengorganisir sebuah MLB NU.

Perintah lisan ini, dikemukakan atas nama para Kyai/Ulama yang tergabung dalam tubuh NU. Kalau perintah ini ditolak penulis, mereka akan mencari orang lain untuk melaksanakan kehendak itu, tentu karena mereka melihat penyimpangan besar oleh PBNU hasil muktamar Pondok Pesantren Lirboyo (Kediri) tahun 2000, beberapa waktu yang lalu. Karena itulah, penulis menyatakan kesediaan untuk berusaha ke arah itu dengan catatan diperlukan waktu minimal satu tahun untuk menyelenggarakannya. Di sini, tidak ada sama sekali keinginan penulis untuk duduk dalam keanggotaan PBNU yang akan datang.

Di samping itu, beberapa waktu yang lalu KH. Fuad Hasyim, anggota Pengurus Besar Syuriah NU saat ini, juga menyatakan kepada penulis bahwa para Ulama/Kyai Pondok Pesantren Buntet Astanajapura (Cirebon) telah mencapai sebuah ijma’/konsensus. Dalam konsensus itu, menurut KH. Fuad Hasyim, diputuskan untuk meminta penulis menjadi Rais ‘Aam PBNU secepat-cepatnya. Penulis menolak, karena kedudukan semulya itu hanya dapat dipegang oleh orang yang mengerti figh (hukum Islam) dan pernah mengajarkannya, sedangkan penulis telah mengajar semua mata pengajian (subjek) yang berjumlah 13 buah –seperti dinyatakan Imam Abdurrahman Al-Sayuthi sekitar 500 tahun lampau dalam Ithmam Al-diroyah dan sekarang menjadi salah satu basis bagi pengajaran di Pesantren, sekolah-sekolah agama dan IAIN. Subjek figh, yang menjadi mata pengajian ke 14 dalam tatanan Al-Sayuthi ini, belum perbah diminta siapapun untuk mengajarkannya oleh penulis. Penolakan penulis itu, diakhiri atas desakan beliau, dengan janji penulis bersedia menjadi wakil Rais ‘Aam PBNU yang akan datang, jika penulis harus kembali ke pengurus harian PBNU dan meninggalkan keanggotaan dalam pengurus harian DPP PKB. Kalaupun toh hal itu terjadi, pelaksanaannya barulah akan terwujud setelah hasil pemilu yang akan datang, diumumkan oleh Komite Pemilian Umum (KPU).

*****

Dalam hal ini juga ada beberapa masalah pokok yang harus diilakukan oleh PBNU, yang sama sekali tidak disinggung dalam artikel Salahuddin Wahid tersebut. Pertama, bahwa NU haruslah berbudaya demokratis, yang berintikan penegakan kedaulatan hukum dan memberikan perlakuan yang sama bagi semua warga negara di hadapan Undang-Undang. Kalau NU dapat mewujudkan hal itu dalam jangka panjang, maka baru ada artinya PKB didirikan dan demokrasi diperjuangkan di negeri kita. Karena piihak-pihak lain gagal dalam kepemimpinan ini, baik karena kurang kuat institusinya ataupun kurang besar pengarruhnya, maka terpulang pada para Ulama NU/PKB untuk mewujudkan hal itu dalam kehidupan bangsa kita saat ini.

Hal lain yanag juga tidak disinggung oleh Salahuddin Wahid dalam artikel itu, adalah perlunya perlakuan yang sama bagi seluruh warga negara di muka Undang-undang, sesuatu yang secara eksplisit belum pernah dibicarakan secara resmi di lingkungan PBNU. Yang dipikirkan oleh sebagian petinggi PBNU adalah bagaimana mencegah penulis masuk dalam jajaran pimpinan harian PBNU. Salah seorang petinggi PBNU saat ini meminta sejumlah Majelis Wakil Cabang NU/MWC NU di tingkat kecamatan, untuk tidak lagi mengundang dan meminta penulis untuk memberikan ceramah di kawasan mereka. Orang yang sama juga meminta agar penulis tidak diundang dalam Konperensi Besar NU, yang tempat dan waktunya belum diputuskan. Karena yang ditakutkan, nantinya penulis akan berpidato dan menyerang PBNU yang sekarang, padahal penulis masih menjadi Mustasyar/penasehat.


Jadi, sejak kapankah PBNU takut kepada kebenaran, yang mungkin dikemukakan penulis?

Di dalam menegakkan demokratisasi melalui DPP PKB dan di lingkungan warrga NU, penulis sering harus melakukan sesuatu yang dianggap bersikap otoriter. Ini adalah salah-anggapan yang berbahaya –karena kalau diikuti akan membuat kepemimpinan tidak efektif. Bahwa George W. Bush junior, mengambil keputusan atas tanggungan sendiri untuk mem-bom Afghanistan dalam upaya memburu Usamah bin Laden. Yang terpenting, ia tidak pernah mematikan kritik atas keputusan itu; dan kenyataan penulis tidak pernah melarang orang mengajukan kritikan atas tindakan-tindakannya, membuktikan bahwa penulis ingin menegakkan demokrasi dan mencapai kepemimpinan efektif di negeri ini sekaligus. Kalau meneagakkan hukum dan memberikan perlakuan sama bagi seluruh warga negara di muka Undang-Undang adalah tradisi demokrasi, maka kebebasan memberikan kritikan dan membahas keputusan yang diambil di muka umum di jamin secara bebas, akan merupakan tonggak bagi berlangsungnya proses demokrasi di negeri ini.

Jelaslah dari uraian penulis di atas, masalahnya bukanlah saiapakah yang menjadi pemimpin di PBNU, melainkan kultur apakah yang akan dikembangkan di dalamnya. Jadi, buka masalah institusi, melainkan masalah kultur yang akan dikembangkan di NU. Kepemimpinan yang baik haruslah sanggup mewujudkan dua hal itu dalam kehidupan organisasi adan menjaga keseimbangan antara keduannya. Di samping kemampuan berkomunikasi dengan warga NU, juga diperlukan kejujuran sikap dan ketegaran pandangan.

Di masa mendatang, NU harus sanggup menjadi pelopor dalam banyak bidang dan semuanya ittu hanya dapat dicapai dengan kepemimpinan yang kuat, berwibawa, tegar pandangan dan jujur dalam bersikap. Jika persayaratan—persyaratan itu tidak dipenuhi, kepemimpinan tidak akan efektif dan tidak memiliki tradisi kesantrian yang nyata. Hal inilah yang diperjuangkan penulis di masa dewasanya, hingga saat kematian.


Islam: Perjuangan Etis Ataukah Idiologis?

Pada suatu pagi, selepas berjalan-jalan, penulis diminta oleh sejumlah orang untuk memberikan apa yang mereka namakan “petuah”. Saat itu, ada Kyai Aminullah Muchtar dari Bekasi, sejumlah aktifis NU dan PKB dan sekelompok pengikut aliran kepercayaan dari Samosir. Dalam kesempatan itu, penulis mengemukakan pentingnya arti pemahaman arti yang benar, tentang Islam. Karena ditafsirkan secara tidak benar, maka Islam tampil sebagai ajakan untuk menggunakan kekerasan dan terorisme dan tidak memperhatikan suara-suara moderat. Padahal, justru Islamlah pembawa pesan-pesan persaudaraan abadi antara umat manusia, bila ditafsirkan secara benar.

Pada kesempatan itu, penulis mengajak terlebih dahulu memahami fungsi Islam bagi kehidupan manusia. Kata Al-Qur’an, Nabi Muhammad saw diutus tidak lain untuk membawakan amanat persaudaraan dalam kehidupan (wa ma arsalnaaka illa rahmatan lil ‘alamiin), dengan kata “rahmah” diambilkan dari pengertian “rahim” Ibu, dengan demikian manusia semuanya bersaudara. Kata “’alamiin” di sini berarti manusia, bukannya berarti semua makhluk yang ada. Jadi tugas kenabian yang utama adalah membawakan persaudaraan yang diperlukan guna memelihara keutuhan manusia dan jauhnya tindak kekerasan dari kehidupan. Bahkan dikemukakan penulis, kaum muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan hanya kalau aqidah mereka terancam, atau mereka diusir dari tempat tinggalnya (idza ukhriju min dziyarihim).

Kemudian, penulis menyebutkan disertasi doktor dari Charles Torrey yang diajukan kepada Universitas Heidelberg di Jerman tahun 1880. Dalam disertasi itu, Torrey mengemukakan bahwa kitab suci Al-Qur’an menggunakan istilah-istilah paling duniawi, seperti kata “rugi”, “untung” dan “panen”, untuk menyatakan hal-hal yang paling dalam dari keyakinan manusia. Umpamanya saja, ungkapan “ia di akhirat menjadi orang-orang yang merugi (perniagaannya)” (wa hua fil akhirati min al-khasiriin). Begitu juga ayat lain, “menghutangi Allah dengan hutang yang baik” (yuqridhillaha qardhan hasanan), serta ayat “barang siapa menginginkan panen di akhirat, akan Ku-tambahi panenannya” (man kaana yuridu harsa al-akhirati nazid lahu fi hartsihi).

Dalam uraian selanjutnya, penulis mengemukakan pengertian negara dari kata “daulah”, yang tidak dikenal oleh al-qur’an. Dalam hal ini, kata tersebut mempunyai arti lain, yaitu “berputar” atau “beredar”, yaitu dalam ayat “agar harta yang terkumpul itu tidak berputar/beredar antara orang-orang kaya saja di lingkungan anda semua” (kaila yakuuna duulatan baina al-aghniyaa’i minkum). Ini menunjukkan yang dianggap oleh al-qur’an adalah sistem ekonomi dari sebuah negara, bukan bentuk dari sebuah negara itu sendiri. Jadi, pembuktian tekstual ini menunjukkan Islam tidak memandang penting bentuk negara. Atau, dengan kata lain, Islam tidak mementingkan konsep negara itu sendiri.

Dapat disimpulkan dari uraian di atas, Islam lebih mengutamakan fungsi negara dari pada bentuknya. Dalam hal ini, bentuk kepemimpinan dalam sejarah Islam senantiasa mengalami perubahan. Bermula dari sistem prasetia (bai’at) dari suku-suku kepada Sayyidina Abu Bakar, melalui pergantian pemimpin dengan penunjukkan dari beliau kepada Sayyidina Umar, diteruskan dengan sistem para pemilih (ahl halli wa al-aqdi- electors) baik langsung maupun tidak (seperti MPR-RI sekarang), diteruskan dengan sistem kerajaan dan keturunan di satu sisi kemudian kepala negara atau kepala pemerintahan dipilih oleh lembaga perwakilan, serta para pemimpin yang melalui coup d’etat di sementara negara, semuanya menunjukkan tiadanya konsep pergantian pemimpin negara secara jelas dalam pandangan Islam.

Demikian juga, Islam tidak menentukan besarnya negara yang akan dibentuk. Di jaman Nabi saw, negara meliputi satu wilayah kecil saja yaitu kota Madinah dan sekitarnya, diteruskan dengan imperium dunia di masa para khalifah dan kemudian dinasti Umaiyyah dan Abbasyiah. Setelah itu, berdirilah kerajaan-kerajaan lokal dari dinasti Murabbitiin di barat Afrika hingga Mataram di Pulau Jawa. Kini, kita kenal dua model; model negara-bangsa (nation state) dan negara kota (city state). Keadaan menjadi lebih sulit, karena negara kota menyebut dirinya negara-bangsa, seperti Kuwait dan Qatar.

Dengan tidak jelasnya konsep Islam tentang pergantian pemimpin negara dan bentuk negara seperti diterangkan di atas, boleh dikatakan bahwa Islam tidak mengenal konsep negara. Dalam hal ini, yang dipentingkan adalah masyarakat (mujtama’ atau society), dan ini diperkuat oleh penggunaan kata umat atau ummah dalam pengertian ini. Sidney Jones mengupas perubahan arti kata ini dalam berbagai masa di Indonesia, yang diterbitkan Universitas Cornell di Ithaca, New York, beberapa tahun lalu. Semuanya menunjuk pada pengertian masyarakat itu, baik seluruh bangsa maupun hanya para pengikut gerakan-gerakan Islam di sini belaka.

Dengan demikian, pendapat yang menyatakan adanya pandangan tentang negara dalam Islam, harus diartikan pandangan agama tersebut tentang masyarakat. Ini semua, akan membawa konskwensi tiadanya hubungan antara Islam sebagai ideologi politik dan negara. Dengan kata lain, Islam mengenal ideologi sebagai pegangan hidup masyarakat, minimal berlaku untuk para warga gerakan-gerakan Islam saja. Dengan demikian, negara dapat saja didirikan tanpa ideologi Islam, untuk menyantuni hak-hak semua warga negara di hadapan Undang-Undang Dasar (UUD), baik mereka muslim maupun non-muslim.

Tanpa menyadari hal ini, kita secara emosional akan mengajukan tuntutan akan adanya sebuah ideologi Islam dalam kehidupan bernegara. Ini berarti, warga negara non-muslim akan menjadi warga negara kelas dua, baik secara hukum maupun dalam kenyatan praktis. Sedangkan Republik Indonesia (RI) tanpa menggunakan ideologi agama secara konstitusional dalam hidupnya, menghilangkan kesenjangan itu dengan tidak menggunakan agama sebagai ideologi politik, yang berakibat pada pemilahan warga negara muslimin dari non-muslimin. Maka, terjadilah proses alami kaum muslimin dalam memperjuangkan ideologi masyarakat yang mereka ingini melalui upaya menegakkan etika Islam, bukannya ideologi Islam. Bukankah ini lebih rasional?

Perlukah Kerohaniahan Dalam Politik?

Sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa dalam humaniora dari Universitas Soka Gakkai di Tokyo, penulis mengemukakan sesuatu yang penting dalam kehidupan politik. Hal itu diulang kembali oleh penulis dalam hari jadi ke X kelompok Foreign Correspondent (wartawan luar negeri) ABC, terkenal dengan sebutan Radio Australia, minggu lalu, di Sydney. Apa yang dikemukakan penulis itu adalah pentingnya kerohaniahan (spiritualitas) dalam kehidupan politik di negara-negara berkembang. Mengapakah penulis mengemukakan hal itu, sedangkan di negara-negara bertehnologi maju (technologically Advanced Countries) hal itu tidak diperlukan? Bukankah kasus Watergate di Amerika Serikat tiga puluhan tahun yang lalu merupakan bukti nyata akan hal ini? Jelas, tanpa aspek kerohaniahan pun kehidupan politik di negara Paman Sam itu tunduk pada hukum dan moralitas?

Di negara-negara berteknologi maju, moral dan hukum sudah berjalan seiring, hingga tanpa sanksi hukum pun --secara moral para politisi sudah dengan sendirinya tunduk pada pendapat umum masyarakat. Pengunduran diri Richard Nixon dari kepresidenan Amerika Serikat, adalah bukti dari persenyawaan hukum dan moralitas ini. Bahwa Presiden Bill Clinton terbebas dari hukuman, iapun tidak terlepas dari sanksi moral ini –yaitu tidak dipercaya lagi dan gagal menjadi Presiden Amerika Serikat yang besar, seperti George Washington dan Abraham Lincholn. Sejarah memberikan keputusannya justru ketika Clinton masih hidup, karena prilaku seksualnya yang tidak mengikuti ketentuan umum. Sekali pendapat umum dilanggar, maka sangat sulit bagi seseorang untuk dianggap sebagai Presiden yang besar, padahal capaian Clinton sebagai Presiden Amerika Serikat dapat dikatakan luar biasa.

Lain halnya, apabila kita lihat pada negara-negara yang baru merdeka dalam seratus tahun belakangan ini. Walaupun ada diantara mereka yang dapat dianggap bertehnologi maju, seperti Jepang, dalam berpolitik mereka tidak begitu mengindahkan aspek etika bagi sang pemimpin. Walaupun ada menteri mengundurkan diri karena rasa tanggungjawab moralnya, namun belum pernah ada Perdana Menteri Jepang yang melakukan hal tersebut. Karena kalau itu terjadi, kehormatan seluruh bangsa menjadi tercemar. Kehormatan kolektif sebuah bangsa, dengan demikian dianggap lebih penting daripada moral pribadi.
Dengan demikian, ada kesenjangan antara moral pribadi seseorang dan kehormatan kolektif sebuah bangsa, hingga muncullah kesenjangan yang menimbulkan sikap sinis terhadap politik. Sinisme ini tambah diperkuat oleh belum matangnya kehidupan berpolitik dalam masyarakat yang bersangkutan. Menurut jalan pikiran ini, moralitas pribadi dipisahkan dari sesuatu yang melanggar hukum. Tidak diperhitungkan dalam sikap itu bahwa Undang-Undang Dasar (UUD) memiliki sisi moral di samping sisi hukum. Sinisme, menjadi sesuatu yang dianggap identik dengan politik, hingga tidak perlu aspek moralitas pribadi diperhatikan di dalamnya.
Dalam keadaan penafsiran politik seperti itu, sudah tentu terjadi kesenjangan antara politik dan moralitas, setidak-tidaknya untuk sebagian kehidupan politik itu. Itulah sebabnya, mengapa seorang menteri karena tanggungjawab moralnya harus berhenti dari jabatannya, sedangkan seorang Perdana Menteri Jepang dapat terus saja memegang jabatan itu tanpa mendapatkan sangsi apapun, baik hukum maupun moral. Jadi, harus dibedakan benar antara sebuah hukuman (berarti yang bersifat pribadi) dari kehormatan kolektif sesuatu bangsa.

Karenanya, diperlukan sebuah upaya secara sadar untuk menjembatani kedua hal itu. Jembatan moral itu adalah kerohaniahan (spiritualitas) yang secara sadar dimasukkan ke dalam kehidupan politik sesuatu bangsa. Kalau tidak, bangsa itu akan mengalami nasib seperti bangsa kita saat ini, yang memberlakukan demokrasi hanya pada aspek institusionalnya belaka, tanpa memperhitungkan tradisi demokrasi itu sendiri. Bahwa DPR-RI dan MPR-RI hanya main menang-menangan suara saja, tanpa memandang penting arti UUD/konstitusi, akhirnya hanya berujung pada pelengseran seorang Presiden dan munculnya pihak ekskutif yang lemah. Padahal UUD nyata-nyata menempatkan ketiga aspek; ekskutif, legislatif dan yudikatif dalam kedudukan yang sama tinggi dan kuat di depan hukum. Apalagi kalau pihak legislatif tidak memiliki keabsahan secara nyata dari segi hukum, seperti saat ini, ketika penghitungan suara perolehan pemilu yang lalu baru 60% diselesaikan oleh Komite Pemilihan Umum (KPU), sedangkan penghitungan suara dihentikan dan dibuatlah Surat Keputusan (SK) dan Peraturan Pemerintah oleh Presiden Habibie waktu itu, untuk mengukuhkan kedudukan DPR dan MPR-RI. Terlebih lagi, permintaan fatwa legal yang –dalam hal ini, dilakukan oleh Klinik Hukum Merdeka juga tidak digubris oleh Mahkamah Agung (MA), hingga detik ini.

Partai Komeito (pemerintahan bersih) yang didukung oleh gerakan Budha terbesar di dunia, Soka Gakkai, Bharata Janatha Party yang memerintah di India di bawah kepemimpinan Atal Behari Vajpayee dan didukung oleh RSS (Rahasia Severaj Sangha) –yang merupakan organisasi Hindu terbesar di dunia dan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang juga didukung oleh organisasi Islam terbesar di dunia, NU, adalah bukti dari upaya mencari topangan moral yang baru ini dalam kehidupan berpolitik di tiga buah negara berpenduduk sangat besar itu. Pencarian landasan moral bagi kehidupan politik yang sehat, merupakan upaya untuk mencari landasan moral yang kuat, setidak-tidaknya bagi kehidupan politik di kalangan ketiga bangsa itu.

Landasan moral itu sangat diperlukan, baik untuk menghadapi persaingan dengan negeri-negeri lain di bidang ekonomi dan perdagangan, maupun untuk mengendalikan prilaku politik yang sehat. Apapula kalau diingat hubungan sangat dekat, dan dengan sendirinya peluang-peluang berbuat curang di bidang keuangan, antara para politisi, pengusaha dan birokrasi pemerintahan dalam kehidupan ketiga bangsa tersebut. Inilah kenyataan yang harus diingat dan dikaji secara mendalam, dalam pencarian landasan yang sehat bagi kehidupan politik. Karenanya, diperlukan kerohaniahan/spiritualitas dalam kehidupan politik di negera-negera berkembang.

Pencarian itu dimaksudkan juga untuk melakukan antisipasi terhadap “pembersihan besar-besaran” dalam sistem politik materialistik, seperti yang terjadi di RRT saat ini. Ini tidak berarti hilangnya pelanggaran-pelanggaran hukum dan moral di negari itu, melainkan sebagai bukti besarnya arti sikap etis dalam kehidupan politik yang sehat, dimanapun ia dijalankan di masa sekarang. Kita belum lagi tahu apakah landasan moral Nelson Mandela dan pendeta Desmond Tutu di Afrika Selatan, ataupun Presiden Khatami di Republik Islam Iran, melainkan jelas sekali adanya keperluan akan pengendalian kehidupan politik oleh spiritualitas yang bersifat tinggi. Apakah pengendalian itu bersifat spiritual atau material tidaklah begitu penting artinya bagi kita.

Salahkah Jika Dipribumikan?

Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya. Bukan ajarannya, melainkan penampilan kesejarahan itu sendiri, meliputi kelembagaannya. Mula-mula seorang nabi membawa risalah (pesan agama, bertumpu pada tauhid) bernama Muhammad, memimpin masyarakat muslim pertama. Lalu empat pengganti (khalifah) meneruskan kepemimpinannya berturut-turut. Pergolakan hebat akhirnya berujung pada sistem pemerintahan monarki.
Begitu banyak perkembangan terjadi. Sekarang ada sekian republik dan sekian kerajaan mengajukan klaim sebagai ‘negara Islam’.Ironisnya dengan ideologi politik yang bukan saja saling berbeda melainkan saling bertentangan dan masing-masing menyatakan diri sebagai ‘ideologi Islam’. Kalau di bidang politik terjadi ‘pemekaran’ serba beragam, walau sangat sporadis, seperti itu, apalagi di bidang-bidang lain.
Hukum agama masa awal Islam kemudian berkembang menjadi fiqh, yurisprudensi karya korps ulama pejabat pemerintah (qadi, multi, dan hakim) dan ulama ‘non-korpri’. Kekayaan sangat beragam itu lalu disistematisasikan ke dalam beberapa buah mazhab fiqh, masing-masing dengan metodologi dan pemikiran hukum (legal theory) tersendiri.
Terkemudian lagi muncul pula deretan pembaharuan yang radikal, setengah radikal, dan sama sekali tidak radikal. Pembaharuan demi pembaharuan dilancarkan, semuanya mengajukan klaim memperbaiki fiqh dan menegakkan ‘hukum agama yang sebenarnya’, dinamakan Syari’ah. Padahal kaum pengikut fiqh dari berbagai mazhab itu juga menamai anutan mereka sebagai syari’ah.
Kalau di bidang politik - termasuk doktrin kenegaraan - dan hukum saja sudah begitu balau keadaannya, apalagi dibidang-bidang lain, pendidikan, budaya kemasyarakatan, dan seterusnya. Tampak sepintas lalu bahwa kaum muslimin terlibat dalam sengketa di semua aspek kehidupan, tanpa terputus-putus. Dan ini lalu dijadikan kambing hitam atas melemahnya posisi dan kekuatan masyarakat Islam .
Dengan sendirinya lalu muncul kedambaan akan pemulihan posisi dan kekuatan melalui pencarian paham yang menyatu dalam Islam, mengenai seluruh aspek kehidupan. Dibantu oleh komunikasi semakin lancar antara bangsa-bangsa muslim semenjak abad yang lalu, dan kekuatan petrodollar negara-negara Arab kaya minyak, kebutuhan akan ‘penyatuan’ pandangan itu akhirnya menampilkan diri dalam kecenderungan sangat kuat untuk menyeragamkan pandangan. Tampillah dengan demikian sosok tubuh baru: formalisme Islam. Masjid beratap genteng, yang sarat dengan simbolisasi lokalnya sendiri negeri kita, dituntut untuk ‘dikubahkan’. Budaya wali songo yang serba ‘Jawa’, Saudati Aceh,Tabut Pariaman, didesak ke pinggiran oleh kasidah berbahasa Arab dan juga MTQ yang berbahasa Arab: bahkan ikat kepala lokal (udeng atau iket di Jawa ) harus mengalah kepada sorban ‘merah putih’ model Yasser Arafat.
Begitu juga hukum agama, harus diseragamkan dan diformalkan: harus ada sumber pengambilan formalnya, Alqur’an dan Hadist, padahal dahulu cukup dengan apa kata kiai. Pandangan kenegaraan dan Ideologi politik tidak kalah dituntut harus ‘universal’ ; yang benar hanyalah paham Sayyid Qutb, Abul A’l Al Maududi atau Khomeini. Pendapat lain, yang sarat dengan latar belakang lokal masing-masing, mutlak dinyatakn salah.
Lalu, dalam keadaan demikian, tidakkah kehidupan kaum muslimin tercabut dari akar-akar budaya lokalnya? Tidakkah ia terlepas dari kerangka kesejarahan masing-masing tempat? Di Mesir, Suriah, Irak, dan Aljazair, Islam ‘dibuat’ menentang nasionalisme Arab - yang juga masing-masing bersimpang siur warna ideologinya.
Di India ia menolak wewenang mayoritas penduduk yang beragama Hindu, Untuk menentukan bentuk kenegaraan yang diambil. Di Arab Saudi bahkan menumpas keinginan membaca buku-buku filsafat dan melarang penyimakan literatur tentang sosialisme. Di negeri kita sayup-sayup suara terdengar untuk menghadapkan Islam dengan Pancasila secara konfrontatif - yang sama bodohnya dengan upaya sementara pihak untuk menghadapkan Pancasila dengan Islam.
Anehkah kalau terbetik di hati adanya keinginan sederhana : bagaimana melestarikan akar budaya-budaya lokal yang telah memiliki Islam di negeri ini? Ketika orang-orang Kristen meninggalkan pola Gereja kota kecil katedral ‘serba Gothik’ di kota-kota besar dan gereja kota kecil model Eropa, dan mencoba menggali Aritektur asli kita sebagai pola baru bangunan gereja, layakkah kaum muslimin lalu ‘berkubah’ model Timur Tengah dan India? Ketika Ekspresi kerohanian umat Hindu menemukan vitalitasnya pada gending tradisional Bali, dapatkah kaum muslimin ‘berkasidahan Arab’ dan melupakan ‘pujian’ berbahasa lokal tiap akan melakukan sembahyang?
Juga mengapa harus menggunakan kata ‘shalat’, kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya? Mengapakah harus ‘dimushalakan’, padahal dahulu toh cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru atau kiai sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang yang semula mendukung kehadirannya di belahan bumi ini?
Kesemua kenyataan di atas membawakan tuntutan untuk membalik arus perjalanan Islam di negeri kita, dari formalisme berbentuk ‘Arabisasi total’ menjadi kesadaran akan perlunya dipupuk kembali akar-akar budaya lokal dan kerangka kesejarahan kita sendiri, dalam mengembangkan kehidupan beragama Islam di negeri ini. Penulis menggunakan istilah ‘pribumisasi Islam’, karena kesulian mencari kata lain. ‘Domestikasi Islam terasa berbau politik, yaitu penjinakan sikap dan pengebirian pendirian.
Yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan ‘Qur’an Batak’ dan Hadis Jawa’. Islam tetap Islam, dimana saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya. Salahkah kalau Islam ‘dipribumikan’ sebagai manifestasi kehidupan?

Islam: Sebuah Ajaran Kemasyarakatan

Charles Torrey menyatakan dalam disertasinya, kitab suci Al-Qur’an sangat menarik bila dibandingkan dengan kitab suci agama lain. Kenapa ia menyatakan demikian? Karena, seperti dikatakannya, kitab suci tersebut menggunakan peristilahan profesional untuk menyatakan hal-hal yang paling dalam dari lubuk hati manusia. Dengan demikian, Al-Qur’an memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada profesi yang kita anut. “Barang siapa mengikuti selain Islam sebagai agama maka amal perbuatannya tidak akan diterima (menurut Islam) dan di akhirat kelak ia akan merugi perdagangannya” (man yabtaghi ghaira al-Islam diinan falan yuqbala minhu wahua fi al-akhirati min al-khasirin). Bukankah istilah merugi, dalam dunia perdagangan merupakan istilah profesional, dalam hal ini dipakai untuk menunjuk hal yang paling dalam di hati manusia, yaitu tidak memperoleh pahala?

Istilah-istilah lain dari dunia profesi juga dipakai dalam pengertian yang sama oleh kitab suci tersebut. Barang siapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Ia akan melipatgandakan imbalannya” (man yuqridhillaa qardhan hasanan fayudha’ifahu), jelas menunjuk kepada perolehan pahala, dan bukannya pengembalian kredit seperti di bumi. Hal inilah yang harus kita mengerti, jika diinginkan pemahaman lengkap terhadap kitab suci tersebut: kitab suci itu bukanlah dokumen politik, melainkan sebuah penggambaran kehidupan yang lengkap, termasuk pemahaman sejarah masa lampau.

Ketika Allah berfirman: “barang siapa menginginkan panenan di akhirat kelak, akan Ku-tambahi panenannya” (man kaana yuriidu harth al-akhirati nazid lalu fi harthihi), yang lagi-lagi berbicara tentang pahala di akhirat bagi perbuatan kita di dunia ini. Bahwa istilah-istilah perdagangan dan pertanian digunakan untuk keinginan manusia memperoleh pahala bagi amal perbuatannya, merupakan penghargaan yang sangat tinggi atas profesi seseorang.
Dalam sebuah ayat suci Al-Qur’an dinyatakan: “orang-orang yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan prasetia” (wa al-mufuuna bi ‘ahdihim idza ‘aahadu) jelas menunjuk kepada profesionalisme seperti itu. Bukankah manusia paling mengutamakan janji profesi ketika mengucapkan prasetia? Dikombinasikan dengan pengamatan Torrey di atas jelaslah bahwa Islam memberikan penghargaan sangat tinggi kepada profesi. Hal inilah yang justru hilang dari kehidupan kaum muslimin dalam beberapa abad yang silam, karena memberikan tempat terlalu banyak kepada kaum penguasa, serta kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan mereka, alias pemberian perhatian terlalu besar porsinya kepada aspek politik dalam diri kehidupan bangsa-bangsa muslim.

Sebagai akibat, perhatian atas masalah-masalah profesional ternyata kurang besar, dan dengan sendirinya pemikiran ke arah itupun menjadi sangat kecil. Pada saat yang sama, banga-bangsa Barat telah mencurahkan perhatiannya yang sangat besar kepada masalah-masalah profesi. Dengan sendirinya, pertautan antara Islam sebagai ajaran dan profesi sebagai penerapan ajaran-ajaran tersebut, menjadi tidak bersambung satu sama lain. Ini mengakibatkan ketertinggalan sangat besar dalam pemahaman Islam sebagai agama kehidupan di kalangan para pemeluknya. Karenanya, diperlukan sebuah keberanian moral untuk merambah jalan baru bagi sebuah penafsiran, yang tidak lain adalah sebuah pendekatan profesional.

Kita ambil sebuah firman dalam kitab suci Al-Qur’an: “jika kalian di sapa dengan sapaan yang baik, maka sapalah dengan ungkapan yang lebih baik lagi” (wa idza huyyitum bitahiyyatin fa hayyu bi ahsana minha), jelas-jelas memerlukan pendekatan profesional, katakanlah bagi seorang produsen barang. Artinya, kalau barang produksi anda dipuji orang lain, maka tingkatkanlah mutu produksi barang itu sebagai jawaban atas pernyataan baik yang diucapkan. Hanya dengan cara itulah seorang muslim dapat membuat interpretasi atas perbuatan-perbuatan kita di dunia ini.

Kalau hal ini kita renungkan secara mendalam, jelas bahwa Islam memperlakukan kehidupan sebagaimana mestinya. Sebuah pemahaman yang benar akan menunjuk kepada kenyataan bahwa Islam bukanlah agama politik semata. Bahkan dapat dikatakan bahwa porsi politik dalam ajaran Islam sangatlah kecil, itupun terkait langsung dengan kepentingan orang banyak, yang berarti kepentingan rakyat kebanyakan (kelas bawah di masyarakat). Kalau hal ini tidak disadari, maka politik akan menjadi panglima bagi gerakan-gerakan Islam dan terkait dengan institusi yang bernama kekuasaan.

Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah dalam kitab suci Al-Qur’an: “apa yang diberikan Allah kepada utusan-Nya sebagai pungutan fai’ dari kaum non-muslim (sekitar Madinah), hanya bagi Allah, Utusan-Nya, sanak keluarga terdekat, anak-anak yatim, kaum miskin dan pejalan kaki untuk menuntut ilmu dan beribadat, agar supaya harta yang terkumpul tidak hanya beredar di kalangan kaum kaya saja di lingkungan kalian” (maa afaa Allahu min ahli al-Qurra fa lillahi wa rasulihi wa lidzi al-qurba wa al-yatama wa al-masaakini wa ibni al-sabil, kaila yakuuna duulatan baina al-aghniya’ minkum). Bukankah Islam mementingkan fungsi pertolongan kepada kaum miskin dan menderita, dan tidak memberikan perhatian khusus tentang bentuk negara yang diinginkan?

Ini tentu berarti Islam lebih mementingkan pendekatan profesional, dan bukannya pendekatan politis dalam memandang sesuatu persoalan. Kalau saja ini dimengerti dengan baik, akan menjadi jelaslah mengapa Islam lebih mementingkan masyarakat adil dan makmur, dengan kata lain masyarakat sejahtera, yang lebih diutamakan kitab suci tersebut dari pada masalah bentuk negara. Kalaulah hal ini disadari sepenuhnya oleh kaum muslimin, tentulah salah satu sumber keruwetan dalam hubungan antara sesama umat Islam dapat dihindarkan. Artinya, ketidakmampuan dalam memahami hal inilah, yang menjadi sebab kemelut luar biasa dalam lingkungan gerakan Islam dewasa ini.

Strategi Perjuangan Umat Islam

Pada saat ini, disadari, strategi perjuangan umat Islam di Indonesia tampak terasa kabur. Ditekankannnya kata "umat" Islam, karena kata "umat" cakupannya lebih luas daripada kata "gerakan". Di antara pembuktiannya, seperti kita ketahui, dalam gerakan Islam tersebut tampak lebih menetapkan pilihannya terhadap dukungan pada Sidang Istimewa (SI) MPR. Padahal, kita semua tahu, jika mengikuti pengertian kata "umat" di atas berarti juga sudah mencakup mereka yang menentang forum tersebut, seperti kelompok Barisan Nasional (Bamas). Bukankah semua yang mengakui beragama Islam, semuanya termasuk umat Islam? Tetapi, tidak semua mereka yang beragama Islam adalah serta merta anggota gerakan Islam.

Tanpa mengetahui perbedaan kedua istilah itu, kita bisa dibuat bingung. Namun, dengan kemampuan membedakan di antara keduanya kita bisa memilah-milah; mengapa terjadi sikap yang berlainan. Sebenarnya, dengan kemampuan tersebut kita secara kultural dapat membedakan mengapa ada yang menjadi pengikut gerakan Islam dan mengapa ada yang tidak. Bahkan lebih jauh, kita bisa membedakan mengapa ada gerakan Islam, nasionalis, sosialis, dan bahkan gerakan komunis. Di negara bagian Bihar Barat, India, calon utama pemimpin partai Komunis India adalah Maulana Ishaq —yang, kalau di sini (bisa jadi) dipanggil Kiai Ishaq. Bahkan, kita pernah memiliki seorang calon anggota DPR dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bemama Kiai Dasuki asal Solo.

Sedangkan pada kata "gerakan" Islam, dapat dikumpulkan sejumlah organisasi yang resmi membubuhkan nama Islam atau muslimin. Apakah arti pembubuhan nama tersebut? Karena, organisasi itu bertujuan mempraktekkan hukum Islam (fiqh) dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, tujuan dari organisasi seperti itu lebih bersifat khusus dan berimgkup lebih sempit. Atau, pengikutnya yang lebih diperkecil, seperti kata Nahdlatul Ulama —yang berarti Kebangkitan Ulama. Yang tidak merasa terikat oleh keulamaan, baik sebagai kolega maupun sebagai pengikut, tidak bisa turut serta dalam gerakan tersebut. Sebaliknya, orang yang tidak merasa pentingnya hukum Islam tidak pantas jadi anggota NU.

Karenanya, gerakan Islam seperti Partai Bulan Bintang, Muhammadiyah, Syarikat Islam Indonesia dan sebagainya, biasanya mencantumkan pelaksanaan hukum Islam (fiqh atau syari’ah) sebagai salah satu bidang garapannya. Bahkan, yang tidak mencantumkannya secara resmi dalam anggaran dasarnya, seperti yang dialami Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) saat ini, diragukan perjuangan keislamannya. Satu-satunya hal yang menolong PKB adalah ikatannya sebagai wadah penyaluran aspirasi politik bagi warga NU. Atau, mungkin karena itulah perjuangan mewujudkan hukuni Islam tidak dicantumkan dalam anggaran dasarnya.

Bukankah dengan tidak mencantumkan hal itu, melainkan mencantumkan perjuangan menegakkan hak asasi manusia, keadilan serta demokrasi, semakin banyak warga masyarakat yang dapat diraih? Strategi ganda yang, di satu pihak, menyerahkan pelaksanaan hukum Islam pada NU dan penegakan hukum serta demokrasi kepada pihak sendiri, bukankah akan lebih menarik simpati masyarakat luas kepada PKB? Di sinilah, orang baru mengerti mengapa penulis sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta agar Saudara Drs. Mathori Abdul Jalil menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai tersebut. Pak Mathori adalah seorang strateg yang mampu memadukan keberadaan NU dan kehadiran partai tersebut. Maka, kita tidak usah heran jika PKB akan meraih suara besar di masa yang akan datang. Karena, NU mampu merangkum kedua tipe perjuangan itu, dalam sebuah format yang berbeda.

Pada saat ini, yang didambakan rakyat Indonesia adalah hadirnya sebuah demokrasi, kebebasan dan pelaksanaan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, mereka lebih dari tiga puluh tahun telah diinjak-injak haknya dan kemampuan mengatur kehidupan mereka bersama. Tanpa mempedulikan perbedaan agama, adat- istiadat, pandangan hidup dan sebagainya, mereka telah bersatu dalam perjuangan untuk merebut kebebasan dan kemampuan mengatur kehidupannya sendiri. Karenanya, hanya sedikit di antara mereka yang mampu merasakan pentingnya arti agama bagi kehidupan mereka.

Setelah mengetahui perbedaan kedua belah pihak yang melakukan perjuangan yang berbeda itu, tentunya, kita juga harus memahami pentingnya arti posisi orang-orang yang mempertahankan keikutsertaan agama Islam dalam perjuangan yang lebih besar itu. Orang seperti Dr. Nurcholish Madjid dan Dr. Amien Rais, misalnya, keduanya tentu memiliki pengaruh tersendiri di antara mereka yang merasa harus memperjuangkan kedua hal tersebut sekaligus. Atau, katakanlah keduanya memiliki pengaruh di kedua kawasan yang memang berbeda itu.

Menguasai Dua Dunia

Mereka yang memperjuangkan penegakan demokrasi dan sekaligus melaksanakan hukum Islam, agaknya mempunyai kedudukan yang menarik. Mereka, sepertinya menguasai dua dunia sekaligus yakni di satu sisi memperjuangkan tegaknya demokrasi di bumi ini dan pada saat yang sama, mewujudkan gerakan Islam, terutama tentang pelaksanaan syari’ah. Karenanya, tidaklah mengherankan jika perjuangan NU, Muhammadiyah ataupun Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) tak begitu banyak menarik orang. Karena hal itu dianggap hanya sebagai perjuangan kepentingan kelompok/golongan yang sempit. Sebaliknya, perjuangan menegakkan demokrasi, penegakan hukum dan kebebasan, semata-mata juga tidak menarik perhatian pula, karena hanya mewakili kepentingan mereka yang berjuang di bidang itu saja, misalnya LBH, Komnas HAM dan sebagainya.

Apa yang dialami golongan Islam di negeri kita ini, juga dialami oleh umat yang sama di negeri-negeri lain. Bahkan, di tempat-tempat tersebut, Islam seolah-olah terasa menentang perjuangan penegakan demokrasi, kedaulatan hukum serta persamaan hak. Di Pakistan, misalnya, jamaat-lslami jelas merupakan alat militer untuk menguasai keadaan. Hal yang sama juga terjadi di negara- negara semacam Malaysia, Mesir, Sudan, dan Iran. Jadi, perjuangan menegakkan demokrasi dan kebebasan di tempat-tempat tersebut, justru identik dengan upaya menghilangkan dennokrasi, persamaan hak, dan kebebasan. Dan, hal itu pulalah yang terjadi di Arab Saudi. Sebaliknya, perubahan struktur maupun corak masyarakat yang dibawakan oleh proses modernisasi yang, sebagian besar adalah proses pembaratan (westernisasi), juga ditentang oleh Islam, Proses itu, memberikan tempat khusus bagi kalangan militer untuk memerintah atas nama status quo dan menentang demokratisasi yang berasaskan sikap anti-status quo juga.

Dengan demikian proses penegakan demokrasi, kedaulatan hukum dan kebebasan di negeri-negeri tersebut berarti penerimaan perjuangan Islam; seperti yang terjadi di Turki, Mesir, dan Aljazair. Namun begitu, wajah perubahan yang diusulkan tetap tidak menampilkan upaya penegakan hukum dan pendirian persamaan, karena hal itu didakwakan datang melalui dunia Barat. Jadi, kunci dari pencarian jawaban yang tepat adalah upaya Islam untuk melakukan demokratisasi dalam arti persamaan hak dan kedudukan, penjagaan kebebasan dan perubahan struktur masyarakat.

Di Bangladesh, perjuangan gerakan Islam telah dihabisi oleh kegiatan golongan nasionalis. Tinggal di negeri kita sajalah, hal itu bisa dilakukan, meskipun tidak oleh seluruh anggota gerakan Islam. Seperti yang telah disebutkan penulis tadi, tokoh-tokoh seperti Dr. Nurcholish Madjid dan Dr. Amien Rais, sebenarnya masih berkesempatan mengajukan diri memimpin perjuangan demokrasi dan sekaligus memperjuangkan hukum Islam. Karenanya, tidaklah bijaksana apabila mereka justru menarik diri dari salah satu kedua jenis perjuangan itu.

lbadah adalah hak bagi setiap pemeluk agama untuk menjalankannya, tidak perlu dibuat suatu peraturan yang khusus. Setiap agama sudah punya aturan mengenai kewajiban menjalankan ibadah. Di Indonesia penerapan hukum dan pelaksanaan ibadah masing-masing umat perorangan sudah sangat baik. Toleransi beragama juga terlihat cukup baik. Rumah makan yang buka di bulan puasa hampir semuanya diberi tutup atau pembatas. Itu semua merupakan perwujudan dari toleransi beribadah. Maka tidak mungkin diterapkan suatu peraturan oleh pemerintah tentang ibadah suatu agama. Indonesia bukan negara Islam. Di samping Islam masih ada agama lain. Tidak mungkin Hukum Islam diterapkan dalam hukum negara, apalagi hukum ibadah. Seharusnya negara jangan sampai terlalu jauh mencampuri urusan warga negaranya dalam menjalankan ibadah. Meskipun berisi perintah yang tegas dalam menjalankan ibadah, aturan itu tidak akan berdaya guna.

Di Kairo, hampir 97% penduduknya beragama Islam. Tapi, masalah ibadah di negara ini tidak diatur dalam suatu aturan pemerintah. Pada kenyataannya warga negara tidak merasa saling terganggu dalam hal beribadah. Pada saat bulan puasa, rumah makan dan tempat-tempat hiburan masih tetap buka, toh pemeluk agama Islam di sana tetap khusyu' menjalankan ibadah puasa. Untuk itu, khususnya ibadah puasa kita serahkan saja pada kesadaran dari masyarakat sendiri untuk menjalankan ibadahnya, tidak usah diatur-atur. Dengan suatu peraturan pemerintah, pemeluk agama akan merasa sangat terpaksa menjalankan ibadah. Kalaupun ada 'gangguan' itu bisa dianggap saja sebagai ujian yang justru akan menambah kekhusukan puasa.

Pemerintah tidak punya hak untuk membatasi/mencegah bukanya rumah makan atau tempat hiburan. Pemerintah hanya boleh meminta dengan kesadaran bagi pengusaha rumah makan dan tempat hiburan agar menghormati sesama pemeluk agama dalam menjalankan ibadahnya.
Tuan Guru Faisal, Potret Kepribadian NU

DI Nusa Tenggara Barat (NTB) terdapat dua figur ulama besar yang sangat menonjol dan berpengaruh. Yaitu, Tuan Guru Zainuddin (Pimpinan Nahdlatul Wathan) dan Tuan Guru Faisal (Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama).

Tuan Guru Faisal (70) baru saja meninggalkan kita 3 Februari lalu di Lombok. Saya ingin mengenangnya berkenaan dengan pribadinya yang sangat menarik. Tuan Guru untuk menunjukkan rasa cinta pada organisasi, ternyata menempuh jalan yang berliku-liku.

Dalam NU, Tuan Guru Faisal adalah generasi kedua NU di NTB. Pusat NU NTB adalah di Lombok. Pengembangan NU di sana dengan dua sistem, yakni keguruan dan pengajian. Dari aspek historis, yang membawa NU ke Lombok adalah seorang ulama keturunan Arab Syekh Abdul Manan. Itu terjadi pada tahun 1930-an. Syekh Abdul Manan diutus oleh Hadratusy Syekh Hasyim Asy'ari Rais Akbar NU untuk membuka wilayah NU Lombok. Waktu itu diistilahkan konsul NU Lombok, karena belum ada propinsi. Otomatis Syekh Abdul Manan menjadi pimpinan pertama NU di Lombok.
Setelah Syekh Abdul Manan meninggal, kepemimpinan NU dipegang oleh Tuan Guru Zainuddin (yang kini pimpinan Nahdlatul Wathan) dan Tuan Guru Faisal sebagai orang kedua. Waktu itu NU masih ada di dalam partai Masyumi. Maka kedua ulama itu, otomatis selain memimpin NU, juga memimpin Masyumi.

Ketika NU keluar dari Masyumi tahun 1952, kedua Tuan Guru ini bersepakat membagi-bagi tugas. Tuan Guru Zainuddin meminta kepada muridnya, Tuan Guru Faisal tetap dalam NU untuk menggantikan posisinya. Sedangkan Tuan Guru Zainuddin sendiri berkonsentrasi di Masyumi. Langkah dan strategi ini diambil seiring dengan konstelasi politik zaman liberal itu. Tujuannya, agar Masyumi dapat merebut kedudukan bupati-bupati dan mempertahankannya, sehingga PNI yang merupakan pesaing politiknya tak berdaya mengambil kursi pemerintahan di tingkat kabupaten di wilayah NTB. Tentu, langkah itu, untuk kepentingan umat. Inilah kerja sama yang sangat baik antara Masyumi dan NU.
TERNYATA dalam pemilu pertama tahun 1955, di Lombok antara kekuatan Masyumi dan NU berimbang. Dengan demikian, lalu terdapat dua entitas politik yang dipimpin oleh guru dan murid. Entitas politik Masyumi yang dipimpin Tuan Guru Zainuddin dan entitas politik NU yang dipimpin Tuan Guru Faisal - yang nota bene murid Tuan Guru Zainuddin itu. Dari sini mulai terjadi perbedaan institusional antarmereka - meskipun tentu, hubungan guru murid tetap berjalan dengan baik.

Ketika Orde Baru, maka Tuan Guru Zainuddin masuk dalam lingkungan Golkar untuk merebut kepemimpinan politik di daerahnya waktu itu. Sementara Tuan Guru Faisal tetap di NU yang waktu itu masih berstatus partai politik. Pada kampanye pemilu 1971 ketika Parpol pada umumnya, termasuk NU, terlibat dalam pola hubungan yang kurang pas dengan Golkar, maka hubungan guru murid itu menjadi renggang. Tetapi demi membela NU yang dicintainya, Tuan Guru Faisal rela meniti kerenggangan hubungan tersebut. Padahal urusan hubungan guru murid itu dalam lingkungan pesantren dan NU, sangat dijaga, dan semaksimal mungkin diupayakan janganlah sampai terjadi kerenggangan. Di sinilah, Tuan Guru Faisal mengorbankan kepentingan pribadinya untuk jam'iyah yang sangat dicintai.

Sewaktu NU kemudian bergabung dalam PPP, Tuan Guru Zainuddin tetap di Golkar, sementara Tuan Guru Faisal mengikuti jejak NU masuk dalam PPP. Begitu pun ketika tahun 1983 NU keluar dari PPP dan kembali ke khittah 1926, Tuan Guru Faisal juga keluar dari politik dan kembali ke khittah.

Anehnya, dalam kondisi dan situasi seperti itu di mana Tuan Guru Faisal memilih kembali ke khittah dan keluar dari PPP, Tuan Guru Zainuddin justru menyeberang ke PPP dalam Pemilu 1987 dan 1992. Jadi, ada semacam peristiwa metamorphose dalam pandangan Tuan Guru Zainuddin.

Kendati demikian, kedua ulama ini juga tidak bisa bertemu. Karena, Tuan Guru Faisal tunduk dan cinta pada NU-nya yang kala itu sudah kembali ke khittah - walaupun ia sendiri tetap bersimpati pada PPP, tetapi tidak bisa ikut langsung terlibat dalam gelanggang. Sementara Tuan Guru Zainuddin langsung ikut aktif berkampanye untuk partai berlambang bintang itu.
Jelasnya, kedua Tuan Guru itu tidak bisa berdekatan kembali, karena memang secara institusional mereka tetap berseberangan. Perbedaan itu semakin terasa, ketika Tuan Guru Faisal tetap berada dalam NU, sedangkan Tuan Guru Zainuddin tetap berada di Masyumi, kemudian Golkar dan memimpin organisasi yang didirikannya bernama Nahdlatul Wathan (NW). Dua nahdlah ini pun tidak bisa bertemu juga sampai sekarang ini.

Namun, kedua-duanya sama-sama menjadi besar dan sama-sama dicintai rakyat. Kalau misalnya ada semacam pembagian, maka Tuan Guru Faisal berpengaruh luas di masyarakat Lombok Barat, sedangkan Tuan Guru Zainuddin berpengaruh sangat luas di Lombok Timur. Namun, bila dilihat dari keseluruhan pengaruh, maka pengaruh Tuan Guru Faisal lebih besar karena beliau memimpin NU Nusa Tenggara Barat (NTB), termasuk di dalamnya Pulau Sumbawa.

DALAM konteks ini, saya ingin merekam sosok kepribadian ulama semacam Tuan Guru Faisal. Beliau adalah sosok kepribadian yang memiliki pandangan yang konsisten. Yaitu, kecintaannya pada NU yang tiada habis-habisnya.

Namun dalam hal pandangannya mengenai siapa yang dipilih untuk didukung, saya sendiri dengan Tuan Guru Faisal berbeda. Saya tidak mau memilih apa pun atau siapa pun, atau memberikan dukungan secara transparan dan terbuka. Itu urusan saya yang asasi. Tidak harus mengajak orang lain dan tidak akan memberitahukan kepada orang lain; mana yang saya pilih dalam pemilu dan mana yang tidak. Sementara, Tuan Guru Faisal selalu menunjukkan dukungannya kepada PPP secara terbuka.

Di sini pula ada perbedaan pandangan atau penafsiran antara ia dan saya mengenai arti khittah 1926. Kalau saya menganggap khittah NU itu tidak terkait secara organisatoris dengan kekuatan sosial politik mana pun, maka artinya kita tidak boleh membantu mereka. Tuan Guru Faisal tidak demikian. Beliau hanya membatasi pada penafsiran bahwa yang tidak boleh itu adalah merangkap kepengurusan. Bila hanya menunjukkan simpati, kata Tuan Guru Faisal, itu boleh-boleh saja. Beliau berargumentasi bahwa dalam kenyataannya banyak pimpinan NU yang menunjukkan keberpihakan mereka pada Golkar. Tetapi dalam pandangan saya, menunjukkan simpati itu pun menyalahi khittah, sama saja apakah ke PPP, ke Golkar atau ke PDI.
Perbedaan pandangan semacam ini, sebetulnya tidak mendasar. Namun, cukup membuat sungkan satu sama lain. Saya sendiri tidak mengerti jalan pikirannya. Ia juga rasaya tidak menerima dengan jalan pikiran saya. Tetapi karena ia mencintai NU, maka beliau pun mencintai apa yang ingin saya lakukan untuk kepentingan NU.

Pada saat Muktamar di Situbondo tahun 1984, perdebatan mengenai khittah antara saya dengan Tuan Guru Faisal tak bisa dielakkan. Perdebatan berlangsung hingga pagi, namun perbedaan pandangan antara kami tetap saja tidak bisa dipertemukan.

Meskipun dalam alam pikiran yang berbeda, tetapi Tuan Guru Faisal dan saya tetap ingin mewujudkan keinginan bersama, yakni mencintai dan mengabdi cita-cita NU. Karena itu, walaupun dalam suasana perbedaan antar pandangan pribadi - sebelum wafat, beliau pernah mengatakan keluarganya kalau dirinya meninggal, maka orang yang pertama yang harus dihubungi dan diberi tahu di Jakarta adalah Abdurrahman Wahid. Bukan PBNU-nya.

Saya merasa kehilangan Tuan Guru Faisal sebagai kehilangan pribadi. Saya secara pribadi melihat, tokoh yang satu ini memiliki karakter yang sangat mengasyikkan. Beliau mempunyai sikap yang konsisten dan menunjukkan kecintaan yang mendalam pada NU sampai wafatnya.

Bagi orang yang belum mengenal NU, sikap Tuan Guru Faisal adalah contoh yang sangat berbicara tentang sikap saling menghormati di antara orang yang berbeda pandangan sekalipun di tubuh NU. Tuan Guru Faisal adalah contoh dan potret dari kepribadian NU sejati, yang sangat mengutamakan persaudaraan.

Persaudaraan adalah salah satu basis penting di mana NU hadir dan berdiri. Atas dasar persaudaraanlah NU memiliki trilogi hubungan Ukhuwah Islamiyah (hubungan persaudaraan antarumat Islam), Ukhuwah basyariyah/insaniyah (persaudaraan antarumat manusia) dan Ukhuwah wathaniyah (persaudaraan antarnegara dan bangsa).

Trilogi persaudaraan itu merupakan bagian penting dari kepribadian jama'ah (warga) NU, dulu, kini dan di masa datang, di saat NU diterpa badai maupun tidak. Jika terjadi perbedaan pandangan antara warga NU, sejak dini salah seorang pendiri NU, KH Wahab Hasbullah telah memberikan solusi dengan pedoman: "Bersepakat untuk tidak sepakat. Berbeda tetapi tetap bersaudara." Dan Tuan Guru Faisal telah menjadi saksi yang patut diteladani mengenai semangat persaudaraan NU tersebut.

Ulama Dan Demokratisasi Di Indonesia

Kata "Ulama" memiliki arti bermacam-macam pada zaman yang berbeda-beda, juga oleh pihak yang berlain-lainan. Dalam bahasa arab modern, kata "Ulama" digunakan untuk menunjuk kepada para ahli, seperti ulama al-Tiib (ahli kedokteran, seorang dokter) dan Ulama al-Nawawi (ahli nuklir). Di negara kita, hingga saat ini kata tersebut digunakan untuk menunjukkan seorang ahli agama, dan di kalangan NU kata tersebut berarti seorang ahli agama yang memiliki atau memimpin pondok pesantren. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, kata tersebut di lingkungan NU juga berarti para pemimpin pondok pesantren, baik yang menguasai ilmu-ilmu keagamaan maupun tidak.

Tulisan ini, menunjuk pada dua hal terakhir, yaitu ahli ilmu-ilmu agama Islam maupun para pemimpin pondok pesantren. Kata itu, dalam kedua pengertian tersebut, juga dicakup oleh penggunaannya sebagai pengertian tentang para pemimpin organisasi. Secara keseluruhan, kata "Ulama" digunakan bagi para pemimpin NU dalam berbagai tingkatan, baik yang memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalam maupun tidak. Terkadang, kata "Ulama" tidak disebutkan, tetapi mereka dimaksudkan ada dalam penggunaan istilah lain –seperti kata Forum Langitan.

Dengan demikian, kata "Ulama" yang dimaksudkan di sini adalah para pemimpin NU dari berbagai tingkatan pengetahuan agama, menjadi pengurus NU atau tidak, dari berbagai tingkatan kepemimpinan (pusat, daerah propinsi dan daerah tingkat II).

Karena PKB didirikan oleh NU, para pemimpin partai tersebut juga dapat disebut sebagai Ulama. Dengan demikian, Ulama yang memperjuangkan demokratisasi adalah pengurus PKB atau NU dari berbagai tingkatan, juga dari tingkat kepengurusan yang berbeda-beda dan juga termasuk yang tidak memiliki pondok pesantren, namun tunduk pada kemauan mereka. Hal ini perlu dikemukakan terlebih dahulu, untuk menjaga kesimpangsiuran dalam peristilahan. Hal yang sama pernah dilakukan oleh Sydney John dalam artikel panjangnya, yang dimuat oleh majalah Indonesia dari Cornell University di Amerika Serikat, tentang istilah Umat Islam.

*****

Piagam Jakarta
Dalam muktamar NU tahun 1935, di Banjarmasin, diajukan sebuah pertanyaan; wajibkah bagi kaum muslimin di kerajaan Hindia-Belanda (kita, saat itu dikenal dengan nama tersebut) mempertahankan negara itu, yang diperintah oleh orang-orang Belanda yang non-muslim? Jawab muktamar adalah wajib, karena kaum muslimin di negeri ini masih bebas melaksanakan ajaran agama mereka, dan juga karena di sini dulu terdapat kerajaan-kerajaan Islam. Jawaban ini dapat dilihat dalam tesis S-2 yang ditulis oleh Einar Sitompul dan menunjukkan pendapat mayoritas Ulama yang tidak menginginkan negara Islam.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, para pemimpin berbagai gerakan Islam memutuskan untuk menghapuskan Piagam Djakarta dari pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Abikusno Tjokrosuyoso (SI), Ki Bagus Hadikusumo dan KH. A. Kahar Muzakir (Muhammadiyah), Ahmad Subardjo (Masyumi), KH. A. Wachid Hasjim (NU), A.R. Baswedan (PAI) dan H. Agus Salim dari berbagai gerakan Islam mengambil keputusaan itu bersama-sama dengan Soekarno dan Hatta. Dasar dari keputusan itu adalah apa yang disampaikan Laksamana Maeda dari pemerintahan pendudukan Jepang –sehari sebelumnya, atas permintaan para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang tidak beragama Islam. mereka tidak bersedia menerima Piagam itu karena secara efektif akan menempatkan diri mereka dan para warga masyarakat lainnya yang tidak beragama Islam dalam kedudukan sebagai warga negara kelas dua. Dan, keputusan itu tidak pernah dibantah oleh para ulama Figh (hukum figh), dengan demikian memperoleh pengesahan tidak langsung dan berlaku efekif.

Pada akhir tahun 1984, muktamar NU di Asembagus (Situbondo) telah memutuskan untuk menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi, menggantikan Islam. Dengan demikiian, NU menggantikan asas Islam dengan asas Pancasila, padahal sebelumnya organisasi tersebut adalah organisasi yang secara resmi ditetapkan sebagai perkumpulan Islam. Dengan rumusan begitu, NU secara tidak resmi dapat dinyatakan sebagai; bukan sebagai oganisasi Islam, dan secara resmi menjadi perkumpulan agama saja.

*****

Hal yang sama juga menjadi tanda pernyataan diri (identitas) PKB. Sebagai sayap politik NU, PKB ditetapkan oleh Mukernas (2001) di Jakarta dan Muktamar Luar Biasa (MLB) dipercepat di Yogyakarta (2002) sebagai partai terbuka. Ia menjadi terbuka bagi kaum non-muslimin maupun bagi wanita –yang oleh penulis disebut PKB=NU plus.
Dengan terhentinya pengikisan KKN secara efektif oleh para pimpinan partai politik yang ada, maka terhenti pula upaya demokratisasi di Indonesia. Tinggal PKB saja yang melaksanakan hal itu secara efektif, itupun karena pimpinan PKB berani melaksanakannya, walaupun sering disebut berwatak otoriter –oleh mereka yang tidak setuju dengan tindakan tersebut.

Karena penulis sebagai pimpinan DPP PKB berani melakukan hal itu, dengan dukungan para Ulama NU terkemuka di berbagai tingkatan, dengan sendirinya PKB dan NU langsung menjadi kekuatan efektif untuk melakukan upaya demokratisasi di negara ini. Sudah tentu hal itu dilakukan bersama-sama dengan para aktifis lainnya di negeri kita, tetapi jelas sekali keikutsertaan Ulama –yang sering dianggap kolot dan tradisional. Perjuangan masih panjang, dan banyak sekali kemungkinan hal-hal yang akan terjadi di negeri ini, namun amanat menegakkan demokrasi di negeri kita jelas didukung para Ulama. Kita ucapkan selamat kepada mereka, dan kepada proses demokratisasi di negeri ini.





Universalisme Islam dan Kosmopitanisme Peradaban Islam

Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), etika (akhlaq, seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka) dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyyah). Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat dimuka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kedlaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian di atas. Sementara itu, universalisme yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri.

Keterbukaan yang membuat kaum Muslim selama sekian abad menyerap segala macam menifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari pihak peradaban-peradaban lain, baik yang yang masih ada waktu itu maupun yang sudah mengalami penyusutan luar biasa (seperti peradaban Persia). Kearifan yang muncul dari proses saling pengaruh-mempengaruhi antara peradaban-peradaban yang dikenal itu, waktu itu di kawasan "Dunia Islam" waktu itu, yang kemudian mengangkat peradaban Islam ke tingkat sangat tinggi, hingga menjadi apa yang disebutkan sejarawan agung Arnold J. Toynbee sebagai oikumene peradilan dunia Islam. oikumene Islam ini, menurut Toynbee, adalah salah satu di antara enam belas oikumene yang menguasai dunia. Kearifan dari oikumene Islam itulah yang paling tepat untuk disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban Islam. Kisah kedua wajah Islam itu, universalisme ajaran dan kosmopolitanisme peradaban akan disajikan pada kesempatan ini.

Salah satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur hukum agama al-kutub al-fiqhiyyah lama, yaitu jaminan dasar akan (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama warganya, sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan social dalam arti sebenar-benarnya. Sedangkan kita ini mengetahui, bahwa pandangan hidup Worldview, Weltanschauung paling jelas universalitasnya adalah pandangan keadilan sosial.

Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan, dan kedhaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan agamanya dari keyakinan mayoritas, sejarah ummat manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian inherent. dari kehidupan manusia.
Sejarah persekusi dan represi adalah sejarah "orang besar", walaupun sasarannya selalu "orang kecil". Dalam menerima persekusi dan represi tanpa keputusan wong cilik membuktikan kekuatan toleransi dan sikap tenggang rasa dalam membangun masyarakat. Justru toleransilah yang melakukan transformasi sosial dalam skala massif sepanjang sejarah Bahkan sejarah agama membuktikan munculnya agama sebagal dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan, yang berwatak menindas, seperti dibuktikan oleh Islam dengan dobrakannya atas ketidakadilan wawasan hidup jahiliyyah yang dianut mayoritas orang Arab waktu itu. Dengan tauhid , Islam menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan perbenturan keyakinan. Jika perbedaan pandangan dapat ditolerir dalam hal paling mendasar seperti keamanan, tentunya sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam mengelola perbedaan pandangan politik dan ideologi. Tampak nyata dari tilikan aspek ini, bahwa Islam melalui ajarannya memiliki pandangan universal, yang berlaku untuk umat manusia secara keseluruhan.

Jaminan dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik moral dalam arti kerangka etis yang utuh maupun dalam arti kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat mungkin, karena keluarga merupakan ikatan sosial paling dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada.
Kesucian keluarga inilah yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi. Dalam kelompok masyarakat lebih besar, selalu terdapat kecenderungan untuk melakukan formalisasi ajaran secara berlebihan, sehingga menindas kebebasan individu untuk menganut kebenaran, kelompok supra-keluarga senantiasa mencoba menghilangkan, atau setidak-tidaknya mempersempit, ruang gerak individu warga masyarakat untuk melakukan eksperimentasi dengan pandangan hidupnya sendiri, dan untuk menguji garis batas kebenaran keyakinan. Padahal upaya melakukan uji coba seperti itulah yang akan menajamkan kebenaran masing-masing keyakinan pandangan maupun pemahaman. Islam memberikan kebebasan untuk melakukan upaya perbandingan antara berbagai keyakinan, termasuk keimanan kita, dan dalam proses itu membuktikan keampuhan konsep keimanan sendiri. Disamping kebenaran yang dapat diraih melalui pengalaman esoteris, Islam juga memberikan peluang bagi pencapaian kebenaran melalu proses dialektis. Justru proses dialektis inilah yang memerlukan derajat toleransi sangat tinggi dari pemeluk suatu keyakinan, dan Islam memberikan wadah untuk itu, yaitu lingkungan kemasyarakatan terkecil yang bernama keluarga. Di lingkungan sangat kecil itulah individu dapat mengembangkan pilihan-pilihannya tanpa gangguan, sementara kohesi social masih terjaga karena keluarga berfungsi mengintegrasikan warganya secara umum ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih besar.

Jaminan dasar akan keselamatan harta-benda (al-milk, property) merupakan sarana bagi berkembanguya hak-hak individu secara wajar dan proporsional, dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu. Masyarakat dapat menentukan kewajiban-kewajibannya yang diinginkan secara kolektif atas masing-masing individu warga masyarakat. Tetapi penetapan kewajiban itu ada batas terjauhnya, dan warga masyarakat secara perorangan tidak dapat dikenakan kewajiban untuk masyarakat lebih dari batas-batas tersebut. Batas paling praktis, dan paling nyata jika dilihat dari perkembangan Sosialisme dan terutama Marxisme-Leninisme saat ini, adalah pemilikan harta-benda oleh individu. Dengan hak itulah warga masyarakat secara perorangan memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan diri melalui pola atau cara yang dipilihnya sendiri, namun tetap dalam alur umum kehidupan masyarakat.
Sejarah ummat manusia menunjukkan bahwa hak dasar akan pemilikan harta-benda inilah yang menjadi penentu kreativitas warga masyarakat, berarti kesediaan melakukan transformasi itulah warga masyarakat memperlihatkan wajah universal kehidupannya?

Jaminan dasar akan keselamatan profesi menampilkan sosok lain lagi dari universalitas ajaran Islam. Penghargaan kepada kebebasan penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan atas resiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan yang membayanginya. Dengan ungkapan lain, kebebasan menganut profesi yang dipilih berarti peluang menentukan arah hidup lengkap dengan tanggung jawabnya sendiri. Namun pilihan itu tetap dalam kerangka alur umum kehidupan masyarakat, karena pilihan profesi berarti meletakkan diri dalam alur umum kegiatan masyarakat, yang penuh dengan ukuran-ukurannya sendiri. Ini berarti keseimbangan cair yang harus terus-menerus dicari antara hak-hak individu dan kebutuhan masyarakat, sebuah kondisi situasional yang serba eksistensial sebagai wadah untuk menguji kebenaran keyakinan dalam rangkaian kejadian yang tidak terputus-putus: bolehkah saya lakukan hal ini dari sudut pandangan keimanan saya, padahal diharuskan oleh profesi saya? Rasanya tidak ada yang lebih universal dari pencarian jawaban akan wujud kebenaran dalam rangkaian kejadian seperti disajikan oleh tantangan dari dunia profesi itu.

Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar di atas menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Pemerintahan berdasarkan hukum, persamaan derajat dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan adalah unsur-unsur utama kemanusiaan, dan dengan demikian menampilkan universalitas ajaran Islam. Namun, kesemua jaminan dasar itu hanya menyajikan kerangka teoritik (atau mungkin bahkan hanya moralistik belaka) yang tidak berfungsi, juga tidak didukung oleh kosmopolititanisme peradaban Islam. Watak cosmopolitan dari peradaban Islam itu telah tampak sejak awal pemunculannya. Peradaban itu, yang dimulai dengan cara-cara Nabi Muhammad SAW mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah hingga munculnya para ensiklopedis Muslim awal (seperti al-Jahiz) pada abad ketiga Hijri, memantulkan proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar Dunia Islam waktu itu, dari sisa-sisa peradaban Yunani kuno yang berupa hellenisme hingga peradaban anak benua India.

Kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik. Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad. Kalau ditelusuri dengan cermat perdebatan sengit di bidang teologi dan hukum agama selama empat abad pertama sejarah Islam, akan tampak secara jelas betapa beragamnya pandangan yang dianut oleh kaum Muslim waktu itu. Kalaupun hal itu dianggap sebagai kemelut kehidupan beragama kaum Muslim, karena tidak adanya konsensus atas hal-hal dasar, maka harus juga dibaca dengan cara lain bahwa pemikir Muslim telah berhasil mengembangkan watak kosmopolitan dalam pandangan budaya dan keilmuan mereka, karena mampu saling berdialog secara demikian bebas. Kebebasan kaum Mu'tazilah untuk mempertanyakan kebenaran ajaran sentral bahwa al-qur'an turun dalam bentuk huruf dan bahasa yang sekarang dikenal (bahasa Arab, huruf Hija'iyyah) dan menganggap kitab suci kaum Muslim tersebut diturunkan hanya secara maknawi belaka, sesuatu yang sekarang tentunya dianggap sikap seorang murtad dari agama Islam, adalah dari pertanda kuatnya watak kosmopolitan dari peradaban Islam waktu itu. Pertanyaan bagaimanapun gilanya mendapatkan peluang untuk diutarakan dengan bebas. Dalam situasi seperti itu tokh tidak ada bahaya apapun bagi Islam, karena proses dialog serba dialektik akan memunculkan koreksi budayanya sendiri, yang dalam kasus Mu'tazilah mengambil bentuk koreksi al-Asy'ari, al-Maturidi, dan al-Baqillani yang berujung pada ilmu kalam skolastik dari kaum Sunni. Koreksi itupun memperlihatkan watak kosmopolitan, karena ia tidak muncul sebagai hardikan atau tuntutan ilegal-yuridis, melainkan sebagai perdebatan ilmiah yang tidak mengambil sikap mengadili atau menghakimi. Baru ketika kemapanan masyarakat Islam mengambil tindakan melarang perdebatan ilmiah sajalah, sambil memproklamasikan ajaran-ajaran al-Asy'ari dan kawan-kawan sebagai kebenaran ajaran Islam, watak kosmopolitan dari peradaban Islam mulai terputus dengan sendirinya.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normative kaum Muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim). Kosmopolitanisme seperti itu adalah kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair yang memaksa universalisme ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata, bukannya nyata dalam postulat-postulat spekulatif belaka.

Benarkah ajaran Islam menjamin persamaan hak dan derajat di antara sesama warga masyarakat? Mungkinkah keadilan diwujudkan secara konkrit dalam bentuk kemasyarakatan faktual? Jarak yang demikian sempit antara kebebasan berfikir di satu pihak dan imperatif norma-norma ajaran agama memerlukan upaya luar biasa dari para pemikir, budayawan dan negarawan untuk menjaga jarak antara keduanya, agar tidak saling menghimpit. Ketegangan intelektual atau intellectual tension yang mewarnai situasi seperti itu akan memotori kosmopolitanisme yang menjadi keharusan bagi universalisasi nilai-nilai luhur yang ditarik dari ajaran Islam secara keseluruhan.

Dalam semangat seperti itulah para zahid (kaum asketik) Muslim dahulu mengembangkan peradaban Islam. Imam Hasan al-Basri yang demikian dalam tasawufnya, ternyata juga adalah ilmuwan di bidang bahasa. Imam al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi yang dengan kesalehannya yang luar biasa, ternyata adalah peminat filsafat Yunani kuno, terbukti dari karya agung beliau, Qamus al-A'ain, yang sepenuhnya menggunakan pembagian ilmu pengetahuan melalui kategorisasi filsafat Yunani. Imam Syafi'I mujtahid di bidang hukum agama (fiqh), justru menundukkan proses pengambilan hukum agama istinbat al-ahkam kepada sejumlah kaidah metodologis tertentu, bukannya hanya sekedar menarik hukum dari Al-qur'an dan Sunnah Nabi belaka. Kelahiran usul fiqh sebagai teori hukum, sebenarnya merupakan proses kreatif yang dapat mempertemukan antara kebutuhan masa dan norma ajaran agama, namun sangat disayangkan ia akhirnya menjadi alat yang dipergunakan oleh para penganut fiqh secara tidak kreatif dan dengan sendirinya berubah fungsi menjadi alat seleksi yang sangat normatif dan mematikan kreativitas.

Sebuah agenda baru dapat dikembangkan sejak sekarang untuk menampilkan kembali universalitas ajaran Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam di masa datang. Pengembangan agenda baru itu diperlukan, mengingat kaum Muslim sudah menjadi kelompok dengan pandangan sempit dan sangat eksklusif, sehingga tidak mampu lagi mengambil bagian dalam kebangunan peradaban manusia yang akan muncul di masa pasca-indrustri nanti (yang sekarang sudah mulai nampak sisi pinggirannya dalam cibernetika dan rekayasa biologis). Kaum Muslim bahkan merupakan beban bagi kebangkitan peradaban bagi umat manusia nanti. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim hanya akan menjadi obyek perkembangan sejarah, bukannya pelaku yang bermartabat dan berderajat penuh seperti yang lainnya. Jika itu yang diinginkan, mau tidak mau haruslah dikembangkan agenda universalisasi ajaran Islam, sehingga terasa kegunaannya bagi ummat manusia secara keseluruhan. Toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan dan keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan kaum Muslim sendiri akan memunculkan tenaga luar biasa untuk membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan yang begitu kuat mencekam kehidupan mayoritas kaum Muslim dewasa ini. Dari proses itu akan muncul kebutuhan akan kosmopolitanisme baru yang selanjutnya, akan bersama-sama faham dan ideologi lain-lain, turut membebaskan manusia dari ketidakadilan struktur sosial-ekonomis dan kebiadaban rejim-rejim politik yang dhalim. Hanya dengan menampilkan universalisme baru dalam ajarannya dan kosmopolitanisme baru dalam sikap hidup para pemeluknya, Islam akan mampu memberikan perangkat sumberdaya manusia yang diperlukan oleh si miskin untuk memperbaiki nasib sendiri secara berarti dan mendasar, melalui penciptaan etika sosial baru yang penuh dengan semangat solidaritas sosial dan jiwa transformatif yang prihatin dengan nasib orang kecil.




Agama dan Kebangsaan

Tiga orang intelektual muslim kita mengalami persamaan nasib di negeri orang. Intelektual pertama adalah penganut pandangan pluralistik dalam soal-soal keagamaan: mengikuti pentingnya perbedaan pandangan antar kelompok yang begitu banyak ragamnya. Yang kedua penganut orthodoksi agama dalam artian yang tulen: tidak keberatan orang menyatakan pendapat berbeda tetapi ia sendiri tidak pernah mempertanyakan ajaran- ajaran formal agamanya. Katakanlah ‘intelektual kelas orang baik-baik’. Yang ketiga adalah orang yang dulunya penganjur pembaharuan dan kini berubah identitas, oleh kebutuhan politis. Lebih tepat dinamai pluralistik kultural dan monolitik politis.

Dapat dibayangkan, selama perjalanan perjalanan puluhan jam ke luar negeri asing itu, ada beberapa kemungkinan yang terjadi antara mereka. Mungkin mereka berdebat mempertahankan kecenderungan masing-masing. Atau bermanis-manis membicarakan hal-hal yang dapat disepakati. Atau sama sekali tidak berbicara apapun di bidang masalah keagamaan. Yang jelas, turun dari pesawat terbang, masing-masing tetap berpegang pada pendirian sendiri,

Namun, pengalaman di negeri orang itu ternyata menyamakan sikap mereka. Ketiga orang itu melakukan konferensi dan seminar, ketika seorang tokoh separatis dari negerinya sendiri diterima sebagai peserta. Tokoh separatis itu jelas akan dihukum mati kalau tertangkap, dan dibawa ke pengadilan negerinya - yang juga negeri mereka bertiga, Indonesia tercinta. Ia bisa selamat dari hukuman mati karena menghilang dan muncul di luar negeri, antara lain dalam forum ilmiah di atas.

Mereka menolak kehadiran tokoh separatis itu, yang telah menyengsarakan warga masyarakat disekitarnya. Juga yang membuat Islam tetap dicurigai orang banyak sebagai masih memiliki ‘aspirasi teokratik’. Duduk dalam satu forum, walau jelas lain kursi, tidak bisa dilakukan: dapat menjadi pengakuan diam-diam atas kehadiran ‘negara ‘separatis yang didirikan tokoh itu, walau dalam kenyataan sudah tidak ada lagi. Mungkin tinggal dalam aksentas yang dibawa tokoh separatis itu.

Ketika diajukan protes, penyelenggara forum berkeras mengakui kehadiran tokoh itu.”Kalau kalian keberatan, kalian pergi saja dari forum ini”, dan itulah yang dikerjakan mereka bertiga. Dikeluarkan sebagai pernyataan protes: mereka menarik diri dari forum: dan peristiwanya berakhir di situ.

Kecuali tentunya, bagi alat negara, yang masih harus mencari sebab: mengapa masih juga kebobolan dalam diplomasi Internasional.

Yang menarik bukanlah protes ketiga intelektual itu. Banyak orang protes di seluruh dunia, setiap jam setiap menit apalagi setiap harinya.Yang menarik adalah kenyataan menangnya ikatan kebangsaan atas ikatan keagamaan. Bukan membentuk persekutuan baru, untuk memperluas kesadaran, dengan tokoh separatis yan menjadi orang keempat itu, mereka malah menutup pintu bagi kehadirannya. Ikatan keagamaan sebagai sesama ‘pejuang Islam’ ternyata tidak mempersatukan mereka.

Dalam kabinet Republik Indonesia yang pertama, dikenal dengan sebutan ‘Kabinet Soekarno’ yang berumur pendek, tidak disebut-sebut nama Kementrian Agama. Baru dalam kabinet berikutnya lembaga itu dicantumkan, dan sejak itu tidak pernah ‘hilang dari peredaran’. Kabinet kedua itu dikenal dengan sebutan ‘Kabinet Sjahrir’.

Mengapa Soekarno yang senang bergulat dengan pemikiran tidak mencaantumkan Kementrian Agama, sedang Sjahrir yang diklasifikasikan ‘tokoh sekuler’ justru menciptakannya? Karena dorongan keimanan Sjahrir? Mustahil; Tokoh ini tidak pernah punya keimanan dapat dikongkretkan ke dalam sebuah lembaga kehilangan kreatifitas dan perannya. Lalu mengapa?

Sederhana saja sebabnya; kepentingan nasional. Tanpa kementrian agama, ‘Golongan Islam’ tidak dapat menerima kehadiran pemerintah sah yang dipimpinnya. Dan sebagai pemimpin bangsa perlu memperhatikan aspirasi kelompok-kelompok lain. Sedangkan Soekarno tidak dihadapkan pada tuntutan itu, ketika membentuk kabinet pertama. Atau setidak-tidaknya, tidak menganggap penting peran ‘umat beragama’ itu.

Ternyata kepentingan nasional memiliki hukum-hukum tersendiri, yang dalam banyak hal dapat ‘dimanfaatkan’ untuk kepentingan agama. Ia dapat menciptakan ikatan kebangsaan untuk menkongkretkan kehidupan beragama. Tidak sebaliknya. Inilah kenyataan penting yang harus selalu diingat, karena sekarang muncul sebuah kecenderungan menghadapkan rasa kebangsaan kepada lembaga keagamaan. Kedua-duanya adalah sektor kehidupan yang harus saling berkait, kalau diinginkan kehidupan memiliki arti penuh.

Benbella, Islam dan Partai Tunggal

Setelah 20 tahun dalam tahanan, bekas presiden Aljazair Ahmad Benbella mendapat status sebagai orang bebas. Dua puluh tahun bukanlah waktu yang pendek bagi seseorang, apalagi bagi tokoh yang menjadi aktivis gerakan kemerdekaan semenjak usia muda. Dalam usia 61 tahun ia kembali jadi seorang manusia 'normal', setelah enam tahun di penjara Perancis dan empat belas tahun ditahan tanpa tuduhan oleh penggantinya, mendiang bekas presiden Hawari Boumedienne. Baru setelah Boumedienne meninggal dunia dan Benjedid Chazli menggantikannya, Benbella memperoleh kemerdekaannya.

Walaupun belum diketahui dengan pasti sejauh mana hak-hak sipilnya telah dipulihkan, bulan ini ia akan muncul dalam seminar tentang hak-hak asasi dalam Islam yang diselenggarakan oleh Dewan Islam Eropa di Paris. Sungguh tepat pilihan Benbella sebagai salah seorang pembicara. Perjuangannya untuk membebaskan, kemudian memimpin , bangsa Aljazair harus ditebusnya dengan menghabiskan sepertiga usia hidupnya – sebuah perampasan luar biasa atas hak-hak asasinya sendiri!

Disamping itu, 'kembali'nya Benbella kepada ajaran Islam sekaligus menempatkan dirinya dalam barisan orang-orang yang dicari-cari oleh oleh Dewan Islam Eropa dan sejenisnya. Renungannya selama dalam tahanan semakin lama semakin cenderung kepada watak keagamaan. Menarik kilatan pikirannya yang dimuat dalam sebuah wawancara dengan Mingguan berbahasa Arab yang terbit di London, bernama Almajallah. Wawancara yang dimuat dalam edisi 11 Juli yang lalu itu sekaligus mengungkapkan banyak hal tentang diri Benbella.

Pertama adalah kepribadiannya. Walaupun begitu lama ia harus menjalani masa tahanan, ternyata ia tidak merasa dendam terhadap siapa pun, termasuk kepada penguasa yang menahannya. Yang terpenting baginya adalah ia tidak pernah diperlakukan hina selama dalam tahanan.

Tidak Eksklusif
Memang benar selama enam tahun pertama masa penahanan bangsanya sendiri ia tidak pernah mendengar suara manusia sama sekali (mungkin mereka dilarang berbicara dengan Benbella), tetapi ia menganggap keseluruhan masa tahanan itu sebagai masa untuk belajar dan membaca sebanyak mungkin.

Wawancara tersebut juga menyajikan dimensi berpalingnya kembali ia kepada ajaran Islam. Banyak orang menuduhnya berbuat demikian untuk tujuan politik, sebagai semacam cara kembali ke gelanggang kekuasaan. Tetapi ia justru mengemukakan sebuah latar belakang yang menarik bagi penggaliannya kepada ajaran Islam itu.

Ia berpaling ke sana setelah mendapati kekurangan mendasar dalam peradaban Barat Kontemporer. Ia dapati Islam menyajikan pemecahan bagi banyak masalah fundamental dunia moderen.

Tetapi kesadaran seperti itu berarti penolakan sama sekali kepada jalan hidup yang dikenal dengan nama peradaban barat itu. Ia masih mengakui banyak aspek positif dari peradaban tersebut, yang dapat dipelajari kaum muslimin untuk memperbaiki keadaan mereka sendiri. Karena itu ia menyatakan dirinya tetap sebagai seorang sosialis: berpalingnya Benbella kepada ajaran Islam tidak menjadikannya ingkar terhadap ideologi politik yang dianutnya sejak muda.

Proses berpaling kembali ajaran agama tanpa menjadikannya sebagai sesuatu yang eksklusif terhadap ideologi dan pandangan lain ini patut direnungkan, karena ia menyajikan dimensi keagamaan yang tidak dicabut dari kenyataan hidup.

Toh penghayatan keagamaannya tidak menjadi kurang intensif meskipun tidak ada watak eksklusif itu dalam dirinya. Ia menyatakan pengalaman sewaktu berada di depan Ka'bah sebagai “pengalaman terdahsyat” dalam hidupnya.
Akhirnya, menarik juga untuk diamati bagaimana interaksi antara ideologi yang semula dianutnya dan daya tarik yang dirasakannya kepada ajaran Islam.

Keyakinan sosialistisnya akan kesamaan dan persamaan derajat manusia dalam kehidupan, setelah dimatangkan oleh formula keagamaan tentang persamaan hakiki antara manusia itu sendiri secara manusiawi, akhirnya membawa Benbella kepada kemampuan melepaskan diri dari kungkungan institusional yang umumnya mencengkam kaum revolusioner sosialis: pendewaan sistem, kemasyarakatan sosialistis sebagai pemecahan struktur tunggal.

Kesalahan Partai Tunggal
Benbella dulu adalah penganut paham ini,seperti tampak dalam keterlibatannya dalam pembentukan Front Pembebasan Aljazair sebagai partai satu-satunya yang memerintah negeri itu semenjak kemerdekaan di tahun 1962. Ia pernah menjadi Sekjen partai politik itu, dan kemudian presiden negara yang tidak mentolelir pluralitas kehidupan politik itu. Ia adalah penganut setia dari konsep Lenin tentang pengawalan revolusi oleh sekelompok kecil, yang memperjuangkan secara tuntas kepentingan rakyat yang tertindas .

Nah, sudah barang tentu sebuah pembalikan totallah yang dilakukannya ketika ia menyatakan pikirannya tentang penataan kehidupan politik. Ketika ditanya pelajaran terbesar apakah yang diperolehnya dari masa penahanan sekian lama itu, dengan singkat ia menjawab: kesalahan pemikiran tentang partai tunggal.

'Pengakuan' dramatis dari seorang pejuang revolusioner sosialis yang mencapai puncak kekuasaan melalui sistem partai tunggal! Alangkah tragis kalau pelajaran berharga yang diperoleh Benbella dengan pengorbanan begitu besar itu kita sia-siakan begitu saja. Bukankah sehat untuk berpaling kepada ajaran Islam dengan pematangan pandangan politik seperti itu?




Dakwah Harus Diteliti

Sebenarnya sudah lama ada penelitian dakwah. Ada yang dilakukan pihak intel. Apa menghina pejabat tinggi? Apa menganjurkan pemberontakan? Mungkin menyuarakan gagasan berbau SARA? Apalagi contohnya sudah banyak - seperti kasus Imran. Bagai racun, dakwah yang diberikannya secara eksklusif kepada bekas anak buah sudah membuahkan perbuatan-perbuatan krimiminal.

Ada juga yang dilakukan sejumlah lembaga - seperti Kodi ( Koordinator Dakwah Islam ) DKI Jakarta Raya. Berapa masjid yang ada, dulu dan kini? Bagaimana dakwah dilakukan? Substansinya? Gayanya? Diseminarkan juga - seperti acara lokakarya 'Dakwah di Ibukota Tahun 2000' tahun lalu.

Juga pendidikan dakwah dipakai sebagai umpan untuk mengembangkan hasil kajian. Disamping itu diterbitkan sejumlah buku tentang cara-cara melakukan dakwah di kalangan berbeda-beda; narapidana, masyarakat gedongan, kaum ibu, remaja, begitulah seterusnya. Mudah-mudahan dakwah akan menjadi efektif.

Persoalannya justru di sini: efektifkah dakwah hingga saat ini? Apakah ukuran yang digunakan? Banyaknya pengunjung? Bukankah banyak di antara mereka mengantuk? Kalau diukur kehadiran mereka, bagaimana diterangkan pola perilaku mereka yang diluar forum dakwah, tidak berubah banyak? Paling banyak hanya beberapa aspek moralitas pribadi: pakai tutup kepala bagi wanita, rajin ke mesjid bagi sementara, getol mendermakan uang bagi yang kaya.

Seminar Palembang

Di sinilah perlu direnungkan hasil penelitian atas lima komunitas di luar Jawa, yang diseminarkan di Palembang baru-baru ini. Dari jawaban, umumnya responden ternyata menganggap hidup hanya untuk bekerja. Fungsi kerja umumnya mereka rumuskan sebagai mencari nafkah sedikit banyak dikaitkan dengan pertimbangan antar-ganerasional: untuk kepentingan anak-cucu. Kecil sekali orang menjawab bahwa hidup ini untuk beramal mengabdi .

Cukup mengejutkan, bukankah itu berarti kecilnya peranan agama dalam kehidupan komunitas-komunitas yang di teliti ? Kenyataan itu wajar, kalau ditafsirkan dari sudut lain : perhatian warga masyarakat masih terpusat pada upaya bertahan sekedar hidup. Maklumlah masih banyak yang berada pada tahap hidup di bawah garis kemiskinan mutlak.

Memang, di luar, dalam pengamatan lahiriah tampak muncul kebutuhan kepada ritus keagamaan dalam skala masif, seperti terbukti dari derasnya back to mosque. Tetapi lalu muncul pertanyaan : apakah 'kebangkitan Islam' yang seperti itu sebenarnya bukan pelarian dari derita hidup, upaya 'politik burung unta" untuk melupakan persoalan nyata dengan mencari pelepasan spiritual?

Masih harus diteliti kembali korelasi antara banyaknya orang ke masjid, dan kesadaran beragama yang memiliki kedalaman iman serta keterlibatan yang lebih bermakna. Bukti paling nyata dari sikap memisahkan agama dari hidup, seperti terbukti dari hasil penelitian yang kita bicarakan disini, adalah tidak bertautnya sama sekali antara moralitas kemasyarakatan kita dan ajaran Agama.

Agama mengajarkan kesetiakawanan, padahal hidup masyarakat kita terungkap, oleh penelitian di atas,"menunjukkan lajunya proses individualisasi". Agama menghendaki solidaritas kuat antara berbagai lapisan masyarakat, tetapi yang dalam kenyataan sebaliknya yang terjadi. Kesenjangan besar antara si kaya dan si mikin adalah bukti paling kongkrit.

”Khatibin nas 'ala qadri'uqulihim”, kata Nabi Muhammad: Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka. Sebuah pesan yang kedalaman isinya tidak pernah dicoba-mengerti secara tuntas oleh para juru dakwah. Bukankah diktum nabi itu justru mengharuskan kita menelaah pelapisan masyarakat tempat mereka hidup, untuk memungkinkan penyampaian pesan keagamaan secara tuntas? Bukan dalam bentuk luarnya - seperti gaya pidato yang penuh lelucon, yang mampu menyajikan hiburan bagi pengunjung. Tetapi dalam bentuknya yang hakiki, membicarakan persoalan kongkret yang sedang dihadapi.

Sekarang terasa kuat sekali, dakwah masih berwatak penciptaan solidaritas di permukaan. Sekedar melecut manusia agar berakhlak pribadi yang terpuji, mengikuti kerangka ritual yang ditetapkan faham masing-masing, dan menjanjikan hadiah surga atau siksa neraka. Ditambah "acara tetap": ketakutan kepada serangan kebudayaan modern dan sejumlah bahaya lain yang dianggap akan menghancurkan keyakinan agama.

Hasil penelitian diatas, tentang sedikitnya warga masyarakat yang menyatakan hidup bertujuan amal dan pengabdian menunjukkan betapa salahnya 'agenda dakwah' yang disebutkan terdahulu itu. Ternyata tujuan dakwah itu sendiri belum menjadi tujuan hidup bermasyarakat. Kalau demikian, bukankah harus disadari - oleh para pemikir dan penentu kebjaksanaan keagamaan Islam kita - bahwa efektivitas dakwah masih harus diteliti?

Dari Masa Lalu ke Masa Depan

Pondok Pesantren, dua patah kata yang mengungkapkan sejarah masa lampau yang kompleks. Pondok menggambarkan bentuk tarekat. Kata itu berasal dari kata Arab Funduq, artinya tempat warga tarekat menyepi dari pola hidup sehari-hari. Pesantren dalam pada itu menunjuk pada asal-usulnya yang pra-Islam - ketika para ahli agama Hindu dan Budha mulai mendalami agama baru mereka, Islam, dibawah bimbingan sejumlah ulama. Guru, yang umumnya berkebangsaan bukan Indonesia asli, menjadi orang yang dituakan. Ialah ‘orang tua’ yang dalam bahasa Arab berbunyi Syaikh dan dalam bahasa Jawa disebut Kiai.

Pola watak tarekat itu, dan persambungannya yang kuat dengan masa kehidupan beragama model pra-Islam, menjadikan pondok pesantren sebuah lembaga keagamaan yang khas - yang justru menyediakan kedamaian dan ketenangan di tengah masyarakat yang dinamis.

Pesantren sebenarnya lembaga perkotaan. Sebab pusat-pusat kehidupan muslimin pada mula sejarahnya, di Pulau Jawa, terletak di pesisir sebelah utara, di kota-kota perdagangan. Dan pondok pesantren sebagai tempat mencari ketenangan, justru terletak di tengah kesibukannya. Seperti Sinagog Yahudi, atau biara Budha di Asia Tenggara. Bukan seperti biara Kristen di Timur Tengah dahulu , yang umumnya terletak di tengah kesepian gurun.

Kuatnya watak pondok pesantren ini masih tampak nyata, walau selama dua -tiga ratus tahun terakhir ini ia digusur ke pedalaman oleh perkembangan sejarah. Yaitu oleh gabungan konfrontasi sosial-ekonomis melawan Kompeni Belanda, dan tekanan-tekanan kraton pusat di pedalaman. Watak kekotaan masih dapat dilihat pada keceptan komunikasi di kalangan pondok pesantren, dan cara-cara memobilisasi pendapat umum melalui penyadaran massal dalam rapat-rapat umum dan sebagainya.

Tetapi sekali pondok pesantren menjadi ‘lembaga pedesaan’, tanpa kehilangan watak kekotaannya, ia dihadapkan pada sebuah situasi baru sama sekali - dan dituntut mencari pemecahan-pemecahan baru. Kecenderungan masyarakat desa untuk mengutamakan konsensus (yang akan mengakibatkan pondok pesantren bisa ‘ditelan hidup-hidup’ oleh pemerintah setempat) dihadapi dengan menciptakan komunikasi langsung dengan pusat-pusat kekuasaan di ibukota kerajaan. Juga dengan mengembangkan komunikasi cepat antar pesantren tadi.

Dalam pada itu ketergantungan pada patronase kelompok pemilik tanah dan petinggi di desa, diimbangi dengan operasionalisasi tata nilai ‘kesantrian’ di semua pondok pesantren di tanah air. Yang terakhir itu ditunjang oleh sistem ‘santri keliling’, yang belajar berjenjang vertikal maupun horisontal, dari satu ke lain pesantren. Penggunaan teks-teks utama, yang boleh dikata bersamaan disemua pondok pesantren, dan ketundukan mutlak pada otoritas moral sang kiai, adalah bentuk paling tampak di permukaan tata nilai terebut. Juga kecenderungannya untuk mencurigai kekuasaan - yang oleh Kaskopkamtib dinamai watak anti struktur yang populistis.

Tetapi generalisasi seperti itu sebenarnya tidak mengena seratus persen. Karena ia biasanya digunakan dalam pengertian budaya politik khas pedesaan: penolak dominasi sebuah struktur-atas oleh struktur-bawah yang lebih besar kuantitas warganya. Padahal dalam masalah kecenderungan pondok pesantren, kecurigaan kepada kekuasaan hanyalah sekedar mekanisme kultural untuk menghindari ketergantungan pada patronase pejabat dan orang kaya lokal, bukan penolakan terhadap kekuasaan yang disahkan oleh sumber legitimasi di ibukota negara.

Demikianlah pondok pesantren suatu lembaga pendidikan yang penuh sarat dengan nilai-nilai normatif. Tidak peduli asal-usulnya yang serba urban. Juga tiadak peduli pergantian orientasi kehidupannya. Dari yang serba tarekat menjadi serba fiqh, hukum agama, yang menegakkan dominasi ahli hukum atas ahli tarekat. Bertasawuf dirumuskan kembali: tidak berarti keterliabatan dengan gerakan tarekat, melainkan penerapan akhlak tasawuf. Pondok pesantren lalu cenderung kehilangan watak pondoknya, dan lebih menekankan kepesantrenannya. Tetapi mungkin justru orientasi serba fiqh itulah yang mendorong makin kuatnya kedudukan nilai-nilai normatif: fiqh sendiri adalah kerangka dasar untuk menumbuhkan pola sikap dan pemikiran yang sangat normatif. Dan kemandirian, yang oleh sementara orang (termasuk penulis ini, beberapa tahun lalu) diidealisasikan sebagai watak utama sistem pendidikan di pesantren, sebenarnya tidak lain dari salah satu bentuk penghayatan serba normatif itu.

Hanya saja, kemandirian lalu menjadi sesuatu yang rawan, ketika ia kehilangan tumpuan normatifnya. Yakni ketika menjadi pegawai dan suruhan orang tidak dipandang buruk oleh agama. Tanpa tumpuan normatif, norma-norma yang selama ini dianggap ‘hak paten pesantren lalu memudar, sedikit demi sedikit.

Apalagi ketika orientasi fiqh sendiri mengalami kemunduran. Fiqh yang mendasari norma-norma, dan yang menjamin tegaknya kerangka normtif kehidupan pesantren, mulai ‘berkurang pasarannya’ ketika orang pesantren sendiri memalingkan pandangan pada hal-hal lain: ideologi, perjuangan politik, organisasi, penetrasi kebudayaan moderen, dan seterusnya. Kecenderungan menjadi pegawai negeri mencari persyaratan hidup berupa ijazah dan sebagainya, adalah akibat dari sudut penglihatan kesadaran akan masalah relevansi fiqh kepada orientasi lain.

Masalah pokok pesantren yang dihadapi dewasa ini dengan demikian, adalah berikut: dapatkah orientasi serba fiqh dapat dipertahankan untuk jangka panjang? Kalau tidak, apa penggantinya? Kalau dapat, dengan cara apa?

Beberapa perkembangan patut dikemukakan. Upaya sejumlah kiai pesantren untuk mengaktualkan fiqh dengan melakukan ‘penggalian’ ajaran yang sesuai dengan kebutuhan zaman, harus dipahami dari sudut penglihatan kesadaran akan relevansi fiqh itu sendiri.

Jelasnya, fiqh harus ditampilkan dalam ‘baju baru’ yang di dukung sektor-sektor lain - seperti pemikiran tentang pembangunan, pembaharuan pendidikan, pemenuhan kebutuhan pokok dan seterusnya.Sarana penerapan fiqh yang sudah mengalami ‘pemolesan’ juga perlu dipersiapkan: kegiatan pengembangan masyarakat melalui pondok pesantren, pendidikan ketrampilan dan lain-lainnya.

Rupanya, di pesantren pun tidak terelakkan lagi keharusan memelihara kesinambungan. Tidak ada kegiatan mendadak yang radikal, meninggalkan akar kesejarahannya sendiri, yang bisa “memecahkan” masalah dengan membuat peta permasalahan yang sama sekali baru. Perkembangan masa lampau, dari orientasi serba tarekat menjdi orientasi fiqh, ternyata menemukan penerusannya sebagai masalah.

Setidak-tidaknya itulah yang dapat disimpulkan, dari upaya sementara kiai untuk ‘menyegarkan’ pandangan keagamaan melalui ‘penyegaran’ fiqh. Sebuah proses pematangan yang dimaksudkan untuk memungkinkan fiqh mengintegrasikan diri ke dalam hidup moderen, tanpa terlalu banyak mengorbankan identitas dirinya sendiri Bagaimana kalau upaya itu gagal? Mudah-mudahan orang memafkannya.

Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah

Sejak permulaan sejarahnya, Islam harus mengenal masalah-masalah kemiliteran, berbeda dengan banyak agama lain. Operasi militer bertubi-tubi yang di lancarkan negara kota (city-state) Mekah setelah Nabi Muhammad mendirikan masyarakat muslim di Madinah (sebelumnya bernama Yathrib, lebih kurang 400 kilometer di barat laut Mekah) dalam masa sepuluh tahun pertama hidupnya, memaksa masyarakat yang masih sangat muda itu memberikan perhatian cukup kepada pembentukan sebuah bala tentara sebagai bagian inherent dari kehidupannya. Segera setelah ada kepastian pihak lawan di Mekah sudah kehilangan inisiatif militer dan jatuhnya kota tersebut ke tangan kaum muslimin tinggal soal waktu belaka, persiapan operasi militer yang bersifat eksternal (dalam artian penyerbuan keluar jazirah Arabia) menuntut tetap adanya kehadiran struktur ketentaraan itu dalam kehidupan masyarakat.

Kecenderungan ini tampak nyata, walaupun struktur itu sendiri masih bersifat sangat sederhana: satuan-satuan tempurnya belum dikendalikan oleh sebuah markas besar dengan hierarkinya sendiri. Masing-masing masih dipimpin oleh seorang komandan (amir) yang langsung bertanggung jawab kepada kepala pemerintahan. Perbekalan masih dibawa oleh masing-masing pasukan. Belum ada sistem logistik untuk seluruh bala tentara. Juga belum ada sistem penggajian, imbalan material diperoleh dari jarahan perang (ghanimah, booties) yang dapat dirampas dari tangan musuh. Perintah berperang tidak dikeluarkan oleh lini komando yang berjenjang, melainkan hasil seruan untuk melakukan perang suci (jihad) yang dikumandangkan di masjid. Memang ada bala tentara, tetapi masih bersifat serba primitif!

Konfrontasi militer pertama yang terjadi masih berskala kecil, hanya meliputi lima ribu orang yang terlibat pada kedua belah pihak. Walaupun lebih tepat dinamai pertempuran (waqi'ah, battle) daripada penamaan formalnya dalam kronikel Islam sebagai 'perang (ghazwah) Badr', konfrontasi militer tersebut berkesudahan pada kemenangan tentara muslim. Kemenangan oleh tentara rakyat ini, dalam artian bukan tentara profesional, segera disusul dengan serangkaian konfrontasi militer melawan tentara non-muslim Mekah selama delapan tahun, berkesudahan pada pengepungan (siege) selama beberapa bulan atas kota Madinah oleh gabungan suku-suku Arabia non-muslim, operasi mana dikenal dengan nama perang parit (ghazwah al-Khandaq) pada tahun 627.

Pengaturan bala tentara muslim untuk mempertahankan kota melalui penggalian parit untuk menghalangi lawan, memunculkan pembagian kerja yang lebih nyata di kalangan tentara muslim itu sendiri. Dibentuk pasukan gerak cepat untuk melakukan serangan kilat sewaktu-waktu atas titik terlemah dalam barisan musuh yang melingkari kota. Pembentukan pasukan yang tidak melakukan serangan frontal atas induk kekuatan musuh, melainkan melakukan serangan mendadak atas titik terlemah pihak musuh di lambung bala tentara musuh itu, ternyata segera menjadi pola ketentaraan pihak muslim, seperti ternyata dari operasi militer pertama yang bersifat eksternal ke luar jazirah Arabia. Pada tahun 629 pasukan muslim yang berjumlah tiga ribu orang menyerang bala tentara Byzantium yang dipimpin sendiri oleh Heraclius, terdiri dari minimal tiga puluh ribu tentara, di Mu'tah (daerah Jordania sekarang).

Induk tentara muslim yang melakukan serbuan frontal langsung ke induk pasukan musuh tidak berhasil mencapai kemenangan, bahkan menderita kerugian jiwa cukup besar, termasuk gugurnya komandan pasukan Ja'far ibn Abi Thalib dan kemudian penggantinya, penyair muda Abdullali ibn Rawahah. Tetapi kegagalan ini membawakan sebuah pengalaman sangat berharga bagi tentara muslim, yaitu munculnya kebutuhan akan strategi peperangan yang jelas, di samping kesadaran akan pentingnya pasukan gerak cepat yang mampu menerobos lambung kekuatan musuh. Khalid ibn Walid yang menggantikan kedua komandan yang gugur itu hanya mampu menolong tentara dari jepitan yang mematikan dari bala tentara Byzantium dengan jalan serbuan cepat ke lambung kekuatan musuh untuk membuka jalan lari. Perang Mu'tah ini juga menandai sebuah periode baru yang berupa munculnya sekelompok militer profesional di lingkungan masyarakat muslim.

Walaupun secara formal belum ditetapkan hierarki permanen di lingkungan bala tentara muslim, secara tidak resmi para pemimpin militer profesional itu langsung diserahi tugas merencanakan dan memimpin serbuan internal seperti perang Hunain dan perebutan Mekah (Fath Mekah). Operasi militer di Hunain menampakkan strategi memecah-belah kekuatan gabungan suku-suku nomad yang masih belum menerima Islam dengan melakukan isolasi atas kelompok yang terpisah, mengurungnya dari induk pasukan gabungan dan menghancurkannya satu persatu. Operasi perebutan Mekah dilakukan bahkan tanpa melakukan pertempuran berarti, cukup hanya dengan show of force yang berskala massif. Apa yang seharusnya menjadi klimaks, dari sudut pandangan militer, ternyata hanya menjadi anti-klimaks belaka, begitu pula pengepungan atas kota Ta'if yang menjadi saingan Mekah.

Setelah Nabi wafat, kelompok militer profesional itu harus memadamkan pemberontakan Musailamah dan Tulaihah segera setelah Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, kepala pemerintahan pengganti Nabi. Operasi yang dinamai penaklukan para pembangkang (Harb al-Riddah) ini berlangsung cukup lama, meliputi pemerintahan dua khalifah lain setelah Abu bakar, barulah dapat diselesaikan dengan tuntas. Adalah wajar apabila operasi militer berkepanjangan seperti itu lalu memunculkan tentara reguler, walaupun masih dalam bentuk sangat sederhana dan belum mengenal sistem penggajian teratur serta masih mendasarkan pendapatan bagi tentaranya pada hasil jarahan perang yang dirampas dari musuh. Yang jelas, di ibukota pemerintahan lalu dibentuk markas besar (walaupun masih bertempat di masjid) tempat keluarnya perintah-perintah militer dari panglima operasi militer yang dilakukan.

Penggajian dan Hierarki

Dalam pemerintahan 'Umar ibn AI-Khattab, yang menggantikan Abu Bakar, mulai muncul sebuah sistem pemberian imbalan oleh negara (dari bait al-mal, yang berfungsi ganda selaku kas negara dan pusat perbekalan negara), walaupun masih khusus hanya bagi para peserta perang Badr belaka. Mereka yang namanya tercantum dalam daftar yang dibuat (Diwan ahl Badr) memperoleh sekadar tunjangan dari negara atas jasa-jasa mereka dalam 'peperangan' pertama yang dialami kaum muslimin itu.Walaupun sumber-sumber sejarah Islam tidak menyebutkannya, dapat diperkirakan daftar itu tentu muncul sebagai pengimbang bagi sebuah daftar lain yang disusun sebagai catatan tunjangan bagi bala tentara yang sudah mulai menjadi tentara reguler di masa pemerintahan Khalifah 'Umar tersebut.

Aspek mulai terbentuknya tentara reguler ini, masih sedikit sekali di kaji orang, tetapi sebenarnya ia merupakan landasan institusional dari operasi besar-besaran untuk menaklukkan kawasan dunia di luar jazirah Arab segera setelah itu. Ditundukkannya pasukan-pasukan yang berintikan kesamaan keanggotaan dalam satu suku (qabilah) kepada seorang panglima bala tentara (amir al-jaish), yang pada gilirannya harus tunduk kepada panglima tertinggi angkatan perang, menandai munculnya hierarki militer yang bersifat kompleks. Kepala pemerintahan (Khalifah) adalah juga panglima tertiriggi bala tentara muslim (Amir al-Mu'minin). Dengan tanggung jawab penuh kepada panglima tertinggi angkatan perang itu, panglima bala tentara menyusun markas besarnya sendiri atas keseluruhan bala tentara itu, walaupun markas besar itu dapat didirikan hanya di luar ibukota, di kala melakukan operasi militer.

Khalid ibn Walid kemudian dibebastugaskan oleh panglima tertingginya, Khalifah 'Umar ibn al-Khattab, secara formal karena penyalahgunaan fasilitas bala tentara, sebagaimana disebutkan dalam kronikel sejarah Islam dari sumber dini. Tetapi besar kemungkinan tindakan itu dilakukan untuk memelihara supremasi ibukota negara atas hierarki markas besar di medan pertempuran yang terletak beribu-ribu kilometer di dataran rendah Irak (Ard al-Sawad). Dengan cara demikian, supremasi pemerintahan sipil atas bala tentara dipelihara terus menerus selama operasi penaklukan yang memakan waktu belasan tahun dan mencapai Asia Tengah di sebelah timur dan Afrika Utara di sebelah barat. Hubungan antara Islam dan profesi militer pada waktu itu jelas menunjukkan pola dukungan pihak militer kepada aspirasi keagamaan dari pihak non militer, dan belum ada pemerintahan militeristis di lingkungan masyarakat muslim waktu itu.

Militer Menjalankan Fungsi Pemerintahan

Keadaan ini berubah setelah struktur pemerintahan masyarakat muslim juga mengalami perubahan. Dari siste Khalifah yang dipilih menjadi Khalifah turun-temurun di tangan dinasti Umayyah, pemerintahan lalu mejadi sebuah sistem monarki yang harus bersandar lebih banyak lagi pada kelompok militer profesional. Walupun secara nominal raja yang bergelar khalifah dan masih juga berfungsi sebagai panglima tertinggi bala tentara (Amir al-Mukmmin), dalam kenyataan kekuasaan itu banyak dideligir kepada pejabat-pejabat militer di wilayah imperium yang begitu luas. Segera muncul kelas militer baru yang mejadi penguasa 'daerah', bertindak sekaligus sebagai pejabat berfungsi pemerintahan sipil maupun panglima pasukan yang ditempatkan di suatu 'daerah'. Tokoh-tokoh militer seperti al-Hajjaj ibn Yusuf, Ziyad ibn Abih, Muhallab ibn Abi Sufrah dan Qutaibah ibn Muslim muncul sebagai gubemur militer Irak, Mesir,Jazirah Arabia, Afrika Utara (sebelah barat Mesir) dan Khurasan (meliputi wilayah Iran dan Afghanistan sekarang). Kenyataan munculnya tokoh-tokoh militer itu sebagai gubemur (wali) dalam sejarah Islam yang baru berusia tujuh puluhan tahun itu disebabkan oleh perlawanan militer dari kelompok-kelompok muslim yang tidak puas dengan pemerintahan pusat yang ada, yang berkedudukan di Damaskus.

Perlawanan itu muncul dari perpecahan politik yang sangat tajam antara berbagai suku bangsa Arab, perpecahan mana paling sulit di atasi terjadi antara kedua suku bangsa terbesar Mudar dan Rabi'ah. Melalui pola pembentukan bala tentara muslim sewaktu memulai penaklukan keluar jazirah Arab, di wilayah-wilayah yang diduduki didirikan perkampungan militer (garrisons) yang kemudian berkernbang menjadi deretan kota-kota. Yang terkenal di antaranya adalah Basrah dan Kufah, yang juga merupakan pangkalan penyerbuan bagi penyerbuan lebih jauh. Kota-kota militer itu dengan segera merupakan rangkaian kumpulan pasukan-pasukan yang terpusat, yang terdiri dari kekuatan yang terbagi tidak hanya menurut pembagian ketentaraan (kavaleri, infanteri, logistik dan seterusnya), melainkan juga berdasarkan pembagian suku. Dengan cepat kota-kota tersebut menjadi pusat perlawanan terhadap pemermtahan pusat, hal mana memaksa pengangkatan tokoh-tokoh militer sebagai kepala pemerintahan propinsi-propinsi yang masing-masing meliputi kawasan puluhan ribu kilometer persegi. Pengangkatan al-Hajjaj ibn Yusuf sebagai gubemur Irak, misalnya, terjadi setelah ia berhasil menegakkan 'jasa' dengan reputasi sebagai 'jagal' sewaktu memadamkan pemberontakan Abdullah ibn Zubair di jazirah Arab (ia bahkan tidak segan-segan memerintahkan perusakan Ka'bah dan pembakaran Masjidil Haram!) secara 'efisien'. Tindakan drastis diambilnya untuk tujuan pasifikasi yang dibebankan ke atas pundaknya: pemerintahan teror untuk jangka waktu enam tahun, penghancuran kelas pemuka masyarakat dari suku-suku Arab secara total (dengan jalan memberikan status berimbang kepada kelompok non-Arab) di kedua kota Basrah dan Kufah, dan pemusatan pasukan-pasukan Siria di ibukota 'propinsi' Irak yang baru, Wasit (dekat bekas ibukota imperium Babylonia jauh di masa sebelum penaklukan oleh bala tentara muslim).

Pemerintahan bani Umayyah yang berjalan selama delapan puluh sembilan tahun (dari permulaan diajukannya claim sebagai Khalifah oleh Mu'awiyah ibn Abi Sufyan pada tahun 661, hingga kekalahan Yazid II dari tangan pendiri dinasti 'Abbasiyah, Abu al-Abbas al-Saffah, pada tahun 750), ternyata tidak dapat dipertahankan oleh pengangkatan tokoh-tokoh militer sebagai gubemur di berbagai kawasan imperiumnya yang begitu luas. Dinasti 'Abbasiyah yang meneruskan kebijaksanaan seperti itu bahkan lebih buruk lagi nasibnya.

Persoalan Baru: Perpecahan Militer

Pada mulanya, berbagai pemberontakan diatasi dengan pengangkatan tokoh-tokoh militer sebagai gubernur di sementara propinsinya, sedangkan di wilayah utama kerajaan (Irak hingga ke masa Khalifah al-Hadi, Khurasan sewaktu al-Ma'mun menjadi Khalifah, dan kembali ke Irak setelah itu, walaupun dengan ibukota Samarra sebagai pengganti Baghdad sewaktu al-Mu'tasim berkuasa dan kembali ke Baghdad setelah itu) Khalifah lebih banyak bersandar kepada perdana menteri (Wazir) dari asal-usul non-Arab tanpa memperoleh kekuasaan militer sama sekali. Tetapi dengan berlalunya masa, pengangkatan gubemur dari kalangan militer itu, seperti Abu Muslim di Khurasan, justru menimbulkan persoalan baru: pemberontakan oleh para tokoh militer sendiri untuk mendukung klaim anggotanya dinasti 'Abbasiyah sendiri atas tahta kekhalifahan (bahasa Arab: Khilafah). Kelompok-kelompok utama dalam kalangan militer dengan demikian juga terbagi-bagi ke dalam berbagai kepentingan yang saling berbenturan antara anggota dinasti "Abbasiyah yang berlainan!"

Munculnya "peranan" baru pihak militer profesional itu untuk menunjang claim yang saling bertentangan atas takta Khalifah, akhirnya membawa kepada sebuah fenomena yang tadinya sama sekali tidak tergambarkan, yaitu munculnya kelas pengawal kerajaan dari kalangan budak hasil jarahan sewaktu penaklukan berlangsung. Budak-budak yang jumlahnya puluhan sampai ratusan ribu itu,umumnya berasal-usul Turki seperti budak-budak Seljuq yang nantinya akan mendirikan kewangsaan mereka sendiri, dengan cepat menjadi satuan-satuan militer yang tangguh dengan tujuan-tujuan intern mereka sendiri. Melalui serangkaian manipulasi dukungan mereka atas klaim saling bertentangan atas tahta khilafah itu, para komandan militer Turki berhasil mendorong Khalifah al-Mu'tasim untuk memindahkan ibukota imperium muslim itu dari Baghdad ke Samarra, untuk kemudian mengembalikannya ke Baghdad setelah mereka berhasil mengangkat dan kemudian mengganti tiga orang Khalifah berturut-turut setelah al-Mu'tasim. Situasi unik ini akhirnya berkesudahan pada kejadian dramatis ketika Khalifah al-Mutawakkil dibunuh atas perintah panglima militernya sendiri dalam tahun 847.

Dalam keseluruhan proses munculnya kekuatan militer sebagai faktor utama politik itu terlihat sebuah jalur perkembangan yang menunjuk kepada ujung terbaginya kekuasaan pemerintahan di pusat imperium dalam dua jenis kekuasaan: kedudukan Khalifah yang semakin lama semakin berfungsi simbolik belaka di satu pihak, dan kekuasaan nyata militer yang akhirnya diformalisir menjadi gelar Sultan sebagai pihak eksekutif yang "ditunjuk" Khalifah untuk menyelenggarakan pemerintahan "atas namanya." Keadaan ini berlangsung terus hingga saat kejatuhan dinasti "Abbasiyah bersama jatuhnya ibukota Baghdad di tangan pasukan-pasukan Mongol, yang menghancurkannya secara total.

Dari apa yang dipaparkan di atas tentang perkembangan peranan kaum militer profesional dalam sejarah Islam di jantung kekuasaannya semula di jazirah Arab, Siria dan terakhir Irak, ternyata tiga jenis peranan dapat dibedakan dalam masa yang hampir tujuh ratus tahun lamanya itu: munculnya tentara profesional pada permulaan Islam, kemudian fungsionalisasinya sebagai alat pasifikasi wilayah-wilayah imperium yang baru direbut atau yang sedang mengalami pemberontakan; dan terakhir, munculnya kekuatan militer sebagai penguasa pemerintahan secara nyata atas nama kepala pemerintahan simbolik.

Dari gambaran itu jelas, bahwa kaum muslimin sejak permulaan sejarah mereka harus senantiasa bergulat dengan masalah-masalah kemiliteran; bahkan pada sepertiga terakhir dan masa sejarah klasik Islam (yaitu hingga jatuhnya Baghdad di tangan orang-orang Mongol pada tahun 1258) kaum muslimin justru harus bergulat dengan militerisme yang berlindung di balik peran "melaksanakan pemerintahan atas nama Khalifah". Kalau pada "tingkat atas" perkembangan politik pemerintahan munculnya militerisme seperti itu diterima sebagai kenyataan yang tidak perlu dibantah lagi, di "tingkat bawah" justru terjadi perlawanan yang tidak berkeputusan, walaupun mengambil bentuk gerakan kultural yang tidak begitu efektif tampaknya dalam kehidupan politik praktis.

Perlawanan pertama adalah dalam munculnya solidaritas kaum tarekat sebagai elite tandingan (safwall muqabillah, counter elite) di tingkat bawah. Hierarki, sistem nilai dan pandangan hidup baru mereka kembangkan di lingkungan sendiri sebagai tandingan terhadap struktur pemerintahan serba militeristis. Melalui pengembangan jaringan hubungan yang berjalan secara intensif hingga meliputi seluruh kawasan imperium Islam dalam waktu hanya seratus dua ratus tahun, jaringan hubungan (linkages) itu berhasil memaksa penguasa militer untuk mengikuti dan kemudian menyerap secara formal jalan kehidupan yang mereka anut. Peristiwa pembunuhan atas diri Khalifah al-Mutawakkil adalah salah satu kejadian dalam kerangka "penaklukan kultural" (cultural imposition) ini. Terjadi proses pengambilalihan ideologi rakyat oleh pemerintahan militeristis, tepat seperti apa yang terjadi di Pakistan sekarang ini, di mana pemerintahan militer di bawah pimpinan Jendral Ziaul Haq mengambil alih orientasi legal-formalistik dari kaum agamawan muslim sebagai imbalan dari dukungan mereka terhadap pemerintahan di hadapan perlawanan para pengikut mendiang bekas Presiden Zulfikar Ali Bhuto.

Perlawanan Kultural

Perlawanan kultural dalam bentuk non-tarekat pun banyak diajukan, seperti terbukti dari produk literer dari kaum agamawan yang mendalami hukum agama (fuqaha,juriconsults). Keseluruhan produk literer itu menggambarkan masyarakat sipil di mana tata tertib hukum adalah tulang punggung eksistensinya dan kekuasaan tidak perlu mendasarkan diri pada kekuatan militer. Walaupun produk literer itu tidak mampu merubuhkan pemerintahan militeristis pada empat ratus tahun terakhir kehidupan dinasti 'Abbasiyah, tetapi ia mampu mengembangkan cara hidup yang hakikatnya berlawanan dengan sendi-sendi pemerintahan militeristis itu sendiri: etik sosial yang tidak memperdulikan struktur kemasyarakatan yang dibentuk oleh penguasa, pandangan dunia (world view) yang sama sekali berbeda dari ideologi formal negara, dan loyalitas kepada elite tandingan spiritual yang umumnya terdiri dari budayawan dan agamawan. Setelah pergulatan di bawah arus permukaan perkembangan politik tenang (yang ketenangannya pun masih disibuki oleh intrik-intrik politik dan perebutan kekuasaan di tingkat atas) yang berjalan berabad-abad lamanya, kemenangan justru dicapai oleh gerakan perlawanan kultural itu. Islam tersebar di seluruh penjuru dunia justru mengambil corak perlawanan kultural tersebut, baik dalam etik sosialnya maupun pandangan hidupnya: sampai saat ini tidak ada satupun ideologi formal negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dapat memaksakan ketundukan mutlak kepada ideologi itu sendiri. Tetap saja ada tolok ukur atau titik bandingan terhadap ideologi formal negara dalam hati kaum muslimin: sesuaikah ideologi tersebut dengan keyakinan agama, adakah para agamawan diberi hak turut menentukan keputusan-keputusan dasar di bidang kenegaraan, dan mungkinkah ajaran Islam dilaksanakan dengan damai di seluruh wilayah negara?

Munculnya perlawanan kultural itu terus menerus terjadi setelah jatuhnya imperium Islam yang dilambangkan oleh dinasti 'Abbasiyah itu. Munculnya dinasti-dinasti Turki yang mengajukan claim Khilafah bagi diri masing-masing, yang berkesudahan pada tegaknya imperium Islam baru di dinasti "Uthmaniyah (Ottoman Empire),wangsa-wangsa militer di hampir seluruh penjuru dunia selama berabad-abad (wangsa Fulani di Afrika Barat, wangsa-wangsa Andalusia dan Afrika Utara, pemerintahan berbagai wangsa militer di India seperti wangsa Ghaznawi, dan seterusnya), dan apa yang oleh Hodgson dinamai "tata masyarakat berupa milisi kota dan pemerintahan barak militer" (the social order of town militias and garrison government) hingga abad kelima belas,kesemuanya tetap menunjukkan berlangsungnya pemerintahan militer di kalangan bangsa-bangsa muslim berabad-abad setelah jatuhnya Baghdad di tangan orang Mongol. Tetapi nyata pula bahwa perlawanan kultural itu memiliki ketahanan luar biasa untuk tetap hidup pada saat ini, di mana militerisme masih menghantui hidup bangsa-bangsa muslim di seluruh dunia (dengan perkecualian Sri Lanka dan India di mana kaum muslimin menjadi kelompok minoritas yang dilindungi undang-undang dan memperoleh kebebasan untuk bersaing secara politis dengan golongan-golongan lain untuk memperebutkan kendali pemerintahan), baik dalam bentuk terbuka seperti di Pakistan dan Turki maupun secara terselubung seperti di tempat lain-lainnya.

Memang utopis untuk mengharapkan perlawanan kultural itu mampu menumbangkan rezim-rezim militer dalam waktu singkat. Tetapi kenyataan bahwa ia mampu bertahan di bawah tekanan dan penindasan menunjukkan potensinya untuk melakukan hal itu dalam jangka panjang, mungkin setelah memakan waktu ratusan tahun. Tetapi perlawanan kultural itu tidak dapat berlanjut dalam keadaannya yang sekarang, walapun pada saat ini ia merupakan satu-satunya altematif yang memiliki kelayakan (feasible alternative) terhadap militerisme itu, jika ia diinginkan mencapai hasil yang diharapkan. Altematif lain, seperti penciptaan kelompok politik tandingan (yang hanya akan berkesudahan pada ko-opsi oleh pemerintahan militer atasnya dengan dalih "penataan politik untuk kepentingan pembangunan" atau pada revolusionalisme romantik yang tambah menyengsarakan rakyat banyak), ternyata tidak berkelayakan untuk digunakan melawan militerisme dalam waktu sangat panjang.

Kasus "revolusi Islam" para mullah di Iran yang merupakan kulminasi perlawanan kultural yang sudah berjalan dengan penuh pengorbanan selama puluhan tahun, juga masih harus membuktikan diri sebagai pemerintahan yang benar-benar merdeka dan tidak menggantikan militerisme sekular dari mendiang bekas Syah Reza Pahlevi dengan militerisme baru yangberdalih "menjalankan ajaran Islam". Begitu pula ajaran "sosialisme Islam" yang dijajakan Mu'ammar Qaddafi dari Libya dan Sosialisme Arab" dari versi mendiang Gamal Abdel Nasser di Mesir hingga versi Saddam Husein di Irak dan versi Hafez Asad di Siria (yang kesemuanya itu menampilkan "wajah nasional" dari egalitarianisme Islam yang dicanangkan Qaddafi), semuanya belum mampu membuktikan diri sebagai pemerintahan bukan militeristis. Altematif "halus" terhadap militerisme terbuka, seperti yang diterapkan oleh Malaysia dengan demokrasi parlementernya dan Saudi Arabia dengan monarki melalui AI-Qur 'an sebagai kostitusinya, juga belum mampu membebaskan diri dari cengkeraman militerisme.

Transformasi yang diharapkan terjadi pada perlawanan kultural di atas, sebagai prasyarat keberhasilannya mencapai tujuan masyarakat yang bebas, terbuka dan jujur kepada warganya, harus meliputi perumusan kembali tujuan perlawanan itu sendiri, orientasinya maupun metode yang digunakan, kesemuanya diletakkan dalam kerangka memecahkan masalah-masalah dasar yang dihadapi umat manusia: kemiskinan, kebodohan, merajalelanya ketidakadilan, langkanya kepastian hukum, ketimpangan sosial-ekonomis yang luar biasa besarnya, akibat dominasi sekelompok kecil elite atas mayoritas umat manusia melalui struktur pemerintahan nasional dan usaha ekonomis-finansial (trans-nation economic enterprise) dan sebagainya. Dengan kata lain perlawanan kultural tersebut akan mencapai tujuannya apabila diletakkan dalam kerangka lebih luas dari apa yang dimilikinya selama ini. la tidak lagi cukup hanya menjadi upaya ekspresi keimanan sebagai muslim untuk menegakkan ajaran formal Islam belaka, tetapi harus menjadi bagian dari upaya kemanusiaan umum untuk membebaskan rakyat yang tertindas dari belenggu kenistaan, kehinaan dan kepapaan yang menurunkan derajatnya sebagai makhluk yang mulia. Untuk itu dituntut dari gerakan-gerakan perlawanan kultural kaum muslimin agar terlebih dahulu mampu hidup bersama dengan manusia-manusia dari agama lain, ideologi politik dan pandangan budaya, yang memiliki kesamaan pandangan dasar tentang hakikat tempat manusia dalam kehidupan dan cara-cara untuk mewujudkannya.

Jangan Paksakan Paradigma Luar tehadap Agama

Seringkali dipersoalkan bahwa di satu pihak agama dapat membebaskan manusia dari atu himpitan struktural tertentu, tetapi di pihak lain agama sering tidak mampu melakukan hal itu. Kita harus meninjau bahwa agama memang mempunyai dampak pembebasan. Hanya saja proses pembebasan itu berlangsung lambat dan jangkauannya jauh sekali. Dalam hal ini kita seringkali tergoda oleh paradigma-paradigma di luar agama dengan menuntut sesuatu yang lain dari irama agama itu sendiri. Ini yang sering menjaid masalah. Misalnya, ada kekecewaan terhadap pembaharuan yang dibawakan Abduh, karena ternyata dia dinilai borjuistis. Meletakkan Abduh dalam rangka borjuistis itu sudah merupakan suatu kesalahan, sebab dengan begitu kita meletakkan paradigma borjuisme kepada orang yang tidak mengerti apa itu borjuisme. Pada waktu Abduh hidup, pikiran-pikiran Marx belum berkembang secara diferensial antara Marxisme sebagai ideologi politik dan sebagai alat analisa sosiologis. Kita seolah-olah harus memaksakan harus memilih salah satu diantar adua hal tersebut. Ternyata dua-duanya tidak dan kita menjadi kecewa. Ini suatu kesalahan.

Misalnya juga di indonesia, kalau kita katakan bahwa para kyai Nahdlatu Ulama (NU) di pedesaan itu belum bisa berpikir secara struktural. Saya menanyakan apakah benar dalam situasi sekarang di mana informasi yang diperoleh sangat terbatas dan berbagai keterbatasan lainnya, kita pantas menyatakan mereka begitu. Juga kalau kita mengharapkan dari mereka ada perubahan yang drastis, radikal dan semesta sifatnya. Ini kalau kita berbicara tentang agama sebagai personifikasi dalam diri ulama atau elitnya.

Kita juga tidak bisa meminta agama untuk bersikap. Antara ajaran-ajaran agama dan elite agama terdapat suatu proses yang dinamis yang menginginkan adanya perumusan sikap-sikap baru. Saya setuju bahwa ada pola interaksi antara elite agama dengan ajaaran-ajaran agama. Tetapi apakah interaksinya sudah begitu jauh, sudah clear? Saya belum melihat ada hubungan yang simbolik antara keduanya.
Ajaran paling penting dalam agama adalah tentang Allah. Struktur agama memperkuat ajaran semula dan ajaran semula pada gilirannya memperkuat struktur agama, pada saat yang sama ia menjalankan peranan membebaskan manusia. Ini nampaknya dua langkah yang tidak ada titik singgungnya., begitu berbeda. Tetapi kenyataannya begitu itulah fungsinya dalam sejarah. Dalam gereja Katolik, pada perkembangan semula terjadi “kemacetan”. Setelah itu terjadi pertengkaran, ada reformasi lalu kontra reformasi. Tetapi yang jelas sampai sekarang ternyata gereja tetap saja memperkuat ajaran semula.

Dalam jangka panjang, antara struktur agama dan ajaran agama saling memperkuat. Ini yang namanya formalisme. Islam pun demikian keadaannya, begitu juga Kristen. Pada mulanya diandaikan pembebasan, tetapi kemudian yang terjadi adalah proses saling menguatkan natara ajaran dan struktur.

Kita lihat misalnya, ideologi kesahidan para mullah di Iran . Apa yang diusahakan Ali Shariati itu hilang semuanya dalam waktu dua tahun. Yang namanya revolusi itu tidak ada lagi, yang ada justru penguatan institusi mullah, institusi republik Islam. Di mana pembembebasannya? Inti pembebasan adalah jika setiap orang bisa berkembang menurut pola yang dia inginkan. Kenyataan ini tidak berlaku di sana. Jadi menurut saya riskan sekali memasang paradigma agama pada paradigma sosial. Kita harus tahu batasan-batasannya. Janganlah agama dipakai sebagai alternatif terhadap kekuasaan.

Dlama proses perubahan sosial, agama hanya berfungsi suplementer dan hanya menyediakan “sarana” bagi proses perubahan itu sendiri, bukan agama yang membuat perubahan itu. Dunia itu berkembang menurut pertimbangan “dunia”-nya sendiri. Agama hanya mempengaruhi sejauh dunia siap dipengaruhi, tidak lebih dari itu.Begitu agama mengubah dirinya menjadi penentu, tidak lagi hanya mempengaruhi tetapi menentukan, maka dia telah menjadi duniawi. Kalau hal ini yang terjadi, pada gilirannya dia bisa mengundang sikap represif. Agama menjadi represif, untuk memepertahankan dirinya.

Rakyat di Lapisan Bawah Lebih Arif
Bagaimana peranan agamawan dalam menggerakkan masyarakat lapisan bawah untuk mengadakan perubahan sosial? Memang kebetulan ada sejumlah pastor atau kyai yang mengusahakan proses perubahna masyarakat dari bawah, dan kita harus belajar dari para agamawan itu. Mereka ini merupakan penjumlahan dari pengalaman total manusia yang menderita, yang mengalami sendiri masalah itu.

Selama ini kita mneganggap bahwa mereka tidak mampu menemukan jawaban atas masalah-masalah yang menhimpit hidup mereka. Saya justru beranggapan bukan mereka tidak mampu tetapi sedang dalam proses mencari jawaban. Dalam hal ini saya setuju dengan Tarzie Vittachi. Di mempersoalkan mengapa orang heran melihat rakyat yang melarat di Dunia Ketiga ini tidak mau berdemonstrasi menentang penggunaan bom nuklir, padahal itu merupak bahaya yang paling gawat bagi manusia. Apakah mereka begitu terbelenggu sehingga tidak tahu bahaya nuklir itu? Mereka tahu betul bahaya itu, mereka sadar akan bahaya kemampuan menghancurkan yang luar biasa dari suatu perang nuklir. Hanya masalahnya, memberikan reaksi yang langsung berhadapan dengan suatu kompleks industri militer sama saja menghempaskan diri ke karang.

Saya melihat bahwa rakyat lapisan bawah yang menderita di berbagai bagian dunia ini adalah rakyat yang arif, yang sudah punya polanya sendiri untuk menghadapi berbagai tekanan, baik kemiskinan dan keterbelakangan maupun belenggu yang sifatnya kultural. Dengan demikian jangan kita menganggap rakyat sepi dari kemampuan untuk melaksanakan perubahan total. Mereka tidak berbicara tentang revolusi, yang bicara soal itu adalh para avant garde. Bukan pengawal revolusi, melainkan rakyat sendiri yang mengawal revolusi kalau memang mereka butuhkan revolusi. Tetapi belum tentu mereka butuhkan revolusi; mereka mempunyai cara-cara penyelesaian sendiri.

Dalam soal ini, agamawan tidak bertindak sebagai pengawalrevolusi atau sebagai pemimpin. Sekali lagi mereka hanya menyediakan sarana.

Kita melihat apa yang dinamakan mass capitalism (kapitalisme rakyat) di Amerika, bagaimanapun ada peningkatan standr kehidupan yang baik walaupun pada waktu yang sama dibuat tamak lalu tergantung pada sindikat-sindikat uang. Tetapi itu adalah suatu proses untuk membebaskan diri dalam arti lalu mereka bisa berserikat, mereka lalu bisa menyatakn pendapat dan terutama mereka lalu bisa mengenal isunya. Alangkah bodohnya kalau kita menganggap bahwa rakyat kecil dalam suatu sistem kapitalsi dalam kehidupan di Amerika sebagai tidak tahu penyakiit mereka, sebagai orang yang terbelenggu tidak bisa lepas. Tidak, itu suatu yang sangat naif. Berkali-kali terbukti bahwa mereka bisa membebaskan diri, Martin Luther King adalah contohnya. Walaupun akhirnya mereka dikooptasi kembali ke dalam sistem, tetapi sistem itu toh mengalami perubahan. Nah, kita jangan lalu melihat kepada suatu kemungkinan saja, hanya satu garis liniuer: revolusi. Serahkan pada rakyat proses pembebasan itu, paradigmanya jangan dari kita. Apalagi kalau paradigmanya itu datang dari agamawan, sangat berbahaya. Dia mendukung dengan “otoritas surga”. Ini hendaknya didampingi oleh kearifan bahwa kita tidak bisa menghempaskan diri ke karang. Kalau ada orang yang tidak bisa menghempaskan ke karang lalu mencari hal-hal gradual, dengan cara katakanlah opprtunistik, ini bukan berarti ia harus dikeluarkan dari perjuangan, ini bagian dari perjuangan. Kita harus berani mencari kawan dalam dalam struktur itu sendiri. Ini yang dinamakan pembebasan simultan. Atau yang sifatnya sangat kultural, evolusioner dan yang kalau dilihat sepintas lalu seakan-akan tidak ada akhirnya. Tanpa dampingan pihak ini maka yang terjadi adalah penyusunan tirani baru yang atas nama rakyat, ia bertindak semena-mena. Tidak ada check and balance. Itu yang terjadi di Nicaragua dan Kuba tidak ada pembaharuan dan susahnya tidak tahu apa yang diperbuat. Suatu gerakan pembebasan yang sebenar-benarnya dalah pembebasan yang tanpa dasar apapun kecuali manusia itu sendiri, jadi sangat eksistensialis.

Keragaman
Aspek lain yang saya lihat adalah keragaman jawaban agama yang jarang sekali ditekankan. Tadi kita melihat agama dalam suasana yang ragam, berdialog dengen ideologi, dengan kekuasaan dan dengan apa saja. Tapi yang kedua adalah dida;am keberagaman ekstern itu agama juga mempunyain keberagaman intern. Aspek ini juga bisa kita singgiung secara sambil lalu, kita hanya beri tekanan kepada spek yang sifatnya pembebasan langsung. Apakah kita sudah memberikan perhatian penuhdan adil kepada keberagaman itu. Ini pertanyaan. Kita bisa mengkritik keras lembaga-lembaga agama seperti DGI, MAWI, atau MUI. Tetapi ini berarti tidak ada toleransi terhadap kemajemukandi bidang intern. Kita sudah tahu kesuliatan MAWI, kesulitan DGI, kesulitan MUI, dalam menghadapi keadaan keragaman ekstern yang besar Kita menuntut terlalu banyak dari merka. Tapi yang penting disitu apakah kita sudah memberikan perhatian yang besar. Kalau belum artinya sebelum mengoreksi kekuasaan kita sduah hantam kawan sendiri. Jadi akhirnya membawa kepada kita satu masalah bagaimana mengembangkan pola komunsikasi intern dalam kemajemunkan itu.

Bulan Maret yang lalu saya pergi ke Peru dan melihat sendiri kerja kelompok-kelompok yang sduah dimotivisir oleh teologia pembebasan.. Saya berbicara dengan Guiterez, tokoh “teologia pembebasan” Katolik di Amerika Selatan. Di satu pihak, dalam suatu wawancara sehubungan dengan ulangtahun sepuluh tahun teologia pembebasan, ia masih menyatakan bahwa agama ini harus memberikan jawaban yang radikal. Tapi pada saat yang sama saya melihat bahwa dia cukup sadar untuk mematangkan diri. Ia memang masih tetap radikal, tapi dalam ke-radikalan-nya ia tahu batasnya sendiri. Mungkin perlu sekali kita renungkan kearifan seperti itu.

Mahdiisme dan Protes Sosial

Sebenarnya tidaklah tepat untuk membatasi tentang mesianisme dalam Islam hanya pada Mahdiisme belaka. Tetapi keterbatasan ruang menghendaki pembatasan pembicaraan seperti itu, walaupun Mahdiisme bukanlah satu-satunya gerakan mesianistis dalam Islam.

Pembatasan pokok pembicaraan hanya pada Mahdiisme adalah disebabkan oleh sifatnya sebagai manifestasi utama dari mesianisme Islam, sehingga ia seringkali justru dianggap sebagai mesianisme Islam itu sendiri. Penyamaan tersebut sering merupakan kenyataan, bahwa Mahdiisme sebenarnya adalah gerakan mesianistis terkecil dalam luas lingkup pemikirannya dan terdangkal tradisinya di antara gerakan-gerakan mesianistis utama dari agama-agama besar di dunia.Dengan demikian, pembicaraan tentang Mahdiisme perlu diletakkan dalam perspektif tertentu yang akan memagari hakikat dirinya dari penyamarataan dengan gerakan-gerakan mesianis lainnya. Perspektif tersebut diperlukan pula bagi pengenalan Mahdiisme sebagai manifestasi berwajah banyak dari fenomena yang satu.

Mahdiisme semula berasal dari protes politik yang timbul dari pergolakan merebut kekuasaan pemerintahan antara sekian banyak kelompok yang saling bermusuhan pada permulaan sejarah Islam. la bermula dari kegagalan menyedihkan dari serangkaian pemberontakan bersenjata yang dilancarkan oleh sekte Syi'ah yang berjalan dua abad lamanya, menentang pemerintahan dinasti Umayyah dan dinasti 'Abasiyah. Kegagalan yang berturut-turut itu, yang umumnya harus dibayar sangat mahal dengan darah dan air mata, akhirnya menumbuhkan semacam kepercayaan di kalangan sekte Syi'ah tentang akan menghilangnya lmam terakhir mereka secara ajaib, untuk menunggu masa munculnya kembali di muka bumi sebagai Mahdi ("la yang memperoleh petunjuk yang benar") guna menegakkan kembali kebenaran dalam lslam.Keyakinan akan munculnya juru selamat (Messiah, bahasa Arab: al-Masih) berupa Mahdi ini dengan demikian berakar pada doktrin tantang Mahdi hingga sekarang ini, walaupun kemudian doktrin itu sendiri berkembang menjadi doktrin teologis yang bersifat eskatologis.

Dan doktrin yang semula hanya berkembang di kalangan Syi'ah belaka, Mahdiisme kemudian diadoptir oleh Islam ortodoks," walaupun dalam bentuk yang telah mengalami modifikasi. Mahdi sang juru selamat, yang dalam kepercayaan kelompok Syi'ah Ismailiyah adalah personifikasi nabi terakhir (kepercayaan mana justru bertentangan dengan doktrin Islam ortodoks tentang terputusnya rantai kenabian dengan diutusnya Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir), dalam ortodoksi Islam berubah menjadi "turunan Nabi Muhammad yang akan melanjutkan kekhalifahan murni yang telah dimulai oleh para khalifah empat yang pertama (khulafa al-rasyidin).Sang Mahdi ini akan menolong umat manusia dari tirani yang telah bersimaharajalela di mana-mana, akan membasmi segala macam bentuk kejahatan. Pada akhir pemerintahannya, akan datang menyerang tiran baru dalam bentuk Dajjal, untuk menghadapi makhluk mana akan turun nabi Isa kembali ke muka bumi dan membunuhnya sekali. Setelah itu beliau akan bersembahyang dengan dipimpin oleh sang Mahdi, saat mana akan menandakan datangnya hari kiamat di saat dunia telah dipenuhi keadilan dan ketenteraman.

Mahdiisme, dalam pengertian historisnya, selalu hanya dianggap sebagai protes politik. Tetapi sebenarnya gerakan ini pada dirinya adalah protes sosial, walaupun biasanya memiliki kaitan dengan dan didasarkan atas claim politik. Kenyataan ini akan lebih dapat dipahami, kalau dalam menunjukkan jari ke alamat Mahdiisme kita tidak hanya membatasi diri pada gerakan-gerakan besar yang tercatat dalam buku-buku sejarah belaka, melainkan juga memasukkan dalam pengenalan kita kasus-kasus Mahdi-istis yang kecil-kecil terserak-serak di seluruh dunia Islam selama berabad-abad. Dalam gerakan-gerakan Mahdi-istis yang besar sekalipun masih dapat ditelusuri sebab-sebab sosial yang mendasarinya, seperti dalam contoh pemberontakan Muhammad Ahmad al-Mahdi di Sudan pada abad yang lalu, yang mengakibatkan perubahan perimbangan kekuatan besar-besaran di kawasan Timur tengah waktu itu. Tampak jelas sebab-sebab sosial yang melandasi pemberontakan tersebut. Dari ajaran gerakan Mahdi-istis Sudan ini tentang persamaan derajat antara para pengikutnya, yang justru bertentangan dengan kakunya hubungan dalam strata sosial di Sudan waktu itu antara budak dan "orang merdeka" yang tidak menjadi budak,jelas bahwa gerakan tersebut bermula dari sebab-sebab sosial.Demikian pula Mahdiisme yang dibawakan oleh lbn Tumart (meninggal 1130 M), pendiri Imperium Muwahhidun (Almohads) yang menguasai hampir seluruh Afrika Utara dan Spanyol Selatan dari tahun 1130-1269, dimulai dari sebab sosial yang antara lain berupa mengendurnya penguasaan hukum agama (Syari'at) atas kehidupan pada masa akhir pemerintahan dinasti Murabitun (Almoravids) di kawasan tersebut. Studi yang dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo tentang gerakan protes di Jawa pada abad yang lalu dan permulaan abad ini, di mana dipelajari pula beberapa gerakan yang bercorak Mahdiistis, jelas menunjukkan betapa dalamnya Mahdiisme bersumber pada keresahan sosial yang disebabkan oleh pertemuan beberapa sebab yang saling bertali satu sama lain.

Dalam melancarkan protes sosial, Mahdiisme tidak hanya mengambil bentuk tunggal bagi gerakan-gerakannya,melainkan muncul dalam bermacam-macam bentuk, di samping unsur utamanya sebagai gerakan mesianis. Yang terkemuka di antara kesemua bentuk-bentuk itu adalah revivalisme, milenarianisme, sektarianisme, perang sabil dan nativisme.Kesemua bentuk itu tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan unsur-unsur yang saling mendukung, yang sudah tentu berbeda-beda pula kadar susunan masing-masing dari satu gerakan ke gerakan lain, sehingga memiliki penamaan berlain-lain pula.Karena adanya perpaduan berbagai unsur, gerakan Mahdi-istis umumnya memiliki ciri-ciri yang hampir bersamaan: bentuk organisatoris yang tidak terlalu formil (kecuali kalau telah menjadi gerakan yang memerintah seperti Mahdiisme di Sudan, yang pengaturan para anggotanya meniru bentuk kehidupan ketentraman), ajaran yang tidak terlalu sulit dicernakan oleh rakyat kebanyakan, kepercayaan yang teguh kepada kemenangan yang dijanjikan oleh pemimpin gerakan, pertempuran senjata yang sebentar saja berlangsung, dan berakhirnya gerakan itu sendiri dengan kematian atau penangkapan atas diri sang Mahdi yang menjadi pemimpin. Ada juga elemen-elemen lain yang bersamaan, seperti penggunaan ritus keagamaan tertentu, penggunaan alat-alat sakti/gaib seperti mantera danjimat (amulets) serta minyak-minyakan tertentu untuk menghadapi pertempuran dan berbagai elemen tambahan lainnya, tetapi elemen-elemen itu memiliki asal-usul, fungsi dan cara penerapan berbeda-beda untuk disamaratakan begitu saja.Walaupun demikian, bukan tidak penting arti elemen-elemen tersebut, karena sebenarnya kesemuanya itu, yang biasanya dianggap elemen tambahan, justru merupakan medium bagi sosialisasi ide protes itu sendiri di kalangan pengikut gerakan secara cepat. Dengan cara inilah biasanya kekuatan para pengikut di mobilisir, mobilisasi mana adalah justru mentransformir gerakan itu sendiri dari gerakan protes yang tidak menuju kekerasan menjadi perjuangan fisik bersenjata. Tindakan kekerasan yang secara kategoris diberi legitimasi oleh janji kemenangan yang dikumandangkan pemimpin gerakan, dengan elemen-elemen tambahan di atas dengan mudah dicernakan keharusannya oleh para pengikut. Penerimaan prinsip penggunaan kekerasan ini kemudian menjadi umpan balik bagi pemimpin gerakan untuk segera memerintahkan dimulainya tindak kekerasan itu sendiri. Timbul keberanian untuk melakukan pilihan sama berat antara kemenangan fisik dengan segala kenikmatan indrawi yang dibawakannya dan kematian sebagai Syahid (martry) vang akan langsung diterima di surga.

Ajaran agama dalam transformasi protes sosial yang semula relatif bersifat damai lalu menjadi tindak kekerasan ini memiliki tempat dan penerimaan yang berbeda-beda. Pada mulanya, ajaran agama yang disebarkan di kalangan para pengikut berfungsi sebagai alat legitimasi supermasi pemimpin gerakan. Kemudian, ia berfungsi sebagai pemberi legitimasi kepada elemen-elemen tambahan di atas, dan terakhir berfungsi sebagai pemberi legitimasi bagi para pengikut dan kewajiban bagi pemimpin gerakan untuk memulai tindak kekerasan. Karena fungsinya yang seperti ini, sering kita lihat modifikasi beberapa dari ajaran umum agama, termasuk yang paling dasar sekalipun, guna memenuhi kebutuhan proses pemberian legitimasi yang digambarkan di atas. Pada gerakan Muhammad Ahmad al-Mahdi di Sudan, misalnya, ke dalam rukun Islam (mereka namakan sunnah) di masukan kewajiban perang sabil (jihad) sebagai sendi agama, mendahului kewajiban mengerjakan ibadat haji.

Penyelesaian bagi pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh gerakan Mahdiistis tidak memiliki pola yang sama. Di masa permulaan sejarah Mahdiisme, pembasmian para pengikutnya dilakukan secara sangat kejam. Seluruh keluarga seorang pengikut dibunuh atau minimal dibuang. Demikian pula sebaliknya, kemenangan suatu gerakan Mahdi-istis atas lawan mereka akan membawa akibat serupa. Perlakuan seperti ini tidak hanya berlangsung bagi pemecahan konflik militer yang diakibatkan oleh gerakan Mahdi-istis belaka, tetapi memang dilaksanakan dalam konflik dengan gerakan-gerakan mesianis lainnya.

Lambat laun, penyelesaian dengan cara pembasmian itu berubah, menjadi tindakan hukuman yang bertindak lebih selektif. Mungkin pemimpin gerakan atau pembantu-pembantu utamanya masih dijatuhi hukuman mati, tetapi para pengikutnya kemudian diberi pengampunan, baik bersyarat ataupun tidak. Dengan demikian, terjadi proses adaptasi dan seleksi bagi bekas para pengikut suatu gerakan Mahdiistis, jika mereka selamat dari atau selesai mengalami hukuman dan kembali ke masyarakat luas. Proses kembalinya mereka ke pangkuan masyarakat ini sangat menarik untuk diikuti, terlebih-lebih karena ia dapat menjadi pedoman bagi perlakuan yang tepat kepada para bekas pengikut gerakan-gerakan ke-lslaman lain yang menggunakan kekerasan pula. Lebih-lebih dalam masa kehidupan bemegara di alam modern dewasa ini, dengan polarisasi kehidupan yang sebenarnya semakin menajam antara berbagai ideologi (sehingga menimbulkan kebutuhan untuk membina ketahanan nasional), di samping semakin banyaknya peluang untuk mengintegrasikan masyarakat, sekadar penelaahan atas proses pengedaran kembali (recycling) bekas-bekas pengikut berbagai gerakan yang telah terlempar dari kehidupan ramai akan sangat berguna bagi penciptaan integrasi yang lebih berarti lagi dalam batang tubuh masyarakat.

Ternyata para bekas pengikut Mahdiisme, bila konflik bersenjata telah selesai, telah memperlihatkan kemampuan adaptasi yang baik. Para bekas pengikut ibn Tumart beberapa abad yang lalu ternyata berhasil merubah strategi perjuangan yang digariskannya, dan memimpin sebuah proses pembaharuan kehidupan beragama itu sendiri, yang akhirnya menghasilkan berdirinya dengan tegak sebuah imperium Muwahhidah (Almohads) yang menguasai kawasan hampir separuh kawasan imperium Romawi kuno, selama hampir satu setengah abad lamanya. Demikian pula, bekas-bekas pengikut (dan justru dipimpin oleh keturunan) "al-Mahdi" Muhammad Ahmad di Sudan telah berhasil membuat adaptasi atas metode perjuangan semula kepada situasi kehidupan bemegara yang mengalami perkembangan terus menerus secara bertahap, hingga akhirnya menjadi kekuatan politik yang menguasai negara, hingga rezim militer mengakhiri kekuasaan mereka. Muncullah dalam masa pemerintahan parlementer di sana, para menteri dan pejabat teras negara yang menggunakan nisbat al-Mahdi, seperti bekas Menteri Luar Negeri Sadiq al-Mahdi. Tidak lupa pula para bekas pengikut beberapa gerakan Mahdi-istis di Afrika Barat, yang berhasil menguasai percaturan politik di negeri-negeri masing dengan cara damai.

Mengapakah mereka dapat, melakukan adaptasi sedemikian itu begitu cepat dan mendasar? Hingga kemanakah perubahan-perubahan itu sendiri merubah pendirian keagamaan mereka? Keduanya adalah pertanyaan yang menarik untuk ditelaah bersama dan ditelusuri jawabannya. Jawaban atas pertanyaan pertama dapat ditemukan pada beberapa hal berikut ini. Pertama, hakikat din mereka sebagai partikel zarrah yang terlepas dari untaian kaitannya yang semula, tetapi masih memiliki dinamika kehidupan dari gerakan semula, minimal dalam cara kehidupan mereka yang serba bertujuan (purposive way of life). Dalam proses adaptasi kepada keadaan riil yang harus dihadapi, mereka tetap memiliki tujuan hidup yang telah terasa dalam hati mereka. Dalam pengenduran semua ikatan kemasyarakatan tradisionil dalam kehidupan modern, di mana kebanyakan warga negara merasa terhisap untuk hidup dalam sebuah ruang hampa sistem nilai menetap yang sanggup mengarahkan kehidupan mereka secara lebih baik, bekas-bekas pengikut gerakan Mahdi-istis justru akan merupakan kelompok yang paling kuat orientasinya kepada sesuatu tujuan. Sebagai pertikel yang terlepas dari induknya tetapi masih beredar di cakrawalanya, merekpun masih berputar di sekitar tujuan yang dimiliki semula.

Kedua, para pengikut Mahdiisme biasanya tidak lagi terikat pada pola-pola berfikir konvensionil yang ada di kalangan masyarakat luas. Dengan keputusan untuk menceburkan diri ke dalam gerakan itu sendiri, mereka telah menjadi diri mereka sendiri tidak konvensionil lagi. Dengan terurainya mereka dari cara-cara berfikir yang umum, mereka lalu memperoleh keleluasaan daripada yang biasanya diterima oleh masyarakat, dan dengan demikian memiliki cara berfikir kreatif.

Ketiga, keterlibatan mereka kepada suatu gerakan mesianistis seperti Mahdiisme, sebenarnya adalah pencerminan cara hidup mereka sebagai manusia yang berorientasi kepada perbuatan (action oriented). Watak ini masih mereka pegangi setelah kembali kepada masyarakat, sehingga dengan demikian kreatifitas berfikir mereka dapat diterjemahkan dalam pengalaman nyata.

Dengan demikian, tidak heranlah jika lalu kelompok ini berhasil memberikan partisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Pada gilirannya, proses berpartisipasi itu sendiri mematangkan mereka dalam menghadapi perkembangan keadaan. Kematangan ini membuat mereka mampu mengembangkan kelengkapan adaptasi sikap hidup secara selektif, di mana dilakukan pilihan terus-menerus atas berbagai alternatif. Kemampuan melakukan pilihan seperti ini akhirnya membawa kepada penyesuaian diri kepada kebutuhan masyarakat dengan masih mampu berpegang kepada nilai-nilai dasar yang dimiliki sejak semula. Proses ini menjawab pertanyaan kedua di atas. Perubahan-perubahan yang dibawakan oleh kebutuhan melakukan adaptasi memang membawa perubahan drastis dalam pandangan hidup mereka, tetapi perubahan itu sendiri berlangsung secara selektif. Beberapa nilai dasar tetap melandasi pandangan hidup mereka yang bersifat umum:ketegaran sikap, ketulusan dalam bekerja, rasa keterarahan kepada tujuan utama, kesediaan berkorban untuk mencapai cita-cita dan sebagainya. Kemampuan merubah diri dengan tetap berpegang pada nilai-nilai dasar inilah yang melebihkan mereka dan kebanyakan anggota masyarakat yang lainnya. Mungkin inilah yang di maksudkan dengan istilah "pengalaman" atau "kerendahan hati dan ketundukan kepada" dari seorang anak hilang (enfant prodigue) jika telah kembali ke tempat asal, seperti diungkapkan dengan indah oleh sastrawan besar Andre Gide.

Jelaslah dari apa yang diuraikan di atas, bahwa Mahdiisme sebagai salah satu bentuk protes sosial yang menggunakan kekerasan, dapat menghasilkan manusia-manusia yang sedalam-dalamnya memiliki sifat sebagai pelopor pembangunan, jika berhasil "dimasyarakatkan" dengan cara-cara yang baik. Hidup yang bertujuan, keberanian mencoba cara-cara baru (yang dikembangkan dari keharusan mencari modus bertempur yang baru dalam keadaan terdesak) dalam mengatasi sesuatu persoalan, kesediaan berkorban untuk mencapai cita-cita dan pandangan hidup kreatif yang tidak terlalu terikat kepada konvensi yang berkembang luas di masyarakat, kesemuanya itu adalah sikap jiwa yang justru dibutuhkan dalam pembangunan.

Jelas pula bahwa apa yang disimpulkan di atas tidak dapat dibatasi hanya pada bekas-bekas pengikut Mahdiisme belaka, yang dewasa ini boleh dikata potensial sudah tidak berarti lagi sebagai sebuah gerakan. Tetapi pengamatan seperti yang dilakukan atas Mahdiisme, dengan modifikasi-modifikasi tertentu, dapat diterapkan pula kepada bekas-bekas gerakan lain dalam Islam, yang tadinya menggunakan kekerasan untuk mencapai visi mereka tentang bagaimana seharusnya negara dan masyarakat harus diatur. Beberapa kalangan Islam yang di masa yang lalu telah turut dalam pemberontakan bersenjata, baik karena dipaksa oleh keadaan atau atas kehendak sendiri, perlu memperoleh pengertian seperti ini. Dalam kehidupan nyata dewasa ini, dapat diamati betapa sebagian besar mereka yang telah "kembali dari hutan" sekarang ini berperan secara aktif dan konstruktif dalam kehidupan, menjadi pelopor-pelopor pembangunan.

Menjadikan Hukum Islam Sebagai
Penunjang Pembangunan

Pada waktu akan membuka sebuah lorong perniagaan utama di Kairo dan melebarkannya dengan menggusur sebuah deretan bangunan di tepinya, raja-muda Muhammad 'Ali Pasha (memerintah 1805-1848) meminta fatwa hukum' dari para ulama Al-Azhar.' Jawabannya adalah perkenan mereka, apabila lebar jalanan tersebut tidak melebihi kebutuhan lalu lintas dua arah dengan alat pengangkutan paling umum waktu itu, yaitu onta dengan dua sekeduf (keranjang yang digantungkan di kedua sisi onta), lebih kurang 8 meter lebar jalan. Anekdot kecil ini menunjukkan kepada kita dilema yang dihadapi oleh hukum Islam dalam menghadapi tantangan kemajuan zaman.

Di satu pihak, Islam dapat menerima kebutuhan akan perubahan besar melalui perubahan norma-norma hukum agamanya, dalam contoh di atas berbentuk pencabutan hak milik atas tanah dan bangunan oleh negara bagi kepentingan umum. Di pihak lain, penerimaan atas kebutuhan akan perubahan itu senantiasa dikendalikan oleh batasan-batasan yang telah ditentukan bagi pengambilan keputusan hukum. Senantiasa diusahakan, agar perubahan norma-norma hukum agama dapat dilakukan tanpa menggoyahkan batasan-batasan di atas, atau dengan kata lain memperoleh telur emas dengan tidak mengganggu ayamnya. Dilema ini, yang tidak hanya menjadi monopoli Islam saja, dapat ditemukan gemanya bahkan hingga dalam penyusunan batasan-batasan itu sendiri. Dalam hukum Islam dikenal kaidah hukum "apa yang tidak tercapai seluruhnya tidak dihindari seluruhnya (ma la yudrilku kulluh la yutraku kulluh)".

Anekdot di awal tulisan ini juga menunjukkan kedudukan kunci yang dipegang oleh hukum Islam dalam kehidupan keagamaan. Sebagai kumpulan peraturan dan tata-cara yang harus diikuti oleh seorang yang patuh memeluk agamanya, hukum Islam memiliki pengertian yang lebih dari hanya sekadar luas-lingkup hukum yang dikenal umumnya. Hukum Islam, selain mengandung pengertian hal-hal yang lazimnya dikenal sebagai bidang juridis, juga meliputi soal-soal liturgi dan rituil keagamaan, soal-soal etika dari cara bersopan-santun hingga kepada spekulasi estetis dari para mistikus (mutasawwifin) yang terhalus, soal-soal perdata urusan perorangan (perkawinan dan bagi waris) hingga urusan perniagaan dan moneter, soal-soal pidana dari penetapan bukti dan saksi hingga pada penetapan hukuman mati untuk suatu tindak pidana, soal-soal ketata-negaraan dari penunjukan kepala pemerintahan hingga kepada pengaturan hubungan internasional antara bangsa-bangsa muslim dan bangsa lain, dan seribu satu masalah lain yang meliputi keseluruhan aspek-aspek kehidupan. Karenanya, apa yang secara sederhana dinyatakan dengan istilah "hukum Islam", sebenarnya lebih tepat dinamai keseluruhan tata kehidupan dalam Islam. Atau seperti dikatakan oleh MacDonald, hukum Islam adalah "the science of all things, human and divine (pengetahuan tentang semua hal, baik yang bersifat manusiawi maupun ketuhanan)."

Karena kedudukannya yang sedemikian memusat, hukum Islam tidak hanya turut menentukan pandangan hidup dan tingkah laku para pemeluk agama itu saja, tetapi ia justru menjadi penentu utama bagi pandangan hidup yang dimaksud. Faktor-faktor lain, seperti gerakan tasawuf dan sebagainya, merupakan penentu pada tingkat lebih lanjut, yang baru mempunyai arti jika telah diberi legitimasi oleh hukum Islam. Betapa banyaknya aspek-aspek kehidupan yang disaring, ditolak dan kemudian di hancurkan oleh hukum Islam dalam sejarahnya yang panjang, membuktikan dengan jelas betapa pentingnya kedudukan yang dipegangnya sebagai pemberi legitimasi itu.

Tetapi kedudukan yang sedemikian penting dan menentukan itu ternyata sebagian besar kini merupakan proyeksi teoretis belaka, sebagai semacam proses fosilisasi yang hampir selesai. Di sana-sini masih didapati bekas-bekasnya, tetapi dalam hampir semua manifestasi praktisnya yang masih ada, hukum Islam mengalami proses irelevansi secara berangsur-angsur tetapi pasti. Soal-soal perdata telah banyak dipengaruhi, diubah dan didesak oleh hukum perdata modem. Ketentuan-ketentuan pidananya hampir secara keseluruhan telah diganti oleh hukum pidana modern. Hukum ketata-negaraan dan internasionalnya hampir-hampir tidak diketahui orang lagi. Tinggal lagi soal-soal ibadat yang masih mendapat tempat sepenuhnya dalam kehidupan, itupun dalam kadar dan intensitas yang semakin berkurang, dan bergantung kepada kemauan perorangan para pemeluk agama Islam yang masih taat.

Dalam hal demikian, masih dapatkah dipertahankan kebenaran claim hukum Islam sebagai penentu pandangan hidup dan tingkah-laku para muslimin, dan dengan demikian merupakan salah satu faktor yang secara sadar harus dibina untuk menjadi salah satu unsur pembinaan hukum nasional? Untuk memperoleh hak hidup dalam proses pembangunan bangsa dan negara dewasa ini, apakah yang dapat dilakukannya jika tidak memiliki relevansi dalam kehidupan di masa modern ini?

Walaupun dalam praktek tidak lagi berperan secara penuh dan menyeluruh, hukum Islam masih memiliki arti besar bagi kehidupan para pemeluknya. Pertama, sebagaimana dikernukakan di atas, turut menciptakan tata-nilai yang mengatur kehidupan mereka, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan dan larangan agama. Keseluruhan pandangan hidup umat Islam ditentukan oleh tanggapan masing-masing atas tata-nilai tersebut, hal mana pada gilirannya berarti pengaruh atas pilihan segi-segi kehidupan yang dianggap penting dan atas as cara mereka mem- perlakukan masa depan kehidupan memereka sendiri.

Kedua, dengan melalui proses yang berlangsung lama, banyak keputusan hukum (bahkan unansur-unsur jurisprudensil) dari hukum Islam telah diserap dan menjadi bagian hukum positif yang berlaku. Manifestastasi dari penyerapan ini antara lain dapat dilihat pada berlakukunya hukum perkawinan dan hukum waris Islam di bebenerapa negara, termasuk di beberapa bagian dari negeri ini. Di Mesir, unsur-unsur hukum Islam diserap hingga bahkan oleh hukum pidana dan hukum acara (murafa'at) modern.

Ketiga, dengan masih adanya golongan-golongan yang memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat Islam dari berbagai negeri, penerapan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang mememiliki appeal cukup besar, dan dengan demikian ia menjadi bagian dari manifestasi kenegaraan Islam yang masih harusus ditegakkan di masa depan, betapa jauhnya pun masa depapan itu sendiri berada dalam perspektif sejarah.

Karena ketiga sebab di atas, di samping sebab-sebab lainnya, hukum Islam masih memiliki peranan cukup besar dalam kehidupari bangsa kita. Peranan itu dewasa ini masih bersifat statis, dalam arti masih berbentuk "pos pertahanan" untuk mempertahankan identitas ke-lslaman dari pengaruh non-Islam, terutama yang bersifat sekular. Justru watak statis inilah yang menjadikan hukum Islam hanya berperan negatif dalam kehidupan hukum di negeri kita dewasa ini. Sebagai alat penahan lajunya proses sekularisasi kehidupan yang berlangsung semakin merata, hukum Islam tak dapat berperan banyak,dibatasi dan diikat oleh sifat bertahannya itu sendiri. Peran itupun coraknya sebagian besar hanyalah bersifat represif, melarang ini dan menentang itu. Atau dengan kata lain, yang diungkapkan oleh sebagian pemikir Islam sendiri, hukum Islam barulah berkarya menolak kemungkaran, kebatilan dan kemaksiatan, dan belum mampu menjadi penganjur kebaikan dalam artinya yang luas.

Corak pemikiran tentang hukum Islam di negeri inipun dengan demikian masih banyak yang bersifat apologetis,hanya mampu mencanangkan suatu gambar dunia terlalu idiil di mana hukum Islam ditandaskan dapat memberikan kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrowi, dunia mana merupakan kota Tuhan (civitas Dei) yang masih jauh dari jangkauan masa kini, dengan kebutuhan dan persoalan-persoalan akutnya yang memerlukan penggarapan dan pemecahan segera. Herankah kita jika hukum Islam lalu kehilangan relevansinya dengan perkembangan kehidupan di sekitarnya?

Untuk memperoleh relevansi tersebut, hukum Islam harus mampu mengembangkan watak dinamis bagi dirinya, di antaranya dengan mampu menjadikan dirinya penunjang perkembangan hukum nasional di alam pembangunan ini Watak dinamis ini hanya dapat di miliki, jika hukum Islam meletakkan titik berat perhatiannya kepada soal-soal duniawi yang menggulati kehidupan bangsa kita dewasa ini, dan memberikan pemecahan bagi persoalan-persoalan hidup aktuil yang dihadapi di masa kini. Dengan demikian, hukum Islam dituntut untuk mengembangkan din dalam sebuah proses yang bersifat cair (fluid situation), dan tidak hanya terikat pada gambaran dunia khayali yang menurut teori telah tercipta di masa lampau. Pengembangan diri memerlukan pandangan jauh dari kalangan pemikir hukum Islam sendiri. Dengan kata lain, ia harus memiliki pendekatan multi-dimensional kepada kehidupan, dan tidak hanya terikat kepada ketentuan normatifyang telah mengendap sekian lama, bahkan hampir-hampir menjadi fosil yang mati.

Guna memungkinkan tercapainya pra-syarat berupa upaya dinamisasi di atas, yang juga mungkin terdengar terlalu idiil perumusannya, kita harus memahami terlebih dahulu ciri-ciri utama yang dimiliki hukum Islam dewasa ini. Dari pengenalan ciri-ciri utama tersebut barulah dapat nantinya diketahui perubahan yang harus dilakukan, yang akan memungkinkan hukum Islam memiliki peranan aktif dalam mengisi pembangunan dengan sumbangan yang nyata.

Ciri utama yang pertama dari hukum Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Coulson, adalah keterlepasannya dalam perspektif kesejarahan: "hukum, dalam teori Islam klasik, adalah kehendak Tuhan yang diwahyukan, sebuah sistem yang disusun secara ketuhanan, mendahului dan tidak didahului oleh negara Islam, menguasai dan tidak dikuasai oleh masyarakat Islam",memang benar, hukum Islam berkembang dalam sebuah proses yang dalam dirinya sendiri memiliki pretensi kesejarahan, tetapi pada hakikatnya ia berkembang di luar perkembangan sejarah: ia memiliki sejarahnya sendiri (tarikh al-tasyri'), tetapi tidak menjadi bagian dari sebuah proses sejarah umum. Inilah sebabnya mengapa antara lain di kalangan literatur tradisionil mengenai hukum Islam masih dibahas secara berkepanjangan kasus-kasus mati, seperti hukum perbudakan dan hukum transaksi perdata dengan pemeluk agama Majusi (Magi,yang notabene tinggal berjumlah sekitar seratus ribu jiwa di India, sebagai golongan Parsis). Lebih tepat lagi, justru hukum Islam sendiri yang tidak mampu melepaskan diri dari literatur hukum yang sudah sedemikian statisnya.

Ciri utama berupa langkanya perspektif kesejarahan inilah yang menerangkan mengapa tidak ada konflik tajam antara hukum Islam yang teoretis dan yang dipraktekkan oleh pemerintahan Islam di mana-mana selama ini. Dalam ketidakmampuan mereka untuk melaksanakan hukum Islam secara penuh, pemerintahan Islam itu mengambil jalan "menunda" pelaksanaan penuh itu dan menggunakan keputusan hukum yang bersifat transisionil sebagai gantinya. Ini dapat dilihat misalnya pada penundaan pelaksanaan hukum waris Islam sepenuhnya di masyarakat yang masih memegang teguh adat pra-lslamnya, seperti transaksi gono-gini di daerah Solo-Yogyakarta, di mana istri atau suami memperoleh separuh hak milik bersama pada waktu kawan hidupnya meninggal dunia.

Ciri utama yang kedua adalah keterikatan hukum Islam kepada landasan penafsiran harfiah bahasa Arab atas kehendak Tuhan (kitab al-Syari' yang dikenal juga sebagai nas, bentuk ganda nusus), baik yang berbentuk ayat Al- Qur'an maupun hadis. Pengertian bahasa menjadi ketentuan mutlak untuk memberi nama (dan dengan demikian status hukum) kepada suatu perbuatan. Karena keterikatan yang terlalu literer danberdimensi tunggal ini, umpamanya, semua jenis pertaruhan dimasukan ke dalam status hukum perjudian, karena kata "al-maisir" tidak memiliki konotasi dalam sebuah kata hanya dapat dilakukan dengan kehendak Tuhan pula.

Definisi-definisi yang dibuat untuk membatasi status hukum dan sesuatu perbuatan, karena teterikatan kepada penafsiran linguistik yang ketat dan kaku ini, pada akhirnya meniadakan kemungkinan pengembangan pola diversivikatif dan multi-dimensionil bagi hukam Islam. Adalah suatu hal yang menarik, bahwa ekspresi tertinggi dari pengalaman rohaniah para mistikus (mutasawwifin) justru tercapai jika mereka mampu menggambarkan ekstasi mereka dengan bahasa yang bebas. Dalam kenyataannya, memang hanya merekalah yang mampu mencetuskan "revolusi" pembebasan terminologi dari konotasi linguistiknya yang ketat dan tradisionil, itupun untuk waktu yang tidak terlalu lama." Justru dalam penegasan dominasi pengertian literer dari terminologi yang digunakan inilah berlangsung perjuangan sengit pihak hukum Islam dalam mengekang para mistikus itu dari "penyelewengan pengertian" tersebut.

Dalam kegagalan menilai akibat jauh dari ciri kedua inilah terlihat ketidakberhasilan reformasi yang dilancarkan di bidang hukum Islam selama ini. Reformasi al-Syafi'i (meninggal 204 H/820 M) berhasil menghilangkan cara pengambilan keputusan yang bersimpang-siur. Metodenya, yang dikenal dengan nama tarig al-istigra', berhasil menyederhanakan proses tersebut menjadi sebuah sistem yang kemudian dikenal sebagai jurisprudensi (usul al-fiqh), sebagai manifestasi dalam karya jurisprudensinya yang monumental, al-Risalah. Tetapi usaha al-Syafi'i itu sendiri akhirnya tidak berhasil mengelakkan proses irelevansi hukum agama sebagai akibat keterikatan kepada konotasi bahasa yang terlalu literer."

Demikian pula usaha-usaha selanjutnya berkesudahan pada gerakan reformasi Muhammadiyah dan gerakan fundamentalisme Persis di negeri kita. Sejauh ini, usaha-usaha penyegaran hukum agama itu masih memiliki watak sektarian dan hanya berhasil menyegarkan satu dua aspek kehidupan belaka, karena pendekatannya yang berdimensi tunggal. Secara keseluruhan, penyegaran yang dimaksudkan tidak tercapai, bahkan ada tendensi penyegaran yang dimaksudkan itu akhirnya berbuahkan penciptaan variasi baru dari kebekuan yang telah ada, dengan kata lain menciptakan semacam neo-konservatisme.

Ciri utama ketiga dari hukum Islam adalah ketiadaan otoritas tunggal yang mampu meratakan keputusan-keputusan hukumnya di masyarakat. Walaupun telah ada pranata fatwa dengan segenap kelengkapannya, keputusan hukumnya masih bercorak pribadi sebagai pendapat perseorangan para juristen (faqih, bentuk ganda fuqaha'). Keputusan hukum mereka jarang menunjukkan kesepakatan pendapat, dan senantiasa ada alternatif terhadap setiap keputusan hukum yang diberikan. Sehingga beredarlah pameo terkenal yang berbunyi "perbedaan keputusan dikalangan para ahli hukum adalah rahmat bagi umat (ikhtilaf al-a'immah rahmah al-ummah)."

Sikap untuk memperlakukan pendapat yang saling bertentangan sebagai benar semuanya ini, pada akhirnya membawa kepada anarki hukum, di mana tidak ada satu otoritas pun dapat memaksakan penyeragaman pendapat di kalangan umat Islam. Di masa pemerintahan imperium 'Uthmani di Turki, grand mufti (syaikh al-lslam) memiliki wewenang teoretis untuk berbuat demikian, tetapi nyata sekali otoritasnya hanya dapat menjangkau masa hidup seumur imperium itu belaka, karena ia bukanlah pranata pelaksana norma-norma hukum yang diterima formil oleh imperium tersebut. Dengan demikian, pranata tersebut jelas bukanlah otoritas menetap dengan kekuasaan riil di luar wewenangnya sebagi alat negara.

Sebagai akibat dari toleransi yang sedemikian besar, hampir-hampir tidak dapat ditemui kodifikasi hukum Islam yang seragam untuk semua negara, atau bahkan untuk wilayah yang berbeda-beda dari sebuah negeri pun. Kodifikasi keputusan grand mufti 'uthmani di Istambul dan komentar atasnya, yaitu lembaran negara Mejellet (al-majjah), ternyata tidak mampu menjadikan dirinya alat kodifikasi tunggal, karena di luar itu para juristen masih membuat keputusan hukum secara perseorangan dalam karya-karya fiqh, yang secara lambat tetapi pasti diterima sebagi literatur hukum dengan segenap perwatakan anarkinya oleh masyarakat Islam. Justru kodifikasi tidak resmi inilah yang akhirnya memiliki appeal universil di kalangan umat Islam hingga kini. Mejellet akhirnya hanya menjadi pegangan resmi untuk para pejabat, dan kering dari partisipasi masyarakat, termasuk para juristen di luar aparat pemerintahan.

Dengan demikian berkembanglah kodifikasi kembar antara mejellet dan karya-karya hukum dari para juristen di sampingnya, antara kodifikasi resmi dan tidak resmi. Berserak-seraknya literatur hukum Islam mengakibatkan suasana ketidakpastian hukum dalam skala yang sangat besar, terutama dalam kemacetan perkembangan hukum Islam itu sendiri dan dalam kemampuannya berantisipasi terhadap perkembangan masa dan keadaan. Sebagai hasil usaha penyegaran oleh gerakan reformasi dan fundamentalisme dan abad ini, yang kemudian dilringi oleh kontra reformasi golongan-golongan tradisionil dan juga oleh berbagai usaha inventarisasi oleh Departemen Agama dan IAIN, secara berangsur-angsur dewasa ini mulai ditemukan kodifikasi yang lebih terarah, walaupun sifatnya juga masih kembar dan tanpa didukung oleh otoritas cukup untuk meratakannya di masyarakat dengan sanksi-sanksinya sendiri bila tidak dilaksanakan. Masih belum dapat diperkirakan bagaimana kesudahan usaha-usaha tersebut, yang di beberapa negara lain dilakukan oleh lembaga-lembaga kehakiman sendiri dalam kerjasama dengan para ahli ilmu agama. Mampukah upaya yang tengah dilakukan itu menyudahi anarki hukum yang berakibatkan ketidakpastian pegangan dalam menentukan keputusan hukum mana yang dapat secara tunggal dianggap sebagai hukum Islam? Padahal tanpa kepastian pegangan pemilihan keputusan hukum mana yang dapat dianggap mewakili hukum Islam, boleh dikata tidak akan dapat diberikan sumbangan positif kepada pengembangan hukum nasional.

Setelah kita ketahui ciri-ciri utama keadaan hukum Islam dewasa ini, tampak dengan nyata di mana letak hambatan yang tidak memungkinkannya mengambil peranan positif dan dinamis dalam pembinaan hukum nasional selama ini. Dengan mengetahui letak hambatan-hambatan itu, dapatlah dirumuskan di sini garis besar upaya untuk mengatasinya.

Pertama, harus ada kesediaan dari para juristen muslim sendiri untuk memberikan batasan atas ruang-lingkup daerah kehidupan yang dijangkau oleh hukum Islam dalam rangka pembinaan hukum nasional. Secara teoretis hukum Islam meliputi semua bidang kehidupan, tetapi perkembangan sejarah telah menunjukkan penciutan bidang-bidang itu secara berangsur-angsur. dengan pemberian batasan yang jelas pada bidang-bidang yang menjadi urgensi pembahasan literatur hukum Islam, akan dapat dihindarkan penghamburan waktu dan pikiran dari pembicaraan berkepanjangan tentang soal-soal yang tidak urgen. Bahwa sebuah forum hukum nasional harus memilih pembidangan berdasar skala prioritas masing-masing, adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dielakkan. Kalau kita ingin menjadikan hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional kita, sudah tentu juga harus ditentukan skala prioritas penggarapannya. Bahwa sebuah forum hukum Islam pada tingkat nasional telah membicarakan secara berkepanjangan masalah bencana alam yang melanda beberapa wilayah negara kita baru-baru ini, jelas menunjukkan bahaya penghamburan waktu dan pikiran tersebut, jika tidak segera ditetapkan pembidangan menurut skala prioritas akan menghilangkan arti upaya mengintegrir hukum Islam ke dalam hukum nasional.

Pemberian batasan atas bidang penggarapan hukum Islam ini harus diikuti oleh upaya untuk merumuskan prinsip-prinsip pengambilan keputusan hukum agama yang lebih mencerminkan kebutuhan masa kini. Pertimbangan-pertimbangan manusia harus memperoleh tempat yang layak. Bahkan titik berat proses pengambilan keputusan hukum harus ditujukan kepada integrasi pertimbangan manusiawi ini ke dalam pranata jurisprudensi. Untuk itu, dalam jangka panjang harus ditinjau kemungkinan menyusun sebuah sistem jurisprudensi yang lebih berantisipasi kepada kemungkinan-kemungkinan hidup masa mendatang. Metodologi bagi penyusunan jurisprudensi tersebut harus dibicarakan dan dikembangkan dalam lingkungan terbatas dan tertutup terlebih dahulu, mengingat sensitifnya persoalan yang dibahas. Soal-soal seperti bagaimana menyelesaikan pertentangan lahiriah antara fakta ilmiah dan wahyu Tuhan beserta penafsiran leterlijk-nya selama ini, harus dibicarakan secara mendalam guna memungkinkan terbentuknya metodologi yang memuaskan bagi penyusunan jurisprudensi yang dimaksudkan diatas. Sebagai contoh, benarkah larangan takut akan kemelaratan (khauf al-imlaq) berlaku secara massal (khitab 'am), sehingga secara total masyarakat harus meninggalkan upaya membatasi kelahiran, walaupun nyata-nyata telah tampak bahaya ledakan penduduk? Bukankah larangan tersebut lebih realistis jika ditujukan kepada perorangan muslim, guna menahan mereka dari sikap hidup fatalistis dan memerintahkan mereka untuk bekerja keras guna merebut rezeki yang telah dijanjikan oleh Tuhan? Kalau pembedaan antara pengertian massal (mafhum 'am) dan individuil (maflium khas) ini dapat diterima, di manakah harus ditarik garis pemisah antara keduanya?

Sebuah lembaga harus diadakan (mendirikan yang baru atau menggunakan yang telah ada) untuk tujuan penyusunan metodologi ini, sehingga ada pranata yang secara sadar dan berencana berusaha menyegarkan jurisprudensi yang telah ada, hingga datang waktunya ditetapkan jurisprudensi baru nanti. Lembaga ini harus mampu menciptakan sarana administratif bagi upaya integrasi hukum Islam ke dalam hukum nasional, minimal dengan menyusun indeks yang sistematis dan seragam bagi keputusan hukum yang tersebar berserak-serak dalam ribuan literatur fiqh yang ada sekarang ini. la juga harus melatih tenaga peneliti; melakukan penelitian yang diperlukan bagi integrasi tersebut, meningkatkan mutu aparat pengadilan agama yang ada; dan menerbitkan literatur baru tentang hukum Islam dan upaya integrasinya di atas.

Usaha-usaha penyesuaian yang bersifat individuil dan tradisionil antara kebutuhan masa kini dan keputusan hukum yang telah ada, harus diikuti dengan cermat, diinventarisir dan sedapat mungkin dicemakan oleh metodologi yang akan menyusun jurisprudensi baru nanti. Untuk itu, kepada para juristen muslim harus diberikan dorongan untuk lebih banyak lagi mengemukakan fatwa pribadi, sehingga akan terdapat produk dari berbagai corak pemikiran. Dari semua alternatif yang masuk akan dipilih keputusan-keputusan hukum yang paling mendekati kebutuhan masa kini, untuk selanjutnya dikodifisir dalam indeks khusus untuk itu. Penyusunan khazanah keputusan hukum ini memang pada babak pertama akan cenderung kepada suasana kacau-balau, tetapi dalam jangka panjang akan merupakan reservoir yang sangat berharga bagi penyusunan sebuah jurisprudensi yang baru.

Penerapan (enforcement) hukum Islam secara langsung bukanlah tujuan pemberian peranan kepadanya, karena dengan integrasinya ke dalam hukum nasional persoalan di atas akan terpecahkan dengan sendirinya. Apa yang dituju adalah bagaimana menjadikan hukum Islam lebih banyak lagi menggunakan pertimbangan-pertimbangan manusiawi, termasuk pertimbangan ilmiah praktis, dalam proses pengambilan keputusan hukumnya.

Hukum agama, di manapun juga memiliki hakikat ganda: di satu pihak ia dapat dilaksanakan oleh aparat pemerintahan dengan menjadi bagian hukum formil, di pihak lain ia digunakan secara sukarela oleh masyarakat. Kalau hukum Islam dapat disegarkan melalui kedua jalur di atas dan dapat dibuat lebih berorientasi kepada kebutuhan duniawi dari manusia yang hidup dewasa ini, dengan sendirinya akan menjadi sangat besar sumbangannya bagi upaya membangun tata kehidupan yang modern. Penyegaran dan pengembangan ini tentu akan mendapatkan tantangan keras dari mereka yang tidak mampu memandang ke masa depan yang jauh dengan pandangan jernih dan berimbang. Tetapi hukum Islam memiliki arah perkembangan sendiri, yang tidak mutlak bergantung kepada kemauan suatu kelompok. Atau sebagai dikatakan oleh MacDonald, Law is greater than lawyers, and it works in the end justice and life.

Namun, pengembangan hukum agama tidak dapat berjalan baik tanpa adanya pengarahan, setidak-tidaknya penetapan tujuan-dekat (immediate purpose). Tanpa tujuan-dekat ini, perkembangan menjadi tidak dapat terarah, dan tidak dapat dihindari kekaburan pandangan yang akan melanda proses pengembangan itu sendiri. Kekaburan itu akan mempengaruhi jalannva semua upaya yang dilakukan. Sebagaimana yang telah terjadi selama ini. Salah satu tujuan dekat yang amat memerlukan penggarapan segera adalah percobaan untuk memperluas daerah wewenang konsensus ijma' sebagai sumber hukum. Konsensus selama ini umumnya dilakukan guna memperkuat inferensi atas kehendak Tuhan (istinbat min al-nas), menjadi alat legalisasi bagi apa yang disimpulkan sebagai kehendak-Nya. Tetapi dalam teori tradisionil tentang konsensus terdapat sebuah mekanisme sederhana yang memungkinkan penyegaran relatif bagi pembuatan keputusan hukum, yaitu konsensus atas kesimpulan yang memodifisir pengertian leterlijk dari kehendak Tuhan. Mekanisme ini sederhana, tetapi digunakan untuk membuat interpretasi baru atas diktum-diktum yang telah ada, karenanya ia harus diteliti sejauh mungkin tentang peranan apa yang dapat dilakukannya dalam proses penyelarasan antara keputusan hukum yang telah ada dan kebutuhan masa kini.

Penetapan tujuan-dekat semacam inilah yang sebenarnya menjadi tujuan tulisan ini, karena daripadanyalah bermula proses penyegaran yang digambarkan di atas. Pengembangan dan penyegaran hukum Islam amat diperlukan, karena seperti dikatakan oleh seorang sarjana muslim sendiri, "kesatuan Islam telah dipelihara melalui pemeliharaan oleh Syari'ah. Walaupun tidak ada kekuasaan politik tunggal yang memerintah seluruh dunia Islam, hukum yang bersamaan tetap dijalankan di pengadilan-pengadilan Maroko sebgaimana di India Utara. Pemerintahan oleh hukum Tuhanlah yang terus-menerus memelihara kesatuan komunitas (Islam) dan menjamin watak ke-Islamannya".

Ajakan kepada pengembangan dan penyegaran ini bukanlah ajakan untuk merombak hukum Islam. Ajakan seperti itu tidak lain hanya akan menempatkan hukum Islam kepada kebutuhan sesaat, kepada kehendak manusia yang senantiasa berubah-ubah. Yang dimaksudkan adalah upaya untuk membuatnya lebih peka kepada kebutuhan-kebutuhan manusiawi masa kini dan di masa depan. Dengan kepekaan tersebut hukum Islam sendiri akan senantiasa mengadakan penyesuaian sekadar yang diperlukan, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai transendentalnya yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dengan kepekaan itu akan dapatlah hukum Islam turut memberikan sumbangannya kepada pembangunan bangsa, yaitu dengan menciptakan nilai-nilai kehidupan yang dinamis tetapi dilandasi oleh kesadaran akan keharusan bagi manusia untuk berupaya dalam batas-batas kemampuannya sebagai makhluk belaka.

Perihal Gerakan Sempalan Islam
Sempal adalah kata kerja dari bahasa Jawa. Artinya patah dan terpisahnya dahan dari batang pohon, atau cabang dari dahan. Dengan bahasa Indonesia, sulit untuk menamai gerakan Islam yang memisahkan diri dari batang tubuh umat seagama. Kata ‘pecahan’, umpamanya, mengandung pengertian sama besar antara yang memisahkan diri dan batang tubuh umat. Karenanya, digunakan kata ‘sempalan’ untuk menunjuk kepada fenomena, yang dalam bahasa Inggris disebut splinter groups.

Jumlahnya banyak, berukuran kecil-kecil, dan ada kecenderungan untuk memecah diri terus menerus dalam sebuah proses reaksi bersambung. Fenomena ini memunculkan diri dalam semakin banyaknya kelompok yang keras dan militan di kalangan muslimin berusia muda dimana-mana.

Di tahun sembilan belas enam puluhan, Nasser dibuat kaget dengan terbongkarnya kelompok untuk merebut kekuasaan di Mesir, untuk mengembalikan ‘pemerintahan Islam’ di bumi Nil. Ternyata anggota kelompok itu masih muda-muda dalam usia, dan menjadi bagian dari elite negeri: seorang ahli fisika inti di lembaga yang mengelola persiapan pembuatan sebuah reaktor nuklir, seorang lagi perwira muda yang baru saja diangkat jadi perwira teladan, seorang lagi pegawai tinggi sebuah kementrian dan seterusnya.

Cerita gerakan sempalan di kalangan kaum muslimin muncul dari ketidakmampuan mencernakan dampak modernisasi yang semakin lama semakin laju tetapi timpang jalannya. Modernisasi yang menimbulkan ekses-eksesnya, termasuk ketidakmampuannya memberikan jawaban tepat atas masalah-masalah yang ditimbulkannya sendiri.

Anak-anak muda yang sangat kecewa dengan buruknya ‘kenyataan’ dunia modern ini lalu membuang modernitas mereka, membenahi diri dengan tuntas dalam kehidupan beragama mereka, dan setelah itu dengan lantang menghardik orang lain yang seagama tetapi berbeda penghayatan akan ajaran agama mereka. Hardikan yan sangat lantang, karena dilontarkan dari keyakinan membara akan benarnya sikap sendiri dan salahnya sikap orang lain.

Kalau baru sampai pada tingkat menghardik saja, belum sampai pada tingkat gerakan sempalan. Paling jauh baru mencapai tingkat pemuda pemberang: pemberang kepada dunia, kepada lingkungan sendiri yang terdekat, ataupun kepada batang tubuh umat.

Tingkat ‘sempal’ (splitntering stage) baru tercapai, bila keberangan itu ditujukan kepada diri sendiri: mengapakah harus takut memikul beban sepenuhnya dalam melakukan pembenahan keluar? Mengapakah tidak berani menuntut pengorbanan terjauh dari diri sendiri untuk memperjuangkan apa yang diyakini sebagai kebenaran?

Lebih jauh lagi, mengapa masih bimbang untuk mempertahankan segala-galanya untuk sebuah ‘tindakan terakhir’ guna membela kebenaran?

Tingkat ‘sempal’ itu dicapai tatkala ada seseorang pemimpin yang berani melakukan koreksi total atas dirinya sendiri dan diri anggota kelompoknya: penataan kembali kehidupan kelompok secara menyeluruh.

Ajaran agama dilaksanakan secara tidak pandang bulu, tanpa melalui proses pencernakan terlebih dahulu, yaitu dalam bentuk penafsiran oleh sang pemimpin.

Dengan demikian , kebenaran Islam lalu dipersonifikasikan kedalam diri sang pemimpin. Apa yang dibenarkan pemimpin menjadi kebenaran Islam, dan tidak ada hak orang lain diluar untuk menyanggah sang pemimpin.

Lahirlah struktur ‘formal’ yang sekaligus memberikan identitas diri kepada pengikut, dan memungkinkan sang pemimpin untuk melakukan tindakan disipliner secara Intern atas diri mereka yang dianggap masih belum mampu berjuang.

Maka diberikanlah akolade tertinggi bagi sang pemimpin, untuk melegitimisir kedudukannya sebagai pengarah perjuangan gerakan, sebagai pengaman dari kemungkinan penyelewengan intern, dan sebagai pelindung dari kemungkinan gangguan dari luar. Iman, amir, khalifah dan lain-lain gelar lagi.

Kekuasaannya tunggal , tidak mau berbagi tempat dengan orang lain. Kharisma yang dimilikinya mutlak, tidak ada tempat bagi keraguan dalam dirinya. Dan visi yang dikemukakannya adalah satu-satunya jendela penglihatan bagi para pengikutnya, tidak ada tempat bagi pandangan lain.

Laa dina illa bijama’atin, wala jama’ata lilla bi imaratin, wala imarata illa bi amirin ( bi imamin, bi khalifatin dan seterusnya ), demikianlah kredo yang memberikan legitimasi kepada kepemimpinan seperti ini: tak ada agama tanpa masyarakat, tak ada masyarakat tanpa pimpinan, tak ada pimpinan tanpa pemimpin (amir, iman, khalifah, dan sebagainya ).

Fungsi keimanan seperti itu, di tambah mentalitas yang merasa senantiasa terancam, membawa kepada keyakinan messianistik akan peranan sang pemimpin dalam kehidupan: dialah sang penyelamat, ratu adil yang akan menghilangkan kebalauan, Imam Mahdi yang sudah dijanjikan Allah.
Pemberian fungsi seperti itu membawa keharusan kepada sang pemimpin untuk ‘menghasilkan’ sesuatu, dan apakah cara lebih untuk itu selain kekerasan?

Ternyata gerakan sempalan memang sulit diperkirakan dimana munculnya, bagaimana harus ditangani, dan tindakan preventif apa yang dapat dilakukan untuk mencegah meluasnya angkatan muda. Satu hal sudah jelas: ia tidak dapat ditangani secara gegabah, apalagi diidentifikasi sebagai sesuatu yang berlingkup luas dan mengancam keselamatan negara.

Gerakan sempalan dapat melakukan hal-hal yang membahayakan, tetapi tetap dalam kerangka terisolasi satu dari yang lain dan dalam lingkup kecil. Namanya saja sempalan, bagaimana sesuatu yang sempal dapat digeneralisasi mewakili batang pohon?

Ya, gerakan sempalan janganlah diterapkan pada batang tubuh umat. Nanti akan bertambah kekecewaan dalam kelompok-kelompok kecil di kalangan umat itu dan dari kekecewaan itu akan muncul lagi dorongan membuat gerakan sempalan baru.

Perlakukanlah batang tubuh umat sebagai sesuatu yang wajar. Nanti akan tumbuh sikap-sikap wajar pula dalam dialognya dengan modernisasi. Dan kalau sikap wajar bertambah banyak, akan lebih sedikit kecenderungan bersempal-sempalan.

Ramai-ramai Menolak Adopsi
Berbeda dengan oom senang, pamor bapak angkat masih cukup tinggi dalam masyarakat kita. Mulai dari bisnis industri macam-macam hingga bisnis olah raga, semuanya memakai bapak angkat. Bahkan pemerintah turut mencanangkan sistem pengembangan suatu sektor kehidupan masyarakat dengan menggunakan bapak angkat. Peringatan para cendekiawan bahwa sistem bapak angkat nantinya akan macet ditangan anak emas, sering tidak dihiraukan

Tetapi persoalannya ternyata tidak begitu mulus dengan jenis bapak angkat lain, yang berhubungan dengan adopsi. Banyak pro-kontranya. Yang setuju, tentu, mula-mula para perantara yang mengusahakan adopsi - apalagi yang memperoleh laba besar. Sesudah itu orang yang tidak punya anak, yang memandang adopsi akan memberi kesenangan sebagaimana yang dirasakan orang lain yang tampak bahagia.

Tetapi yang menolak bukan main-main ‘tanda pengenal’nya. Tidak kurang dari para ulama. Juga para pemuka Islam . Tak Ketinggalan tentu ‘barisan depan’ mereka, seperti kaum remaja masjid dan sejumlah cendekiawan muslim. Banyak argumen dikemukkan. Untung, pihak Majelis Ulama belum secara resmi mengumumkan adopsi sebagai dosa seperti dalam kasus sterilisasi, tubektomi dan vasektomi - baru-baru ini.

Mengapa masih begitu-begitu saja reaksi ‘juru bicara Islam’ terhadap berbagai masalah kini? Apakah Islam tidak mau tahu nasib orang yang menderita karena tidak punya anak ? Atau tidak kasihan melihat bayi-bayi yang akan terangkat nasibnya tanpa diambil anak orang lain yang bernasib lebih baik?

Pertanyaan itu wajar - walau di dalamnya masih terselip sebuah kesalah pahaman tentang sikap Islam terhadap masalah-masalah keluarga dan kemasyarakatan, khususnya disini sehubungan dengan adopsi.

Dalam Hukum Islam, hubungan kekeluargaan menyangkut dua aspek utama. Yaitu nasab (keturunan) dan pergaulan sesama anggota keluarga (hirmath). Aspek keturunan akan menentukan hak anak atas warisan, yang dapat berkembang juga menjadi hak saudara atas harta saudara, kakek atas harta ayah, ayah atas harta anak, suami atas harta istri dan sebaliknya, ibu atas harta anak pula, dan seterusnya.

Sekali hak itu ditegakkan, ia harus diikuti secara tuntas. Dalam kasus orang meninggal tanpa punya anak seorang pun, hartanya harus dibagi antara istri, ayah, atau ibu, saudara, dan seterusnya, sudah tentu dalam kombinasi yang kompleks.Itu semua ilmu tersendiri dalam Hukum Islam : ilmu pembagian harta waris, Faraid.

Anak orang yan diangkat menjadi anak sendiri dengan sendirinya akan menggeser kedudukan angota keluarga yang mungkin akan akan memperoleh warisan. Ini tentu menyulitkan - atau menggagalkan seluruhnya - sistem waris yang struktur dasarnya sudah ‘disahkan Allah’. Tidak heran masalahnya lalu ditanggapi secara emosional : takut kepada implikasi ‘kutak-katik hukum Allah’.

Aspek kedua. Seorang anak, ayah, ibu,, saudara kandung, saudara tiri, paman, bibi, kemenakan, kakek, nenek, cucu, semuanya itu sah sebagai keluarga langsung. Tidak dapat dikawin. Pergaulan dapat dilakukan ‘bebas’, dalam arti tak ada larangan untuk bertemu mungkin karena tidak dikhawatirkan akan berkencan.

Berbeda dengan orang lain. Suami dan istri hanya boleh bergaul bebas melakukan hubungan seksual, kalau telah sah menjadi suami istri. Itupun masih terbawa ‘status orang luar’ yang dimilikinya sejak sebelum kawin. Yakni dalam soal batalnya wudu: istri dan suami akan batal wudu mereka begitu bersentuhan kulit. Kalau ke dalam persepsi hukum agama seperti itu lalu masuk ‘unsur baru’, berupa anak pungut yang tidak punya garis kekeluargaan langsung, tidak usah diherankan muncul reaksi. Apalagi kalau dikaitkan dengan kecurigaan antaretnis, ‘jiwa kebangsaan’, dan seterusnya.

Di lain pihak, perbenturan budaya dengan masyarakat-masyarakat lain telah membawakan tuntutan untuk menerima gagasan adopsi. Humanisme Barat, umpamanya menganggap tindakan memungut anak sesuatu yang terpuji didasari penghormatan yang sama kepada manusia, baik keturunan sendiri , maupun bukan, baik asal-usul etnisnya sama atau tidak.

Perkembangan historis juga membawakan tuntutannya sendiri. Berabad-abad lamanya berbagai kawasan dunia menyaksikan kekuatan politik yang berbeda-beda menyusun koalisi dengan sistem angkat-menangkat anak dan bapak, atau mengatur hubungan antar manusia secara lebih manusiawi.

“Tuduhan” yang tidak sepenuhnya tepat itu, sebenarnya sudah sering tampak dalam hal-hal lain. Rigiditas atau kekakuan Hukum Islam sering dikeluhkan orang. Para ulama dan pemuka Islam tidak punya jalan selain mempertahankan kekakuan itu, selama orientasi legal-formalistik dijadikan pendekatan dalam masalah.

Sudah waktunya dipikirkan sebuah pendekatan yang lain, yang memperlakukan manusia secara lebih menyeluruh, berdasar konsep yang lebih bulat memandang, manusia dalam kehidupannya. Kalau tidak , alternatifnya: di kala para agamawan sibuk mempertahankan penolakan atas gagasan adopsi anak, warga masyarakat Islam melakukannya atas prakarsa sendiri, tidak berkonsultasi dengan mereka. Oh, Islam, dimanakah engkau?

Sadat dan Islam

Presiden Mesir Muhammad Anwar Sadat memiliki latar belakang keagamaan yang kuat. Ia lahir dalam keluarga pimpinan tarekat terbesar di Mesir, keluarga Al Sadat yang memimpin dunia tarekat selama berabad-abad lamanya.

Dengan sendirinya ia memperoleh dasar-dasar pendidikan agama yang kuat, walaupun akhirnya ia memilih karir militer. Ia berpangkat mayor sewaktu turut menggulingkan monarki di tahun 1952 bersama Gamal Abdul Nasser dan kawan-kawan mereka dari Gerakan Opsir Merdeka.

Sejak itu ia menjadi pejabat tinggi pemerintah tanpa terputus sama sekali. Mula-mula sebagai calon terkuat setelah Nasser untuk jabatan presiden republik,dan (karena itu) di kedudukan sekjen Partai Sosialis Arab, Ketua Majelis Rakyat ( parlemen Mesir ) dan Wakil Presiden. Setelah itulah baru ia menggantikan Nasser sebagai presiden, setelah wafatnya tokoh Pan-Arabis yang legendaris itu.

Pengetahuan agama yang cukup dalam itu memberikan kedudukan unik kepada Sadat : ia jarang menjadi sasaran tentangan agamawan militan, yang sejak lama sudah begitu benci kepada mendiang Presiden Nasser. Kebiasaan untuk sesekali menjadi khatib sembahyang Jum’at, pidato keagamaan yang mencengkam untuk membangkitkan semangat rakyat dikala negara menghadapi krisis, dan banyak lagi kegiatan lain, telah memberikan ‘identitas keagamaan’ kepada Sadat. Walaupun para agamawan tidak pernah percaya sepenuhnya kepada Sadat, mereka juga tidak berkonfrontasi total terhadapnya.

Salah satu faktor utama tentu adalah kemampuannya melepaskan diri dari keterlibatannya dalam tindak kekerasan mendiang Nasser terhadap gerakan militan Muslim Brotherhood ( Al Ikhwanul Muslimun ) –termasuk hukuman gantung atas diri pemimpin mereka Sayyid Qutb di tahun-tahun enampuluhan.


Wadah Baru “Orang Ikhwan”
Dengan demikian wajarlah ketika Sadat memberikan ruang gerak kepada kelompok-kelompok muslim militan di Mesir segera setelah ia sendiri menjadi presiden, selama mereka tidak secara formal menghidupkan kembali ‘gerakan ikhwan’ di atas. Harta wakaf Al Azhar dikembalikan lagi kepada lembaga tua itu, setelah sekian belas tahun ‘dinasionalisasi’ oleh mendiang Nasser , walaupun Sadat masih memasang ‘orang luar’ dari Universitas Cairo sebagai ‘teknokrat pengawas’ untuk memperbaiki pengelolaannya dalam kapasitas sebagai Menteri Urusan Wakaf. Demikian juga Presiden Sadat sendiri mengetuai panitia peringatan Hari Jadi Keseribu Al-Azhar, yang direncanakan akan berlangsung lima tahun.

Di permukaan, kebijaksanaan ‘pendekatan keagamaan’ itu akan membawakan sukses besar bagi Sadat. Apalagi dalam pergulatannya yang belum pernah sepi dengan kelompok-kelompok Nasseris yang menolak penyimpangan Sadat dari dasar politik Nasser. ‘Pendekatan keagamaan’lah yang membawakan tunjangan kaum muslimin militan kepada Sadat dalam melawan ‘kaum sosialis kafir’ lawan mereka.

Tetapi ternyata tidak demikian perkembangannya. Berangkat dari dekatnya Sadat kepada kelompok-kelompok Islam Akhirnya membawa kesulitan sendiri.

Beberapa tahun yang lalu ia mengizinkan berdirinya Jama’ah Islamiyah (bukan Islam jama’ah, tetapi sama ngotot-nya) sebagai wadah baru ‘orang ikhwan’. Pada saat yang sama parlemen dibiarkannya menerima penerapan ketentuan hukum pidana Islam sebagai bagian dari sistem hukum nasional.

Segera timbul debat sengit banyak kalangan hukum yang lain, di luar ahli Hukum Islam. Bagaimana pun juga mereka telah terbiasa dalam tradisi hukum Eropa kontinental yang diperkenalkan Napoleon sewaktu menduduki Mesir selama dua abad yang lalu.

Untuk mengatasi kemacetan, dibentuk komisi yang bertugas merumuskan penjabaran proses penerapan ketentuan pidana Islam dalam hukum pidana nasional yang ada. Peran utama diberikan kepada seorang yang diterima baik di kalangan hukum nonagama maupun lingkungan Hukum Islam, yaitu Salah Abu Saif. Ternyata ketua komisi ini tidak mampu mempercepat proses, sebagaimana dikehendaki kaum muslimin militan.

Keadaan ini membuat tuntutan kelompok militan di kalangan para agamawan muslim menjadi semakin mengeras. Semakin mengerasnya tuntutan tanpa diimbangi keberhasilan sedikitpun, mau tidak mau akan menjadi bom waktu yang akan menyulitkan kedudukan Sadat – seperti halnya yang terjadi dengan peningkatan aktifitas gereja Koptik di bawah Patrik Shenouda III.

Dilemanya bagi Sadat adalah: kalau ia menerima tuntutan kelompok muslim militan, ia harus merombak struktur kemasyarakatan Mesir secara fundamental, termasuk memberikan pola pembangunan teknokratik yang kini dilaksanakannya: kalau ia menolak, ia harus membasmi kelompok-kelompok muslim militan itu sebelum menjadi terlalu kuat.

Apalagi mengingat kelompok-kelompok kiri Nasseris juga sudah mulai menginfiltrasi ‘dunia keagamaan’ kaum muslim Mesir dengan sebutan ‘Islam kiri’ (yasari dini). Bekas Jendral Fauzi, bekas wakil presiden Ali Sabri (saingan yang di babat Sadat dalam bulan Mei 1971, yang kini dijadikan ‘bulan suci’nya dan kawan-kawan) dan banyak lagi tokoh-tokoh sosialis Nasseris sudah ‘membuka lapangan kerja baru dengan berkhotbah di masjid.

Ternyata Sadat memilih tindakan keras, main babat yang secara licin dibungkus dengan pemecatan Shnouda III dan ‘pembredelan’ sebagian aktivitas gereja Kristen Kopti.

Tetapi ini juga hanya akan merupakan pemecahan sementara. Karena bagaimanapun juga, akhirnya memang Sadat belum berhasil menemukan cara untuk membuat hubungan permanen atas dasar saling menghormati – bukannya saling mempergunakan – dengan kelompok-kelompok Islam semuanya, bukan hanya yang militan saja
















Kronologi Kenaikan dan Kejatuhan
Gus Dur
1997
Juli-Krisis ekonomi melanda Asia, menggoncangkan social dan politik yang mengakibatkan kerusuhan di Indonesia.
1998
10 Maret-Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lembaga Legislatif tertinggi, dengan suara bulat mendukung Suharto sebagai presiden untuk yang ketujuh kali, memicu adanya pemrotesan.
Mei-Harga bahan bakar melonjak tinggi mengakibatkan semakin meluasnya demo dan kerusuhan yang mengakibatkan lebih dari 1.000 orang meninggal di Jakarta.
21 Mei-Dihadapan kekacauan sosial, Suharto behenti sebagai presiden setelah 32 tahun memerintah dan menyerahkan kekuasaanya kepada Wakil president B.J. Habibie.
1999
Juni-Pada Pemilu, Megawati Sukarnoputri dari Partai Demokratik Indonesia- Perjuangan (PDI-P) memenangkan sepertiga kursi di parlemen, tampil sebagai partai dengan dukungan terbesar.
20 Oktober-Abdurrahman Wahid mendapatkan jabatan kepresidenan atas keahlian Poros Tengah (Amien Rais), dengan kompromi Golkar (Akbar Tanjung), serta PPP. Ketidak puasan pendukung Mega memicu aksi demo dimana mana.
21 Oktober-Megawati terpilih sebagai wakil presiden. Semula Mega tidak mau terima jabatan hanya sebagai wapres, namun Kyai Ciganjur berhasil membujuknya untuk menerima.
26 Oktober-Pembentukan kabinet Baru. Jenderal Wiranto yang kontrofersial saat itu digeser dari Panglima TNI yang menguasai pasukan, menjadi Menkopolsoskam. Pengendalian kekuatan TNI beralih dari AD, kepada panglima AL .
26 Nopember-Menteri senior Hamzah Haz dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebagai partai ketiga terbesar, yang pernah menaikan Gus Dur ke jenjang presiden, mengundurkan diri dari kabinet.
2000
14 Feb-Wahid mengeluarkan Wiranto dari kabinet.
24 April-Wahid memberhentikan dua menteri penting, Laksamana Sukardi sebagai menteri BUMN dari PDI-P, Partai Megawati, dan Yusuf Kalla dari Partai Golkar. Perubahan ini mengakibatkan kemarahan kedua partai.
25 Mei-Wahid memerintahkan penangkapan terhadap tukang pijatnya Suwondo yang menggunakan nama presiden secara illegal untuk mendapatkan 35 milyar rupiah, sekitar 4 juta US dollar, dari dana Bulog.
7 Agustus -Wahid membuat pidato pertanggungjawabannya pada Sidang MPR Tahunan yang disambut dingin oleh anggota dewan.
9 Agustus – Gus Dur, memberikan tugas kepada Megawati untuk menjalankan pemerintah harian.
24 Agustus-Wahid me-reshuffle kabinet, posisi strategis diberikan kepada orang-orang yang dekat dengannya dengan menyingkirkan orang orang PDI-P dan Golkar.
28 Agustus-MPR-DPR menyerang balik Gus Dur, dengan menyerukan investigasi terhadap skandal Bulog gate dan Brunei gate yang bernilai 2 Juta.USD.
Ini adalah penyelidikan parlemen pertama di Indonesia yang melibatkan seorang presiden.
24 Desember-Belasan orang terbunuh pada malam Natal akibat pengeboman gereja-gereja dibeberapa tempat..
2001
Januari 22-Wahid menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saat penyelidikan di MPR-DPR terhadap dua skandal Bulog gate dan Brunei Gate, serta menyangkal telah berbuat salah
Januari 30-Team khusus dari MPR-DPR pemeriksa kasus Bulog dan Brunei gate menyatakan, Wahid mungkin terlibat dalam skandal-skandal tersebut.
1 Februari -Parlemen mengeluarkan memorandum pertama kepada Wahid untuk menyelesaikan skandal-skandal tersebut. Ribuan pendemo yang anti Wahid berada dijalan-jalan dikota Jakarta meminta dia turun. Wahid tetap bersikeras.
6 Februari-Lebih dari 50.000 pendukung Wahid mengamuk di Jawa Timur.
28 Maret- Wahid menolak kecaman parlemen dalam sebuah jawaban resmi kepada dewan legislatif. Walaupun ia meminta maaf atas sikapnya yang sering dirasa aneh oleh lawannya, namun dia tetap menyatakan dirinya tidak berbuat kesalahan.
30 April –Memorandum kepada presiden Wahid diturunkan untuk kedua kalinya.
25 Mei-Wahid mengancam untuk pertama kalinya untuk mengeluarkan Dekrit dan mempercepat pemilihan umum , jika MPR menjadwalkan sidang istimewa (SI).
28 Mei –Jaksa Agung menyatakan Gus Dur bersih dan tidak terlibat skandal.
30 Mei-Wahid menangkis memorandum ke-2.
31 Mei-MPR menjadwalkan Sidang Istimewa untuk dimulai pada Agustus 1.
Juni 1-Wahid mereshuffle kabinet lagi, mencopot Menko Polsoskam S.Bambang Yudhoyono dan menggantikannya dengan Agum Gumelar membuat dengan harapan Agum yang dekat dengan Megawati ini bisa menjembatani.
9 Juli-Wahid menyatakan 20 Juli sebagai batas akhir bagi lawannya untuk berkompromi (cabut SI), kalau tidak, Dekrit akan dikeluarkan. Abdurrahman Wahid juga memerintahkan Kapolri Bimantoro untuk mundur dan mengangkat Chaerudin sebagi Wakapolri yang menjalani tugas harian. Bimantoro mengadakan pembangkangan dengan tak mau menyerahkan tongkat komando.
13 Juli-Ketua MPR Amien Rais mengatakan dia akan mempercepat SI , bila Gus dur tetap mengancam dengan Dekrit.
22 Juli-Abdurrahman Wahid akhirnya mengeluarkan Dekrit, kendati militer sejak dari awal menasehati Gus Dur agar jangan keluarkan Dekrit. Isi dekrit yang dikeluarkan adalah sbb:
1) Pembekuan Parlemen (MPR-DPR)
2) Percepatan Pemilu selambatnya dalam 1 tahun
3) Pembubaran partai Golkar
Pada dasarnya Dekrit ini dikeluarkan untuk menghentikan Sidang Istimewa, yang dimaksud untuk menurunkan presiden oleh MPR yang terpaut hanya beberapa jam saja.
23 Juli - MPR tetap melakukan SI dengan tanpa dihadiri oleh Gus Dur, kemudian dengan serta merta melantik Megawati Soekarnoputeri sebagai Presiden RI yang ke –5.